Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pembimbing:
dr. Dedi Atila, Sp.An KIC
Disusun Oleh
Christine Kurniawan 030.13.045
Tiara Larasati Widyaswara 03.013.190
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN
Disusun oleh:
Christine Kurniawan
(030.13.045)
Tiara Larasati Widyaswara
(030.13.190 )
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Dedi Atila, Sp. An KIC
untuk dipresentasikan
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah mengizinkan referat ini
terlaksana, karena berkat anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Sistem Saraf Otonom”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas dari syarat
untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di RSUD Budhi Asik Periode
30 April 2018 – 1 Juni 2018.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Dedi Atila, Sp.An KIC. sebagai
pembimbing, dokter dan staf-staf Ilmu Anestesi di RSUD Budhi Asih, teman-teman
sesama CoAssisten ilmu Anestesi di RSUD Budhi Asih, dan semua pihak yang turut
serta memberikan bantuan, doa, semangat, dan membantu kelancaran dalam proses
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, namun besar
pengharapan penulis bagi pembaca untuk memberikan masukan dan kritikan yang akan
saya pertimbangkan untuk memperbaiki referat ini menjadi lebih baik. Terima kasih dan
Tuhan memberkati.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................... ii
KATA PENGANTAR............................................................................................... iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 2
2.1 Anatomi Sistem Saraf Otonom........................................................ 2
2.2 Fisiologi Sistem Saraf Otonom........................................................ 3
2.3 Pengaruh Anestesia pada Sistem Saraf Otonom.............................. 11
BAB III KESIMPULAN......................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 18
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Susunan saraf otonom (SSO) adalah bagian dari susunan saraf yang bersifat
involunter. SSO sebenarnya tidak sepenuhnya berdiri sendiri namun masih dipengaruhi
oleh susunan saraf sentral melalui sitem limbik di hipotalamus. Sistem saraf otonom
secara klasik terbagi menjadi dua, yaitu sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Saraf
Simpatis mengatur fungsi tubuh saat tubuh menghadapi stres dan exercise. Bila sistem
saraf simpatis diaktifkan oleh kondisi stres, organ-organ yang menjadi efektor dari
sistem saraf simpatis akan menghasilkan respon yang spesifik pada organ tertentu,
seperti denyut jantung yang cepat, vasokonstriksi pembuluh darah visera, vasodilatasi
pembuluh darah otot skeletal (redistribusi) dan pelebaran pupil. Sistem saraf
parasimpatis bekerja untuk mengatur fungsi pemeliharaan tubuh saat dalam keadaan
istirahat.(1,2)
Penemuan obat yang bekerja pada susunan saraf simpatis dimulai dari
penemuan epinefrin oleh J.J.Abel dan asetilkolin oleh Sir Henry Dale. Saraf yang
menggunakan adrenalin sebagai neurotransmiternya disebut adrenergik dan yang
menggunakan asetilkolin disebut kolinergik. Reseptor asetilkolin pada susunan saraf
parasimpatis dibagi menjadi dua golongan, yaitu reseptor muskarinik (menyerupai
muscarine, obat yang disintesis dari jamur) yang berada pada jantung, otot polos dan
kelenjar, serta reseptor nikotinik (menyerupai kerja nikotin) yang berada pada otot
rangka. (1,2)
Pekerjaan sehari-hari seorang anestesiologis di kamar operasi sangat
bersentuhan dengan kerja dari sistem saraf otonom. Hal ini dikaenkan pada pasien yang
menjalani pembedahan, sistem saraf simpatis akan teraktivasi oleh stres anestesia
(intubasi, ansietas, nyeri) dan stres pmebedahan (trauma jaringan akibat pembedahan).
Demikian juga sistem parasimpatis dan enterik akan mengalami perubahan, misalnya
pada saat dilakukan blok spinal. (1,3,4)
Memahami anatomi dan fisiologi sistem saraf otonom berguna memperkirakan
efek farmakologi obat-obatan baik pada sistem saraf simpatis maupun parasimpatis.(5)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Gambar 1. Sistem Saraf simpatis dan Parasimpatis(6)
3
merupakan fungsi parasimpatis sedangkan ejakulasi efek simpatis. Secara umum dapat
dikatakan bahwa sistem parasimpatis berperan dalam fungsi konservasi dan reservasi
tubuh. sedangkan sistem simpatis berfungsi mempertahankan diri terhadap tantangan
dari luar tubuh dengan reaksi berupa perlawanan atau pertahanan diri yang dikenal
dengan fight or flight reaction. (6)
Sistem parasimpatis fungsinya lebih terlokalisir, tidak difus seperti sistem
simpatis, dengan fungsi utama menjaga dan memelihara sewaktu aktifitas organisme
minimal. Sistem ini mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah pada fungsi
basal, menstimulasi sistem pencernaan berupa peningkatan motilitas dan sekresi getah
pencernaan, meningkatkan absorbsi makanan, memproteksi retina terhadap cahaya
berlebihan, mengosongkan rektum dan kandung kemih. Dengan demikian saraf
parasimpatis tidak perlu bekerja secara serentak. (6)
4
2.2.1 Sistem Saraf Simpatis
Neurotransmiter yang berperan pada penghantaran sinyal antara serabut
praganglionik saraf simpatis dan ganglion adalah asetilkolin. Sedangkan
neurotransmiter yang berperan pada pengantaran pesan antara serabut pascaganglionik
saraf simpatis dan reseptor di organ target adalah norepinefrin.
Fungsi vasomotor, dilatasi pupil, pilomotor dan sekretori di daerah kepala-
leher (kelenjar ludah, kelenjar mukus di daerah hidung dan kelenjar keringat) berasal
dari tiga rantai ganglia simpatis daerah servikal. Di bawahnya terdapat ganglion stelata
yang umumnya merupakan gabungan dari ganglion servikalis inferior dengan ganglion
torakalis yang pertama. Ganglion stelata berada pada level yang menyumbangkan
serabut saraf pascaganglionik kardioakselerator. Beberapa ganglion level torakalis di
bawag dari ganglion stelata mengantarkan serabut pascaganglionik vasomotor ke arah
pembuluh darah di seluruh tubuh. Pada beberapa organ target, serabut saraf
pascaganglionik dari ganglion paravertebral bersinaps di ganglion terminalis atau
ganglion kolateral (ganglion seliaka, ganglion mesenterikus superior dan ganglion
mesenterikus inferior). Medula kelenjar adrenal dan jaringan saraf berasal dari jaringan
embrionik yang sama yaitu neural crest. Namun demikian, berbeda dengan serabut saraf
simpatis pascaganglionik, medula adrenal menghasilkan baik hormon norepinefrin
maupun epinefrin. Hormon ini juga langsung bekerja pada reseptornya di seluruh tubuh
dengan transport melalui sistem sirkulasi darah.(1,2,3)
5
serabut adrenergik. Serabut postganglion sistem saraf parasimpatis mensekresikan
asetilkolin sebagai neurotransmitter dan dikenal sebagai serabut kolinergik. Sebagai
tambahan serabut postganglion saraf simpatis kelenjar keringat dan beberapa pembuluh
darah juga melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter. Semua saraf preganglion
simpatis dan parasimpatis melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter karenanya
dikenal sebagai serabut kolinergik. Sedangkan asetilkolin yang dilepaskan dari serabut
preganglion mengaktivasi baik postganglion simpatis maupun parasimpatis.
Neurotransmitter Dalam Fisiologi Saraf Otonom.(7)
6
terjadi konstriksi pupil.Perangsangan parasimpatis membuat otot siliaris
berkontraksi, sehingga melepaskan tegangan tadi dan menyebabkan lensa
menjadi lebih konveks. Keadaan ini membuat mata memusatkan objeknya
dekat tangan.(7)
B. Kelenjar Tubuh
Kelenjar-kelenjar tubuh Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva, dan
sebagian besar kelenjar gastrointestinalis terangsang dengan kuat oleh sistem
saraf parasimpatis sehingga mengeluarkan banyak sekali sekresi
cairan.Kelenjar- kelenjar saluran pencernaan yang paling kuat dirangsang oleh
parasimpatis adalah yang terletak di saluran bagian atas, terutama kelenjar di
daerah mulut dan lambung.Kelenjar usus halus dan usus besar terutama diatur
oleh faktor-faktor lokal yang terdapat di saluran usus sendiri dan oleh sitem
saraf enterik usus serta sedikit oleh saraf otonom.Perangsangan simpatis
mempunyai pengaruh langsung pada sel-sel kelenjar dalam pembentukan
sekresi pekat yang mengandung enzim dan mukus tambahan.Rangsangan
simpatis ini juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplai
kelejar-kelenjar sehingga seringkali mengurangi kecepatan sekresinya.Bila
saraf simpatis terangsang, maka kelenjar keringat mensekresikan banyak sekali
keringat, tetapi perangsangan pada saraf parasimpatis tidak mengakibatkan
pengaruh apapun. (7)
C. Sistem Gastrointestinal
Sistem gastrointestinal Sistem gastrointestinal mempunyai susunan
saraf intrinsik sendiri yang dikenal sebagai pleksus intramural atau sistem saraf
enterik usus.Namun, baik perangsangan simpatis maupun parasimpatis dapat
mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, terutama oleh peningkatan atau
penurunan kerja spesifik dalam pleksus intramural. Pada umumnya,
perangsangan parasimpatis meningkatkan seluruh tingkat aktivitas saluran
gastrointestinal, yakni dengan memicu terjadinya gerakan peristaltik dan
relaksasi sfingter, jadi akan mempermudah pengeluaran isi usus melalui
7
saluran pencernaan dengan cepat. Pengaruh dorongan ini berkaitan dengan
penambahan kecepatan sekresi yang terjadi secara bersamaan pada sebagian
besar kelenjar gastrointestinal, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.3
Fungsi normal dari saluran gastrointestinal tidak terlalu tergantung pada
perangsangan simpatis . (7)
D. Jantung
Jantung Pada umumnya, perangsangan simpatis akan meningkatkan
seluruh aktivitas jantung. Keadaan ini tercapai dengan naiknya frekuensi dan
kekuatan kontraksi jantung. Perangsangan parasimpatis terutama menimbulkan
efek yang berlawanan. Akibat atau pengaruh ini dapat diungkapkan dengan
cara lain, yakni perangsangan simpatis akan meningkatkan keefektifan jantung
sebagai pompa yang diperlukan selama kerja berat, sedangkan perangsangan
parasimpatis menurunkan kemampuan pemompaan tetapi menimbulkan
beberapa tingkatan istirahat pada jantung di antara aktivitas kerja yang berat. (7)
8
terhadap aliran darah, yang biasanya menyebabkan tekanan menjadi sangat
meningkat. Sebaliknya, perangsangan parasimpatis menurunkan daya pompa
jantung tetapi sama sekali tidak mempengaruhi tahanan perifer. Efek yang
umum adalah terjadi sedikit penurunan tekanan. (7)
F. Lainnya
Efek perangsangan simpatis dan parasimpatis terhadap fungsi tubuh
lainnya Karena begitu pentingnya sistem pengaturan simpatis dan parasimpatis,
maka kedua sistem ini dibicarakan mengingat banyaknya fungsi tubuh yang
belum dapat ditentukan secara rinci. Pada umumnya sebagian besar struktur
entodermal,seperti hati, kandung empedu, ureter, kandung kemih, dan bronkus
dihambat oleh perangsangan simpatis namun dirangsang oleh perangsangan
parasimpatis. Perangsangan simpatis juga mempunyai pengaruh metabolik,
yakni menyebabkan pelepasan glukosa dari hati, meningkatkan konsentrasi
gula darah, meningkatkan proses glikogenolisis dalam hati ndan otot,
meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kecepatan metabolisme basal, dan
meningkatkan aktivitas mental. Akhirnya, perangsangan simpatis dan
parasimpatis juga terlibat dalam tindakan seksual antara pria dan wanita. (7)
9
Tabel 3. Efek SSO terhadap organ target
ORGAN TARGET RESPON ADRENERGIK RESPON KOLINERGIK
Jantung Peningkatan laju jantung dan Penurunan laju jantung dan
kontraktilitas (β1) kontraktilitas (muskarinik M2)
Pembuluh darah Vasokonstriksi arteri dan -
Vena (α1)
Vasodilatasi pembuluh darah
muskuloskeletal (β2)
Bronkus Bronkodilatasi (β2)
Gastrointestinal Relaksasi (α2) Peningkatan peristaltis
Mata Midriasis (α1) Miosis
Ginjal Sekresi Renin (β1) Relaksasi ureter
Kontraksi ureter (α1)
Pankreas Penurunan produksi insulin -
sel beta (α2)
Peningkatan produksi insulin
oleh sel beta (β2)
Sel Lemak Lipolisis (β1)
Hati Glikogenolisis (α1)
Sekresi nasal - Hipersekresi
Kelenjar liur Hipersalivasi (α1) Hiposalivasi
Kelenjar keringat Hiperhidrosis (α1) Hipohidrosis
Integumen Piloereksi (α1)
10
penurunan aktivitas sistem saraf simpatis menyebabkan perubahan-perubahan yang
saling berhubungan dalam resistensi sistem vaskuler. Bila tidak ada tonus simpatis,
sistem saraf simpatis hanya menyebabkan vasokonstriksi. (7)
11
mengubah transmisi neurohumoral. Konduksi saraf hanya dapat dipengaruhi oleh
anestetik lokal dosis terapi yang diinfiltrasikan dalam kadar yang relatif tinggi di
sekitar serabut saraf, dan oleh beberap zat lain seperti tetradoksin. Pada akson,
potensial membran istirahat sekitar -70 mV. Potensial negatif ini disebabkan oleh
kadar ion K+ didalam sel saraf 40 kali lebih besar daripada kadarnya diluar sel,
sedangkan ion Na+ dan Cl+ jauh lebih banyak di luar sel. Dalam keadaan potensial
istirahat ini, ion Na+ tidak dapat memasuki sel. Bila ada depolarisasi yang mencapai
ambang rangsang, maka permeabilitas terhadap ion Na+ sangat meningkat sehingga
ion Na+ masuk ke dalam aksoplasma dan menyebabkan potensial yang negatif tadi
menuju netral dan bahkan menjadi positif . Hal ini diikuti dengan repolarisasi, yaitu
kembalinya potensial istirahat dengan terhentinya pemasukan ion Na+ dan
keluarnya ion K+.(6)
Perubahan potensial tersebut disebut potensial aksi (impuls) saraf (nerve
action potential, NAP). NAP akan berjalan sepanjang akson sampai di ujung saraf,
di sinaps akan menyebabkan pelepasan transmitor. Transmitor akan melintasi celah
sinaps selebar 100-500 Angstrom ke membran pasca sinaps. Transmitor ini
disintesis dan disimpan di ujung akson dalam organel yang disebut gelembung
(vesikel) sinaps. Transmitor yang dilepaskan dari ujung saraf preganglion ialah
asetilkolin (ACh), ACh berdifusi sepanjang celah sinaps dan mencapai membran
pasca sinaps; disini ACh bergabung dengan reseptornya dan mengakibatkan
terjadinya depolarisasi membran saraf pasca ganglion yang disebut potensial
perangsangan pasca sinaps (excitatory postsynaptic potential, EPSP). Depolarisasi
terjadi akibat peningkatan permeabilitas ion Na+ dan K+ sekaligus. EPSP akan
merangsang terjadinya NAP di saraf pasca ganglion yang sesampainya di sinaps
saraf-efektor akan menyebabkan penglepasan ttransmitor lagi untuk meneruskan
sinyal ke sel efektor. Pada sinaps saraf-efektor ini dilepaskan transmitor ACh pada
saraf pascaganglion parasimpatis dan norepinefrin (NE) pada saraf pascaganglion
simpatis. Reaksi sel efektor dapat berupa perangsangan atau penghambatan
tergantung jenis transmitor dan jenis reseptornya. (6)
Suatu transmisi neurohumoral tidak selalu menyebabkan depolarisasi tetapi
juga dapat menyebabkan hiperpolarisasi. Hiperpolarisasi pada membran saraf pasca
12
ganglion disebut potensial inhibisi pasca sinaps (inhibitory postsynaptic potential.
JPSP) dan menyebabkan hambatan organ pascasinaps. Bila transmitor tidak
diinaktifkan maka transmisi sinaptik akan terus berlangsung pada membran pasca
sinaps dengan akibat terjadinya perangsangan yang berlebihan atau bahkan disusul
dengan blokade. Karena itu perlu ada mekanisme untuk menghentikannya. Pada
sinaps kolinergik terdapat asetilkolinesterase, suatu enzim penghidrolisis ACh yang
kerjanya cepat sekali. Pada sinaps adrenergik, NE terutama diambil kembali
(reuptake) oleh ujung saraf adrenergik. Ambilan kembali NE ini selain untuk
menghentikan transmisi sinaps juga berfungsi untuk menghemat NE.
Saraf yang mensistesis dan melepaskan ACh disebut saraf kolinergik, yakni
saraf praganglion simpatis dan parasimpatis, saraf pasca ganglion parasimpatis dan
saraf (6)
Keempat tahap transmisi neurohumoral yaitu sintesis, penyimpanan,
pelepasan, ikatan dengan reseptor dan eliminasi transmitor merupakan dasar untuk
pengertian kerja obat otonom. Obat yang bekerja pada saraf otonom mempengaruhi
salah satu tahap transmisi neurohumoral tersebut, yaitu pada transmisi adrenergik
atau transmisi kolinergik tanpa membedakan apakah saraf tersebut termasuk sistem
simpatis, parasimpatis atau somatik.
B. Transmisi Kolinergik
Sintesis Asetilkolin
Otto Loewi (1921) dari Universitas Graz, Austria pertamakali
membuktikan adanya zat neurotransmiter bila N. Vagus dirangsang, yang
dinamakannya vagussstoff. Setelah diteliti ternyata zat vagus tersebut adalah
asetilkolin (ACh). Terdapat dua jenis enzim yang berhubungan dengan ACh
yaitu kolinasetilase dan kolinesterase. Kolinasetilase (kolin asetiltransferase,
ChAT) mengkatalisis sintesis ACh, pada tahap pemindahan gugus asetil dari
asetilkoenzim-A ke molekul kolin. Reaksi ini merupakan langkah terakhir dalam
sintesis ACh, yang terjadi dalam sitoplasma ujung saraf yang kemudian
ditransportasi ke dalam gelembung sinaps tempat ACh disimpan dalam kadar
13
tinggi Kolinasetilase disintesis dalam perikarion sel saraf dan ditransportasi
sepanjang akson ke ujung sarat Asetil KoA disintesis di mitokondria ujung saraf
sedangkan kolin diambil secara aktif ke dalam ujung saraf. Proses ambilan kolin
ke dalam saraf ini tergantung Na ekstra sel dan dihambat oleh hemikolonium.
Kolinesterase. Asetilkolin sebagai transmitor harus tidak diaktifkan dalam waktu
cepat. Kecepatan inaktifasi tergantung dari macamnya sinaps (sambungan saraf-
otot atau saraf-efektor) dan macam neuron. Pada sambungan saraf otot, ACh
dirusak secara kilat, dalam waktu kurang dari 1 milidetik.
Kolinesterase yang tersebar di berbagai jaringan dan cairan tubuh,
menghidrolisis Ach menjadi kolin dan asam asetat. Kekuatan kolin sebagai
transmitor hanya 1/100.000 kali Ach. Ada 2 macam kolinesterase, yaitu
asetilkolinesterase (AchE) dan butirilkolinesterase (BuChE). Asetilkolinesterase
(juga dikenal sebagai kolinesterase yang spesifik atau kolinesterase yang sejati)
terutama terdapat di tempat transmisi kolinergik pada membran pra maupun
pascasinaps, dan merupakan kolinesterase yang terutama memecah Ach.
Butirilkolinesterase (pseudokolinesterase atau serum esterase) terutama
memecah butirilkolin dan banyak terdapat dalam plasma dan hati ; fungsi
fisiologinya belum diketahui. Enzim ini berperan dalam eliminasi suksinilkolin
Transmisi kolinergik praktis dihentikan oleh enzim AchE sehingga
penghambatan enzim ini akan menyebabkan aktifitas kolinergik yang berlebihan
dan perangsangan reseptor kolinergik secara terus-menerus akibat penumpukan
Ach yang tidak dihidrolisis. Kelompok zat yang menghambat AchE dikenal
sebagai antikolinesterase (anti-AchE). Hampir semua efek farmakologi anti -
AchE adalah akibat penghambatan enzim AchE, dan bukan BuChE. Dalam
urutan kekuatan yang meningkat kita kenal fisostigmin, prostigmin,
diisopropilfluorofosfat (DFB) dan berbagai insektisida organofosfat. (6)
C. Transmisi Adrenergik(6)
Sintesis katekolamin
Proses sintesis ini terjadi di ujung saraf adrenergik. Enzim-enzim yang
berperan disintesis dalam badan sel neuron adrenergik dan ditransport sepanjang
14
akson ke ujung saraf. Hidroksilasi tirosin merupakan tahap penentu (rate-
limiting step) dalam biosintesis katekolamin. Disamping itu, enzim tirosin
hidroksilase ini dihambat oleh senyawa katekolamin (umpan balik negatif).
Epinefrin paling banyak ditemukan dalam kelenjar adrenal sedang NE disintesis
dalam saraf pascaganglion simpatis. Tahap sintesis sampai terbentuk dopamin
terjadi di sitoplasma. Dopamin ditransfer aktif ke dalam vesikel dan di situ
diubah menjadi NE. Hanya di medulla adrenal terdapat enzim N-metiltransferase
yang mengubah NE menjadi epinefrin di sitoplasma. Seluruh isi vesikel ini
dilepaskan pada perangsangan saraf dengan proses eksositosis.
15
berlawanan. Tiramin, efedrin, amfetamin dan obat sejenis menyebabkan
penglepasan NE yang relatif cepat dan singkat sehingga menghasilkan efek
hambatan transport aktif NE ke dalam vesikel, menyebabkan penglepasan
NE secara lambat dari dalam vesikel ke aksoplasma sehingga NE dipecah
oleh MAO. Akibatnya terjadi blokade adrenergik akibat pengosongan depot
NE diujung saraf.
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18