Anda di halaman 1dari 54

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Klasifikasi dan Jaringan Jalan

Klasifikasi jalan merupakan aspek penting yang pertama kali harus

diidentifikasi sebelum melakukan perancangan jalan. Karena kriteria desain

suatu rencana jalan yang ditentukan dari standar desain ditentukan oleh

klasifikasi jalan rencana. Pada prinsipnya klasifikasi jalan dalam standar

desain (baik untuk jalan dalam kota maupun jalan luar kota) didasarkan

kepada klasifikasi jalan menurut undang-undang dan peraturan pemerintah

yang berlaku. Jalan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis:

2.1.1. Kelas Jalan Menurut Fungsinya

Menurut PP RI No. 34 Tahun 2006 (2006:11), klasifikasi jalan

menurut fungsinya terbagi menjadi empat jalan yaitu:

1. Jalan Arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama

dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah

jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

2. Jalan Kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan

rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.


3. Jalan Lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,

dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

4. Jalan Lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak pendek, kecepatan rata-rata

rendah, dan jalan masuk dibatasi.

2.1.2. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan

Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan

untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam Muatan Sumbu

Terberat (MST) dalam satuan ton.

Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya

dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan


Dimensi Kendaraan Muatan
Kelas
Fungsi Jalan Maksimum Sumbu
Jalan
Panjang (m) Lebar (m) Terberat (ton)
I 18 2,5 > 10
II Arteri 18 2,5 10
III A 18 2,5 8
III A 18 2,5 8
Kolektor
III B 12 2,5 8
III C Lokal 9 2,1 8
Sumber: RSNI T-14-2004 Geometri Jalan Perkotaan
2.1.3. Sistem Jaringan Jalan

PP RI No. 34 Tahun 2006 (2006:4), menjelaskan bahwa :

1. Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri

dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang

terjalin dalam hubungan hierarki.

2. Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang

wilayah dan dengan memperhatikan keterhubungan antarkawasan

dan/atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan.

Menurut PP No. 26 Tahun 1985 (1985:3), sistim jaringan jalan di

Indonesia dapat dibedakan menjadi:

1. Sistem Jaringan Jalan Primer

Sistem Jaringan Jalan Primer adalah sistem jaringan jalan yang

disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur

pengembangan wilayah tingkat nasional, yang menghubungkan simpul-

simpul jasa distribusi (PP RI No. 26 Tahun 1985, 1985:3). Simpul-simpul

Jasa Distribusi adalah pusat-pusat kegiatan yang mempunyai jangkauan

pelayanan nasional, wilayah, dan lokal.

“Jaringan Jalan Primer yaitu jaringan jalan yang menghubungkan

secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat

kegiatan lokal, dan pusat kegiatan di bawahnya sampai ke persil dalam

satu satuan wilayah pengembangan.” (Pedoman Konstruksi dan

Bangunan Pd T-18-2004-B, 2004:1).

Adapun jenis-jenis dari Sistem Jaringan Jalan Primer adalah :


a. Jalan Arteri Primer

Jalan arteri primer yaitu jalan yang secara efisien

menghubungkan antar pusat kegiatan nasional atau antara pusat

kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah (PP RI No. 34 Tahun

2006, 2006:6).

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan arteri primer adalah :

1. Kecepatan rencana paling rendah (Vmin) adalah 60 km/jam.

2. Lebar badan jalan paling sedikit adalah 11 m.

3. Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-

rata.

4. Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas balik,

lokal maupun kegiatan lokal. Atau lalu lintas mayor lebih

diutamakan dari pada lalu lintas minor.

5. Jumlah jalan masuk dibatasi.

6. Persimpangan sebidang diatur dalam peraturan lain agar tidak

mengganggu lalu lintas jalan arteri primer.

7. Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan atau

pengembangan tidak boleh terputus.

b. Jalan Kolektor Primer

Jalan kolektor primer yaitu jalan yang secara efisien

menghubungkan antar pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan

antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal (PP RI No.

34 Tahun 2006, 2006:6).


Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor primer adalah:

1) Kecepatan rencana paling rendah (Vmin) adalah 40 km/jam.

2) Lebar badan jalan paling sedikit 9 m.

3) Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari

volume lalu lintas rata-rata.

4) Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan

tetap terpenuhi.

5) Persimpangan sebidang diatur dalam peraturan lain agar tidak

mengganggu lalu lintas jalan arteri primer.

6) Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan atau

pengembangan tidka boleh terputus.

c. Jalan Lokal Primer

Jalan lokal primer yaitu jalan yang secara efisien

menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan persil atau pusat

kegiatan wilayah dengan persil atau pusat kegiatan lokal dengan pusat

kegiatan lokal, pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan di

bawahnya, pusat kegiatan lokal dengan persil, atau pusat kegiatan di

bawahnya sampai persil (PP RI No. 34 Tahun 2006, 2006:6).

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan lokal primer adalah:

1) Kecepatan rencana paling rendah (Vmin) adalah 20 km/jam.

2) Lebar badan jalan paling sedikit adalah 7,5 m.

3) Jalan lokal primer yang masuk ke dalam kawasan perdesaan tidak

boleh terputus.
d. Jalan Lingkungan Primer

Jalan lingkungan primer menghubungkan antar pusat kegiatan

di kawasan pedesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan

pedesaan (PP RI No.34 Tahun 2006, 2006:6).

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan lingkungan primer adalah:

1) Jalan lingkungan primer mempunyai kecepatan rencana paling

rendah adalah 15 km/jam.

2) Lebar badan jalan paling sedikit 6,5 m.

3) Diperuntukan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih.

4) Jalan lingkungan primer yang tidak diperuntukan bagi kendaraan

bermotor beroda tiga atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan

paling sedikit 3,5 m.

2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder

“Sistem Jaringan Jalan Sekunder adalah sistem jaringan jalan

yang disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang

menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer,

fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga

dan seterusnya sampai ke perumahan.” (PP RI No. 26 Tahun 1985,

(1985:3).

Adapun jenis-jenis dari Sistem Jaringan Jalan Sekunder adalah:

a. Jalan Arteri Sekunder

Jalan arteri sekunder yaitu jalan yang menghubungkan

kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau


menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder

kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan

kawasan sekunder kedua (PP RI No. 34 Tahun 2006, 2006:6).

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan arteri sekunder adalah:

1) Kecepatan rencana paling rendah (Vmin) adalah 30 km/jam.

2) Lebar badan jalan paling sedikit 11 m.

3) Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-

rata.

4) Pada jalan arteri sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terhambat

dengan lalu lintas lambat.

5) Persimpangan sebidang pada arteri sekunder dengan pengaturan

tertentu harus dapat memenuhi ketentuan.

b. Jalan Kolektor Sekunder

Jalan kolektor sekunder yaitu jalan yang menghubungkan

kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau

menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder

ketiga (PP RI No. 34 Tahun 2006, 2006:6).

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan kolektor sekunder adalah:

1) Kecepatan rencana paling rendah (Vmin) adalah 20 km/jam.

2) Lebar badan jalan peling sedikit 9 m.

3) Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-

rata.
4) Pada jalan kolektor sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terhambat

dengan lalu lintas lambat.

5) Persimpangan sebidang pada kolektor sekunder dengan pengaturan

tertentu harus dapat memenuhi ketentuan.

c. Jalan Lokal Sekunder

Jalan lokal sekunder yaitu jalan yang menghubungkan

kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, menghubungkan

kawasan sekunder dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan

seterusnya sampai ke perumahan (PP RI No. 34 Tahun 2006, 2006:6).

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan lokal sekunder adalah:

1) Kecepatan rencana paling rendah (Vmin) adalah 10 km/jam.

2) Lebar badan jalan paling sedikit 7,5 m.

d. Jalan Lingkungan Sekunder

Jalan lingkungan sekunder menghubungkan antarpersil dalam

kawasan perkotaan (PP RI No. 34 Tahun 2006, 2006:6).

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh jalan lingkungan sekunder

adalah:

1) Kecepatan rencana paling rendah (Vmin) adalah 10 km/jam.

2) Lebar badan jalan paling sedikit 6,5 m.

3) Diperuntukan bagi kendaraan bermotor beroda 3 atau lebih.

4) Tidak diperuntukan bagi kendaraan bermotor beroda 3 atau lebih

harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 m.


2.2. Aspek Lalu Lintas

2.2.1. Kendaraan Rencana

Menurut Bina Marga (1997:5), “Kendaraan rencana adalah

kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam

perencanaan geometrik jalan”. Untuk perencanaan geometrik jalan, ukuran

lebar kendaraan rencana akan mempengaruhi lebar lajur yang dibutuhkan.

Sifat membelok kendaraan akan mempengaruhi perencanaan tikungan dan

lebar median dimana mobil diperkenankan untuk memutar. Dimensi

kendaraan bermotor untuk keperluan perencanaan geometrik jalan

perkotaan, ditetapkan seperti pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Dimensi Kendaraan Rencana


Dimensi Kendaraan Dimensi Tonjolan
Jenis Radius Radius
Kendaraan Simbol Tonjolan Putar
Rencana Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Minimum

Mobil
P 1,3 2,1 5,8 0,9 1,5 7,3 4,4
Penumpang
Truk As
SU 4,1 2,4 9,0 1,1 1,7 12,8 8,6
Tunggal
Bis
A-BUS 3,4 2,5 18,0 2,5 2,9 12,1 6,5
Gandengan
Truk
Semitrailer
WB-12 4,1 2,4 13,9 0,9 0,8 12,2 5,9
Kombinasi
Sedang
Truk
WB-15 4,1 2,5 16,8 0,9 0,6 13,7 5,2
Semitrailer
Convension
al School SB 3,2 2,4 10,9 0,8 3,7 11,9 7,3
Bus
City Transit
CB 3,2 2,5 12,0 2,0 2,3 12,8 7,5S
Bus
Sumber: RSNI T-14-2004 Geometri Jalan Perkotaan
2.2.2. Arus Lalu Lintas

Pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Bina Marga, 1997:5-11),

nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas. Semua nilai

arus lalu lintas (per arah dan total) dikonversikan menjadi satuan mobil

penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang

(emp) yang diturunkan secara empiris untuk tiap tipe kendaraan berikut:

1. Kendaraan ringan (LV) meliputi mobil penumpang, minibus, pick up,

truk kecil, dan jeep atau kendaraan bermotor dua as beroda empat dengan

jarak as 2,0 – 3,0 m (klasifikasi Bina Marga).

2. Kendaraan berat (HV) meliputi truk dan bus atau kendaraan bermotor

dengan jarak as lebih dari 3,50 m, biasanya beroda lebih dari 4

(klasifikasi Bina Marga).

3. Sepeda motor (MC) merupakan kendaraan bermotor beroda dua atau tiga

(klasifikasi Bina Marga).

4. Pengaruh kendaraan tak bermotor dimasukkan sebagai kejadian terpisah

dalam faktor penyesuaian hambatan samping.

Arus lalu lintas tersebut kemudian dikonversikan menjadi satuan

mobil penumpang (smp) dengan ekivalensi mobil penumpang (emp).

Masing-masing tipe kendaraan mempunyai nilai emp yang berbeda

tergantung tipe jalan dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam

kend/jam.
2.2.3. Nilai Konversi Kendaraan

Perhitungan nilai LHR dilakukan dengan menghitung jumlah

kendaraan yang lewat berdasarkan jenis dan nilai konversi kendaraan.

Nilai konversi jenis kendaraan terhadap Ekivalensi Mobil

Penumpang (emp) dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4.

Tabel 2.3 Nilai emp untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi


emp
Arus Lalu MC
Lintas Total Lebar Jalur Lalu Lintas,
Tipe Jalan
Dua Arah HV Wc (m)
(kend/jam) ≤6 >6
Dua lajur tak
0 s.d. 1.800 1,3 0,5 0,4
terbagi
> 1.800 1,2 0,35 0,25
(2/2 UD)
Empat lajur tak
0 s.d. 3.700 1,3 0,4
terbagi
> 3.700 1,2 0,25
(4/2 UD)
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Tabel 2.4 Nilai emp untuk Jalan Perkotaan terbagi Satu Arah

Tipe Jalan Arus lalu lintas emp


Jalan satu arah Per lajur
HV MC
dan jalan terbagi (kend/jam)
Dua-lajur satu
arah (2D/1) 0 1,3 0,40
dan
Empat-lajur
≥ 1050 1,2 0,25
terbagi (4/2D)
Tiga-lajur satu
arah (3/1) 0 1,3 0,40
dan
Enam-lajur
≥ 1050 1,2 0,25
terbagi (6/2D)
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
2.2.4. Analisa Kecepatan Arus Bebas

1. Kecepatan Arus Bebas

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (Bina Marga, 1997:1-

8) Kecepatan arus bebas (FV) didefnisikan sebagai kecepatan pada

tingkat arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika

mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan

bermotor lain di jalan. Rumus penentuan kecepatan arus bebas

mempunyai bentuk umum berikut:

FV = (FVo + FVw) x FFVs x FFVcs

dimana:

FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan

(km/jam).

FVo = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan yang

diamati (km/jam)

FVw = Penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan (km/jam)

FFVsf = Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu

atau jarak kereb penghalang

FFVcs = Faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota

2. Kecepatan Arus Bebas Dasar Kendaraan Ringan (FVo)

Nilai kecepatan Arus Bebas Dasar Kendaraan Ringan dapat

dilihat pada Tabel 2.5.


Tabel 2.5 Kecepatan Arus Bebas Dasar Kendaraan Ringan
Kecepatan Arus
Tipe Jalan Semua Kendaraan
LV HV MC
(rata-rata)
Enam lajur
terbagi(6/2 D) atau
61 52 48 57
Tiga lajur satu arah
(3/1)
Empat lajur
terbagi(4/2 D) atau
57 50 47 55
Dua lajur satu arah
(2/1)
Empat lajur tak
53 46 43 51
terbagi (4/2 UD)
Dua lajur tak terbagi
44 40 40 42
(2/2 UD)
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

3. Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas

(FVw)

Nilai Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu

lintas dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Lebar Jalur Lalu
Lintas (FVw)
Lebar jalur lalu lintas
Tipe Jalan FVw (km/jam)
efektif (Wc) (m)
Per lajur
3 -4
Empat lajur terbagi atau 3,25 -2
jalan satu arah 3,5 0
3,75 2
4 4
Per lajur
3 -4
3,25 -2
Empat lajur tak terbagi
3,5 0
3,75 2
4 4
Lanjutan Tabel 2.6
Lebar jalur lalu lintas
Tipe Jalan FVw (km/jam)
efektif (Wc) (m)
Total
5 -9,5
6 -3
7 0
Dua lajur tak terbagi
8 3
9 4
10 6
11 7
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

4. Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk Hambatan samping

(FFVsf)

Nilai Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk hambatan samping

dengan bahu dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Sedangkan nilai Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk

hambatan samping dengan kereb dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.7 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Hambatan Samping Dengan
Bahu (FFVsf)
Kelas Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan
hambatan lebar bahu
Tipe Jalan
samping Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m)
(SFC) ≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2,0 m
Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04
Empat
Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03
lajur
Sedang 0,94 0,97 1,00 1,02
terbagi
Tinggi 0,89 0,93 0,96 0,99
(4/2 D)
Sangat Tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96
Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04
Empat
Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03
lajur tak
Sedang 0,93 0,96 0,99 1,02
terbagi
Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98
(4/2 UD)
Sangat Tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95
Lanjutan Tabel 2.7
Kelas Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan
hambatan lebar bahu
Tipe Jalan
samping Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m)
(SFC) ≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2,0 m
Dua lajur Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,01
tak terbagi Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00
(2/2 UD) Sedang 0,91 0,93 0,96 0,99
atau jalan Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95
satu arah Sangat Tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Tabel 2.8 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Hambatan Samping Dengan
Kereb (FFVsf)
Kelas Faktor penyesuaian untuk hambatan samping
hambatan dan jarak kereb penghalang
Tipe Jalan
samping Jarak kereb penghalang Wk (m)
(SFC) ≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2,0 m
Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,02
Empat
Rendah 0,97 0,98 0,99 1,00
lajur
Sedang 0,93 0,95 0,97 0,99
terbagi
Tinggi 0,87 0,90 0,93 0,96
(4/2 D)
Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92
Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,02
Empat
Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00
lajur tak
Sedang 0,91 0,93 0,96 0,98
terbagi
Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,94
(4/2 UD)
Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90
Dua lajur Sangat rendah 0,98 0,99 0,99 1,00
tak terbagi Rendah 0,93 0,95 0,96 0,98
(2/2 UD) Sedang 0,87 0,89 0,92 0,95
atau jalan Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88
satu arah Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
5. Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota (FFVcs)

Nilai Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota dapat

dilihat pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Ukuran Kota (FFVcs)
Ukuran Kota (juta penduduk) Faktor Penyesuaian untuk ukuran kota
< 0,1 0,90
0,1 – 0,5 0,93
0,5 – 1,0 0,95
1,0 – 3,0 1,00
> 3,0 1,03
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

2.2.5. Kapasitas Jalan

Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997:5-50)

“perhitungan kapasitas untuk jalan tak-terbagi dilakukan pada kedua arah

lalu-lintas. Untuk jalan terbagi, analisa dilakukan terpisah pada masing-

masing arah lalu-lintas, seolah-olah masing-masing arah merupakan jalan

satu arah yang terpisah.” Digunakan rumus sebagai berikut:

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs

dimana:

C = Kapasitas

Co = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas

FCsp = Faktor penyesuaian pemisahan arah

FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping

FCcs = Faktor penyesuaian ukuran kota


1. Kapasitas Dasar (Co)

Nilai kapasitas dasar dapat dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Kapasitas Dasar (Co)


Kapasitas Dasar
Tipe Jalan Catatan
(smp/jam)
Empat Lajur terbagi atau
1650 Per lajur
jalan satu arah
Empat lajur tak terbagi 1500 Per lajur
Dua lajur tak terbagi 2900 Total dua arah
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

2. Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas (FCw)

Tabel 2.11 Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas (FCw)


Lebar jalur lalu lintas
Tipe Jalan FCw
efektif (Wc) (m)
Per lajur
3 0,92
Empat lajur terbagi atau 3,25 0,96
jalan satu arah 3,5 1,0
3,75 1,04
4 1,08
Per lajur
3 0,91
3,25 0,95
Empat lajur tak terbagi
3,5 1,0
3,75 1,05
4 1,09
Total
5 0,56
6 0,87
7 1,0
Dua lajur tak terbagi
8 1,14
9 1,25
10 1,29
11 1,34
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
3. Faktor penyesuaian kapasitas pemisah arah (FCsp)

Tabel 2.12 Faktor Penyesuaian Kapasitas Pemisah Arah (FCsp)


Pemisah arah SP
50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
%-%
Dua lajur
1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
2/2
FCsp
Empat
1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
lajur 4/2
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

4. Faktor penyesuaian hambatan samping (FCsf)

Faktor penyesuaian hambatan samping dengan bahu dapat dilihat

pada Tabel 2.13.

Sedangkan Faktor penyesuaian hambatan samping dengan kereb

dapat dilihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.13 Faktor penyesuaian Hambatan Samping Dengan Bahu (FCsf)


Kelas Faktor penyesuaian untuk hambatan
hambatan samping dan lebar bahu
Tipe Jalan
samping Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m)
(SFC) ≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2,0 m
Sangat rendah 0,96 0,98 1,01 1,03
Empat
Rendah 0,94 0,97 1,0 1,02
lajur
Sedang 0,92 0,95 0,98 1,0
terbagi
Tinggi 0,88 0,92 0,95 0,98
(4/2 D)
Sangat Tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96
Sangat rendah 0,96 0,99 1,01 1,03
Empat
Rendah 0,96 0,97 1,0 1,02
lajur tak
Sedang 0,92 0,95 0,98 1,0
terbagi
Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98
(4/2 UD)
Sangat Tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95
Dua lajur Sangat rendah 0,94 0,96 0,99 1,01
tak terbagi Rendah 0,92 0,94 0,97 1,00
(2/2 UD) Sedang 0,89 0,92 0,95 0,98
atau jalan Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95
satu arah Sangat Tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Tabel 2.14 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping Dengan Kereb (FCsf)
Kelas Faktor penyesuaian untuk hambatan samping
hambatan dan jarak kereb penghalang
Tipe Jalan
samping Jarak kereb penghalang Wk (m)
(SFC) ≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2,0 m
Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,02
Empat
Rendah 0,94 0,96 0,98 1,00
lajur
Sedang 0,91 0,93 0,95 0,99
terbagi
Tinggi 0,86 0,89 0,92 0,96
(4/2 D)
Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92
Sangat rendah 0,95 0,97 0,99 1,02
Empat
Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00
lajur tak
Sedang 0,90 0,92 0,95 0,98
terbagi
Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,94
(4/2 UD)
Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90
Dua lajur Sangat rendah 0,93 0,95 0,97 1,00
tak terbagi Rendah 0,90 0,92 0,95 0,98
(2/2 UD) Sedang 0,86 0,88 0,91 0,95
atau jalan Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88
satu arah Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

5. Faktor penyesuaian ukuran kota (FCcs)

Nilai faktor penyesuaian ukuran kota dapat dilihat pada Tabel

2.15.

Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCcs)


Ukuran Kota (juta penduduk) Faktor Penyesuaian untuk ukuran kota
< 0,1 0,86
0,1 – 0,5 0,90
0,5 – 1,0 0,94
1,0 – 3,0 1,00
> 3,0 1,04
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
2.2.6. Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan atau Degree of Saturation (DS) adalah rasio arus

(volume lalu lintas) terhadap kapasitas yang dinyatakan dalam smp/jam

Hendarsin (2000:67).

Kinerja lalu lintas dapat dilihat dari besarnya derajat kejenuhan

(degree of saturation), nilai DS yang kecil menunjukan kinerja lalu lintas di

jalan tersebut baik, dan pengemudi akan merasa nyaman, sebaliknya

semakin besar nilai DS menunjukkan penurunan kinerja jalan dan

pengemudi akan merasa kurang nyaman. Nilai DS maksimum yang

diijinkan untuk suatu ruas jalan adalah 0,75. Jika nilai DS > 0,75 maka jalan

perlu diadakan peningkatan kembali, namun jika nilai DS ≤ 0,75 maka jalan

masih dapat menampung kendaraan yang melintas pada jalan tersebut

(Trisnawati et al, 2014:260).

Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Bina Marga,

(1997:5-56) untuk menghitung DS digunakan rumus :

Q
DS =
C

Dimana :

Q = Volume lintas yang melewati jalan tersebut (smp/jam)

C = Kapasitas jalan rencana (smp/jam)


2.3. Aspek Penampang Melintang Jalan

Penampang melintang jalan merupakan bagian-bagian jalan yang

terdiri dari:

1. Jalur lalu Lintas dan Bahu Jalan

Berdasarkan Pedoman Desain Perkerasan Jalan Lentur No. 002-

P-BM-2011 (2011:11), lebar jalur lalu lintas dan bahu jalan ditentukan

sebagai berikut:

Tabel 2.16 Lebar Jalur Lalu Lintas dan Bahu Jalan


Lebar Jalur Lalu Lebar Bahu (m)
Fungsi Lintas (m) (Kiri dan Kanan)
Jalan
Ideal Transisi Ideal Transisi
3,5 2 x 2,00
Lokal 5,5 2 x 1,0
4,5 2 x 1,50
Kolektor 6,0 5,5 2 x 1,5 2 x 1,75
Arteri 7,0 6,0 2 x 2,0 2 x 2,50
Sumber: Pedoman Desain Perkerasan Jalan Lentur
No. 002-P-BM-2011

2. Median

Berdasarkan RSNI T-14-2004 Geometri Jalan Perkotaan

(2004:5), Median adalah bagian dari jalan yang tidak dapat dilalui oleh

kendaraan dengan bentuk memanjang sejajar jalan, terletak di

sumbu/tenagh jalan, dimaksudkan untuk memisahkan arus lalu lintas

yang berlawanan. Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar

0.25 – 0.50 meter.

Fungsi median jalan adalah untuk:

a. Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah

b. Mencegah kendaraan belok kanan


c. Lapak tunggu penyeberang jalan

d. Penempatan fasilitas untuk mengurangi silau dari sinar lampu

kendaraan dari arah yang berlawanan

e. Penempatan fasilitas pendukung jalan

f. Cadangan lajur (jika cukup luas)

g. Tempat prasarana kerja sementara

h. dimanfaatkan untuk jalur hijau

2.4. Aspek Struktur Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak di

antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi untuk

menyalurkan beban dari kendaraan diatas agar menyebar ke seluruh lapisan

tanah dasar (Hendarsin, 2000:208).

2.4.1. Tanah Dasar

Berdasarkan Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pt T-

01-2002-B (2002:3), Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan

sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar.Modulus

Resilien (𝑀𝑅 ) adalah parameter tanah dasar yang digunakan dalam

perencanaan perkerasan jalan. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR

(Heukelom & Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir

halus (fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.

MR (psi) = 1.500 x CBR


2.4.2. Jenis Konstruksi Perkerasan

Dalam Perkerasan Lentur Jalan Raya, Sukirman (1999:4),

berdasarkan bahan pengikat yang digunakan untuk membentuk lapisan

permukaan, perkerasan jalan dibedakan menjadi 3, yaitu :

1. Perkerasan lentur (Flexible Pavement)

Perkerasan Lentur adalah perkerasan yang menggunakan

campuran aspal serta bahan-bahan dalam hal ini agregat yang bersifat

lentur atau tidak kaku (Tenriajeng, 2002:1). Lapisan Perkerasanya

bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar

(Sukirman, 1999:4). Perkerasan lentur umumnya didesain untuk jalan

yang melayani beban lalu lintas ringan sampai dengan sedang, seperti

jalan perkotaan.

Berdasarkan Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pt

T-01-2002-B (2002:2), struktur perkerasan lentur terdiri dari beberapa

lapisan – lapisan yang semakin ke atas memiliki daya dukung yang

semakin besar, dan ketebalan yang semakin kecil. Lapisan – lapisan

tersebut adalah :

a. Lapis pondasi bawah

Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan

lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya

terdiri atas lapisan dari material berbutir (granular material) yang

dipadatkan.

Fungsi lapis pondasi bawah antara lain:


1) Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan

menyebar beban roda.

2) Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar

lapisan-lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya

(penghematan biaya konstruksi).

3) Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.

4) Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.

b. Lapis pondasi

Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur

yang terletak langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi

dibangun di atas lapis pondasi bawah.

Fungsi lapis pondasi antara lain:

1) Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.

2) Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

c. Lapis Permukaan

Lapis permukaan struktur permukaan lentur terdiri atas

campuran mineral agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan

sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di atas lapis pondasi.

Fungsi lapis permukaan antara lain:

1) Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.

2) Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari

kerusakan akibat cuaca.

3) Sebagai lapisan aus (wearing course).


2. Perkerasan kaku (Rigid Pavement)

Perkerasan kaku adalah pekerasan yang menggunakan semen

Portland sebagai bahan pengikat, untuk mengikat pelat beton tipis yang

digunakan sebagai lapisan permukaan ataupun sekaligus sebagai lapis

pondasi (Sukirman, 1999:4).

3. Perkerasan komposit (Composite Pavement)

Perkerasan komposit adalah perkerasan kaku yang

dikombinasikan dengan perkerasan lentur, dapat berupa perkerasan

lentur diatas perkerasan kaku maupun sebaliknya (Sukirman, 1999:4).

2.4.3. Kriteria Perancangan Struktur Perkerasan Jalan

Perancangan perkerasan lentur yang digunakan mengacu pada

Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pt T-01-2002-B.

1. Angka Ekivalen Beban Gandar Sumbu Kendaraan (E)

Angka ekivalen (E) masing-masing golongan beban gandar

sumbu (setiap kendaraan) dengan roda ganda ditentukan menurut tabel

pada Lampiran Sementara untuk roda tunggal menggunkana rumus

sebagai berikut :

beban gandar satu sumbu tunggal dalam kN 4


E sumbu tunggal = ( )
53 kN

beban gandar satu sumbu ganda dalam kN 4


E sumbu ganda = 0,086 x ( )
53 kN
2. Reliabilitas

Konsep reliabilitas adalah sebuah upaya untuk menyertakan

derajat kepastian (degree of certainty) ke dalam proses perencanaan

untuk menjamin bermacam-macam alternatif perencanaan akan bertahan

selama umur rencana. Reliabilitas dinyatakan dalam faktor reliabilitas

(𝐹𝑅 ), dan digunakan untuk menghitung nilai penyimpangan normal

standar (𝑍𝑅 ).

Tabel 2.17 Rekomendasi Tingkat Reliabilitas Untuk Bermacam-


Macam Klasifikasi Jalan
Rekomendasi Tingkat Realibilitas
Klasifikasi Jalan
Perkotaan Antar Kota
Bebas Hambatan 85-99,9 80-99,9
Arteri 80-99 75-95
Kolektor 80-95 75-95
Lokal 50-80 50-80
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pt T-01-
2002-B,2002
Tabel 2.18 Nilai Penyimpangan Normal Standar Untuk Tingkat
Reliabilitas Tertentu
Reliabilitas, R (%) Standar normal deviate, 𝑍𝑅
50 0,000
60 - 0,253
70 - 0,524
75 - 0,674
80 - 0,841
85 - 1,037
90 - 1,282
91 - 1,340
92 - 1,405
93 - 1,476
94 - 1,555
95 - 1,645
96 - 1,751
97 - 1,881
98 - 2,054
99 - 2,327
99,9 - 3,090
99,99 - 3,750
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Pt T-01-2002-B,2002

3. Lalu Lintas pada Lajur Rencana

Lalu lintas pada lajur rencana (w18) diberikan dalam kumulatif

beban gandar standar. Untuk mendapatkan lalu lintas pada lajur rencana

ini digunakan perumusan berikut ini:

w18 = DD x DL x ŵ18

Dimana :

DD = faktor distribusi arah.

DL = faktor distribusi lajur.

ŵ18 = beban gandar standar kumulatif untuk dua arah.


Pada umumnya DD diambil 0,5. Pada beberapa kasus khusus

terdapat pengecualian dimana kendaraan berat cenderung menuju satu

arah tertentu. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa DD

bervariasi dari 0,3 – 0,7 tergantung arah mana yang ‘berat’ dan ‘kosong’.

Tabel 2.19 Faktor Distribusi Lajur (𝐷𝐿 )


% beban gandar standar
Jumlah lajur per arah
dalam lajur rencana
1 100
2 80 – 100
3 60 – 80
4 50 – 75
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Pt T-01-2002-B,2002

Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan

lentur dalam pedoman ini adalah lalu-lintas kumulatif selama umur

rencana. Besaran ini didapatkan dengan mengalikan beban gandar

standar kumulatif pada lajur rencana selama setahun (w18) dengan

besaran kenaikan lalu lintas (traffic growth). Secara numerik rumusan

lalu-lintas kumulatif ini adalah sebagai berikut:

(1+g)n −1
Wt = w18 x
g

Dimana:

Wt = jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif

w18 = beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun

g = perkembangan lalu lintas (%)

n = umur pelayanan jalan


4. Koefisien Drainase

Definisi kualitas drainase dapat dilihat pada Tabel 2.20.

Tabel 2.20 Definisi Kualitas Drainase


Kualitas drainase Air hilang dalam
Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali air tidak akan mengalir
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Pt T-01-2002-B,2002

Kualitas drainase pada perkerasan lentur diperhitungkan dalam

perencanaan dengan menggunakan koefisien kekuatan relatif yang

dimodifikasi. Faktor untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini

adalah koefisien drainase (m) dan disertakan ke dalam persamaan Indeks

Tebal Perkerasan (ITP) bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif

(a) dan ketebalan (D) dan dapat dilihat pada Tabel 2.21.

Tabel 2.21 Koefisien Drainase (m) Untuk Memodifikasi Koefisien


Kekuatan Relatif Material Untreated Base Dan Subbase
Pada Perkerasan Lentur
Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh
Kualitas kadar air
drainase yang mendekati jenuh
<1% 1-5% 5-25% >25%

Baik sekali 1,40 – 1,30 1,35 – 1,30 1,30 – 1,20 1,20


Baik 1,35 – 1,25 1,25 – 1,15 1,15 – 1,00 1,00
Sedang 1,25 – 1,15 1,15 – 1,05 1,00 – 0,80 0,80
Jelek 1,15 – 1,05 1,05 – 0,80 0,80 – 0,60 0,60
Jelek sekali 1,05 – 0,95 0,08 – 0,75 0,60 – 0,40 0,40

Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur


Pt T-01-2002-B,2002
5. Indeks Permukaan (IP)

Indeks permukaan ini menyatakan nilai ketidakrataan dan

kekuatan perkerasan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi

lalu-lintas yang lewat.

IP = 2,5 : Permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.

IP = 2,0 : Tingkat pelayanan terendah jalan yang masih mantap.

IP = 1,5 : Tingkat pelayanan jalan terendah yang masih mungkin (jalan

tidak terputus).

IP = 1,0 : Jalan rusak berat, tidak layak pakai sehingga sangat

mengganggu lalu-lintas.

Dalam menentukan IP pada akhir umur rencana, perlu

dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan seperti pada

Tabel 2.22.

Tabel 2.22 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IPt)


Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
- 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Pt T-01-2002-B,2002

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana

(𝐼𝑃0 ) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan perkerasan pada awal

umur rencana, seperti pada Tabel 2.23.


Tabel 2.23 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IP0 )
IRI(indeks
Jenis Lapis
IP0 ketidakrataan)
Perkerasan
(m/km)
LASTON ≥4 ≤ 1,0
3,9 – 3,5 > 1,0
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2,0
3,4 – 3,0 > 2,0
3,4 – 3,0 ≤ 3,0
LAPEN
2,9 – 2,5 > 3,0
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Pt T-01-2002-B,2002

6. Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Koefisien kekuatan relatif memiliki korelasi dengan nilai

mekanistik, yaitu modulus resilien (MR).

Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi

Koefisien Kekuatan Relatif dikelompokkan ke dalam 5 katagori, yaitu :

beton aspal (asphalt concrete), lapis pondasi granular (granular base),

lapis pondasi bawah granular (granular subbase), cement-treated base

(CTB), dan asphalt-treated base (ATB).

a. Lapis permukaan beton aspal

Untuk memperkirakan nilai koefisien kekuatan relatif lapis

permukaan berbeton aspal bergradasi rapat (𝑎1 ) dapat menggunakan

grafik pada Gambar 2.1.


Gambar 2.1 Grafik untuk memperkirakan koefisien kekuatan relatif

lapis permukan beton aspal bergradasi rapat (a1).

b. Lapis pondasi granular

Untuk memperkirakan nilai koefisien kekuatan relatif lapis

pondasi granular (𝑎2 ) dapat menggunakan grafik pada Gambar 2.2.

Atau dengan rumus:

a2 = 0,249 (𝑙𝑜𝑔10 𝐸𝐵𝑆 ) − 0,977


Gambar 2.2 Grafik untuk memperkirakan koefisien kekuatan relatif

lapis pondasi granular (a2).

c. Lapis pondasi bersemen

Untuk memperkirakan nilai koefisien kekuatan relatif lapis

pondasi bersemen (𝑎2 ) dapat menggunakan grafik pada Gambar 2.3.


Gambar 2.3 Grafik untuk memperkirakan koefisien kekuatan

relatif lapis pondasi bersemen (a2)

d. Lapis pondasi beraspal

Untuk memperkirakan nilai koefisien kekuatan relatif lapis

pondasi beraspal (𝑎2 ) dapat menggunakan grafik pada Gambar 2.4.


Gambar 2.4 Grafik untuk memperkirakan koefisien kekuatan relatif

lapis pondasi beraspal (a2)

e. Lapis pondasi bawah granular

Untuk memperkirakan nilai koefisien kekuatan relatif lapis

pondasi bawah granular (𝑎3 ) menggunakan grafik di gambar 2.5. Atau

dengan rumus :

a2 = 0,277 (𝑙𝑜𝑔10 𝐸𝐵𝑆 ) − 0,839


Gambar 2.5 Grafik untuk memperkirakan koefisien kekuatan relatif

lapis pondasi bawah granular (a3).


f. Tabel koefisien kekuatan relatif (a) dapat dilihat pada Tabel 2.24.

Tabel 2.24 Koefisien Kekuatan Relatif (a)


Koefisien
Bahan Kondisi Permukaaan kekuatan
relatif (a)
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak 0.35 – 0.40
terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya
terdapat retak melintang dengan tingkat
keparahan rendah

<10% retak kulit buaya dengan tingkat 0.25 – 0.35


keparahan rendah dan/atau
<5% retak melintang dengan tingkat
keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat 0.20 – 0.30


keparahan rendah dan/atau
<10% retak kulit buaya dengan tingkat
Lapis
keparahan sedang dan/atau
permukaan
5-10% retak melintang dengan tingkat
Beton aspal
keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat 0.14 – 0.20


keparahan sedang dan/atau
<10% retak kulit buaya dengan tingkat
keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat
keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat 0.08 – 0.15


keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat
keparahan tinggi
Lanjutan Tabel 2.24
Koefisien
Bahan Kondisi Permukaaan kekuatan
relatif (a)
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak 0.20 – 0.35
terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya
terdapat retak melintang dengan tingkat
keparahan rendah

<10% retak kulit buaya dengan tingkat 0.15 – 0.25


keparahan rendah dan/atau
<5% retak melintang dengan tingkat
keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat 0.15 – 0.20


keparahan rendah dan/atau
Lapis <10% retak kulit buaya dengan tingkat
pondasi keparahan sedang dan/atau
yang >5-10% retak melintang dengan tingkat
distabilisasi keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat 0.10 – 0.20


keparahan sedang dan/atau
<10% retak kulit buaya dengan tingkat
keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat
keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat 0.08 – 0.15


keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat
keparahan tinggi
Lapis 0.10 – 0.14
Tidak ditemukan adanya pumping,
pondasi
degradation, or contamination by
atau
fines.
lapis
pondasi
Terdapat pumping, degradation, or
bawah 0.00 – 0.10
contamination by fines
granular
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
Pt T-01-2002-B,2002
7. Komponen Perkerasan

Untuk menentukan structural number (SN) rencana yang

dibutuhkan dapat dipergunakan nomogram yang apabila memenuhi

kondisi-kondisi berikut ini:

a. Perkiraan lalu-lintas masa datang (W18) adalah pada akhir umur

rencana,

b. Reliabilitas (R).

c. Overall standard deviation (S0),

d. Modulus resilien efektif (effective resilient modulus) material tanah

dasar (MR),

e. Design serviceability loss (ΔPSI = IP0 – IPt).


Gambar 2.6 Nomogram Untuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur
8. Perhitungan Tebal Lapis Perkerasan Lentur

Perhitungan perencanaan tebal perkerasan dalam pedoman ini

didasarkan pada kekuatan relatif masing-masing lapisan perkerasan

dengan rumus sebagai berikut:

ITP : 𝑎1 𝐷1 + 𝑎2 𝐷2 + 𝑎3 𝐷3

Dimana :

𝑎1 , 𝑎2 , 𝑎3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan

𝐷1 , 𝐷2 , 𝐷3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)

Jika koefisien drainase (m) dipertimbangkan, maka rumus diatas

berubah menjadi :

ITP : 𝑎1 𝐷1 + 𝑎2 𝐷2 𝑚2 + 𝑎3 𝐷3 𝑚3

Selain menggunakan nomogram pada gambar 2. , ITP juga dapat

dihitung menggunakan rumus :

𝑙𝑜𝑔10 (𝑊18 ) = 𝑍𝑅 𝑥 𝑆𝑜 + 9,36 𝑥 𝑙𝑜𝑔10 (𝐼𝑇𝑃 + 1) − 0,20

ΔIP
𝑙𝑜𝑔10 𝑥 ( )
𝐼𝑃𝑜 + 𝐼𝑃𝑓
+ + 2,32 𝑥 𝑙𝑜𝑔10 (𝑀𝑅 ) − 8,07
1094
0,4 +
(𝐼𝑇𝑃 + 1)5,19

Dimana :

𝑊18 = Perkiraan jumlah beban sumbu standar ekivalen 18-kip

𝑍𝑅 = Standar deviasi

𝑆𝑜 = Gabungan standard error untuk perkiraan lalu-lintas dan kinerja

ΔIP = selisih IPt dan IPo

𝑀𝑅 = Modulus resilien

IPf = Indeks permukaan jalan hancur jalan (minimal 1,5)


2.4.4. Pelapisan Tambah (Overlay)

Perencanaan tebal lapis tambah mengacu pada Pedoman

Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pt T-01-2002-B. Prosedur

perancangannya sebagai sebagai berikut:

1. Cari nilai ITP lama

2. Cari nilai ITPf dari desain tebal perkerasan baru

3. Cari nilai lapis tambahan D01 dengan rumus sebagai berikut:

ITPf = a01 D01 + ITP lama

Dimana:

a01 = koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan tambahan

D01 = tebal lapisan perkerasan tambahan

2.5. Aspek Hidrologi dan Drainase Jalan

2.5.1. Analisa Hidrologi

1. Data Curah Hujan

a. Merupakan data curah hujan harian maksimum dalam setahun

dinyatakan dalam mm/hari. Data curah hujan ini diperoleh dari Badan

Meteorologi dan Geofisika (BMG) yaitu stasiun curah hujan yang

terletak pada daerah layanan saluran samping jalan.

b. Jika daerah layanan tidak memiliki data curah hujan, maka dapat

digunakan data dari stasiun di luar daerah layanan yang dianggap

masih dapat mewakili. Jumlah data curah hujan yang diperlukan

minimal 10 tahun terakhir.


2. Periode Ulang

Karakteristik hujan menunjukan bahwa hujan yang besar tertentu

mempunyai periode ulang tertentu. Periode ulang untuk pembangunan

saluran drainase ditentukan 5 tahun.

3. Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi

pada suatu kurun waktu dimana air tersebut berkonsentrasi.

Intensitas curah hujan diperhitungkan dengan menggunakan

rumus dari Dr. Mononobe (Departemen PU, 1980) sebagai berikut:


2
R 24 3
I=
24
x (T )
c

Dimana:

I = intensitas hujan (mm/jam)

Tc = time of consentration (jam)

R = curah hujan maksimum rencana (mm)

a. Time Of Consentration (Tc)

Untuk menghitung Tc dapat menggunakan rumus (Departemen

PU, 1980):

L
Tc =
V

Dimana:

Tc = waktu pengaliran (jam)

L = panjang pengaliran (km)

v = kecepatan aliran (km/jam)


b. Kecepatan Aliran (v)

Untuk menghitung v dapat menggunakan rumus dari Dr. Rziha

(Departemen PU, 1980) sebagai berikut:

H 0,6
v = 72 x ( )
L

Dimana:

v = kecepatan aliran (km/jam)

H = perbedaan elevasi hulu dengan elevasi hilir (km)

L = panjang pengaliran (km)

2.5.2. Ketentuan Teknis Drainase Permukaan

Berdasarkan Pedoman Perencanaan Drainase Jalan (2006:6), ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan pada perencanaan drainase

permukaan, sebagai berikut:

1. Luas Daerah Layanan (A)

c. Perhitungan luas daerah layan didasarkan pada panjang segmen

panjang yang ditinjau.

d. Luas daerah layanan (A) untuk saluran samping jalan perlu diketahui

agar dapat diperkirakan daya tampungnya terhadap curah hujan atau

untuk memperkirakan volume limpasan permukaan yang akan

ditampung saluran samping jalan.

e. Luas daerah layanan terdiri atas luas setengah badan jalan (A1), luas

bahu jalan (A2), dan luas daerah di sekitar (A3).


f. Batasan luas daerah layanan tergantung dari daerah di sekelilingnya.

Panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan terdiri atas panjang

setengah badan jalan (I1), panjang bahu jalan (I2), dan daerah sekitar

(I3), Untuk daerah perkotaan yaitu ± 10 m.

2. Koefisien Pengaliran (C) dan Faktor Limpasan (fk)

Koefisien pengaliran (C) akan mempengaruhi debit yang

mengalir, sehingga dapat diperkirakan daya tampung saluran.

Sedangkan faktor limpasan merupakan faktor yang bertujuan agar

kinerja saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengaliran

yang terlalu luas.

Tabel 2.25 Harga Koefisien Pengaliran (C) dan Harga Faktor


Limpasan (fk)
Kondisi Permukaan Koefisien Faktor
No.
Tanah Pengaliran (C) Limpasan (fk)
Bahan
1. Jalan beton dan jalan
0,70 – 0,95
aspal
2. Jalan kerikil dan jalan
0,40 – 0,70
tanah
3. Bahu jalan:
Tanah berbutir halus 0,40 – 0,65
Tanah berbutir kasar 0,10 – 0,20
Batuan masif keras 0,70 – 0,85
Batuan masif lunak 0,60 – 0,75
Tata Guna Lahan
1. Daerah perkotaan 0,70 – 0,95 2,0
2. Daerah pinggir kota 0,60 – 0,70 1,5
3. Daerah industri 0,60 – 0,90 1,2
4. Pemukiman padat 0,40 – 0,60 2,0
5. Pemukiman tidak padat 0,40 – 0,60 1,5
Lanjutan Tabel 2.25
Kondisi Permukaan Koefisien Faktor
No.
Tanah Pengaliran (C) Limpasan (fk)
6. Taman dan kebun 0,20 – 0,40 0,2
7. Persawahan 0,45 – 0,60 0,5
8. Perbukitan 0,70 – 0,80 0,4
9. pegunungan 0,75 – 0,90 0,3
Sumber: Pedoman Perencanaan Drainase Jalan 2006

Bila daerah pengaliran atau daerah layanan terdiri dari beberapa

tipe kondisi permukaan yang mempunyai nilai C yang berbeda. Harga

C rata-rata ditentukan dengan persamaan berikut:

C1 x A1 + C2 x A2 + C3 x A3 𝑥 fk3
C =
A1 + A2 + A3

Dimana:

C1, C2, C3 = koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi

permukaan

A1, A2, A3 = luas daerah pengaliran yang diperhitungkan sesuai dengan

kondisi permukaan

fk = faktor limpasan sesuai guna lahan

3. Debit Aliran Air (Q)

Untuk menghitung debit aliran air (Q) digunakan rumus:

1
Q= xCxIxA
3,6

Dimana:

Q = debit aliran air (m3/detik)

C = koefisien pengaliran rata-rata dari C1, C2, C3


I = intensitas curah hujan (mm/jam)

A = luas daerah layanan (km2) terdiri atas A1, A2, A3

2.5.3. Dimensi Bangunan Drainase Permukaan

Dalam (SNI 03-3424-1994, 1994:28), perhitungan dimensi saluran

ditentukan berdasarkan persamaan Fe = Fd.

1. Luas penampang basah berdasarkan debit aliran (Fd)

Fd = Q / v (𝑚2 )

2. Luas penampang basah paling ekonomis (Fe)

Saluran berbentuk segi empat

Fe = b x d , dengan b = 2d, dan R = d / 2

Tabel 2.25 Angka Kekasaran Manning (n)


Baik
No. Tipe Saluran Baik Sedang Jelek
Sekali
Saluran Buatan
1. Saluran tanah, lurus teratur 0,017 0.020 0,023 0,025
2. Saluran tanah yang dibuat dengan
0,023 0,028 0,030 0,040
excavator
3. Saluran pada dinding batuan, lurus, teratur 0,020 0,030 0,033 0,035
4. Saluran pada dinding batuan, tidak lurus,
0,035 0,040 0,045 0,045
tidak teratur
5. Saluran batuan yang diledakkan, ada
0,025 0,030 0,035 0,040
tumbuh-tumbuhan
6. Dasar saluran dari tanah, sisi saluran
0,028 0,030 0,033 0,035
berbatu
7. Saluran lengkung, dengan kecepatan aliran
0,020 0,025 0,028 0,030
rendah
Lanjutan Tabel 2.36
Baik
No. Tipe Saluran Baik Sedang Jelek
Sekali
Saluran Alam
8. Bersih, lurus, tidak berpasir dan tidak
0,025 0,028 0,030 0,033
berlubang
9. Seperti no.8 tapi ada timbunan atau kerikil 0,030 0,033 0,035 0,040
10. Melengkung, bersih, berlubang dan
0,030 0,035 0,040 0,045
berdinding pasir
11. Seperti no.10, dangkal, tidak teratur 0,040 0,045 0,050 0,055
12. Seperti no.10, berbatu dan ada tumbuh-
0,035 0,040 0,045 0,050
tumbuhan
13. Seperti no.11, sebagian berbatu 0,045 0,050 0,055 0,060
14. Aliran pelan, banyak tumbuh-tumbuhan
0,050 0,060 0,070 0,080
dan berlubang
15. Banyak tumbuh-tumbuhan 0,075 0,100 0,125 0,150
Saluran Buatan, Beton Atau Batu Kali
16. Saluran pasangan batu, tanpa penyelesaian 0,025 0,030 0,033 0,035
17. Seperti no.16, tapi dengan penyelesaian 0,017 0,020 0,025 0,030
18. Saluran beton 0,014 0,016 0,019 0,021
19. Salura beton halus dan rata 0,010 0,011 0,012 0,013
20. Saluran beton pracetak dengan acuan baja 0,013 0,014 0,014 0,015
21. Saluran beton pracetak dengan acuan kayu 0,015 0,016 0,016 0,018
Sumber: Pedoman Perencanaan Drainase Jalan 2006

3. Tinggi Jagaan Penampang (W)

Berdasarkan Pedoman Perencanaan Drainase Jalan (2006:21),

tinggi jagaan (W) untuk saluran drainase jalan bentuk trapesium dan

segiempat ditentukan dengan rumus:

W = √0,5 𝑥 ℎ

Dimana:

W = tinggi jagaan (m)

h = kedalaman air yang tergenang dalam saluran (m)


2.6. Bangunan Pelengkap Jalan

2.6.1. Marka Jalan

“Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan

atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang

membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang

yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah

kepentingan lalu lintas” (Permenhub RI No. PM 34 tahun 2014, 2014:2).

Marka jalan umumnya berwarna putih dan kuning (Permenhub RI No. PM

34 tahun 2014, 2014:4). Marka jalan dapat berupa sebuah garis menerus

maupun garis putus-putus (Permenhub RI No. PM 34 tahun 2014, 2014:8).

Ada 2 macam marka garis, yaitu marka melintang dan marka membujur,

marka jalan juga dapat berupa huruf, angka, maupun simbol (Permenhub RI

No. PM 34 tahun 2014, 2014:7).

1. Marka Jalan Membujur

Marka jalan membujur adalah marka yang mengikuti panjang

jalan. Marka jalan berwarna kuning baik putus-putus maupun menerus

digunakan sebagai petunjuk untuk kendaraan umum. Marka jalan

berwarna putih putus –putus berfungsi sebagai garis sumbu dan pemisah,

dimana jika ada marka putus-putus artinya kendaraan di lajur kiri boleh

menggunakan lajur kanan untuk mendahului kendaraan lainya maupun

untuk hal lainya (Permenhub RI No. PM 34 tahun 2014, 2014:4).Marka

putih menerus juga berfungsi sebagai garis sumbu dan pemisah, serta

bisa digunakan sebagai pengganti median dimana jika ada marka


menerus artinya kendaraan tidak boleh keluar dari jalur yang dibatasi

oleh marka tersebut (Permenhub RI No. PM 34 tahun 2014, 2014:8).

2. Marka jalan melintang

Marka jalan melintang adalah marka yang digambar memotong

jalan atau dalam kata lain tegak lurus arah jalan.Marka jalan melintang

biasa digunakan untuk menunjukan batas berhenti dari kendaraan

(Permenhub RI No. PM 34 tahun 2014, 2014:10).

3. Marka jalan lainya

Contoh marka jalan lainya adalah zebra cross, marka pengarah

jalur yaitu marka berbentuk panah, dan marka huruf serta angka.

2.6.2. Rambu Lalu lintas

“Rambu Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa

lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai

peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan”

(Permenhub RI No. PM 34 tahun 2014, 2014:2). Rambu lalu lintas terbuat

dari bahan yang dapat memantulkan cahaya (Permenhub RI No. PM 34

tahun 2014, 2014:3). Rambu lalu lintas umumnya diletakan disebelah kiri

jalur lalu lintas dengan penempatan yang tidak mengganggu pejalan kaki

dan pengguna lalu lintas serta mudah dilihat oleh pengemudi kendaraan.

Rambu lalu lintas dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:


1. Rambu Peringatan

Rambu peringatan digunakan untuk memperingatkan bahaya

seseatu kepada pengemudi (Permenhub RI No. PM 34 tahun 2014,

2014:5). Rambu peringatan harus dipasang pada jarak 80m sebelum

objek.Rambu peringatan memiliki warna dasar kuning hitam. Contoh

rambu peringatan adalah peringatan tikungan, tanjakan, turunan

berbahaya, peringatan jalan licin, jalan menyempit, jalan melebar,dll.

2. Rambu Larangan

Rambu larangan digunakan untuk menunjukan hal yang dilarang

dilakukan oleh pengguna jalan di ruas jalan tersebut (Permenhub RI No.

PM 34 tahun 2014, 2014:9). Rambu larangan ditempatkan sedekat

mungkin pada awal bagian jalan dimana larangan itu dimulai.Rambu

larangan memiliki warna dasar putih, warna tulisan hitam dan warna tepi

merah. contoh rambu larangan adalah larangan berhenti, parkir,

mendahului, forbidden, dll.

3. Rambu Perintah

Rambu perintah digunakan untuk menunjukan hal yang wajib

dilakukan oleh pengguna jalan pada ruas jalan tersebut (Permenhub RI

No. PM 34 tahun 2014, 2014:11). Rambu Perintah ditempatkan sedekat

mungkin dimana perintah itu dimulai. Rambu perintah memiliki warna

dasar biru.
4. Rambu Petunjuk

Rambu petunjuk digunakan untuk memandu Pengguna Jalan saat

melakukan perjalanan atau untuk memberikan informasi lain kepada

Pengguna Jalan (Permenhub RI No. PM 34 tahun 2014, 2014:13). Rambu

petunjuk ditempatkan pada sisi jalan, pemisah jalan atau diatas daerah

manfaat jalan sebelum tempat, daerah atau lokasi yang ditunjuk. Contoh

rambu petunjuk adalah rambu penunjuk jalan, rambu batas wilayah.

5. Rambu Sementara

Rambu sementara digunakan pada kegiatan dan keadaan tertentu

(Permenhub RI No. PM 34 tahun 2014, 2014:16). Rambu Sementara

ditempatkan pada bagian jalan dimana keadaan darurat atau kegiatan

tertentu diberlakukan. Rambu sementara ditempatkan 100 m dari bagian

jalan yang dimaksud dan dapat diulang dengan interval 150 m.

2.6.3. Lampu Penerangan Jalan

Peraturan yang digunakan untuk merencanakan lampu penerangan

jalan disini adalah SNI 7391:2008 tentang Spesifikasi Penerangan Jalan di

Kawasan Perkotaan, BSN (2008). Lampu penerangan jalan adalah

bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan disamping maupun di

median jalan yang berfungsi untuk menerangi jalan maupun lingkungan di

sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan, jalan layang,

jembatan dan jalan di bawah tanah (Direktorat Pembinaan Jalan Kota,

1991:2).
Fungsi dari lampu penerangan jalan antara lain adalah untuk

memberi penerangan pada jalan di malam hari, untuk meningkatkan

keselamatan dan kenyamanan pengendara, khususnya untuk mengantisipasi

situasi perjalanan pada malam hari, untuk keamanan lingkungan atau

mencegah kriminalitas, dan untuk memberikan kenyamanan dan keindahan

lingkungan jalan.(Direktorat Pembinaan Jalan Kota, 1991:1).

Menurut Direktorat Pembinaan Jalan Kota (1991:3), sistem

penempatan lampu penerangan jalan ada dua macam,yaitu sistem

penempatan menerus dan sistem penempatan parsial. “Sistem penempatan

menerus adalah sistem penempatan lampu penerangan jalan yang

menerus/kontinyu di sepanjang jalan/jembatan” (Direktorat Pembinaan

Jalan Kota, 1991:3). “Sistem penempatan parsial adalah sistem penempatan

lampu penerangan jalan pada suatu daerah-daerah tertentu atau pada suatu

panjang jarak tertentu sesuai dengan keperluannya” (Direktorat Pembinaan

Jalan Kota, 1991:4).

1. Kriteria Perencanaan Lampu Penerangan Jalan

Penempatan lampu penerangan jalan harus diperhatikan sehingga

dapat memberikan penerangan yang merata, serta memberikan

keamanan dan kenyamanan bagi pengendara. Pada sistem penempatan

parsial. lampu penerangan jalan harus memberikan adaptasi yang baik

bagi penglihatan pengendara sehingga efek kesilauan dan

ketidaknyamanan penglihatan dapat dikurangi. (Direktorat Pembinaan

Jalan Kota, 1991:7).


Pemilihan jenis dan kualitas lampu penerangan jalan didasarkan

pada nilai efektifitas (lumen/watt) lampu yang tinggi dan umur rencana

yang panjang. (Direktorat Pembinaan Jalan Kota, 1991:7).

Anda mungkin juga menyukai