Anda di halaman 1dari 2

MENAKAR PELUANG CALON INDEPENDEN

Rudy Handoko
Pegiat Lembaga Studi Sosial dan Demkrasi (eLSSiDe)
Divisi Riset JARI Borneo Barat
Sekjend KIPP Pamali Kota Pontianak

Ketika calon independen Irwandi Yusuf mengalahkan calon yang diusung parpol dalam Pilkada
Gubernur dan Pilkada Bupati di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, upaya
memperjuangkan perlunya calon independen dalam Pilkada semakin menguat. Hal ini menjadi
pertanda bahwa masyarakat merindukan suatu nuansa baru dalam iklim pemilihan, bahkan boleh
jadi sebagai suatu pertanda bahwa masyarakat yang sudah mulai jengah dengan model
pemilihan yang hanya melulu di kapling oleh parpol merindukan hadirnya calon-calon pemimpin
yang tidak melulu hadir melalui mekanisme parpol yang kadung di cap ‘a-demokratis’ meskipun
parpol sebenarnya merupakan instrument demokrasi.
Keputusan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin langsung oleh Jimly Ashidiqie
tentang calon independen merupakan angin segar yang di’amini’ banyak pihak pro-demokrasi
merupakan terobosan yang vital mengubah peta perpolitikan daerah bahkan nasional. Putusan
yang dibuat pada 23 Juli 2007, menyatakan dengan tegas bahwa bagi calon independen
diperbolehkan ikut berlaga dalam kompetisi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara
langsung (Pilgub, Pilbup dan Pilwako) di manapun di Indonesia.
Terobosan ini semakin kuat dengan adanya revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang selama ini tidak mengakomodir calon independen, mau tak mau
mengakomodasi peluang calon independen dan mengaturnya.
Terbukanya peluang ini tak pelak semakin membuka keran demokratisasi dan mungkin juga
membuka keran partisipasi politik warga masyarakat yang diperkirakan semakin meningkat. Hal
ini boleh jadi karena dengan adanya calon independen maka dinamika pesta demokrasi lokal
semakin meriah, dan geliat dukung-mendukung semakin hangat.
Lebih lanjut, adanya calon independet diharapkan dapat memberikan warna dan alternatif pilihan,
bukan melulu pada pilihan yang disodorkan oleh parpol. Meskipun belum tentu calon yang maju
melalui calon independen adalah calon yang lebih baik dan lebih kapabel daripada calon yang di
usung parpol. Namun kegairahan ini tak boleh dipungkiri karena adanya kecenderungan
masyarakat untuk melawan oligarki parpol yang terjadi selama ini, yang cenderung mengkebiri
hak-hak berdemokrasi dengan lebih cerdas.
Sehingga wajar-wajar saja apabila kemunculan calon independen merupakan ‘kado spesial’
dalam arena pemilihan dan merupakan ‘warning’ bagi partai politik, karena kemunculannya
tersebut tentunya kian menghangatkan kompetisi dan calon independenpun faktanya merupakan
lawan yang harus diperhitungkan.
Terkait hal itu, hadirnya calon independen sebenarnya bukan tanpa dasar. Ada suatu upaya
tersirat terutama dalam rangka untuk mendorong perbaikan proses politik rekrutmen pemimpin.
Karena selama ini rekrutmen calon selalu menjadi hak istimewa parpol dan menutup celah bagi
masyarakat yang tidak mau terikat pada parpol tapi punya hak sama untuk dipilih dan memilih.
Menurut analisis ahli politik LIPI Syamsudin Haris mengatakan calon independen merupakan
salah bentuk mengakomodasi hak-hak politik warga. Dan ini bisa jadi sebagai cerminan yang
menunjukkan bahwa ternyata kredibilitas parpol semakin merosot, karena pola-pola yang
dimainkan parpol selama ini yang tidak akomodatif bahkan sekedar menjadikan legitimasi kursi di
legislatif dan hasil suara parpol pada Pemilu sebelumnya sebagai ajang menjual perahu
ketimbang menjalankan fungsinya untuk memberikan pendidikan politik dan seleksi politik yang
sehat.
Kritikan yang paling keras terhadap rekrutmen calon pemimpin yang dilakukan parpol adalah
terutama kaitannya dalam proses seleksi dan mekanisme pencalonan yang tidak transparan,
tidak akuntabel, dan cenderung ‘abai’ terhadap aspirasi politik warga bahkan konstituennya
sendiri, karena bukan rahasia, bahwa dalam proses itu ‘kuasa’ modal dan uang serta praktek
oligarki elit parpol lebih dominan.
Sederhananya ada yang mengasumsikan bahwa dengan adanya calon independen maka hal itu
dapat menjadi salah satu media demokratisasi untuk pembelajaran politik bagi masyarakat
…………………………
Berbicara tentang peluang calon independen sendiri, saya berasumsi bahwa semua kandidat
baik yang dicalonkan melalui jalur parpol maupun jalur independen punya peluang yang sama,
tergantung tingkat popularitas dan elektabilitas di kalangan pemilih.
Tapi, dalam konteks calon independen, saya memberi catatan lebih. Memang jika melihat dari
perahunya, yaaa…terkesan calon yang diusung parpol sepertinya pada posisi lebih unggul
karena menaiki perahu besar layaknya 'kapal pesiar', yang tentunya jika mesinnya jalan dan
efektif apalagi jika disokong dengan logistik yang lebih dari memadai pula, maka akan dapat
melaju dengan cepat.
Sedangkan yang melalui jalur independen seperti menaiki 'sampan', namun meskipun cuma naik
sampan terkadang ‘arus deras’ dan ‘besar’ serta ‘angin selatan’ boleh jadi lebih berpihak pada
perahu 'sampan' ini. Karena yang naik 'kapal pesiar' belum tentu mesinnya jalan, apalagi jika
mesinnya mesin tua dan belum di ‘bubut’ atau baru ‘turun mesin’, perahunya keberatan beban
dan arus besar nan deras belum tentu berpihak padanya. Ditambah lagi jika baru mau naik
‘kapal pesiar’ sudah terjadi atau sudah dilanda prahara ‘topan’, karena tidak ‘genah’ dalam
proses transaksi perahu.
Arus besar dan deras serta angin selatan akan semakin berpihak pada perahu 'sampan' jika
mereka terbukti lolos verifikasi, karena hal itu tentu menjadi bukti kuat bahwa dukungan yang
mereka perolehi riil, dan ini boleh semakin menggumpal besar bagai bola salju jika nahkoda
pandai memompa ‘semangat’ dan ‘memotivasi’ awaknya untuk bekerja keras dan ikhlas, serta
membina dan memperluas basis dukungan, maka dengan 'semangat' dan 'loyalitas' serta nyaris
'tanpa beban', mungkin dalam bertanding nanti para awak 'sampan' tentu boleh menjadi lebih
lincah dan bertenaga. Termasuk dengan memainkan isu sentimen anti oligarki parpol itu tadi.
Kemudian konteks perahu 'kapal pesiar', belum tentu dukungan masyarakat yang diklaim parpol
berdasarkan jumlah kursi dan jumlah suara Pemilu sebelumnya berbanding lurus dengan
dukungan riil warga saat ini, karena waktu yang berubah, orientasi pemilih yang berubah dan
apalagi jika mereka melihat kelakuan elit parpol yang mereka pilih untuk mewakili mereka, tak
kunjung memberikan contoh dan teladan berpolitik yang baik. Sedangkan awak 'kapal pesiar'
sendiri belum tentu militan, belum tentu juga komunikasi antara nahkoda dan para awaknya
berjalan baik, dan karena sudah terbiasa 'pragmatis', maka belum tentu juga para awak ini
bekerja sungguh-sungguh dalam menggerakkan laju 'kapal pesiar'.
Yaah…akhirnya tinggal kita lihat saja dalam kompetisi nanti, apakah calon independent dapat
melaju, paling tidak dapat memberikan perlawanan dan contoh berkompetisi yang baik serta
fairplay seperti Turki dan Rusia pada perhelatan EURO2008.

Anda mungkin juga menyukai