Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hipertensi atau lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu
keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang
ditunjukkan oleh angka sistolik (bagian atas) dan diastolik (bagian bawah) pada
pemeriksaan tekanan darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa
cuff air raksa (sphygmomanometer)ataupun alat digital lainnya (Shadine, 2010).
Hipertensi merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Sebanyak 1 milyar
orang di dunia atau 1 dari 4 orang dewasa menderita penyakit ini. Hipertensi secara
tidak langsung membunuh penderitanya, melainkan memicu terjadinya penyakit lain
yang tergolong kelas berat dan mematikan serta memberi gejala yang berlanjut
untuk organ tubuh, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk
pembuluh darah dan otot jantung (Korneliani dan Meida, 2012). Hipertensi dapat
menyerang hampir semua golongan masyarakat di seluruh dunia. Jumlah
penderita hipertensi terus bertambah dari tahun ke tahun. Data dari WHO
(2010) menyatakan bahwa hipertensi merupakan penyakit nomor sebelas
penyebab kematian tertinggi di dunia yaitu sebanyak 1.153.308 jiwa. Sedangkan
menurut Depkes RI (2008), hipertensi merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah stroke (15,4%), dan tuberkulosis (7,5%), dengan presentasi mencapai
6,8% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia (Arif dkk, 2013). Dari data
penelitian terakhir, dikemukakan bahwa terdapat sekitar 50 juta (21,7%) orang
dewasa Amerika menderita hipertensi. Hipertensi juga diderita di kawasan Asia
Tenggara, menyerang Thailand sebesar 17% dari total penduduk, Vietnam 34,6%,
Singapura 24,9%, Malaysia 29,9%. Sedangkan Indonesia memiliki angka yang cukup
tinggi, yaitu 15%. Dari 230 juta penduduk Indonesia, hampir 35 juta penduduk
menderita hipertensi (Susilo dan Wulandari, 2010). Hasil Riskesdas (2013)
kecenderungan prevalensi hipertensi mengalami kenaikan dari 7,6% tahun 2007
menjadi 9,5% pada tahun 2013. Prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun
ke atas di Indonesia adalah sebesar 25,8%. Prevalensi hipertensi tertinggi di
Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (26,7%) dan terendah di
Papua Barat (16,8%). Provinsi Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat (29,4%),
Gorontalo (29,0%), Sulawesi Tengah (28,7%), Kalimantan Barat (28,3%),
Sulawesi Selatan (28,1%), Sulawesi Utara (27,1%), Kalimantan Tengah
(26,7%) merupakan provinsi yang mempunyai prevalensi hipertensi lebih tinggi dari
angka nasional, yaitu 25,8% (Kemenkes RI, 2013). Hipertensi esensial (primer)
merupakan penyakit urutan kedua setelah infeksi saluran nafas bagian atas akut
dari sepuluh besar penyakit rawat jalan di Rumah Sakit tahun 2010 (Kemenkes
RI, 2012). Hipertensi merupakan penyakit dengan nomor urut kedua setelah
influenza dari sepuluh besar penyakit di Kalimantan Tengah berdasarkan Surveilans
Terpadu Penyakit (STP), yaitu sebesar 53,921 jiwa (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Tengah, 2012). Berdasarkan data rekam medis tahun 2013, kasus hipertensi di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya merupakan kasus yang cukup tinggi menduduki
urutan ketiga berdasarkan data 10 besar penyakit di Poliklinik Penyakit Dalam
yaitu sebesar 14,08% (RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, 2013). Selain data
masyarakat yang mengalami hipertensi tersebut, banyak juga masyarakat
Indonesia yang terkena hipertensi, tetapi tidak terdiagnosa. Menurut perkiraan
WHO, sekitar 30% penduduk dunia tidak terdiagnosa adanya hipertensi
(underdiagnosed condition). Hal ini disebabkan oleh tidak adanya gejala yang pasti bagi
penderita hipertensi padahal hipertensi merusak organ tubuh, seperti jantung (70%
penderita hipertensi akan mengalami kerusakan jantung), ginjal, otak, mata, serta
organ tubuh lainnya. Kondisi tersebut yang menyebabkan hipertensi disebut sebagai
pembunuh yang tidak terlihat atau silent killer (Susilo dan Wulandari, 2010). Ada
beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan hipertensi yaitu faktor risiko
yang tidak dapat dikontrol dan faktor risiko yang dapat dikontrol. Faktor risiko
hipertensi yang tidak dapat dikontrol adalah umur, jenis kelamin, dan
keturunan. Sedangkan faktor risiko yang dapat dikontrol adalah obesitas, stress,
merokok, kurang olahraga, alkohol, konsumsi garam berlebih, dan
hiperlipidemia (Widyanto dan Triwobowo, 2013). Umumnya penderita
hipertensi adalah orang yang berusia diatas 40 tahun, namun pada saat ini tidak
menutup kemungkinan diderita oleh orang usia muda. Hipertensi pada usia subur
sebagian besar terjadi pada usia 25-45 tahun, dan hanya pada 20% terjadi di
bawah usia 25 tahun atau di atas 45 tahun (Yeni dkk, 2010). Estimasi risiko
dari Firmingham Heart Study (2002) menunjukkan bahwa, 78% hipertensi
pada laki-laki dan 65% hipertensi pada wanita secara langsung berhubungan
dengan obesitas. Risiko kejadian hipertensi meningkat sampai 2,6 kali
pada subyek laki-laki obesitas dan meningkat 2,2 kali pada subyek
wanita obesitas dibandingkan subyek dengan berat badan normal
(Lilyasari, 2007). Dari faktor yang dapat dikontrol yang menjadi
masalah global adalah obesitas. Prevalensinya meningkat tidak saja di
negara maju tapi juga di negara-negara berkembang. Obesitas sampai saat
ini masih merupakan masalah yang kompleks. Penyebabnya
multifaktorial sehingga menyulitkan penatalaksanaannya. Obesitas pada
anak beresiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa dan berpotensi
mengalami pelbagai penyebab sakit dan kematian (Lumoindong dkk, 2013).
Menurut WHO, pada tahun 2005 sekitar 1,6 miliar orang dewasa di
atas usia 15 tahun mengalami kelebihan berat badan, dan setidaknya 400 juta
orang dewasa menderita obesitas. Para ahli percaya jika
kecenderungan ini terus berlangsung pada tahun 2015 sekitar 2,3 miliar
orang dewasa akan kelebihan berat badan dan lebih dari 700 juta peduduk akan
mengalami obesitas. Skala masalah obesitas memiliki sejumlah konsekuensi
serius bagi individu dan sistem kesehatan pemerintah (Soeria, 2013). Riskesdas
(2013) menunjukkan bahwa pada umumnya perempuan (32,9%) lebih banyak
menderita obesitas dibandingkan dengan pria (19,7%). Prevalensi obesitas
sentral tingkat nasional adalah 26,6%. Jumlah ini menunjukkan
kenaikan sebesar 7,8% dibandingkan Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar
18,8%. Hal ini menegaskan bahwa Indonesia masih dibebani oleh masalah gizi
lebih (Kemenkes RI, 2013). Obesitas merupakan salah satu faktor
penyebab hipertensi. Pada obesitas terdapat timbunan lemak yang dapat
menimbulkan sumbatan di pembuluh darah sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah (Lingga, 2012). Penelitian epidemiologi
menyebutkan adanya hubungan antara berat badan dengan tekanan darah
pada pasien hipertensi (Susilo dan Wulandari, 2010). Semakin banyak
kelebihan berat badan, semakin besar risiko hipertensi yang harus dihadapi.
Semakin banyak berat badan yang diturunkan, maka secara bersamaan akan
semakin rendah risiko hipertensi yang harus ditanggung (Lingga,
2012). Yang sangat mempengaruhi tekanan darah adalah obesitas
pada tubuh bagian atas dengan peningkatan jumlah lemak pada bagian
perut atau kegemukan terpusat ( obesitas sentral) daripada obesitas bagian
bawah (obesitas tipe pear ) (Susilo dan Wulandari, 2010). Data dari
Third National Health Nutrition and Examination Survey
(NHANESIII) tahun 2004 memperlihatkan hubungan linier yang bermakna
antara peningkatan body mass index (BMI) dan tekanan darah sistolik,
diastolik dan tekanan nadi (pulse pressure) pada populasi Amerika. Fakta
lain juga membuktikan bahwa, setiap peningkatan 10 kilogram (kg)
berat badan (bb) berhubungan dengan peningkatan TD sistolik
sebesar 3 mmHg dan peningkatan TD diastolik 2-3 mmHg. Studi
yang dilakukan oleh Inou dkk (1997) menyebutkan bahwa risiko
hipertensi akan meningkat dua kali pada subyek yang mempunyai IMT>25
kg/m2dibandingkan dengan subyek yang mempunyai IMT 22 kg/m2. Pada
populasi MONICA-Jakarta ditemukan bahwa, presentasi hipertensi
pada individu yang overweight sebesar 24,5% dan obesitas sebesar 27,5%,
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan individu BB normal (12,5%) (Lilyasari,
2007). Mengatasi obesitas adalah langkah yang harus dilakukan. Penyusutan
berat badan seberapapun kecilnya sudah cukup membantu menurunkan risiko
hipertensi (Lingga, 2012). Beberapa studi menunjukkan bahwa pada
subyek hipertensi yang overweight, penurunan berat badan merupakan
suatu cara yang paling efektif untuk menurunan tekanan darah pada
subyek tersebut. Pada lebih dari 50% subyek terjadi penurunan TD sistolik
sebesar 1-2 mmHg dan TD diastolik sebesar 1-4 mmHg setiap kilogram
penurunan berat badan (Kisebah dan Krakower, 1994 dalam Lilyasari, 2007).
Penyusutan berat badan sebanyak 1,5-2,5 kg dapat menurunkan tekanan
darah sebesar 1 mmHg. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh
American Health Assocition menyebutkan bahwa penurunan berat
badan sebanyak 5% bermanfaat untuk menurunkan risiko hipertensi hingga
sebesar 20% (Lingga, 2012). Beberapa metode pengukuran antropometri
tubuh yang dapat digunakan sebagai skrining obesitas antara lain Indeks Massa
Tubuh (IMT), Lingkar Pinggang (LP), Rasio Lingkar Pinggang Lingkar
Panggul (RLPP) (Isnaini dkk, 2012). Indeks Massa tubuh (IMT)>23,
lingkar pinggang (LP)>90 (laki-laki) dan >80 (perempuan) dan, rasio
lingkar pinggang lingkar panggul (RLPP)>0,85 (perempuan) dan >1 (laki-laki)
digunakan untuk memprediksi risiko penyakit terkait obesitas termasuk
hipertensi (Arisman, 2010). Penelitian terhadap 772 orang di China
menunjukkan pada subjek laki-laki nilai IMT lebih dari 23,0 kg/m2,
lingkar pinggang 89,05 cm, dan rasio lingkar pinggang lingkar
panggul 0,92 dapat mendeteksi hipertensi. Sedangkan pada subjek
perempuan nilai IMT lebih dari 23,30 kg/m2, lingkar pinggang 90,90 cm,
dan rasio lingkar pinggang lingkar panggul 0,85 dapat mendeteksi
hipertensi (Liu dkk, 2011). Menurut temuan dari studi MONICA
(2002) menyebutkan bahwa peningkatan 2,5 cm lingkar pinggang
(LP) untuk perempuan sesuai dengan peningkatan tekanan darah
sistolik 1 mmHg (Krause dkk, 2009). Berdasarkan uraian tersebut diatas,
maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara indikator
obesitas berdasarkan indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan rasio
lingkar pinggang lingkar panggul dengan kejadian hipertensi pada pasien di
puskesmas biru.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada Hubungan antara Indikator Obesitas Berdasarkan Indeks
Massa Tubuh (IMT), Lingkar Pinggang (LP), dan Rasio Lingkar
Pinggang Lingkar Panggul (RLPP) dengan Kejadian Hipertensi pada
Pasien?
2 . 1 . TINJAUAN TEORI
2.1.1. Hipertensi
2.1.1.7. Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer
( peripheral resistance). Tekanan darah membutuhkan aliran darah melalui
pembuluh darah yang ditentukan oleh kekuatan pompa jantung (cardiac
output ) dan tahanan perifer. Sedangkan cardiac output dan tahanan
perifer dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi yaitu
natrium, stress, obesitas, genetik, dan faktor resiko hipertensi lainnya.
Peningkatan tekanan darah melalui mekanisme :
a. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan darah lebih
banyak cairan setiap detiknya.
b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga
tidak dapat mengembang saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut.
Karena itu, darah dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dan
menyebabkan naiknya tekanan darah. Penebalan dan kakunya dinding arteri
terjadi karena adanya arterosklerosis, tekanan darah juga meningkat
saat terjadi vasokonstriksi yang disebabkan rangsangan saraf atau
hormon.
c. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi dapat meningkatkan tekanan
darah. Hal ini dapat terjadi karena kelainan fungsi ginjal sehingga
tidak mampu membuang natrium dan air dalam tubuh sehingga volume
darah dalam tubuh meningkat yang menyebabkan tekanan darah juga
meningkat. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan
menghasilkan enzim yang disebut rennin, yang memicu pembentukan
hormone angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormone
aldosteron (Widyanto dan Triwibowo, 2013).
2.1.2. Obesitas
2.1.2.1. Definisi Obesitas
Obesitas atau yang biasa dikenal sebagai kegemukan, merupakan suatu
masalah yang cukup merisaukan di kalangan remaja. Obesitas atau
kegemukan terjadi pada saat badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan
penumpukan jaringan adiposa secara berlebihan. Jadi obesitas adalah keadaan
dimana seseorang memiliki berat badan yang lebih berat dibandingkan berat
badan idealnya yang disebabkan terjadinya penumpukan lemak di tubuhnya.
Sedangkan berat badan berlebih (overweight ) adalah kelebihan berat badan
termasuk di dalamnya otot, tulang, lemak dan air (Proverawati, 2010).
2 . 2 . LANDASAN TEORI
2.2.1. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan
Hipertensi
Dengan menghitung Indeks Massa Tubuh, dapat mengetahui apakah berat
badan membuat berisiko menyandang tekanan darah tinggi (Palmer dan
Williams, 2007). Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini
berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi
meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar dari dinding arteri.
Seseorang yang gemuk lebih mudah terkena hipertensi. Purwati
(2005) menyatakan wanita yang sangat gemuk pada usia 30 tahun
mempunyai risiko terserang hipertensi 7 kali lipat dibandingkan dengan yang
langsing dengan usia sama (Yeni dkk, 2010). Risiko kesehatan yang
berhubungan dengan obesitas akan meningkat sejalan dengan meningkatnya
angka BMI :
Resiko rendah : BMI < 27
Resiko menengah : BMI 27-30
Resiko tinggi : BMI 30-35
Resiko sangat tinggi : BMI 35-40
Resiko sangat-sangat tinggi : BMI 40 atau lebih (Soeria, 2013)
Penelitian terhadap 772 orang subyek Cina menunjukkan bahwa pada subjek
laki-laki dengan nilai IMT lebih dari 23,0 kg/m2 sedangkan pada subjek
perempuan nilai IMT lebih dari 23,30 kg/m2 dapat mendeteksi
hipertensi (Liu dkk, 2011). Sementara itu studi yang dilakukan oleh
Inou dkk (1997) menyebutkan bahwa, risiko hipertensi akan
meningkat dua kali pada subyek yang mempunyai BMI>25 kg/m2
dibandingkan dengan subyek yang mempunyai BMI 22 kg/m`2
(Lilyasari, 2007). Sejalan dengan penelitian dari He (2000),
peningkatan satu unit IMT dapat dihubungkan dengan peningkatan 0,56
mmHg tekanan sistolik dan diastolik pada orang obes (Sarah dan Tjipta,
20130). Semakin besar Indeks Massa Tubuh maka tekanan darah akan
semakin tinggi. Setiap kenaikan satu satuan IMT, maka akan
menaikkan tekanan darah sistolik sebesar 1,148 mmHg dan diastolik sebesar
1,211 mmHg (Widyaningsih dan Latifah, 2008). Manifestasi awal
hipertensi pada obesitas diawali oleh hipertensi sistolik tanpa disertai
hipertensi diastolik (isolated systolic hypertension).
Pengukuran tekanan darah pada remaja dengan obesitas, ditemukan 94%
subjek hipertensi sistolik. Selain itu didapatkan bahwa tekanan darah
turun pada pasien overweight dengan hipertensi yang kehilangan berat badan
yng rata-rata 10,5 kg (Syafrudin dan Tambunan, 2009).
3.2 variabel
1. variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah hipertensi dan
tidak hipiertensi pada obesitas .
2. variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian
obesitas pada umur >45 thn.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah semua pasien di Poli umum di puskemas biru, baik pasien lama
maupun pasien baru yang telah ditentukan dalam kriteria penelitian.