Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hipertensi atau lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu
keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang
ditunjukkan oleh angka sistolik (bagian atas) dan diastolik (bagian bawah) pada
pemeriksaan tekanan darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa
cuff air raksa (sphygmomanometer)ataupun alat digital lainnya (Shadine, 2010).
Hipertensi merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Sebanyak 1 milyar
orang di dunia atau 1 dari 4 orang dewasa menderita penyakit ini. Hipertensi secara
tidak langsung membunuh penderitanya, melainkan memicu terjadinya penyakit lain
yang tergolong kelas berat dan mematikan serta memberi gejala yang berlanjut
untuk organ tubuh, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk
pembuluh darah dan otot jantung (Korneliani dan Meida, 2012). Hipertensi dapat
menyerang hampir semua golongan masyarakat di seluruh dunia. Jumlah
penderita hipertensi terus bertambah dari tahun ke tahun. Data dari WHO
(2010) menyatakan bahwa hipertensi merupakan penyakit nomor sebelas
penyebab kematian tertinggi di dunia yaitu sebanyak 1.153.308 jiwa. Sedangkan
menurut Depkes RI (2008), hipertensi merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah stroke (15,4%), dan tuberkulosis (7,5%), dengan presentasi mencapai
6,8% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia (Arif dkk, 2013). Dari data
penelitian terakhir, dikemukakan bahwa terdapat sekitar 50 juta (21,7%) orang
dewasa Amerika menderita hipertensi. Hipertensi juga diderita di kawasan Asia
Tenggara, menyerang Thailand sebesar 17% dari total penduduk, Vietnam 34,6%,
Singapura 24,9%, Malaysia 29,9%. Sedangkan Indonesia memiliki angka yang cukup
tinggi, yaitu 15%. Dari 230 juta penduduk Indonesia, hampir 35 juta penduduk
menderita hipertensi (Susilo dan Wulandari, 2010). Hasil Riskesdas (2013)
kecenderungan prevalensi hipertensi mengalami kenaikan dari 7,6% tahun 2007
menjadi 9,5% pada tahun 2013. Prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun
ke atas di Indonesia adalah sebesar 25,8%. Prevalensi hipertensi tertinggi di
Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (26,7%) dan terendah di
Papua Barat (16,8%). Provinsi Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat (29,4%),
Gorontalo (29,0%), Sulawesi Tengah (28,7%), Kalimantan Barat (28,3%),
Sulawesi Selatan (28,1%), Sulawesi Utara (27,1%), Kalimantan Tengah
(26,7%) merupakan provinsi yang mempunyai prevalensi hipertensi lebih tinggi dari
angka nasional, yaitu 25,8% (Kemenkes RI, 2013). Hipertensi esensial (primer)
merupakan penyakit urutan kedua setelah infeksi saluran nafas bagian atas akut
dari sepuluh besar penyakit rawat jalan di Rumah Sakit tahun 2010 (Kemenkes
RI, 2012). Hipertensi merupakan penyakit dengan nomor urut kedua setelah
influenza dari sepuluh besar penyakit di Kalimantan Tengah berdasarkan Surveilans
Terpadu Penyakit (STP), yaitu sebesar 53,921 jiwa (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Tengah, 2012). Berdasarkan data rekam medis tahun 2013, kasus hipertensi di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya merupakan kasus yang cukup tinggi menduduki
urutan ketiga berdasarkan data 10 besar penyakit di Poliklinik Penyakit Dalam
yaitu sebesar 14,08% (RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, 2013). Selain data
masyarakat yang mengalami hipertensi tersebut, banyak juga masyarakat
Indonesia yang terkena hipertensi, tetapi tidak terdiagnosa. Menurut perkiraan
WHO, sekitar 30% penduduk dunia tidak terdiagnosa adanya hipertensi
(underdiagnosed condition). Hal ini disebabkan oleh tidak adanya gejala yang pasti bagi
penderita hipertensi padahal hipertensi merusak organ tubuh, seperti jantung (70%
penderita hipertensi akan mengalami kerusakan jantung), ginjal, otak, mata, serta
organ tubuh lainnya. Kondisi tersebut yang menyebabkan hipertensi disebut sebagai
pembunuh yang tidak terlihat atau silent killer (Susilo dan Wulandari, 2010). Ada
beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan hipertensi yaitu faktor risiko
yang tidak dapat dikontrol dan faktor risiko yang dapat dikontrol. Faktor risiko
hipertensi yang tidak dapat dikontrol adalah umur, jenis kelamin, dan
keturunan. Sedangkan faktor risiko yang dapat dikontrol adalah obesitas, stress,
merokok, kurang olahraga, alkohol, konsumsi garam berlebih, dan
hiperlipidemia (Widyanto dan Triwobowo, 2013). Umumnya penderita
hipertensi adalah orang yang berusia diatas 40 tahun, namun pada saat ini tidak
menutup kemungkinan diderita oleh orang usia muda. Hipertensi pada usia subur
sebagian besar terjadi pada usia 25-45 tahun, dan hanya pada 20% terjadi di
bawah usia 25 tahun atau di atas 45 tahun (Yeni dkk, 2010). Estimasi risiko
dari Firmingham Heart Study (2002) menunjukkan bahwa, 78% hipertensi
pada laki-laki dan 65% hipertensi pada wanita secara langsung berhubungan
dengan obesitas. Risiko kejadian hipertensi meningkat sampai 2,6 kali
pada subyek laki-laki obesitas dan meningkat 2,2 kali pada subyek
wanita obesitas dibandingkan subyek dengan berat badan normal
(Lilyasari, 2007). Dari faktor yang dapat dikontrol yang menjadi
masalah global adalah obesitas. Prevalensinya meningkat tidak saja di
negara maju tapi juga di negara-negara berkembang. Obesitas sampai saat
ini masih merupakan masalah yang kompleks. Penyebabnya
multifaktorial sehingga menyulitkan penatalaksanaannya. Obesitas pada
anak beresiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa dan berpotensi
mengalami pelbagai penyebab sakit dan kematian (Lumoindong dkk, 2013).
Menurut WHO, pada tahun 2005 sekitar 1,6 miliar orang dewasa di
atas usia 15 tahun mengalami kelebihan berat badan, dan setidaknya 400 juta
orang dewasa menderita obesitas. Para ahli percaya jika
kecenderungan ini terus berlangsung pada tahun 2015 sekitar 2,3 miliar
orang dewasa akan kelebihan berat badan dan lebih dari 700 juta peduduk akan
mengalami obesitas. Skala masalah obesitas memiliki sejumlah konsekuensi
serius bagi individu dan sistem kesehatan pemerintah (Soeria, 2013). Riskesdas
(2013) menunjukkan bahwa pada umumnya perempuan (32,9%) lebih banyak
menderita obesitas dibandingkan dengan pria (19,7%). Prevalensi obesitas
sentral tingkat nasional adalah 26,6%. Jumlah ini menunjukkan
kenaikan sebesar 7,8% dibandingkan Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar
18,8%. Hal ini menegaskan bahwa Indonesia masih dibebani oleh masalah gizi
lebih (Kemenkes RI, 2013). Obesitas merupakan salah satu faktor
penyebab hipertensi. Pada obesitas terdapat timbunan lemak yang dapat
menimbulkan sumbatan di pembuluh darah sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah (Lingga, 2012). Penelitian epidemiologi
menyebutkan adanya hubungan antara berat badan dengan tekanan darah
pada pasien hipertensi (Susilo dan Wulandari, 2010). Semakin banyak
kelebihan berat badan, semakin besar risiko hipertensi yang harus dihadapi.
Semakin banyak berat badan yang diturunkan, maka secara bersamaan akan
semakin rendah risiko hipertensi yang harus ditanggung (Lingga,
2012). Yang sangat mempengaruhi tekanan darah adalah obesitas
pada tubuh bagian atas dengan peningkatan jumlah lemak pada bagian
perut atau kegemukan terpusat ( obesitas sentral) daripada obesitas bagian
bawah (obesitas tipe pear ) (Susilo dan Wulandari, 2010). Data dari
Third National Health Nutrition and Examination Survey
(NHANESIII) tahun 2004 memperlihatkan hubungan linier yang bermakna
antara peningkatan body mass index (BMI) dan tekanan darah sistolik,
diastolik dan tekanan nadi (pulse pressure) pada populasi Amerika. Fakta
lain juga membuktikan bahwa, setiap peningkatan 10 kilogram (kg)
berat badan (bb) berhubungan dengan peningkatan TD sistolik
sebesar 3 mmHg dan peningkatan TD diastolik 2-3 mmHg. Studi
yang dilakukan oleh Inou dkk (1997) menyebutkan bahwa risiko
hipertensi akan meningkat dua kali pada subyek yang mempunyai IMT>25
kg/m2dibandingkan dengan subyek yang mempunyai IMT 22 kg/m2. Pada
populasi MONICA-Jakarta ditemukan bahwa, presentasi hipertensi
pada individu yang overweight sebesar 24,5% dan obesitas sebesar 27,5%,
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan individu BB normal (12,5%) (Lilyasari,
2007). Mengatasi obesitas adalah langkah yang harus dilakukan. Penyusutan
berat badan seberapapun kecilnya sudah cukup membantu menurunkan risiko
hipertensi (Lingga, 2012). Beberapa studi menunjukkan bahwa pada
subyek hipertensi yang overweight, penurunan berat badan merupakan
suatu cara yang paling efektif untuk menurunan tekanan darah pada
subyek tersebut. Pada lebih dari 50% subyek terjadi penurunan TD sistolik
sebesar 1-2 mmHg dan TD diastolik sebesar 1-4 mmHg setiap kilogram
penurunan berat badan (Kisebah dan Krakower, 1994 dalam Lilyasari, 2007).
Penyusutan berat badan sebanyak 1,5-2,5 kg dapat menurunkan tekanan
darah sebesar 1 mmHg. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh
American Health Assocition menyebutkan bahwa penurunan berat
badan sebanyak 5% bermanfaat untuk menurunkan risiko hipertensi hingga
sebesar 20% (Lingga, 2012). Beberapa metode pengukuran antropometri
tubuh yang dapat digunakan sebagai skrining obesitas antara lain Indeks Massa
Tubuh (IMT), Lingkar Pinggang (LP), Rasio Lingkar Pinggang Lingkar
Panggul (RLPP) (Isnaini dkk, 2012). Indeks Massa tubuh (IMT)>23,
lingkar pinggang (LP)>90 (laki-laki) dan >80 (perempuan) dan, rasio
lingkar pinggang lingkar panggul (RLPP)>0,85 (perempuan) dan >1 (laki-laki)
digunakan untuk memprediksi risiko penyakit terkait obesitas termasuk
hipertensi (Arisman, 2010). Penelitian terhadap 772 orang di China
menunjukkan pada subjek laki-laki nilai IMT lebih dari 23,0 kg/m2,
lingkar pinggang 89,05 cm, dan rasio lingkar pinggang lingkar
panggul 0,92 dapat mendeteksi hipertensi. Sedangkan pada subjek
perempuan nilai IMT lebih dari 23,30 kg/m2, lingkar pinggang 90,90 cm,
dan rasio lingkar pinggang lingkar panggul 0,85 dapat mendeteksi
hipertensi (Liu dkk, 2011). Menurut temuan dari studi MONICA
(2002) menyebutkan bahwa peningkatan 2,5 cm lingkar pinggang
(LP) untuk perempuan sesuai dengan peningkatan tekanan darah
sistolik 1 mmHg (Krause dkk, 2009). Berdasarkan uraian tersebut diatas,
maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara indikator
obesitas berdasarkan indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan rasio
lingkar pinggang lingkar panggul dengan kejadian hipertensi pada pasien di
puskesmas biru.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada Hubungan antara Indikator Obesitas Berdasarkan Indeks
Massa Tubuh (IMT), Lingkar Pinggang (LP), dan Rasio Lingkar
Pinggang Lingkar Panggul (RLPP) dengan Kejadian Hipertensi pada
Pasien?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Mengetahui Hubungan antara Indikator Obesitas Berdasarkan Indeks
Massa Tubuh (IMT), Lingkar Pinggang (LP), dan Rasio Lingkar
Pinggang Lingkar Panggul (RLPP) dengan Kejadian Hipertensi.

1.3.2. Tujuan Khusus


a. Mengetahui Hubungan antara Indikator Obesitas Berdasarkan
Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Kejadian Hipertensi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2 . 1 . TINJAUAN TEORI

2.1.1. Hipertensi

2.1.1.1. Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah di arteri yang bersifat sistemik


alias berlangsung terus-menerus untuk jangka waktu lama. Hipertensi
tidak terjadi tiba-tiba, melainkan melalui proses yang cukup lama.
Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol untuk periode tertentu
akan menyebabkan tekanan darah tinggi permanen yang disebut
hipertensi (Lingga, 2012). Untuk menentukan terjadi atau tidaknya
hipertensi diperlukan setidaknya tiga kali pengukuran tekanan darah pada
waktu yang berbeda. Jika dalam tiga kali pengukuran selama interval 2-8
pekan angka tekanan darah tetap tinggi, maka patut dicurigai sebagai
hipertensi. Pengecekan retina mata dapat menjadi cara sederhana untuk
membantu menentukan hipertensi pada diri seseorang (Lingga, 2012).
Hipertensi biasa dicatat sebagai tekanan sistolik dan diastolik . Tekanan
sistolik merupakan tekanan darah maksimum dalam arteri yang disebabkan
sistoleventricular . Hasil pembacaan tekanan sistolik menunjukkan tekanan
atas yang nilainya lebih besar. Sedangkan tekanan diastolik merupakan
tekanan minimum dalam arteri yang disebabkan oleh diastoleventricular
(Widyanto, S. & Triwibowo, C., 2013). Hipertensi adalah suatu
kondisi saat nilai tekanan sistolik>140 mmHg atau nilai tekanan
diastolik>90 mmHg. Menurut InaSH (Perhimpunan Hipertensi
Indonesia), untuk menegakkan diagnosis hipertensi perlu dilakukan
pengukuran tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila tekanan
darah kurang dari 160/100 mmHg (Garnadi, 2012).

2.1.1.2. Batasan Hipertensi


Batasan mengenai tekanan darah tersebut ditetapkan dan dikenal
dengan ketetapan JNC VII
(The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of Hight Blood Pressure).
Ketetapan ini juga telah disepakati WHO, organisasi hipertensi
internasional, maupun organisasi hipertensi regional, termasuk yang
ada di Indonesia (Susilo dan Wulandari, 2010). Dari batasan tersebut
terlihat bahwa mereka yang mempunyai tekanan darah normal yaitu bila
tekanan darahnya lebih rendah dari 120/80 mmHg. Di atas dari batasan
tersebut sudah termasuk dalam kategori pre-hipertensi dan atau hipertensi
(Susilo dan Wulandari, 2010).

2.1.1.3. Klasifikasi Hipertensi


Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan menggunakan
sfigmomanometer air raksa atau dengan tensimeter digital. Hasil dari
pengukuran tersebut adalah tekanan darah sistolik maupun diastolik yang
dapat digunakan untuk menentukan hipertensi atau tidak. Terdapat
klasifikasi hipertensi pada hasil pengukuran tersebut. Adapun
klasifikasi hipertensi menurut JNC VII 2003 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VII 2003
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 <80 Prehipertensi 120-139 80-90 Hipertensi Tingkat I
140-159 90-99 Hipertensi Tingkat II >160 >100
Sumber : JNC VII 2003 (Garnadi, 2012)
JNC VII-Seventh report of joint national comitte on prevention,
detection, evaluation and treatment of high blood pressure-
adalah suatu komite hipertensi di Amerika Serikat (USA). Komite ini
menerbitkan klasifikasi derajat hipertensi, serta menangani masalah
pencegahan, deteksi, evaluasi, dan penanganan hipertensi di negeri tersebut
(Garnadi, 2012).

2.1.1.4. Etiologi Hipertensi


Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi dalam dua golongan yaitu :
a. Hipertensi esensial (hipertensi primer) Sekitar 90-95% penderita
hipertensi adalah hipertensi primer. Hipertensi primer biasanya
dimulai sebagai proses labil (intermitten) pada individu pada akhir 30-
an dan awal 50-an yang secara bertahap akan menetap. Hipertensi
primer secara pasti belum diketahui penyebabnya.Beberapa
penelitian membuktikan bahwa hipertensi primer dini didahului oleh
peningkatan curah jantung, kemudian menetap dan menyebabkan
peningkatan tahanan tepi pembuluh darah total. Gangguan emosi,
obesitas, konsumsi alkohol yang berlebih, rangsang kopi yang berlebih,
rangsang konsumsi tembakau, obat-obatan, dan keturunan
berpengaruh pada proses terjadinya hipertensi primer. Penyakit
hipertensi lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria. b. Hipertensi
sekunder Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang disebabkan karena
gangguan pembuluh darah atau organ tertentu. Secara sederhananya,
hipertensi sekunder disebabkan karena adanya penyakit lain. Berbeda
dengan hipertensi primer, hipertensi sekunder sudah diketahui penyebabnya
seperti disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, obat dan lain
sebagainya.
1. Penyakit parenkim ginjal Permasalahan pada ginjal yang menyebabkan
kerusakan parenkim akan menyebabkan hipertensi. Kondisi hipertensi
yang ditimbulkan akan semakin memperparah kondisi kerusakan
ginjal. Sekitar 80% penderita hipertensi pada anak-anak disebabkan oleh
penyakit ginjal.
2. Hipertensi renovaskular Hipertensi renovaskular menyebabkan
gangguan dalam vaskularisasi darah ke ginjal seperti arterosklerosis.
Penurunan pasokan ginjal akan menyebabkan produksi renin pisilateral
dan meningkatkan tekanan darah, sering diatasi secara farmakologis
dengan ACE inhibitor. Hipertensi pada kehamilan termasuk dalam
hipertensi renovaskular ini.
3. Endokrin Gangguan aldosteronisme primer akan berpengaruh terhadap
hipertensi. Tingginya kadar aldosteron dan rendahnya kadar renin
mengakibatkan kelebihan natrium dan air sehingga berdampak pada
meningkatnya tekanan darah.
4. Obat Obat-obatan yang dapat menyebabkan hipertensi adalah alat
kontrasepsi KB hormonal seperti pil atau suntik, kortikosteroid, dan
obat anti depresi trisiklik. Kebanyakan alat kontrasepsi mengandung
kombinasi estrogen dan progresteron dalam proporsi yang bervariasi dan
mungkin bertentangan dengan system renin-angiotensin
yang menjaga keseimbangan regulasi cairan tubuh (Widyanto dan
Triwibowo, 2013).

2.1.1.5. Gejala Hipertensi


Walaupun penyakit ini dianggap tidak memiliki gejala awal, sebenarnya ada
beberapa gejala yang tidak terlalu tampak sehingga sering tidak
dihiraukan oleh penderita. Gejala-gejala yang dirasakan penderita hipertensi
antara lain pusing, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak nafas,
rasa berat di tengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang, mimisan
(jarang dilaporkan), muka pucat, suhu tubuh rendah. Gejala-gejala
yang sifatnya khusus tersebut akan terasa pada kondisi atau aktivitas
tertentu berhubungan dengan perubahan dan proses-proses metabolisme
tubuh yang sedikit terganggu.
a. Kondisi istirahat Gejala hipertensi pada kondisi istirahat berupa
kelemahan dan letih, nafas pendek, gaya hidup monoton, frekuensi
jantung meningkat.
b. Berkaitan dengan sirkulasi darah Gejala hipertensi berkaitan dengan sirkulasi
darah berupa kenaikan tensi darah, nadi denyutan jelas, kulit pucat, suhu
dingin akibat pengisian pembuluh kapiler mungkin melambat.
c. Kondisi emosional Berkaitan dengan masalah emosional, seseorang pasti
mengalami riwayat perubahan kepribadian. Hal tersebut dapat dipicu
oleh faktor-faktor multiple stress atau tekanan yang bertumpuk seperti
hubungan dengan orang lain, keuangan, pekerjaan, dan sebagainya.
Gejala hipertensi berkaitan dengan kondisi emosional berupa fluktuasi
turun naik, suasana hati yang tidak stabil, rasa gelisah, penyempitan
perhatian, tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela,
peningkatan pola bicara.
d. Kondisi makanan dan pencernaan Gejala-gejala hipertensi berkaitan dengan
kondisi makanan dan pencernaan berupa makanan yang disukai mencakup
makanan tinggi natrium, lemak serta kolesterol, sering mual dan
muntah, perubahan berat badan secara drastis (meningkat/turun), riwayat
penggunaan obat diuretik, adanya edema, glikosuria.
e. Berhubungan dengan respon saraf Gejala hipertensi berhubungan dengan
respons saraf, berupa keluhan pusing, berdenyut-denyut, sakit kepala
terjadi saat bangun dan menghilang secara spontan setelah beberapa jam,
gangguan penglihatan, misalnya penglihatan kabur, perubahan
keterjagaan, gangguan orientasi, pola isi bicara berubah, proses pikir
terganggu, penurunan kekuatan genggaman tangan, sering batuk, gangguan
koordinasi/cara berjalan, perubahan penurunan postural (Sutanto, 2010).

2.1.1.6. Faktor Risiko


Faktor risiko hipertensi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu
faktor risiko yang dapat dikontrol dan faktor risiko yang tidak dapat
dikontrol. a. Faktor risiko yang tidak dapat dikontrol:
1. Umur Pada umumnya tekanan darah akan naik dengan bertambahnya
umur terutama setelah umur 40 tahun. Hal itu disebabkan oleh kaku
dan menebalnya arteri karena
arteriosclerosis sehingga tidak dapat mengembang pada saat jantung
memompa darah melalui arteri tersebut.
2. Jenis kelamin Pria cenderung mengalami tekanan darah yang tinggi
dibandingkan dengan wanita. Rasio terjadinya hipertensi antara pria dan
perempuan sekitar 2,9 untuk kenaikan tekanan darah sistolik dan 3,6
untuk kenaikan tekanan darah diastolik. Laki-laki cenderung memiliki
gaya hidup yang dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan
perempuan.Tekanan darah pria mulai meningkat ketika usianya berada
pada rentang 35-50 tahun. Kecenderungan seorang perempuan terkena
hipertensi terjadi pada saat menopause karena faktor hormonal.
3. Keturunan Sekitar 70-80% orang dengan hipertensi-hipertensi
primer ternyata memiliki riwayat hipertensi dalam keluarganya. Apabila
riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka risiko
terjadinya hipertensi primer 2 kali lipat dibanding dengan orang lain yang
tidak mempunyai riwayat hipertensi pada orang tuanya. Faktor genetik yang
diduga menyebabkan penurunan risiko terjadinya hipertensi terkait pada
kromosom 12p dengan fenotip postur tubuh pendek disertai
brachydactyly dan efek neurovaskuler. b. Faktor risiko yang dapat
dikontrol:
1. Obesitas Faktor risiko penyebab hipertensi yang diketahui dengan baik
adalah obesitas. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu
keadaan akumulasi lemak berlebih di jaringan adiposa. Kondisi
obesitas berhubungan dengan peningkatan volume intravaskuler dan curah
jantung. Daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi
dengan obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan penderita hipertensi dengan
berat badan normal.
2. Merokok Menurut Winnifor (1990), merokok dapat meningkatkan
tekanan darah dan denyut jantung melalui mekanisme sebagai berikut :
Merangsang saraf simpatis untuk melepaskan norepineprin melalui saraf
arenergi dan meningkatkan catecolamine yang dikeluarkan melalui medulla
adrenal. Merangsang kemoreseptor di arteri karotis dan aorta bodies
dalam meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Secara langsung
melalui otot jantung yang mempunyai efek inotropik (+) dan efek
chonotropik.
3. Alkohol Penggunaan alkohol secara berlebihan juga dapat meningkatkan
tekanan darah. Mungkin dengan cara meningkatkan katekolamin plasma
(Widyanto dan Triwibowo, 2013).

2.1.1.7. Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer
( peripheral resistance). Tekanan darah membutuhkan aliran darah melalui
pembuluh darah yang ditentukan oleh kekuatan pompa jantung (cardiac
output ) dan tahanan perifer. Sedangkan cardiac output dan tahanan
perifer dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi yaitu
natrium, stress, obesitas, genetik, dan faktor resiko hipertensi lainnya.
Peningkatan tekanan darah melalui mekanisme :
a. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan darah lebih
banyak cairan setiap detiknya.
b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga
tidak dapat mengembang saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut.
Karena itu, darah dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dan
menyebabkan naiknya tekanan darah. Penebalan dan kakunya dinding arteri
terjadi karena adanya arterosklerosis, tekanan darah juga meningkat
saat terjadi vasokonstriksi yang disebabkan rangsangan saraf atau
hormon.
c. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi dapat meningkatkan tekanan
darah. Hal ini dapat terjadi karena kelainan fungsi ginjal sehingga
tidak mampu membuang natrium dan air dalam tubuh sehingga volume
darah dalam tubuh meningkat yang menyebabkan tekanan darah juga
meningkat. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan
menghasilkan enzim yang disebut rennin, yang memicu pembentukan
hormone angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormone
aldosteron (Widyanto dan Triwibowo, 2013).

2.1.1.8. Dampak Jangka Panjang dari Hipertensi


a. Jantung Jantung adalah otot yang membutuhkan suplai darahnya
sendiri, yang dibawa oleh arteri koronaria. Jika arteri ini menyempit,
darah tidak dapat mencapai otot jatung secara efisien. Jadi ketika
jantung harus bekerja lebih cepat daripada biasanya, misalnya ketika sedang
berjalan mendaki gunung, otot jantung tidak bisa mendapatkan suplai darah
dan oksigen yang dibutuhkan. Ini menyebabkan rasa sakit di dada,
disebut miokardial iskemia atau angina.
b. Arteri Trombosis Jika arteri koronaria menyempit dan kemudian
darah menggumpal, bagian otot jantung yang bergantung pada arteri
koronaria kemudian mati. Ini disebut arteri thrombosis, suatu infarksi
miokardial, atau serangan jantung.
c. Gagal Jantung Selama bertahun-tahun, ketika arteri menyempit dan
menjadi kurang lentur sebagai akibat hipertensi, jantung semakin sulit
memompakan darah secara efisien ke seluruh tubuh. Beban kerja
yang meningkat ini akhirnya merusak jantung dan menghambat kerjanya.
Adanya cairan dalam paru-paru menyebabkan nafas jadi pendek. Ini disebut
kegagalan kardiak kongestif, atau kegagalan jantung.
d. Stroke Penyempitan arteri yang membawa darah dan oksigen ke
otak dapat menyebabkan ketidakberfungsian sementara pada otak
yang dilayani oleh arteri tersebut. Ini disebut serangan ischemik
transien (TIA). Penyumbatan secara permanen pada arteri karena
penggumpalan darah menyebabkan kematian pada bagian otak yang
bergantung pada arteri itu, yang kemudian menimbulkan stroke.
e. Rusaknya pembuluh darah di kaki Pembuluh darah yang lebih kecil di kaki
dapat menjadi rusak, sehingga darah yang menuju kaki menjadi kurang
dan rasa sakit pada otot betis ketika berjalan.
f. Ginjal Ketika pembuluh darah yang menyuplai ginjal terkena
dampaknya dapat mengakibatkan kerusakan ginjal secara bertahap. Ini
sebabnya mengapa tes darah untuk memeriksa fungsi ginjal adalah bagian
yang penting dari pemeriksaan rutin pada siapapun yang menderita hipertensi.
g. Kerusakan retina Pembuluh darah kecil di mata dapat juga terkena
dampaknya, meskipun tidak teramati sampai kerusakannya meluas.
Jarang terjadi hipertensi yang berat menimbulkan kerusakan retina dengan
perdarahan. Kondisi ini disebut hipertensi yang ganas, dengan pengobatan
yang baik masih ada harapan (Beavers, 2008).

2.1.2. Obesitas
2.1.2.1. Definisi Obesitas
Obesitas atau yang biasa dikenal sebagai kegemukan, merupakan suatu
masalah yang cukup merisaukan di kalangan remaja. Obesitas atau
kegemukan terjadi pada saat badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan
penumpukan jaringan adiposa secara berlebihan. Jadi obesitas adalah keadaan
dimana seseorang memiliki berat badan yang lebih berat dibandingkan berat
badan idealnya yang disebabkan terjadinya penumpukan lemak di tubuhnya.
Sedangkan berat badan berlebih (overweight ) adalah kelebihan berat badan
termasuk di dalamnya otot, tulang, lemak dan air (Proverawati, 2010).

2.1.2.2. Penyebab Obesitas


Secara ilmiah, obesitas terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih
banyak dari yang diperlukan oleh tubuh. Ada berbagai macam faktor
yang menyebabkan terjadinya obesitas :
a. Faktor Genetik Obesitas cenderung diturunkan, anggota keluarga
tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya hidup.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik
memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang.
b. Faktor Pola Makan Terlalu banyak makan akan menyebabkan penambahan
berat badan terutama jika makanan yang dikonsumsi banyak
mengandung lemak dan gula, misalnya makanan siap saji, seperti
gula, fruktosa, soft drink, bir, dan wine karena karbohidrat jenis ini lebih
mudah diserap oleh tubuh.
c. Faktor Psikis Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap
emosinya dengan makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi
diri yang negatif.
d. Faktor Kesehatan Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas,
diantaranya adalah hipotiroid, sindroma cushing, sindroma prader-willi,
resistensi insulin, dan beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan
seseorang banyak makan. Selain itu, beberapa obat-obatan juga dapat memicu
obesitas.
e. Faktor Perkembangan Perkembangan seseorang dari anak-anak ke
remaja dan dewasa juga sering disertai dengan perubahan berat badan.
Obesitas bisa terjadi karena pada masa perkembangan ini terjadi perubahan
hormonal.
f. Faktor Aktivitas Fisik Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan
merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya angka
obesitas di tengah masyarakat yang makmur.
g. Faktor Ras Orang-orang kulit hitam dan orang Hispanik mempunyai
kecenderungan lebih mudah menjadi gemuk dibandingkan dengan orang-
orang Kaukasian dan Asia. Ini berkaitan dengan pola makan dan gaya
hidup masing-masing orang di lingkungan yang berbeda.
h. Faktor Berat Badan Saat Anak-Anak Obesitas yang terjadi pada masa
anak-anak dan remaja juga akan mempengaruhi tingkat obesitas seseorang
pada masa dewasa.
i. Faktor Hormon Kerja hormon juga sangat mempengaruhi obesitas
seseorang. Perempuan lebih mudah obesitas terutama saat hamil,
menopause, dan saat mengkonsumsi kontrasepsi oral
j. Faktor dari segi akupunktur Obesitas dari segi ilmu akupunktur
dapat disebabkan oleh defisiensi limpa, lembab yang berlebihan, ekses dan
panas lambung sehingga proses pencernaan tidak berlangsung
sebagaimana biasanya (Proverawati, 2010).

2.1.2.3. Metode Pengukuran Antropometri Tubuh sebagai Skrining


Obesitas
Beberapa metode pengukuran antropometri tubuh yang dapat digunakan
sebagai skrining obesitas adalah :
a. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) adalah indeks
sederhana, dan biasa digunakan untuk mengklasifikasikan obesitas
pada orang dewasa. Indeks ini telah direkomendasikan oleh
World Health Organizatio (WHO) dan The Expert committee on
Clinical Guidelines for Overweight in Adolescent Preventive Services
sebagai baku pengukuran untuk menentukan obesitas. Body Mass Index
didefinisikan sebagai berat badan (BB) dalam kg dibagi dengan tinggi badan
(TB) dalam m2(kg/m2). Dikatakan overweight bila IMT>25 kg/m2
sedangkan obesitas apabila IMT>30 kg/m2 berdasarkkan umur dan jenis
kelamin (Haris dan Tambunan, 2009). Obesitas pada dasarnya bertingkat-
tingkat. Semakin banyak lemak di dalam tubuh, maka tingkat obesitas
semakin besar. Klasifikasi yang digunakan disini adalah kategori
berdasarkan aturan untuk orang-orang di Asia Pasifik, Indonesia
termasuk bagian dari Asia Pasifik (Mumpuni dan Wulandari, 2010).
Tabel 2.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) orang Indonesia
dewasa IMT (kg/m) Kategori Keadaan < 17 Kekurangan berat
badan tingkat berat Kurus 17,0 – 18,5Kekurangan badan tingkat
ringan 18,5 – 25 Normal Normal>25,0 –27,0 Kelebihan berat badan
tingkat ringan Gemuk >27 Kelebihan berat badan tingkat berat
Sumber : Depkes RI, 2006
Berdasarkan Third Report National Cholesterol Education Program
expert panel on Deecion, valuation, and treatment of High Blood
Cholesterol in Adult (Adult Treatment Panel III), NCEP III berat
badan diklasifikasikan menjadi normal (IMT 18,5-24,9), overweight
(IMT>25), dan obesitas (IMT>30). Pada populasi Asia ditemukan
bahwa, morbiditas dan mortalitas terjadi pada populasi dengan IMT
yang lebih rendah. Oleh karena itu dibuatlah kriteria khusus untuk
obesitas untuk populasi dewasa Asia, yaitu overweigh bila IMT>23
dan obesitas bila IMT>25 (Inoue dkk 2000 dalam Lilyasari, 2007).
Kelemahan klasifikasi dengan IMT ini adalah tidak memperhitungkan
struktur fisik atau tulang, dan tidak membedakan apakah berat
tersebut berasal dari otot atau akibat lemak dari makanan siap saji.
Jadi, jika seseorang termasuk dalam golongan berotot, IMT-nya
mungkin berada pada rentang obesitas, tetapi bukan berarti orang
tersebut termasuk kategori penderita obesitas. Untuk lebih jelasnya,
sebagai contoh pada masa puncak karirnya Arnold Schwarzenegger
memiliki IMT 33. IMT 33 berarti masuk dalam kategori obesitas,
padahal IMT tersebut berasal dari ototnya, bukan dari timbunan
lemak dalam tubuh. Jadi, pengukuran dengan metode IMT ini ada
kekurangannya. Untuk mengatasinya, sebagian besar dokter menggunakan
pengukuran berdasarkan masssa lemak tubuh sebagai indeks obesitas
(Mumpuni dan Wulandari, 2010). IMT merupakan indikator kasar karena
dipengaruhi oleh bentuk tubuh. Orang yang berotot bisa saja memiliki
IMT tinggi tetapi bukan akibat lemak yang tidak sehat. Usia dan jenis
kelamin juga dapat mempengaruhi IMT. Beberapa ahli mengatakan
bahwa pria dapat memiliki IMT yang sedikit lebih tinggi sebelum risiko
mereka meningkat. Hal ini mungkin disebabkan karena pria biasanya
lebih berotot dibandingkan wanita (Palmer dan Williams, 2007). Perlu
diingat pula bahwa ada beberapa keadaan yang dapat mengganggu
keakuratan IMT, seperti edema, otot mengecil (pengidap
KKP/Kekurangan Kalori dan Protein) atau membesar (atlet), pengidap
kifoskoliosis, tinggi tidak normal, usia dan etnis. Indeks Massa Tubuh
hanya cocok diterapkan pada mereka yang berusia antara 19-70 tahun,
mempunyai struktur tulang belakang yang normal, bukan atlet atau
binaragawan, juga bukan merupakan wanita hamil atau menyusui
(Arisman, 2010). Kelemahan pengukuran antropometri dengan
a. IMT (Indeks Massa Tubuh)
adalah tidak dapat menilai distribusi timbunan lemak dalam tubuh
sehingga kurang sensitif untuk menentukan obesitas sentral.
Massa tubuh terdiri dari berat lemak/fat mass dan berat lemak
bebas/fat free mass yang terdiri dari tulang, otot, dan cairan.
Dengan demikian tingginya nilai IMT tidak selalu karena lemak,
dapat disebabkan karena otot seperti pada seorang binaragawan
atau atlet. Jumlah otot yang tinggi dapat menghasilkan nilai IMT
yang tinggi juga sehingga IMT dapat menyebabkan
misklasifikasi untuk menghitung lemak tubuh (Sunarti dan
Maryani, 2013).
b. Lingkar Pinggang (LP)
Lingkar pinggang merupakan pengukur distribusi lemak abdominal yang
mempunyai hubungan erat dengan indeks massa tubuh (Destyana dkk,
2009). Lingkar pinggang merupakan indikator yang digunakan untuk
mengetahui banyaknya kelebihan lemak di perut. Lingkar pinggang diukur
dengan posisi tegak, pada titik di garis linea axillaris, pada pertengahan antara
batas bawah arcus costae dan crista illica (Arisman, 2010). Ukurlah
lingkar pinggang di titik tengah antara tepi bawah iga dan tepi atas panggul
(Palmer dan Williams, 2007). Lingkar pinggang menggambarkan
akumulasi lemak intra abdominal atau lemak visceral
. Lingkar pinggang diperoleh melalui hasil pengukuran lingkar tepat
dibawah tulang rusuk terendah (Novianingsih dan Kartini, 2012).
Obesitas yang berbentuk apel lebih berbahaya dibandingkan obesitas yang
berbentuk pear. Yang berbahaya adalah timbunan lemak di dalam
rongga perut, yang kemudian disebut sebagai obesitas sentral.
Adanya timbunan lemak di perut tercermin dari meningkatnya
lingkar pinggang. Sebagai patokan, pinggang yang berukuran >90 cm,
merupakan tanda bahaya bagi pria. Sedangkan untuk wanita, risiko
tersebut meningkat apabila lingkar pinggang >80 cm (Proverawati, 2010).
Kriteria obesitas viseral adalah lingkar perut atau pinggang >94 cm
(laki-laki) dan >80 cm (perempuan) sedangkan kriteria obesitas
sentral untuk populasi dewasa Asia adalah lingkar perut atau
pinggang >90 cm untuk laki-laki dan >80 cm untuk perempuan
(Lilyasari, 2007). Untuk laki-laki dengan LP>90 cm atau perempuan
dengan LP>80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral (WHO Asia
Pasifik, 2005 dalam Kemenkes RI, 2013).
c. Rasio Lingkar Pinggang Lingkar Panggul
(RLPP)
Rasio Lingkar Pinggang dan Panggul yaitu perbandingan antara lingkar
pinggang dan lingkar panggul. Pinggang diukur pada titik tersempit,
sedangkan panggul diukur pada titik yang terlebar. Kemudian, ukuran
pinggang dibagi dengan ukuran panggul. Pembengkakan rasio lingkar
pinggang lingkar panggul (laki-laki>1,0 dan wanita>0,85) menandakan
obesitas (Arisman, 2010). Rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) adalah
salah satu indeks antropometri yang menunjukkan status
kegemukan,terutama central obesity atau abdomen adiposity . Seseorang
dikatakan overweight jika hasil RLPP lebih dari 0,90 sedangkan
seseorang dikatakan obesitas jika RLPP kurang dari 0,80 (Depkes RI,
2006). Rasio lingkar pinggang dan panggul dianggap lebih mudah diterapkan
di Indonesia karena parameternya berupa perbandingan atau rasio.
Kemungkinan memiliki perbedaan standar nilai antropometri dengan
ras lain lebih kecil dibandingkan dengan lingkar pinggang saja. Selain itu
kedua pemeriksaan ini sering digunakan karena teknik penilaiannya
sederhana dan murah (Sunarti dan Maryani, 2013).

2 . 2 . LANDASAN TEORI
2.2.1. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan
Hipertensi
Dengan menghitung Indeks Massa Tubuh, dapat mengetahui apakah berat
badan membuat berisiko menyandang tekanan darah tinggi (Palmer dan
Williams, 2007). Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini
berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi
meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar dari dinding arteri.
Seseorang yang gemuk lebih mudah terkena hipertensi. Purwati
(2005) menyatakan wanita yang sangat gemuk pada usia 30 tahun
mempunyai risiko terserang hipertensi 7 kali lipat dibandingkan dengan yang
langsing dengan usia sama (Yeni dkk, 2010). Risiko kesehatan yang
berhubungan dengan obesitas akan meningkat sejalan dengan meningkatnya
angka BMI :
Resiko rendah : BMI < 27
Resiko menengah : BMI 27-30
Resiko tinggi : BMI 30-35
Resiko sangat tinggi : BMI 35-40
Resiko sangat-sangat tinggi : BMI 40 atau lebih (Soeria, 2013)

Penelitian terhadap 772 orang subyek Cina menunjukkan bahwa pada subjek
laki-laki dengan nilai IMT lebih dari 23,0 kg/m2 sedangkan pada subjek
perempuan nilai IMT lebih dari 23,30 kg/m2 dapat mendeteksi
hipertensi (Liu dkk, 2011). Sementara itu studi yang dilakukan oleh
Inou dkk (1997) menyebutkan bahwa, risiko hipertensi akan
meningkat dua kali pada subyek yang mempunyai BMI>25 kg/m2
dibandingkan dengan subyek yang mempunyai BMI 22 kg/m`2
(Lilyasari, 2007). Sejalan dengan penelitian dari He (2000),
peningkatan satu unit IMT dapat dihubungkan dengan peningkatan 0,56
mmHg tekanan sistolik dan diastolik pada orang obes (Sarah dan Tjipta,
20130). Semakin besar Indeks Massa Tubuh maka tekanan darah akan
semakin tinggi. Setiap kenaikan satu satuan IMT, maka akan
menaikkan tekanan darah sistolik sebesar 1,148 mmHg dan diastolik sebesar
1,211 mmHg (Widyaningsih dan Latifah, 2008). Manifestasi awal
hipertensi pada obesitas diawali oleh hipertensi sistolik tanpa disertai
hipertensi diastolik (isolated systolic hypertension).
Pengukuran tekanan darah pada remaja dengan obesitas, ditemukan 94%
subjek hipertensi sistolik. Selain itu didapatkan bahwa tekanan darah
turun pada pasien overweight dengan hipertensi yang kehilangan berat badan
yng rata-rata 10,5 kg (Syafrudin dan Tambunan, 2009).

2.2.2. Hubungan Lingkar Pinggang (LP) dan


Hipertensi
Secara sederhana, lingkar pinggang adalah segmen berdiameter terkecil yang
diukur melingkari titik yang terletak beberapa cm di atas umbilicus.
Selama pengukuran, subjek diminta untuk bernafas normal. Hasil
pengukuran dibaca hingga 0,5 cm terdekat. Pertambahan ukuran
lingkar pinggang (LP) dapat dijadikan penanda peningkatan risiko penyakit,
meskipun berat badan (bb) masih tertimbang normal (Arisman, 2010).
Untuk pria, lingkar pinggang >90 cm dan >80 cm untuk wanita menandakan
peningkatan risiko penyakit (Palmer dan Williams, 2007). Pengukuran lingkar
pinggang adalah prediktor kuat hipertensi. Obesitas sentral telah sangat
terkait dengan tingginya prevalensi hipertensi. Wanita dengan lingkar
pinggang yang lebih dari normal mengalami pningkatan tiga kali lipat
untuk mengalami hipertensi. Temuan dari studi MONICA (2002),
peningkatan 2,5 cm lingkar pinggang untuk perempuan sesuai dengan
peningkatan tekanan tekanan darah sistolik 1 mmHg (Krause
dkk, 2009). Penelitian terhadap 772 orang subyek Cina
menunjukkan bahwa pada subjek laki-laki lingkar pinggang 89,05 cm
sedangkan pada subjek perempuan, lingkar pinggang 90,90 cm dapat
mendeteksi hipertensi (Liu dkk, 2011).

2.2.3. Hubungan Rasio Lingkar Pinggang Lingkar


Panggul (RLPP) dan Hipertensi
Untuk memperoleh ukuran lingkar pinggang, tentukan terlebih dahulu
bagian terbawah arkus aorta dan krista iliaka. Lingkar pinggang diukur dengan
melingkarkan pita ukur, sejajar lantai, di sekeliling perut melalui titik (pada
linea aksilaris) pertengahan antara kedua bagian tersebut, pengukuran
dilakukan dalam keadaan subyek berdiri tegak dengan tungkai direnggangkan
selebar kira-kira 25-30 cm. Sebelum pengukuran dilaksanakan, subjek
hendaknya berpuasa sepanjang malam (Arisman, 2010). Lingkar panggul
diukur dengan melingkarkan pita ukur, sejajar lantai, di sekeliling
panggul melalui dua buah titik : trokanter mayor kiri dan kanan.
Perbandingan ukuran lingkar pinggang terhadap lingkar panggul adalah
parameter sederhana yang mencerminkan distribusi lemak tubuh, baik lemak
bawah kulit maupun lemak intra-abdomen. Penilaian rasio ini merupakan cara
tradisional untuk menentukan apakah seseorang beresiko terhadap gangguan
tertentu akibat penimbunan lemak intra-abdomen yang berlebihan (Arisman,
2010). Pengukuran rasio lingkar pinggang panggul lebih sensitive dalam
menilai distribusi lemak dalam tubuh terutama yang berada di dinding
abdomen. Rasio lingkar pinggng lingkar panggul dihitung dengan membagi
ukuran lingkar pinggang dengan lingkar panggul. Ukuran lingkar pinggang,
menggambarkan tingginya deposit lemak berbahaya dalam tubuh, sementara
lingkar panggul merupakan faktor protektif terhadap kejadian
hipertensi. Faktor risiko hipertensi akan muncul apabila rasio lingkar
pinggang dan panggul dengan nilai lebih atau sama dengan 0,85
pdaperempuan dan 0,90 pada laki-laki. Dibandingkan dengan IMT
pengukuran ini tiga kali lebih besar merefleksikan keberadaan lemak
berbahaya dalam dinding abdomen (Sunarti dan Maryani, 2013). Rasio lingkar
pinggang lingkar perut dapat digunakan untuk mendeteksi kelebihan lemak
tubuh pada seseorang akurat untuk mendeteksi risiko penyebab berbagai
penyakit, termasuk hipertensi (Isnaini dkk, 2010). Penelitian pada subjek
laki-laki nilai rasio lingkar pinggang lingkar panggul 0,92 dapat mendeteksi
hipertensi. Sedangkan pada subjek perempuan nilai rasio lingkar pinggang
lingkar panggul 0,85 dapat mendeteksi hipertensi (Liu dkk, 2011).
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Metode dan Desain penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik menggunakan
metode cross sectional untuk melihat hubungan antara obesitas
berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT).

3.2 variabel
1. variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah hipertensi dan
tidak hipiertensi pada obesitas .
2. variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian
obesitas pada umur >45 thn.

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 november 2018 di puskesmas
BIRU.

3.4. Subjek Penelitian


3.3.1. Populasi
Populasi adalah semua pasien di Poli umum puskesmas biru, baik pasien lama
maupun pasien baru.

3.3.2. Sampel
Sampel adalah semua pasien di Poli umum di puskemas biru, baik pasien lama
maupun pasien baru yang telah ditentukan dalam kriteria penelitian.

3.3.2.2. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling.
Sampel dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok
kontrol.

a. Kasus adalah pasien di Poli umum puskesmas biru dengan diagnosa


Hipertensi yang mempunyai kriteria sebagai berikut :
1. Kriteria inklusi :
Bersedia ikut penelitian sampai selesai dan bisa berkomunikasi dengan baik.
Berusia >45 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
2. Krieria ekslusi :
- Memiliki riwayat hipertensi
-Mengomsumsi alkohol
-Mengomsumsi obat anti hipertensi

3.5. Instrumen Penelitian


Alat yang digunakan dalam penelitian, yaitu :
E l e c t r o n i c d i g i t a l s c a l e , kapasitas 150 kg dengan ketelitian
0,1 kg.
a. Microtoise dengan kapasitas 200 cm dan tingkat ketelitian 0,1 cm.
b. Pita ukur tidak elastis dengan ketelitian 0,1 cm kapasitas 150 cm.
c. Data Rekam Medis berupa data status pasien untuk mencatat data
tekanan darah dan mengetahui diagnosa dari dokter.
d. Kuesioner untuk mencatat hasil pengukuran dan mengetahui
karekteristik dari subjek penelitian.

3.6. Teknik Pengumpulan Data


3.6.1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif yaitu data mengenai
berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, lingkar panggul, dan tekanan
darah.
3.6.2. Sumber Data
3.6.2.1. Data Primer
Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti, meliputi :
a. Data berat badan, diperoleh melalui penimbangan langsung dengan
menggunakan e l e c t r o n i c d i g i t a l s c a l e dengan tingkat ketelitian
0,1 kg. Cara mengukur berat badan :
Responden diminta untuk melepaskan alas kaki, mengeluarkan semua benda
berat dalam kantong baju maupun kantong celana serta tidak
menggunakan pakaian yang berat dan berlebih, seperti jaket. Responden
diminta untuk naik ke atas electronic digital scale, berdiri tegak dalam
keadaan tenang, lengan di samping badan, melihat lurus ke depan sampai
muncul angka di angka display. U n i s c a l e dapat diukur setelah tertera
angka di layar. A n g k a y a n g t e r t e r a s e g e r a d i c a t a t .
b. Data tinggi badan diperoleh melalui pengukuran langsung dengan
menggunakan microtoise, dengan kapasitas 200 cm dan tingkat
ketelitian 0,1 cm. Cara mengukur tinggi badan :
Responden diminta untuk melepas alas kaki.
Responden berdiri tegak sejajar dengan garis lurus
microtoice.

3.7.2. Analisa Data


a. Seluruh subyek penelitian dihitung IMT, LP dan RLPP, kemudian
dimasukkan ke dalam kategori yang telah ditentukan.
b. Hubungan antara IMT, LP, dan RLPP masing–masing dianalisis
dengan menggunakan uji Chi-square dengan tingkat kemaknaan 0,05. Bila
pada perhitungan Chi-square tabel 2 x 2 ada sel yang nilai harapan (nilai E)<5
maka digunakan uji Fisher Exact sebagai uji alternatif (Sabri & Hastono,
2008). Dalam pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada probabilitas Ho
ditolak jika p<
α.Rumus
Chi –squareyang digunakan adalah :
2= ∑ (O-E)2E DF = ( k – 1 ) ( b –1 ) Keterangan : 2 = lambang Chi
square O = nilai observasi E = nilai yang diharapkan DF = derajat kebebasan
(untuk tabel 2 x 2, nilainya 1) k = jumlah kolom b = jumlah baris c. Untuk
melihat pengaruh variabel counfonding terhadap hubungan antara obesitas
berdasarkan indeks massa tubuh, lingkar pinggang, rasio lingkar
pinggang lingkar panggul dengan hipertensi dilakukan analisis multivariat
dengan uji Regresi Logistik. Variabel counfonding berpengaruh jika ada
perubahan nilai OR>20%. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis
multivariat adalah:
1. Pemilihan variabel kandidat yang akan masuk dalam analisis
multivariat berdasarkan hasil analisis bivariat. Pemilihan variabel dapat
berdasarkan suatu substansi keilmuan atau berdasarkan pemilihan
statistik. Pemilihan berdasarkan statistik dilakukan dengan seleksi
variabel dengan menggunakan Uji Chi Square. Jika hasil uji bivariat
mempunyai nilai p<0,25 maka variabel tersebut dapat masuk ke dalam
model multivariat (Dahlan, 2008).
36

2. Langkah berikutnya dilakukan pengeluaran variabel kandidat yang


mempunyai nilai p>0,05 secara bertahap. Pengeluaran dimulai dari variabel
yang mempunyai nilai p paling besar. Setiap pengeluaran variabel dilakukan
evaluasi c
onfounder . Evaluasi confounder berdasarkan perubahan OR. Jika
pengeluaran variabel mengakibatkan perubahan OR yang besar (ΔOR
>20%) maka variabel tersebut dinyatakan sebagai confounder , artinya
variabel tersebut tidak boleh dikeluarkan dari model karena akan mengganggu
estimasi koefisien kovariat lainnya, atau dengan kata lain variabel ini
merupakan confounder untuk variabel lain (Dahlan, 2008).
ΔOR = OR crude –OR adjust x 100%OR adjust

3. Untuk mengetahui variabel mana yang paling besar pengaruhnya terhadap


variabel terikat, dilihat dari nilai Exp(B) berarti semakin besar
pengaruhnya terhadap variabel terikat yang dianalisis (Dahlan 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Afrida, M. M. (2010).
Hubungan antara beberapa Indikator Obesitas pada Pasien di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin
. Skripsi, Universitas Gadjah Mada. Arif, D., Rusnoto, Hartinah, D.
(2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi
pada Lansia di Pusling Desa Klumpit UPT Puskesmas Gribig Kabupaten
Kudus.
JIKK (Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan)
, 4 (2):18-34 http://e-
journal.stikesmuhkudus.ac.id/index.php/karakter/article/view/102/87
Apriany, R. (2012).
Asupan Protein, Lemak Jenuh, Natrium, Serat dan IMT Terk ait
d eng an Tekanan Darah Pasien Hip erten si d i RSUD
Tugu rejo Semarang
. Skripsi, Universitas Diponegoro. Arisman (2010).
Obesitas, Diabetes Mellitus, dan Dislipidemia
. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Beavers, D. (2008).
Bimbingan Dokter pada Tekanan Darah
. Jakarta : Dian Rakyat. Dahlan. S. M (2008).
Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan
. Jakarta : Salemba Medika. Depkes RI (2006).
Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular
. Direktorat Jenderal PP dan PL. Jakarta. Destyana, Saryono, dan
Mursiyam (2009). Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan
Tekanan Darah dan Golongan Darah di kelurahan Mersi Kecamatan
Purwokerto Timur. Purwokerto.
Jurnal keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), 4 (2).
http://jos.unsoed.ac.id/index.php/keperawatan/article/viewFile/180/45
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah (2012).
Profil Kesehatan Kalteng.
http://www.dinkeskalteng.net/phocadownload/userupload/dinkes/PR
OFIL%20KESEHATAN%20KALTENG%202012.pdf Garnadi, Y.
(2012).
Hidup Nyaman Dengan Hipertensi
. Edisi Pertama. Jakarta : AgroMedia Pustaka.
Haris, S. & Tambunan, T. (2009). Hipertensi pada sindrom metabolik.
Jurnal Sari Pediatri
, 11 (4):257-63 http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-4-6.pdf Hart, J,
Fahey, T, Savage, W. (2010).
Tanya Jawab Seputar Tekanan Darah Tinggi.
Jakarta : Arcan. 40
Isnaini, Sartono, A., & Winaryati, E., (2012). Hubungan Pengetahuan
Obesitas dengan Rasio Lingkar Pinggang Panggul pada Ibu Rumah Tangga
di Desa Pepe Krajan Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan .
Semarang.
Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang
, 1 (1).
https://perpus.unimus.ac.id/ojsunimus/index.php/jgizi/article/view/56
8/0 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2012)
Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011
. Jakarta : Kementerian Kesehatan. Pusat Data dan Informasi.
http://www.depkes.go.id/downloads/Profil2011-v3.pdf Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (2013).
Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013
. Jakarta : Badan Litbangkes, Kemenkes RI, 2013.
http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%20
2013.pdf Korneliani, K. & Meida, D. (2012). Hubungan Obesitas dan
Stress Dengan Kejadian Hipertensi Guru SD Wanita. 2012.
Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat KEMAS,
7 (2):111-115.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/view/1769/1968
Krause, M., Hallage, T., Ribeiro, M., Miculis, C., Matuda, N., Silva,
S. (2009). Fitness And Waist Circumference Associated With
Hypertension In Elderly Women Brasil.
Arq. Bras. Cardiol.
93 (1)
(http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S0066782x2009000700002&scr
ipt=sciarttext&ting=en)
Lewa, A. (2010). Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Sistolik Terisolasi
Pada Lanjut Usia.
Berita Kedokteran Masyarakat
, 26 (4). Lilyasari, O. (2007). Hipertensi dengan Obesitas : Adakah
Peran Endotelin. Jakarta.
Jurnal Kardiologi Indonesia
, 28 (6). Lingga, L. (2012).
Bebas Hipertensi Tanpa Obat
. Jakarta. Agro Media Pustaka. Liu, Y., Tong, G., Wewei, T., Liping,
L., Qin X., (2011). Can Body Mass Index, Waist Circumference,
Waist-Hip Ratio And Waist-Height To Predict The Presence Of
Multiple Metabolic Risk Factors In Chinese Subjects .

BMC Public Health


, 11 (35). http://www.biomedcentral.com/1471-
2458/11/35 Lumoindong, A., Umboh A., Masloman, N. (2013).
Hubungan Obesitas dengan Profil Tekanan Darah pada Anak Usia 10-12
Tahun di Kota Manado.
Jurnal e-Biomedik (eBM)
,1 (1):147-153.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/view/1607/1
296

Anda mungkin juga menyukai