Anda di halaman 1dari 36

UJIAN KASUS BEDAH PLASTIK

SEORANG LAKI-LAKI 31 TAHUN DENGAN


KONTRAKTUR REGIO AXILLA SINISTRA
ET CAUSA COMBUSTIO

Periode : 8-12 Oktober 2018

Oleh:
Afif Burhanudin G99171002

Pembimbing :
dr. Amru Sungkar, Sp. B. Sp.BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
I. Identitas pasien
Nama : Tn. S
Umur : 31 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Ponorogo, Jawa Timur
No. RM :01433xxx
Tanggal Periksa : 12 Oktober 2018

II. Keluhan Utama


Tangan tidak bisa digerakkan setelah terkena luka bakar

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan tangan tidak bisa digerakkan
setelah terkena luka bakar 15 tahun yang lalu dan dirawat di RS
Madiun. Pada 13 tahun yang lalu dilakukan release kontraktur regio
coli dan skin graft donor dari femur sinistra di RS.Oen Kandang sapi.
Saat ini pasien mengeluh tangan kiri tidak bisa diangkat dan ingin
dioperasi agar tangan bisa digerakkan maksimal.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat luka bakar : (+) 15 tahun yang lalu
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat Diabetes melitus : disangkal
d. Riwayat alergi/asma : disangkal
B. ANAMNESIS SISTEMIK
Mata : mata kuning (-), penglihatan kabur (-), pandangan
ganda (-), berkunang-kunang (-)
Telinga : darah (-), lendir (-), cairan (-), telinga berdenging
(-), pendengaran berkurang (-)
Mulut : darah (-), gusi berdarah (-), sariawan (-), mulut
kering (-), gigi goyah (-) sulit berbicara (-)
Hidung : penciuman menurun (-), darah (-), sekret (-)
Sistem Respirasi : sesak nafas (-), suara sengau (-), sering tersedak (-)
Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak saat aktivitas (-)
Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), diare (-)
Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku (+)
Sistem Genitourinaria : nyeri BAK (-), kencing darah (-)
Ekstremitas atas : luka (-/+), tremor (-/-),ujung jari terasa dingin(-/-),
kesemutan (-/-), sakit sendi (-/-), nyeri (-/-)
Ektremitas bawah : luka (-/+), tremor (-/-),ujung jari terasa dingin(-/-),
kesemutan (-/-), sakit sendi (-/-), nyeri (-/-)
Integumen : nyeri (-), gatal (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
I. Primary Survey
a. Airway : Bebas
b. Breathing : Pernapasan spontan, thoracoabdominal
RR: 18x/menit
c. Circulation : TD: 110/80 mmHg, N: 76x/menit.
d. Disability : GCS: E4V5M6, lateralisasi (-)
e. Exposure : t: 36,5 oC, jejas (+) (lihat status lokalis)
II. Secondary Survey
a. Kepala : mesocephal, jejas (-)
b. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom periorbita(-/-)
c. Telinga : secret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid(-), Nyeri
Tragus (-)
d. Hidung : bentuk simetris, nafas cuping hidung (-), secret (-),
darah (-)
e. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-), mukosa
basah (+), maxilla goyang (-), mandibula goyang (-), pelo (-)
f. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-),
Nyeri tekan (-), JVP tidak meningkat
g. Thoraks : bentuk normochest, simetris, gerak pernafasan
simetris, scar (+)
h. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising(-)
i. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)
k. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah
(-), nyeri BAK (-)
l. Muskuloskeletal : nyeri (-), ROM terbatas pada ekstremitas
atas sinistra
m. Ekstremitas : akral dingin oedem

- - - -
- - - -

D. STATUS LOKALIS
- Look : tampak adanya sikatriks pada regio axilla sinistra,
kontraktur pada region axilla sinistra
- Feel : Nyeri bila digerakkan (-)
- Move : ROM shoulder kiri terbatas karena ada tarikan dari
sikatriks

E. ASSESMENT I
Kontraktur regio axilla sinistra et causa combustio

F. PLANNING I
Cek laboratorium darah lengkap dan elektrolit
G. FOTO KLINIS (12 Oktober 2018)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG (9 Oktober 2018)
Hb : 13,5 g/dL
Hct : 39 %
AE : 4,31. 106/uL
AL : 5,0. 103/uL
AT : 366. 103/uL
Golongan darah :B
PT : 14,2 detik
APTT : 34,5 detik

I. ASSESMENT II
Kontraktur regio axilla sinistra et causa combustio

J. PLANNING II
1. Rawat Bangsal
2. Pro release kontraktur
K. Prognosis
a. Ad vitam : dubia ad bonam
b. Ad sanam : dubia ad bonam
c. Ad kosmetikum : dubia ad bonam
d. Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
a. Kontraktur
Kontraktur adalah keterbatasan ruang gerak sendi22. Pada
kontraktur terdapat perubahan struktur vesikoelastisitas dari jaringan ikat
periartikuler dimana dapat mengarah keterbatasan ruang gerak (ROM)
pada persendian, atau terjadi peningkatan tahanan pada pergerakan sendi
pasif sehingga mengurangi fleksibilitas dan mobilitas sendi19. Kontraktur
terjadi akibat dari proses penyembuhan luka, namun mengakibatkan
pemendekan kulit ke segala arah, apabila pemendekan ini terjadi di daerah
persendian maka mengakibatkan keterbatasan gerak dan kontraktur20.
Kontraktur juga dapat terjadi karena berbagai kombinasi dari berbagai
faktor seperti posisi ekstremitas, lama imobilisasi, jaringan lunak, otot,
tulang patologis22.
b. Luka Bakar
Luka bakar merupakan kerusakan jaringan atau kehilangan
jaringan yang diakibatkan sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi,
sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi. Jenis luka dapat
beraneka ragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis
jaringan yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang
terjadi akibat luka tersebut. Luka bakar dapat merusak jaringan otot,
tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang mengakibatkan
kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem
persarafan.23, 24
c. Kontraktur Akibat Luka Bakar
Pasien dengan luka bakar beresiko untuk mengalami kontraktur.
Karena pasien akan di imobilisasi, di bidai, selain itu luka bakar yang
mengenai kulit, jaringan lunak,otot, dan tulang gabungan faktor-faktor ini
akan berperan dalam pembentukan kontraktur akibat luka bakar22.Kejadian
luka bakar pada ektremitas atas beresiko menjadi kontraktur terutama yang
mengenai daerah axilla, sehingga menyebabkan gangguan fungsi abduksi
bahu akibat tarikan dari bekas luka21.
Kontraktur masih menjadi komplikasi yang kompleks dari luka
bakar. Luka disekitar bahu merupakan masalah khusus yang perlu
ditangani. Pasien dengan luka bakar akan mencari posisi yang lebih
nyaman untuk mengurangi rasa sakit, contohnya dnegan mengadduksikan
serta merotasi internal dari bahu. Hal ini akan berkembang menjadi
kontraktur sehingga akan lebih sulit untuk mengembalikan fungsi bahu
seperti semula25.

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi kontraktur berdasarkan derajat keparahan 24 :
1) I: gejala berupa keketatan namun tanpa penurunan gerakan ruang lingkup
gerak maupun fungsi.
2) II: sedikit penurunan gerakan ruang lingkup gerak atau sedikit penurunan
fungsi namun tanpa mengganggu aktivitas sehari-hari secara signifikan,
tanpa penyimpangan arsitektur normal daerah yang terkena.
3) III: terdapat penurunan fungsi, dengan perubahan awal arsitektur normal
pada daerah yang terkena..
4) IV: kehilangan fungsi dari daerah yang terkena.

C. ETIOLOGI
Proses terjadinya kontraktur didasarkan pada empat etiologi primer yaitu
immobilisasi eksternal, trauma, beberapa penyakit sendi, dan kerusakan
neurologis.
1. Immobilisasi eksternal
terjadi ketika sendi dalam posisi stasioner dalam periode waktu yang lama,
terjadi adhesi antar jaringan ikat sendi.
2. Trauma (suhu, kimia, eletrik)
jaringan ikat di sekitar sendi mengalami tarikan atau robekan
3. Penyakit sendi
diantaranya adalah rheumatoid arthritis.
4. Defek Neurologis
trauma pada sistem saraf sentral maupun perifer dapat menghasilkan
impuls abnormal yang berakibat restriksi pada jaringan sendi.

D. DIAGNOSIS KONTRAKTUR AKIBAT LUKA BAKAR


Diagnosis kontraktur dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

1. Pemeriksaan Fisik
a. Goniometer: Keterbatasan ruang sendi dapat diukur dengan goniometer.
Namun secara klinis, kontraktur sendi dapat berupa trauma yang ditandai
dengan kerusakan otot, kapsul, ligamen, tendong, kulit dan syaraf di sekitar
sendi sehingga harus dilakukan pemerikasaan yang sangat teliti pada setiap
komponen tersebut.
b. Allen’s test: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan patensi dari
anastomosis pembuluh darah di tangan. Pertama-tama pemeriksa
mempalpasi dan mengoklusi (menekan) arteri radialis dan ulnaris. Pasien
kemudian diminta untuk membuka dan menutup jari tiga sampai lima kali
dengan cepat sampai kulit telapak tangan sembab. Tekanan kemudian
dilepaskan salah satu bisa arteri radialis atau ulnaris, kecepatan kembalinya
warna normal tangan dicatat. Pengujian diulangi dengan melepas arteri yang
tidak dilepas pada pengujian pertama. Hasil tes positif menunjukkan bahwa
tidak ada atau berkurangnya hubungan antara arcus ulnaris
superficialis dan arcus radialis profunda.
c. Bunnel-Littler test: Sebuah tes yang dirancang untuk mengidentifikasi
kontraktur otot intrinsik atau kontraktur sendi pada sendi PIP (Proximal
Inter Phalang). Pemeriksa memflexikan PIP hingga maksimal sambil
sebelumnya sedikit mengekstensikan sendi metacarpophalang (MCP).
Hasil tes positif untuk kontraktur kapsul sendi jika sendi PIP tidak dapat
difleksikan. Tes ini positif untuk kontraktur otot intrinsik jika MCP sedikit
fleksi dan PIP dapat diflexikan sepenuhnya.

d. Finkelstein test: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan adanya


tenosinovitis tendo abductor pollicis longus dan extensor pollicis brevis.
Tes ini biasanya digunakan untuk menentukan adanya penyakit de
Quervain’s. Pasien membuat kepalan dengan ibu jari ditekuk di dalam
keempat jari lainnya. Pasien kemudian mendeviasikan
(tulang) metacarpal pertama ke arah ulnar dan memanjangkan sendi
proksimal ibu jari (yakni dengan menekuk kepalan tangan kearah ulnar) .
Jika pasien mengalami rasa sakit, maka dikatakan sebagai hasil tes positif.
e. Froment’s sign: Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan adanya
kelemahan otot adduktor policis karena kelumpuhan nervus ulnaris. Pasien
diminta untuk memegang selembar kertas memakai ujung ibu jari dan sisi
radial jari telunjuk. Hasil uji positif jika saat penguji menarik kertas dari
pegangan pasien maka phalang terminal ibu jari pasien akan terfleksikan
atau jika sendi MCP di ibu jari menjadi sangat memanjang (Jeanne’s sign).

f. Intrinsic-plus test: Sebuah tes yang dirancang untuk mengidentifikasi


pemendekan otot-otot intrinsik tangan. Tes ini menjadi spesifik pada tangan
pasien dengan rheumatoid arthritis, terutama pada tahap awal sebelum ada
kerusakan atau cacat pada tangan. Pada tes ini, sendi MCP jari yang sedang
diuji di hiperekstensi-kan. Maka sendi jari di tengah dan distal akan menjadi
sedikit fleksi akibat tarikan pasif jaringan. Pemeriksa kemudian mencoba
untuk memflexikan sendi PIP jari tersebut. Jika terdapat hambatan dalam
memfleksikan jari tersebut maka dianggap sebagai tanda positif.

g. Phalen’s test (fleksi pergelangan tangan): Sebuah tes yang dirancang untuk
menentukan adanya carpal tunnel syndrome. pergelangan tangan pasien
difleksikan maksimal oleh pemeriksa, kemudian pasien mempertahankan
posisi ini dengan menahan satu pergelangan tangan dengan pergelangan
tangan yang lain selama 1 menit. Hasil uji positif jika terdapat parestesia di
ibu jari, jari telunjuk, dan ½ lateral jari manis.

h. Tight retinacular ligament test: Sebuah tes yang dirancang untuk


menentukan adanya pemendekan ligamen retinacular atau adanya ikatan
pada kapsul sendi interphalangeal distal (DIP). Pemeriksa memegang sendi
PIP pasien dalam posisi ekstensi penuh sembari memfleksikan sendi DIP.
Jika sendi DIP tidak dapat difleksikan, maka tes dianggap positif (baik
disebabkan karena kontraktur ligamencollateral atau kontraktur kapsul
sendi). Untuk membedakannya, sendi PIP difleksikan dan jika sendi DIP
dapat difleksikan dengan mudah maka kapsul sendi dianggap normal.

i. Tinel’s sign: Sebuah tes yang dirancang untuk mendeteksi carpal tunnel
syndrome. Pemeriksa mengetuk diatas terowongan carpal di pergelangan
tangan. Hasil uji positif jika pasien merasakan paresthesia di distal dari
pergelangan tangan.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Rontgen
Sinar X dapat bermanfaat untuk mendiagnosis kontraktur karena
penyempitan ruang sendi yang terlihat mengindikasikan sendi yang rapat
dan kontraksi, dilakukan juga pemeriksaaan fisik yang melibatkan tes fisik
dan manual untuk menguji gerakan sendi.

b. USG
USG merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk kontraktur, terutama
kontraktur Dupuytren. USG menghasilkan gambaran posisi antara tulang,
arteri, dan nodul. Selain itu, dari USG juga didapatkan perbedaan echo
struktur nodul dan jaringan sekitar. Early nodule pada kontraktur Dupuytren
terlihat lebih hpoechoic dibanding dengan tendon. Sedangkan nodul yang
telah lama terlihat isoechoic atau hiperechoic.
E. PATOFISIOLOGI
Otot dan jaringan ikat berpengaruh terhadap terjadinya kontraktur.
Hilangnya sarcomer di akhir myofibril dan memendek serta hilangnya elasitas
jaringan ikat menyebabkan kontraktur. Apabila jaringan ikat dan otot
dipertahankan dalam posisi memendek dalam jangka waktu yang lama,
serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan memendek dan
menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang dipertahan memendek dalam 5-7
hari akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan kontraksi
jaringan kolagen dan pengurangan jaringan sarkomer otot. Bila posisi ini
berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan
menebal dan menyebabkan kontraktur. Pada kontraktur sendi, imobilisasi,
kelemahan otot dan kekakuan otot merupakan faktor utama dalam terjadinya
kontraktur.

Mekanisme dasar pembentukan kontraktur didapat dari berbagai


macam etiologi yaitu congenital, didapat, atau idiopatik. Proses ini disebabkan
oleh aktifnya miofibroblas (sebuah sel dengan fibroblas dan dengan
karakteristik seperti otot polos yang terdistribusinya granulasi di seluruh
jaringan yang ada pada luka). Kontraksi dari miofibroblas menyebabkan luka
menyusut. Hal ini juga diikuti dengan deposisi kolagen dan saling
berhubungan untuk mempertahankan kontraksi. Pada embryogenesis,
kegagalan diferensiasi jari-jari menyebabkan terbentuknya jaringan parut yang
menyebakan fleksi proksimal sendi interfalang yang mengakibatkan
camptodactyly.4, 21

F. PENCEGAHAN DAN PENATALAKSANAAN KONTRAKTUR PADA


LUKA BAKAR
a. Pencegahan
Pencegahan kontraktur lebih baik dan efektif daripada pengobatan.
Program pencegahan kontraktur meliputi :

1. Mencegah infeksi
Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera
perlu diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan
granulasi yang berlebihan akan menimbulkan kontraktur.

2. Skin graft atau Skin flap


Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup sedini
mungkin, bila perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.

3. Fisioterapi
Tindakan fisioterapi harus dilaksanakan segera mungkin meliputi :

a. Proper positioning (posisi penderita)


b. Exercise (gerakan-gerakan sendi sesuai dengan fungsi
c. Stretching
d. Splinting / bracing
e. Mobilisasi / ambulasi awal

b. Penatalaksanaan
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah
pengembalian fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan untuk
ambulasi dan aktifitas lain. Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik dalam hal
ambulasi, posisi dan penggunaan program pemeliharaan kekuatan dan ketahanan,
diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan untuk mencegah kontraktur sendi yang
rekuren. Penanganan kontraktur dapat dliakukan secara konservatif dan operatif.
1. Kontraktur Dermatogen (oleh karena kehilangan kulit)
a. Jaringan parut lurus/linear scar
Release dengan Z plasti/ W plasti kalau perlu ditambah dengan skin graft
b. Jaringan parut melingkar/ ½ lingkaran
Multiple Z plasti
c. Jaringan parut luas dan dalam
Eksisi scar
Skin graft/flap local dari kulit sekitarnya: transpotition flap
2. Kontrraktur Tendogen
a. Volkman Kontraktur
Terapi susah dan tidak adekuat untuk mengembalikan fungsi
tangan sebisanya dengan:
 Arthroplasti
 Arthrodese
 Kalau perlu transplantasi tendo
Pencegahan
 Jangan memanipulasi terlalu kasar dan bersemangat
 Gips sirkuler jangan terlalu ketat
b. Dupuytren Kontraktur
 Insisi di banyak tempat
 Fasciestomi
 Z-plasti dan atau dibiarkan terbuka
 Sering hasil tidak adekuat pada eksisi fascia palmaris
 Operasi dilakukan beberapa kali sehingga mengurangi trauma
besar, perdarahan
c. Kontraktur/pemendekan Achilles
 Memperpanjang tendo
 Dengan irisan Z atau bertangga
d. Trigger Finger
 Insisi sarung tendo yang menyempit sehingga tendo dapat
meluncur lagi dan iritasi hilang
Pada luka bakar, kontraktur biasanya muncul ketika garis skar vertical
dengan garis tension kulit, dan melintasi persendian. Harus ditekankan bahwa
penanganan primer pada luka bakar haruslah bertujuan untuk menghindari skar
kontraktur dengan menggrafting pasien secepat mungkin. Pada beberapa kasus
pedicle flap atau free flap secara primer dapat digunakan untuk menengani defek
dan mencegah kontraktur. Terapi pilihan untuk skar kontraktur adalah scar
revision dikombinasi dengan prosedur bedah lainnya, sesuai dengan lokasi, luas
dan bentuk kontraktur. Sebagai contoh, Z-plasti dapat langsung mengurangi skar
dan mengurangi skin tension. Bila skar kontraktur kemungkinan menyebabkan
retriksi ruang gerak, skin grafting atau flap diindikasikan untuk menutup defek
jaringan. Perluasan jaringan dapat digunakan akhir-akhir ini dengan berbagai
bentuk dan volume sebagai prosedur sekunder untuk merekonstruksi defek.
Perluasan jaringan tidak digunakan sebagai penutupan primer pada luka terbuka.
Pada kontraksi yang parah, skin graft tetap memberikan hasil yang baik sebagai
myocutaneus atau fasciocutaneus axial flap. Merupakan pilihan dokter bedah
untuk menggunakan metode mana yang akan digunakan.
Metode:
1. Skin flap (Pedicle Flap)
Suatu teknik operasi untuk dapat memperbaiki skar dan kontraktur dimana kulit
dan subkutan dll dipindah dari suatu bagian badan ke bagian badan yang lain
dengan suatu pedicle vascular.
Design flap harus memperhatikan :
 Supply vaskuler
 Daerah jangkauannya
 Arah putar rotasi
 Ikut sertanya fascia profunda yang kaya pembuluh darah
Macam:
a. Random Flap
Misal: Z-plasti, advancement flap, rotation flap, transpotition,
interpolation.
b. Axial Flap
Vaskularisasi langsung dari pembuluh darah arteri kulit.
Panjang flap tergantung daerah vaskularisasi arteri.
Misal: Forehead flap, deltopectoral flap, inguinal flap.
c. Musculocutaneus Flap
Pedicle vascular di dalam otot-otot tertentu (perlu tahu vascularisasi otot-
otot tertentu)
d. Free Flap
Flap kulit / musculocutaneus dilepaskan dari vaskularisasinya
disambungkan kembali pada pembuluh darah resipien.
Perlu teknik bedah mikro.
Tipe-tipe skin flap menurut lokasi:
1. Lokal
a. Flap yang diputar pada titik poros (Pivot Point)
 Rotation flap/ pemutaran
 Transpotition flap/ pemindahan
 Interpotition flap/ penyisipan
b. Advancement Flap/Pemajuan
 Simple
 V-Y
 Bipedicle
2. Jauh
a. Direct (langsung): dari donor  defek
 Trunk: abdominal, groin  manus
 Extr. superior: cross arm flap  muka
 Cross finger flap  jari-jari
 Extr. Inferior: Cross leg flap
b. Indirect (tidak langsung)
 Donor (tube)  pergelangan tangan  defek muka
 Leher (tube)  hidung, bibir, auricular
 Extr. Inferior (tube paha)  tibia anterior

1. Metode Z-plasti

Metode Z-plasti adalah suatu teknik operasi untuk memperbaiki skar dan
kontraktur. Pada metode ini, kulit di sekitar jaringan parut akan dibuat flap dalam
bentuk segitiga-segitiga kecil yang biasanya mengikuti bentuk huruf Z. teknik
yang dipilih disesuaikan dengan bentuk jaringan parut yang ada. Kemudian flap
dijahit kembali sesuai garis dan lipatan asli kulit. Jaringan skar yang baru biasanya
akan tampak lebih samara. Metode Z-plasti berguna pula mengurangi tekanan
pada jaringan yang terjadi kontraktur.
2. Skin Graft

Pada prosedur skin graft, jaringan kulit diambil dari bagian yang sehat
kemudian ditransplantasikan ke bagian tubuh yang terkena jejas. Jaringan kulit
yang diambil yaitu segmen epidermis dan dermis dipisah sempurna dari blood
supply donor sebelum ditanam di daerah lain tubuh (resipien). Metode skin graft
tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan, karena sering kali struktur dan
warna jaringan kulit yang ditransplantasikan berbeda dengan jaringan kulit di
sekitarnya. Area kulit yang diambil untuk skin graft biasanya juga akan digantikan
oleh jaringan parut, tetapi skin graft dapat mengembalikan fungsi kulit dengan
baik.
Macam-macam skin graft:
1. STSG (Split Thickness Skin Graft/Tandur Alih Kulit Sebagian)
Jenis-jenis:
a. Thin Split Thickness Graft (tipis)
b. Medium (tebal kulit sedang)
c. Thick split Thickness Graft (tebal)
Berbagai lokasi donor menurut kebutuhan resipien (paling sering
paha).
Alat untuk mengambil: dermatom
 Ketebalan kulit dapat diatur 10-25 perseribu inchi
 Misal: pisau humby, brown elektrik, brown air driver dermatom,
reese dermatome.
2. FTSG (Full Thickness Skin Graft/Tandur Kulit Seluruh Tebal)
Ketebalan : epidermis dan seluruh dermis
Sifat-sifat:
 Mendekati tekstur kulit normal meliputi: tekstur/kelenturan, warna,
pertumbuhan rambut, retraksi kulit lebih sedikit.
 Donor:
o Makin dekat resipien sifat makin mirip
o Paling sering dipakai: retro auricular, supra clavicular,
lengan atas sebelah dalam, lipat paha (inguinal), abdomen
bagian bawah.
 Alat mengambil: pisau bedah (lemak dibuang dengan gunting)
 Baik untuk: muka, daerah sendi
3. Ekspansi/Perluasan jaringan
Pada prosedur ekspansi jaringan, sebuah balon dimasukkan ke dalam
kulit di sekitar jaringan parut, balon diisi dengan cairan saline agar kulit
dapat meregang. Setelah jumlah kulit yang meregang cukup, yaitu
setelah beberapa minggu atau beberapa bulan, balon dilepaskan.
Selanjutnya, kulit baru yang terbentuk ditarik untuk menggantikan
jaringan parut yang ada.
4. Resurfacing kulit dengan laser
Terdapat dua macam laser yang digunakan untuk memperbaiki
permukaan jaringan parut yang tidak rata, yaitu laser CO2 dan laser
Erbium (laser YAG). Laser CO2 digunakan pada jaringan parut yang
lebih superficial. Kedua jenis laser tersebut bekerja dengan cara
mengelupas lapisan kulit paling luar, sehingga jaringan kulit baru dan
lebih halus terbentuk.
5. Dermabrasi
Metode dermabrasi dapat memperhalus permukaan jaringan parut yang
tidak rata dengan cara mengelupas lapisan paling atas kulit. Kulit akan
diinjeksi dengan cairan anestesi, kemudian diampelas dengan hati-hati
menggunakan sikat yang berputar atau butiran permata sampai sejumlah
kulit yang diharapkan hilang terkelupas.
Manajemen kontraktur membutuhkan prosedur yang panjang dan
rumit. Sehingga dalam memberikan tatalaksana kepada pasien perlu
dipertimbangkan berbagai masalah, seperti kehidupan sosial dan
pekerjaan pasien dan juga status psikologi dan motivasi pasien.13 Seperti
yang telah dijelaskan pada klasifikasi kontraktur, terutama kontraktur
derajat III dan IV memerlukan tindakan operasi sedangkan untuk derajat
I dan II tidak memerlukan tindakan operasi (konservatif).4, 18
a. Konservatif
Tindakan konservatif pada tatalaksana kontraktur yaitu dengan lebih
mengoptimalkan penanganan fisioterapi, yang meliputi:
1. Posisi yang mencegah kontraktur
Posisi yang melindungi dari kontraktur harus dimulai dari hari
pertama sampai beberapa bulan setelah trauma. Posisi ini diaplikasikan
terhadap semua pasien baik yang mendapat terapi cangkok kulit maupun
yang tidak. Posisi ini penting karena dapat mempengaruhi panjang
jaringan dengan menurunkan ruang lingkup gerak sebagai akibat dari parut
jaringan. Pasien diistirahatkan dengan posisi yang nyaman, posisi ini
biasanya adalah posisi fleksi dan juga merupakan posisi kontraktur. Tanpa
dorongan dan bantuan dari orang lain, pasien akan meneruskan posisi yang
menyebabkan kontraktur. Sekali kontraktur mulai terbentuk dapat terjadi
kesulitan untuk bergerak sempurna seperti sediakala. Penyesuaian awal
memiliki esesnsi untuk memastikan kemungkinan terbaik hasil terapi,
selain itu pula untuk meringankan nyeri.
Pasien harus selalu melakukan kebiasaan posisi pada stadium awal
penyembuhan. Pasien perlu dorongan untuk mempertahankan posisi yang
mencegah kontraktur (kecuali ketika program latihan dan aktivitas
fungsional lain), dukungan keluarga sangat penting.
Ketika luka bakar terjadi pada bagian fleksor tubuh, risiko
kontraktur akan semakin meningkat. Posisi yang mencegah terjadinya
kontraktur berdasarkan luka bakar adalah sebagai berikut3 :
a. Leher depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi leher, dagu
ditarik ke arah dada, kontur leher menghilang sedangkan posisi yang
mencegah terjadinya kontraktur adalah ekstensi leher, tidak ada bantal
di belakang kepala, putar balik leher. Kepala dimiringkan bila posisi
duduk.

Gambar 2.2. Kontraktur pada Leher Depan

Gambar 2.3. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

b. Leher belakang
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah ekstensi leher dan
pererakan leher yang lain sedangkan posisi yang mencegah terjadinya
kontraktur adalah duduk dengan posisi leher fleksi, berbaring dengan
menggunakan bantal di belakang kepala.
Gambar 2.4. Kontraktur pada Leher Belakang

Gambar 2.5. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

c. Aksila anterior, aksila posterior, maupun lipatan aksila


Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah terbatasnya abduksi
dan juga protraksi ketika luka bakar juga ada di dada sedangkan posisi
yang mencegah terjadinya fraktur adalah berbaring dan duduk lengan
abduksi 900 ditopang dengan menggunakan bantal atau alat lain
diantara dada dan lengan.

Gambar 2.6. Kontraktur pada Aksila


Gambar 2.7. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur
d. Siku depan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi siku
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya fraktur adalah ekstensi
siku.

Gambar 2.8. Kontraktur pada Siku

Gambar 2.9. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


e. Punggung tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah hiperekstensi
metacarpalphalangeal (MCP), fleksi interphalangeal (IP), adduksi ibu
jari, dan fleksi pergelangan tangan sedangkan posisi yang mencegah
terjadinya kontraktur adalah pada pergelangan tangan diekstensi 30-40
derajat, fleksi MCP 60-70 derajat, ekstensi sendi IP, dan abduksi ibu
jari.8
Gambar 2.10. Kontraktur pada Punggung Tangan

Gambar 2.11. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur pada


Punggung Tangan
f. Telapak tangan
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah adduksi dan fleksi
jari-jari tangan, telapak tangan ditarik ke dalam sedangkan posisi yang
mencegah terjadinya kontraktur adalah ekstensi pergelangan tangan,
fleksi minimal MCP, ekstensi dan abduksi jari-jari tangan.8,15

Gambar 2.12. Kontraktur pada Telapak Tangan


Gambar 2.13. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur pada
Telapak Tangan
g. Groin
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi dan adduksi
pangkal paha sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur
adalah berbaring tengkurap dengan ekstensi tungkai, batasi duduk dan
berbaring posisi menyamping. Jika dengan posisi supine, berbaring
dengan posisi ekstensi tungkai, tanpa bantal di bawah lutut.

Gambar 2.14. Posisi yang Menyebabkan Kontraktur

Gambar 2.15. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


h. Belakang lutut
Posisi yang dapat menyebabkan kontraktur adalah fleksi lutut
sedangkan posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah ekstensi
tungkai pada saat berbaring dan duduk.

Gambar 2.16. Kontraktur pada Belakang Lutut

Gambar 2.17. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur


i. Kaki
Kaki adalah struktur komplek yang dapat ditarik dengan arah yang
berbeda-beda oleh jaringan yang telah menyembuh. Hal ini dapat
mengakibatkan mobilitas yang tidak normal. Posisi yang mencegah
terjadinya kontraktur adalah pergelangan kaki diposisikan 90 derajat
terhadap telapak kaki dengan menggunakan bantal untuk
mempertahankan posisi. Jika pasien dalam keadaan duduk maka posisi
kakinya datar di lantai (tanpa edem).

Gambar 2.18. Kontraktur pada Kaki

Gambar 2.19. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur

j. Wajah
Kontraktur pada wajah dapat meliputi berbagai hal termasuk
ketiakmampuan untuk membuka maupun menutup mulut dengan
sempurna, ketidakmampuan menutup mata dengan sempurna, dan lain
sebagainya.posisi yang mencegah terjadinya kontraktur adalah secara
teratur merubah ekspresi wajah dan peregangan seperlunya. Tabung
empuk dapat dimasukkan ke dalam mulut untuk melawan kontraktur
mulut.
Gambar 2.20. Posisi yang Mencegah Terjadinya Kontraktur
2. Bidai
Pembidaian sangat efektif untuk membantu mencegah kontraktur
dan merupakan hal yang perlu dilakukan sebagai program rehabilitasi
komprehensif. Pembidaian membantu mempertahankan posisi yang
mencegah kontraktur terutama terhadap pasien yang mengalami nyeri
hebat, kesulitan penyesuaian atau dengan area luka bakar yang dengan
menggunakan posisi pencegahan kontraktur saja tidak cukup.
Pembidaian dilakukan dengan posisi yang diregangkan sehingga
memberikan suatu latihan peregangan awal yang lebih mudah. Parut tidak
hanya berkontraksi namun juga mengambil rute terdekat, parut sering
menimbulkan selaput atau anyaman diantara jari-jari, leher, lutut, aksilda,
dan lain-lain. Bidai membantu merenovasi jaringan parutkarena
membentuk dan mempertahankan kontur anatomis. Bidai adalah satu-
satunya modalitas terapeutik yang tersedia dan berlaku yang dapat
mengatur tekanan pada jaringan lunak sehingga dapat menimbulkan
remodeling jaringan.
Bidai dapat dibuat dari berbagai macam bahan. Bahan yang ideal
adalah yang memiliki temperature rendah dan ringan, mudah dibentuk, dan
disesuaikan kembali kemudian juga sesuai dengan kontur.
Gambar 2.21. Contoh Pembidaian
3. Peregangan dan mobilisasi awal
Sendi yang terkena luka bakar harus digerakkan dan diregangkan
beberapa kali setiap harinya. Pasien membutuhkan pendamping baik dari
tim medis maupun keluarganya untuk mencapai pergerakan yang penuh
terutama untuk anak-anak yang memerluka perhatian yang lebih dari
orang tua. Pasien perlu mengembangkan kebiasaan tersebut dari hari ke
hari.15
DAFTAR PUSTAKA

1. Eon Kyu Shin & Neil Ford Jones. (2011). Minimally invasive technique for
release of Dupuytren’s contracture: segmental fasciectomy through multiple
transverse incisions. Surgery articles: 1–10.
2. L D Howarrd. (2011). Dupuytren’s Contracture: A Guide for Management.
The association of bone and joint surgeons.
3. Duretti T. Fufa & Shiow-Shuh Chuang & Jui-Yung Yang. (2014). Prevention
and Surgical Management of Postburn Contractures of the Hand. Curr Rev
Musculoskelet Med (2014) 7:53–59 DOI 10.1007/s12178-013-9192-9
4. Parwez Sajad Khan & Shabir Iqbal & Inam Zaroo & Humera Hayat. (2010).
Surgical Treatment of Dupuytren’s Contracture; Results and Complications of
Surgery: Our Experience. Society of the Hand & Microsurgeons of India
2(2):62–66
5. Mohamed Makboul, Mahmoud E (2015). Classifi cation of post-burn
contracture neck. Plastic surgery. IP: 114.79.47.57]
6. Nikunj Bhavesh Mody1, Sanket S. Bankar2, Avinash Patil. (2014). Post Burn
Contracture Neck: Clinical Profile and Management. Surgery section. DOI:
10.7860/JCDR/2014/10187.5004 12 Journal of Clinical and Diagnostic
Research. 2014 Oct, Vol-8(10): NC12-NC17
7. Camille Thevenin-Lemoine, MD, Philippe Denormandie, MD. (2013). Flexor
Origin Slide for Contracture of Spastic Finger Flexor Muscles. The journal of
bone and joint surgery. 95:446-53
8. Shakirov Babur (2013). Different surgical treatment of post-burn contracture
of foot and ankle joint. Journal of surgery. 32-36
9. Gulgonen A, Ozer K. (2007). The Correction of Postburn Contractures of the
Second Through Fourth Web Spaces. J Hand Surg 32A:556–564.
10. Schwarz RJ. (2007). Management of Postburn Contractures of the Upper
Extremity. Journal of Burn Care Research 28: 212–219.
11. Edwin AD. (1990). The Management of burns. The New England Journals of
Medicine 323:1249-1253
12. Cheema SA. (2010). Reverse ulnar parametacarpal artery flap for soft tissue
defects of hand. J Ayub Med Coll Abbottabad 22(2): 61-63.
13. Al-kandari QA. (2008). ‘X-Plasty’ for Post Burn Flexion Contractures of
Interphalangeal Joints of All Five Digits of Hand and Adduction Contractures
of Axilla. J. Plast. Reconstr. Surg (32)1: 67-69.
14. Amin MM, Iqbal T, Minhas TM, Sadaf J. (2012). A Comparison between
Plantar Skin Grafts and Split Thickness Ordinary Skin Grafts in the
Management of Postburn Flexion Contractures of Hand. Ann. Pak. Inst. Med.
Sci 8(1): 83-86.
15. Ali A, Khundkar SH. (2009). Outcome of Skin Graft in Postburn Finger
Contractures: An Integrated Technique of Evaluation. J Bangladesh Coll Phys
Surg 27: 25-29.
16. Sheridan RL, Baryza M.J, Pessina M, et al. (1999) Acute hand burns in
children; management and long term outcome based on a ten year experience
with 698 injured hands. Ann Surg. 1999:229–564.
17. Saleh Y, Shazly M, Adly S. (2009). Management of Post Burn Mutilated
Hand. Egypt, J. Plast. Reconstr. Surg. 33:101-109.
18. Jabir S, Frew Q, El-Muttardi N, Dziewulski P. (2014). A systematic review of
the applications of free tissue transfer in burns. Journal Elsevier 1: 1-12.
19. Offenbacher M, Sauer S, Rieb J, Muller M, Grill E, Daubner A, Randzio O,
Kohls, et al., (2013). Contractures with special reference in elderly:
definiyions and risk favtor- a systemic review with practical implications.
Disabil rehabil 36(7): 529-538.
20. Adu EJK (2011). Management of contractures: A five-year experience at
komfo anokye teaching hospital in kumasi. Ghana medical journal 45(2): 66-
72.
21. Karki D, Mehta N, Narayan RP (2014). Treatment of the post-burn axillary
contracture. Indian jurnal of plastic surgery 42(3): 375-380.
22. Schneider JC, Holavanahalli R, Helm P, Goldstein R, Kowalske K (2006).
Contractures in burn injury: Defining the problem. J burn care res 27: 508-
514.
23. Hermans M. (2005). A general overview of burn care. Int Wound J 2: 206-
220.
24. Gulgonen A, Ozer K. (2007). The Correction of Postburn Contractures of the
Second Through Fourth Web Spaces. J Hand Surg 32A:556–564.
25. Jang KU, Choi JS, Mun JH, Jeon JH, Seo CH, Kim JH (2013). Multi-axis
shoulder abduction splint in acute burn rehabilitation: a randomized controlled
pilot trial. Clinical rehabilitation 29(5): 439-446

Anda mungkin juga menyukai