Anda di halaman 1dari 10

BAB III

OBSTRUKSI DUKTUS NASOLAKRIMALIS

3.1 Definisi
Obstruksi duktus nasolakrimalis adalah penyumbatan duktus
nasolakrimalis (saluran yang mengalirkan air mata dari sakus lakrimalis ke
hidung). Duktus nasolakrimalis termasuk dalam sistem lakrimalis sebagai
komponen dari sistem ekskresi / drainase air mata.3
3.2 Etiologi dan Klasifikasi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi duktus
nasolakrimalis:3
 Terdapat benda yang menutupi lumen duktus, seperti pengendapan kalsium,
atau koloni jamur yang mengelilingi suatu korpus alienum.
 Terjadi striktur atau kongesti pada dinding duktus.
 Penekanan dari luar oleh karena terjadi fraktur atau adanya tumor pada sinus
maksilaris.
 Obstruksi akibat adanya deviasi septum atau polip.

Penyumbatan bisa bersifat parsial (sebagian) atau total. Obstruksi duktus


nasolakrimal kongenital (ODNLK) merupakan gangguan sistem lakrimal yang
terjadi pada 2-4% bayi baru lahir. Biasanya akibat tidak terbukanya membran
nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya penekanan pada
salurannya, misal adanya polip hidung.3

3.3 Patofisiologi dan Gejala Klinis


Obstruksi duktus nasolakrimal primer sering dikaitkan dengan fibro-
inflammatory process yang tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan obstruksi
duktus nasolakrimal sekunder dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok
penyebab seperti berikut:
a) Infeksi: bakteri, jamur, dan virus
b) Inflamasi: sarcoides dan radiasi
c) Neoplastik: squamous cell carcinoma, dan squamous cell papiloma
d) Trauma iatrogenik: lakrimal probe, operasi sinus atau non iatrogenik
seperti laserasi kanikular

1
e) Mekanik: kemasukan benda asing.1

Manifestasi obstruksi duktus nasolakrimalis yang paling lazim adalah mata


berair (tearing), yang berkisar dari sekedar mata basah (peningkatan di cekungan
air mata), sampai banjir air mata yang jelas (epifora), penimbunan cairan mukoid
atau mukopurulen, dan kerak. Mungkin ada eritema atau maserasi kulit karena
iritasi dan gesekan yang disebabkan oleh tetes - tetes air mata dan cairan.1

3.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.3
Pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Dye dissapearance test (DDT) dilakukan dengan meneteskan zat warna
fluorescein 2% pada kedua mata, masing - masing 1 tetes. Kemudian
permukaan kedua mata dilihat dengan slit lamp. Jika ada obstruksi pada salah
satu mata akan memperlihatkan gambaran seperti di bawah ini.4

Gambar 3.1. Obstruksi pada duktus nasolakrimalis kiri


Sumber: http://www.djo.harvard.edu

2. Fluorescein clearance test


Dilakukan untuk melihat fungsi saluran ekskresi lakrimal. Uji ini dilakukan
dengan meneteskan zat warna fluorescein 2% pada mata yang dicurigai
mengalami obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Setelah itu pasien
diminta berkedip beberapa kali dan pada akhir menit ke-6 pasien diminta
untuk beringus (bersin) dan menyekanya dengan tissue. Jika pada tissue
didapati zat warna, berarti duktus nasolakrimalis tidak mengalami obstruksi.4,5
3. Tes Probing dan Tes Anel (Irigasi)

2
Probing test bertujuan untuk menentukan letak obstruksi pada saluran
ekskresi air mata dengan cara memasukkan sonde ke dalam saluran air mata.
Pada tes ini, punctum lakrimal dilebarkan dengan dilator, kemudian probe
dimasukkan ke dalam sackus lakrimal. Jika probe yang bisa masuk
panjangnya lebih dari 8 mm berarti kanalis dalam keadaan normal, tapi jika
yang masuk kurang dari 8 mm berarti ada obstruksi. Bila probe ini telah
berhasil masuk, maka disusul dengan tes Anel.4,5

Gambar 3.2. Tes Probing


(Dikutip dari Lang G, 2006. Ophthalmology, A Pocket Textbook Atlas. New York:
Thieme; 2nd Ed.)
Tes Anel dilakukan dengan menggunakan semprotan yang diisi dengan
larutan garam fisiologis.
Tes Anel (+): Bila terasa asin di tenggorokan, berarti salurannya berfungsi
baik.
Tes Anel (-): Bila tidak terasa asin, berarti ada kelainan di dalam saluran
ekskresi tersebut.
Bila cairan keluar lagi dari pungtum lakrimal superior, berarti ada obstruksi di
duktus nasolakrimalis. Kalau cairan kembali melalui pungtum lakrimal
inferior, berarti obstruksi terdapat di ujung nasal kanalikuli lakrimal inferior.4

3
Gambar 3.3. Tes Irigasi
(Dikutip dari Lang G, 2006. Ophthalmology, A Pocket Textbook Atlas. New
York: Thieme; 2nd Ed. dan Medscape, 2009. Obstruction Nasolacrimal Duct.)

4. Jones Dye Test 3,6,7


Jones dye test juga dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran
ekskresi lakrimal. Uji ini terbagi menjadi dua yaitu Jones Test I dan Jones
Test II. Pada Jones Test I, mata pasien yang dicurigai mengalami obstruksi
pada duktus nasolakrimalisnya ditetesi zat warna fluorescein 2% sebanyak 1-
2 tetes. Kemudian kapas yang sudah ditetesi pantokain dimasukkan ke meatus
nasal inferior dan ditunggu selama 3 menit. Jika kapas yang dikeluarkan
berwarna hijau berarti tidak ada obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya.

4
Gambar 3.4. Tes Warna Jones (Primer) Positif
(Dikutip dari Lang G, 2006. Ophthalmology, A Pocket Textbook Atlas. New York:
Thieme; 2nd Ed.)

Hasil negatif bila tidak terdapat warna hijau dari hidung, mengindikasikan
obstruksi parsial atau kegagalan dari mekanisme pompa lakrimal.

Gambar 3.5. Tes Warna Jones (Primer) Negatif


(Dikutip dari Lang G, 2006. Ophthalmology, A Pocket Textbook Atlas.
New York: Thieme; 2nd Ed.)

Pada Jones Test II, mengindikasikan kemungkinan letak obstrukasi


parsial. Caranya hampir sama dengan Jones test I, akan tetapi jika pada menit
ke-5 tidak didapatkan kapas dengan bercak berwarna hijau maka dilakukan
irigasi dengan larutan salin pada sakus lakrimalisnya. Bila setelah 2 menit
didapatkan zat warna hijau pada kapas, mengindikasikan bahwa fluorecein
masuk ke dalam sakus lakrimalis, sehingga terdapat obstruksi parsial dari
duktus nasolakrimalis.

Gambar 3.6. Tes Warna Jones (Sekunder) Positif

5
(Dikutip dari Lang G, 2006. Ophthalmology, A Pocket Textbook Atlas. New York:
Thieme; 2nd Ed.)

Bila lebih dari 2 menit atau bahkan tidak ada zat warna hijau pada kapas sama
sekali setelah dilakukan irigasi, mengindikasikan tidak masuknya fluorescein
ke dalam sakus lakrimalis. Ini berarti obstruksi parsial dari pungtum,
kanalikuli atau kanalikuli komunis, atau tidak sempurnanya mekanisme
pompa lakrimalis.

Gambar 3.7. Tes Warna Jones (Sekunder) Negatif


(Dikutip dari Lang G, 2006. Ophthalmology, A Pocket Textbook Atlas. New York:
Thieme; 2nd Ed.)
5. Tes Radiografi
Menggunakan kontras khusus untuk menilai duktus nasolakrimalis (Digital
Subtraction Dacryocystography).3,7

Gambar 3.8. Digital Substraction Dacryocystography

6
(Dikutip dari Lang G, 2006. Ophthalmology, A Pocket Textbook Atlas. New York:
Thieme; 2nd Ed.)

6. Nuclear Lacrimal Scintigraphy


Merupakan teknik non-invasif untuk menilai efisiensi fungsional dari sistem
drainase lakrimal. Pelacak radioaktif (sulfur koloid atau Technitium)
ditanamkan ke dalam kantung konjungtiva dan perjalanannya melalui sistem
drainase lakrimal divisualisasikan dengan kamera Anger gamma.7

Gambar 3.9. Lacrimal Scintigraphy


(A: sistem ekskresi lakrimal normal; B: obstruksi pada batas sakus lakrimalis
dengan duktus nasolakrimalis)
(Dikutip dari Khurana, 2007. Comprehensive Ophthalmology. Delhi: Newage
Internasional: 4th Ed.)
3.5 Penatalaksanaan
Massage daerah lakrimal menjadi pilihan pertama. Massage dengan
tekanan pada pangkal hidung ke arah inferior dilakukan satu sampai dua menit
tiap hari. Bila dalam jangka waktu tiga bulan tidak menunjukkan perbaikan maka
irigasi berulang merupakan langkah berikutnya yang dilakukan sampai anak
berusia 1 (satu) tahun. Batas usia ini tidak mutlak, apabila tanda radang tidak ada,
maka irigasi dapat dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun.7
Sumbatan nasolakrimal pada orang dewasa pada umumnya merupakan
indikasi suatu tindakan pembedahan yaitu dakriositorinostomi. Prosedur
pembedahan yang sering dilakukan pada dakriosistitis adalah
dacryocystorhinostomy (DCR).7

7
Gambar 3.10. Teknik Dakriosistorinostomi Eksternal
(Dikutip dari Orbit, Eyelid, and Lacrimal System, American Academy of
Ophtalmology)
Dimana pada DCR ini dibuat suatu hubungan langsung antara sistem
drainase lakrimal dengan cavum nasal dengan cara melakukan bypass pada
kantung air mata. Dulu, DCR merupakan prosedur bedah eksternal dengan
pendekatan melalui kulit di dekat pangkal hidung. Saat ini, banyak dokter telah
menggunakan teknik endonasal dengan menggunakan scalpel bergagang panjang
atau laser.8
Dakriosistorinostomi internal memiliki beberapa keuntungan jika
dibandingkan dengan dakriosistorinostomi eksternal. Adapun keuntungannya
yaitu, (1) trauma minimal dan tidak ada luka di daerah wajah karena operasi
dilakukan tanpa insisi kulit dan eksisi tulang, (2) lebih sedikit gangguan pada
fungsi pompa lakrimal, karena operasi merestorasi pasase air mata fisiologis tanpa
membuat sistem drainase bypass, dan (3) lebih sederhana, mudah, dan cepat (rata-
rata hanya 12,5 menit).8
Kontraindikasi pelaksanaan DCR ada 2 macam, yaitu kontraindikasi
absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi relatif dilakukannya DCR

8
adalah usia yang ekstrim (bayi atau orang tua di atas 70 tahun) dan adanya
mucocele atau fistula lakrimalis. Beberapa keadaan yang menjadi kontraindikasi
absolut antara lain:
 Kelainan pada kantong air mata :
- Keganasan pada kantong air mata.
- Dakriosistitis spesifik, seperti TB dan sifilis
 Kelainan pada hidung :
- Keganasan pada hidung
- Rhinitis spesifik, seperti rhinoskleroma
- Rhinitis atopik
 Kelainan pada tulang hidung, seperti periostitis5

Gambar 3.11. Teknik Dakriosistorinostomi Internal


(Dikutip dari: Orbit, Eyelid, and Lacrimal System, American Academy of
Ophtalmology)

Ballon dacryocystoplasty biasa digunakan pada anak dengan obstruksi


duktus nasolakrimalis kongenital dan pada dewasa dengan obstruksi duktus
nasolakrimalis parsial.5,8

3.6 Komplikasi
Obstruksi pada duktus nasolakrimalis ini dapat menimbulkan penumpukan
air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang merupakan media

9
pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga menyebabkan
dakrisistitis.9
Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya kantong air
mata sehingga membentuk fistel. Bisa juga terkadi abses kelopak mata, ulkus,
bahkan selulitis orbita.1

Komplikasi juga bisa muncul setelah dilakukannya DCR. Komplikasi


tersebut di antaranya adalah perdarahan pascaoperasi, nyeri transien pada segmen
superior os.maxilla, hematoma subkutaneus periorbita, infeksi dan sikatrik
pascaoperasi yang tampak jelas.1

3.7 Prognosis
Prognosis pada kasus ini pada umumnya baik karena angka keberhasilan
pada dacryocystorhinostomy (DCR) adalah 75 – 95 %.3

10

Anda mungkin juga menyukai