Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KELOMPOK 2

FILSAFAT ISLAM “AL-RAZI”

Nama Kelompok :
 Fakhri Syahputra (21.12.031)
 Irfan Alfiansyah (21.12.032)
 Muhammad Fadhil (21.12.041)
 Mohammad Darmanto (21.12.026)
 Resty Rismalasari (21.12.014)
 Moch. Mirza Fahmi (21.15.130)

UNIVERSITAS ISLAM DJAKARTA


2015
Filsafat Islam Ar-Razi (Sejarah dan Pemikirannya)

A. Pendahuluan

Kalaupun Islam muncul sebagai sistem peradaban yang mandiri, maka hal itu merupakan
realitas sejarah yang tentu saja bukan untuk arah utama Islam sebagai agama yang hadir. Dalam
arti, Allah mengutus Muhammad membawa Islam tentulah “tidak direncanakan” untuk muncul
sebagai sebuah peradaban. Islam muncul sebagai sebuah agama dengan membawa aneka sistem
keagamaan. Oleh karenanya, harus dipahami perbedaan Islam sebagai agama dengan Islam
sebagai peradaban.

Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam
Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang
berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk
ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani.
Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan
pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke
dalam Islam.

Filsafat Islam yang dipelopori oleh para filosof muslim timur telah mengembangkan
sayapnya dan menancapkan cakarnya dengan kuat. Dimulai dari al-Kindi sebagai filosof Islam
pertama kali, kemudian disusul oleh para filosof yang lainnya. Karena merupakan filosof yang
pertama kali, maka al-Kindi dijuluki sebagai bapak filsafat Islam. Setelah masa al-Kindi,
kemudian dilanjutkan oleh berbagai filosof yang masing-masing mengembangkan karakternya
masing-masing. Setelah itu, filsafat dilanjutkan oleh al-Razi yang menolak perpaduan antara
agama dengan filsafat. Karena menurutnya kebenaran yang sejati ini adalah kebenaran yang
diperoleh dari filsafat. Sedangkan agama saling bertentangan antara yang satu dengan yang
lainnya. Maka dari itu, untuk memperbaiki masyarakat, maka harus mengamalkan filsafat. Maka
dari itu, penulis akan membahas secara mendetail pemikiran kedua tokoh tersebut dalam karya
yang berjudul ” al-Razi: Lima Kekal”.

B. Al-Razi

1. Biografi dan Pendidikannya

Al Razi adalah seorang filosof muslim kedua setelah al-Kindi, nama lengkapnya adalah
Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal
dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di sebuah kota bernama Razy, kota tua yang dahulunya
bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran. Ia lahir pada tanggal 1 Sya’ban 251
M/865 M. Beliau wafat pada Tahun 925 M.

Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan dan suka pada musik (kecapi). Ia cukup
respek terhadap ilmu kimia, sehingga tidak mengherankan apabila kedua matanya buta akibat
dari eksperimen yang dilakukannya. Namun, para sarjana berpendapat bahawa al-Razi
mengalami sakit mata dan kemudiannya buta pada penghujung hayat-nya. Al-Razi menderita
akibat ketekunannya menulis dan membaca yang terlalu banyak. Ia juga belajar ilmu kedoktoran
(obat-obatan) dengan sangat tekun pada seorang dokter dan filosof yang lahir di Merv pada
Tahun 192 H/808 M yang bernama Ali Ibnu Robban al-Thabari. Kemungkinan guru ini pula
yang menumbuhkan minat al-Razi untuk bergulat dengan filsafat agama, karena ayah guru
tersebut adalah seorang pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci.

Selain al-Razi sang ahli filsafat, ada lagi beberapa nama tokoh lain yang juga
dipanggilkan al-Razi, yakni Abu Hatim al-Razi, Fakhruddin al-Razi dan Najmuddin a-Razi. Oleh
karena itu, agar dapat membedakan al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu
ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).

Walaupun pada akhirnya beliau dikenal sebagai ahli pengobatan seperti Ibnu Sina, pada
awalnya al-Razi adalah seorang ahli kimia. Menurut sebuah riwayat yang dikutip oleh Nasr
(1968), al-Razi meninggalkan dunia kimia karena penglihatannya mulai kabur akibat
eksperimen-eksperimen kimia yang meletihkannya dan dengan bekal ilmu kimianya yang luas
lalu menekuni dunia medis kedokteran, yang rupanya menarik minatnya pada waktu mudanya. Ia
mengatakan bahwa seorang pasien yang telah sembuh dari penyakitnya adalah disebabkan oleh
respon reaksi kimia yang terdapat di dalam tubuh pasien tersebut. Dalam waktu yang relatif
cepat, ia mendirikan rumah sakit di Rayy, salah satu rumah sakit yang terkenal sebagai pusat
penelitian dan pendidikan medis. Selang beberapa waktu kemudian, ia juga dipercaya untuk
memimpin rumah sakit di Baghdad.

Menurut informasi sejarah yang dikemukakan oleh Al-Qifti dan Usaibi’ah sulit
dipercaya. Menurutnya al-Razi berguru kepada Ali Ibnu Rabban al-Thabari, seorang dokter dan
filosof. Padahal Al-Razi lahir sepuluh tahun setelah Ali Ibnu Rabban al-Thabari meninggal
dunia. Menurut al-Nadim yang benar adalah al-Razi belajar filsafat kepada al-Balkhi, menguasai
filsafat dan ilmu-ilmu kuno.

Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia
lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia sangat rajin
menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur
melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi, ia menolak untuk diobati dengan mengatakan
pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia akan meninggal.

Di kala itu, ilmu pengetahuan yang dimiliki al-Razi sangatlah banyak sehingga banyak
orang-orang yang belajar kepadanya. Ini terlihat dengan metode penyampaian pemikirannya
berbentuk sistem pengembangan daya intelektual (sistem diskusi). Apabila ada seorang murid
yang bertanya maka pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya melainkan dilempar kembali
kepada murid-murid lainnya yang terbagi beberapa kelompok. Apabila kelompok pertama tidak
dapat menjawab maka pertanyaan dilempar pada kelompok kedua, dan seterusnya. Ketika
semuanya tidak dapat menjawab ataupun ada yang menjawab tetapi jawabannya kurang benar,
barulah al-Razi yang memebrikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

2. Karya-Karya Al-Razi

Al-Razi adalah sosok manusia yang dikenal aktif berkarya, ia termasuk filosof yang rajin
belajar dan menulis sehingga tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam
autobiografi pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ibnu abi Usaibah menyebutkan bahwa al-Razi
mempunyai 236 karya, tetapi beberapa diantaranya tidak jelas pengarangnya.

Melalui karya-karyanya, al-Razi menampilkan dirinya sebagai filosof-platonis, terutama


dalam prinsip “lima kekal” dan “jiwa”nya. Di samping itu, ia juga pendukung pandangan
naturalis kuno. Selain ulet, ia juga seorang tokoh intelektual yang berani, sehingga ia dijuluki
sebagai tokoh non-kompromis terbesar di sepanjang sejarah intelektual Islam. Di antara bukti
keberaniannya dituangkan dalam pandangannya tentang “jiwa” dan “kenabian dan agama”.

Perhatian utama filsafat al-Razi adalah jiwa, kemudian lima yang kekal. Setelah itu,
moral, kenabian dan agama, yang merupakan sisi pengembangan daya kritik intelektualnya. jiwa
merupakan titik kesamaan perhatian utama antara al-Razi dan Plato. Selain ia seorang filosof, ia
juga seorang yang ahli dalam bidang kimia dan kedokteran. Tulisannya dalam bidang kimia yang
terkenal ialah Kitab Al-Asrar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard fo Cremon.
Sedangkan dalam bidang medis atau pengobatan karyanya yang terbesar ialah al-Hawi, al-Hawi
merupakan ensiklopedi ilmu kedokteran, diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan judul
Continens yang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama dikalangan kedokteran Eropa
sampai abad ke 17.

Agar lebih jelas karya-karya al-Kindi dikelompokkan seperti dibawah ini :

1) Ath-Thibb Ar-Ruhani,

2) Ash-Shirat Al-Falsafiyyah,

3) Amarat Iqbal Ad-Daulah,

4) Kitab Al-Ladzdzah,

5) Kitab Al-Ilm Al-Ilahi,

6) Maqalah Fi Ma’bad Ath-Thabi’ah,

7) Al-Hawi Fi Ath-Thibb,

8) Manshuri,

9) Kitab Sirr Al-Asrar,


10) Muluki,

11) Kitab Al-Jami’ Al-Kabir,

12) Sekumpulan risalah logika berkenaan dengan Kategori-kategori, Demonstrasi,


Isagoge, dan dengan logika, seperti yang dinyatakan dalam ungkapan kalam Islam,

13) Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya,

14) Materi Mutlak dan Partikular,

15) Plenum dan Vacum, Ruang dan Waktu,

16) Fisika,

17) Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana,

18) Tentang Keabadian dan Ketidakabadian Tubuh,

19) Sanggahan terhadap Proclus,

20) Opini fisika “Piutarch” (Placita Philosophorum),

21) Sebuah Komentar terhadap Komentar Plutarch tentang Timaeus,

22) Sebuah Komentar tentang Timaeus,

23) Sebuah Risalah yang menunjukkan Bahwa Benda-benda bergerak dengan sendirinya dan
bahwa Gerakan itu pada Hakikatnya adalah milik mereka,

24) Obat pencahar Rohani (Spiritual Physic),

25) Jalan Filosofis,

26) Tentang Jiwa,

27) Tentang Perkataan Imam yang tidak bisa salah,

28) Sebuah Sanggahan Terhadap Kaum Mu’tazilah,

29) Metafisika Menurut Ajaran Plato,

30) Metafisika Menurut Ajaran Sokrates,


3. Pemikirannya

Filsafat al-Razi yang paling terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Lima yang
Kekal, yakni: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama Ruang Absolut dan Zaman Absolut, dalam
bahasa Arab :

‫البا‬ ‫رى‬ ‫تعا‬ ‫لى‬ ‫والنفسول‬ ‫الكلية‬ ‫والهيلوال‬ ‫لالولى‬ ‫والمكن‬ ‫المطلق‬ ‫والزمن‬ ‫المطلق‬

Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu
antara al-dahr (duration) dan al-waqt (time). Yang pertama kekal dalam arti tidak bermula dan
tak berakhir, dan kedua disifati oleh angka.

Bagi benda (being) kelima hal itu adalah :

a. Materi, yakni; apa yang ditangkap dengan panca indra tentang benda itu.

b. Ruang, yakni; karena materi mengambil tempat.

c. Zaman, yakni; karena materi berobah-obah keadaanya.

d. Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Di antara yang
hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur.

e. Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.

Dua dari yang Lima Kekal itu hidup dan aktif, Tuhan dan roh. Satu daripadanya tidak hidup dan
pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, ruang dan masa.

Sedangkan sistematika filsafat Lima Kekal al-Razi dapat dijelaskan sebagai berikut:
pertama, Al-Bari Ta’ala (Allah); hidup dan aktif dengan sifat Independen. Menurut al-Razi,
Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada
(creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta
tidak qadim, baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab penciptaan di sini dalam arti di
susun dari bahan yang telah ada. Kedua, an-Nafs al-Kuliyyah (jiwa universal); hidup dan aktif
serta menjadi al-Mabda’ al-qadim ats-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifitasnya bersifat
independen. An-nafs al-Kulliyah tidak berbentuk. Namun, karena mempunyai naluri untuk
bersatu dengan al-hayula al-ula, an-nafs al-kulliyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga
bisa menerima, sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk
badan manusia. Ketika masuk pada benda-benda itulah, Allah menciptakan roh untuk menempati
benda-benda alam dan badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya.
Karena semakin lama jiwa bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk
menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik tersebut.
Ketiga, al-hayula al-ula (materi pertama), tidak hidup dan pasif. Al-hayula al-ula adalah
subtansi (jauhar) yang kekal yang terdiri atas dzarrah, dzarrah (atom-atom). Setiap atom terdiri
atas volume. Jika dunia hancur, volume juga akan terpecah dalam bentuk atom-atom.materi yang
sangat padat menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang
menjadi substansi udara dan yang lebih rengggang menjadi api. Al-hayula al-ula, kekal karena
tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan
(yang berproses) dan tidak dalam sekejap yang sangat sederhana dan mudah. Dengan kata lain,
Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa bahan sebelumya yang kekal karena mendapat
(semacam emanasi, pancaran) dari Yang Maha Kekal. Keempat, al-Makan al-Muthlaq (ruang
absolut), tidak aktif tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai
”tempat” yang sesuai.

Ada dua macam ruang, yakni; ruang partikular (relatif) dan ruang universal. Yang
partikular terbatas, sesuai dengan keterbatasan maujud yang menempatinya. Adapun ruang
universal tidak terbatas dan tidak terikat pada maujud karena bisa saja dapat terjadi kehampaan
tanpa maujud. Kelima, az-zaman al-muthlaq (zaman absolut), tidak aktif dan tidak pasif. Zaman
atau masa ada dua; relatif/terbatas yang biasa disebut al-waqt dan zaman universal yang biasa
disebut ad-dhar. Yang terakhir ini (ad-dhar) tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak
atau benda-benda angkasa raya.

Di antara filsafat al-Razi antara lain :

a. Filsafat Metafisika

Al-Razi adalah sosok filsuf yang berani, rasionalis-empiris dan argumentasi-


argumentasinya banyak dipengaruhi oleh para pemikir besar Yunani sebagaimana telah
disebutkan dalam pendahuluan, sampai ia dikenal dikalangan para pemikir Islam sebagai pemikir
atheis, dimana komentar-komentarnya banyak berbeda dengan filsuf muslim lain. Dalam hal ini
diantara pemikirannya yang dianggap keluar dari Islam adalah pandangannya terhadap
ketidakperluan Nabi sebagai perantara wahyu, bahwa ia mengatakan Tuhan dengan kasih
Sayang-Nya memberikan potensi kepada manusia untuk bisa mengenalnya.

Ketika ditanya bagaimana filsafat bersikap terhadap imam pada sebuah agama wahyu, ia
menjawab: “Bagaimana seseorang dapat berfikir secara filosofis sedangkan ia mengikatkan diri
pada cerita-cerita kuno, yang ditegakkan atas dasar kontradiksi, kebodohan yang membandel,
dan dogmatisme? Kenabian khususnya (special prophecy), tegasnya, merupakan sesuatu yang
tidak diperlukan: “Bagaimana anda menerima Tuhan lebih mencintai seorang manusia sebagai
pengemban standar umat manusia, yang membuat manusia lainnya bergantung padanya?
Bagaimana anda dapat mempertemukan kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Bijaksana dengan
memilih seseorang dengan cara demikian, yang membuat umat manusia siap untuk saling
membunuh, menimbulkan pertumpahan darah, perang dan konflik. Ia sangat dikenal sebagai
pemikir kontradiktif sekaligus pemikir kreatif. Pikiran-pikirannya sangat brilian, liberal dan
radikal sampai dikecam dan tidak terlalu mendapat simpati dikalangan para ulama dan pemikir
Islam lainnya.

Namun dalam fokus kita kali ini yang menjadi perhatian kita adalah perhatiannya
terhadap metafisika yang hal ini juga salah satu akibat ia dimarjinalkan dari konteks kesejarahan
Islam. Ada lima teori kekekalan diajukan sebagai yang mewakili pandangan metafisikanya
secara umum; pertama, materi menurut al-Razi bahwa itu tidak mesti tersusun dari kuantum yang
diskret dan tak dapat dibagi-bagi, materi baginya bergerak menurut unsur-unsur materinya
masing-masing, pendapat ini dijelaskan dengan panjang lebar dalam bukunya yang membahas
bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam tindakan mahluk. Al-Razi lebih meyakinkan adanya
gerak bawaan dan intrinsik, inilah perbedaan tajam antara fisika Democritus dan Aristoteles.

Keabadian materi didemontrasikan dalam dua cara. Penciptaan, yaitu tindakan materi
yang sedang “dalam Pembentukan”, mensyaratkan (adanya) bukan saja seorang Pencipta yang
telah mendahuluinya, tetapi juga sebuah substratum atau meteri dimana tindakan itu melekat.
Selain itu, konsep yang sebenarnya dari penciptaan ex nihilo tidak dapat dipertahankan secara
logis, karena jika Tuhan telah mampu menciptakan sesuatu dari tiada, maka tentu saja ia harus
terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada, karena hal ini merupakan modus pembuatan
yang paling sederhana dan paling cepat. Tetapi karena tidak demikian halnya, maka dunia
haruslah dikatakan telah diciptakan dari materi tanpa bentuk, yang telah mendahuluinya sejak
semula. Materi memerlukan sebuah locus tempat ia tinggal, dan ini adalah prinsip yang kedua.

Kedua, Ruang dipahami oleh al-Razi, sebagai sebuah konsep abstrak, yang berbeda
dengan “tempat” (tonos) Aristoteles, tidak dapat dipisahkan secara logis dari tubuh. Akibatnya,
ia menarik garis perbedaan antara tempat atau ruang universal dan particular. Tempat (ruang)
universal sama sekali berbeda dengan tubuh, sehingga konsep tubuh yang menempatinya tidak
perlu masuk kedalam defenisinya, seperti yang implisit dalam konsep ruang Aristotelian, atau
“batas tubuh yang paling dalam yang terkandung di dalamnya”. Sementara bagi Aristoteles pun
dalam kapasitas universalnya sebagai locus communis, ruang tidak dapat dipisahkan dari tubuh,
alam semesta dan karena itu bersifat terbatas. Tempat particular, dipihak lain, tidak dapat
dipahami secara terpisah dari materi, yang merupakan esensinya yang sejati. Dalam hal ini, ia
berbeda dengan konsep Aristoteles tentang ruang waktu sebagai locus atau wahana (vehicle).

Ketiga, Dalam pandangannya tentang waktu, Al-Razi juga menyimpang dari Aristoteles,
yang memandang waktu sebagai semacam gerak atau bilangan dari padanya. Konsep seperti itu
menyebabkan realitas waktu tergantung secara logis kepada gerakan secara umum dan gerakan
segenap langit secara khusus; tetapi dalam pandangan Al- Razi, gerak tidaklah menghasilkan
tetapi hanyalah menyingkap atau memperlihatkan waktu, yang karenanya secara esensial tetap
berbeda dengannya. Seperti terhadap ruang lebih lanjut, ia membedakan antara waktu particular
atau tertentu dengan waktu mutlak atau universal. Yang pertama dibayangkan sebagai (sesuatu)
yang dapat diukur dan terbatas, sedangkan yang terakhir sebagai yang tidak dapat diukur dan
tidak terbatas, sama dengan zaman universal (ad-Dahr) Neoplatonik, yang merupakan ukuran
perlangsungan dunia indriawi, yang disebut oleh Plato “bayang-bayang keabadian yang
bergerak-gerak”.

Keempat, sekaligus kelima, adalah kedua prinsip jiwa dan Pencipta, dalam sistim al-Razi
dikaitkan erat dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan masalah yang mendesak bagi
pembenaran penciptaan dunia, yang telah begitu mengganggu (pikiran) para filosof sejak zaman
Plato. Persoalan yang ia gumuli bukan apakah dunia ini diciptakan atau tidak (karena, seperti
Plato, ia masih percaya bahwa dunia diciptakan dalam waktu yang abadi), melainkan masalah
yang lebih rumit yang terus membahana lewat risalah-risalah polemic teologi dan filsafat, baik
dalam Islam maupun Kristen apakah Tuhan menciptakan dunia , seperti yang dikatakan oleh
kaum skolastik Latin kemudian, malalui suatu “kemestian alam” (necessity of nature), atau
melalui sebuah tindakan kehendak bebas? Jika “kemestian alam” yang dituntut katanya, maka
konsekuensi logisnya adalah bahwa Tuhan, yang menciptakan dunia dalam waktu, berada dalam
waktu itu sendiri, karena suatu produk alamiah harus terjadi secara niscaya atau pelaku
alamiahnya dalam waktu. Dipihak lain, jika tindakan kehendak bebaslah yang akan dijadikan
jawaban, maka pertanyaan lain segera akan muncul, “Mengapa Tuhan lebih suka menciptakan
dunia dalam waktu particular ketimbang dalam (cara) yang lainnya. Jiwa sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam bentuk-bentuk kekekalan yang lain bersifat sama-sama kekal dengan Tuhan
terpaksa mengadakan apa yang tidak dapat dicapai jiwa secara mandiri, yakni, kesatuan dengan
bentuk-bentuk material. Dengan kesatuan inilah maka penciptaan dunia, dimana jiwa tetap
‘seorang’ asing untuk selamanya terjalin. Berkat cahaya akal maka jiwa, yang telah demikian
terpikat oleh bentuk-bentuk material dan kesenangan-kesenangan indriawi, pada akhirnya sadar
akan nasibnya yang sejati dan terdorong untuk mencari tempat pemukimannya kembali di dunia
akali yang merupakan tempat tinggal yang hakiki.

Pandangan al-Razi tentang kesengsaraan jiwa dalam dunia indriawi sabagai sambungan
di atas, seperti Epicurus, al-Razi berminat pada sisi patologis agama, dan ingin agar akal bisa
menghalau kewajiban-kewajiban tertentu agama, demi kepentingan kesehatan mental atau
kejernihan moral. Ritual (mazhab), tegasnya, berkaitan dengan hasrat (passions), bukan pikiran
“kebersihan dan kesucian harus dipertimbangkan semata-mata dengan indra, bukan dengan
deduksi dan harus diperlakukan berdasarkan persepsi bukan praduga”. Adalah wajib untuk
menuntut pelbagai tingkat kesucian yang diserukan bukan oleh tuntutan-tuntutan agama atau
bahkan oleh respon sensivitas berlebihan. Sebab, kata al-Razi, bukan agama atau sensibilitas
yang dapat merespon secara rasional terhadap kekotoran-kekotoran yang tidak dapat dirasakan.
Penolakan al-Razi terhadap sensivitas yang berlebihan sebagai suatu keburukan adalah sesuai
dengan pemahaman psikiatrisnya, terutama mengenai melankolia alias depresi.

b. Filsafat Rasionalis (akal)

Harun Nasution dalam bukunya falsafat mistisisme dalam Islam diungkapkan bahwa; Al-
Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada
wahyu dan nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik
serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini.
Manusia terlahir pada dasarnya telah dibekali akan sebuah potensi daya berpikir yang sungguh
sama besarnya, dan perbedaan itu timbul karena berlainan pendidikan dan berlainan suasana
perkembangannya. Ia tidak percaya dengan para Nabi karena dia menganggap para Nabi
membawa tradisi berupa upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang pikirannya
sederhana. Ia juga berani menganggap bahwa al-Qur’an bukan mukjizat. Tetapi yang diutamakan
baginya adalah buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan daripada buku-buku agama. Walaupun
ia menentang agama pada umumnya, ia bukanlah seorang ateis, akan tetapi ia seorang monoteis
yang percaya pada adanya Tuhan sebagai pengatur alam.

Dalam hal ini, Badawi menerangkan alasan-alasan al-Razi dalam menolak kenabian,
adapun alasan-alasannya antara lain: pertama, akal sudah memadai untuk membedakan antara
yang baik dan yang jahat, yang berguna dan tidak berguna. Hanya dengan akal semata, manusia
mampu mengetahui Allah yang mengatur kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kedua, tidak ada
alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang karena
semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pembawaan
alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan. Ketiga, para Nabi saling bertentangan.
Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Allah.

Sebagai bukti sikap Rasionalis yang dimiliki oleh al-Razi terhadap akal, terlihat dalam
bukunya Ath-Thibb Ar-Ruhani. Dalam Kitab tersebut, ia mengatakan :

”Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya, kita memperoleh
sebanyak-banyak manfa’at. Inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal, kita melihat
segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat
mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita .. dengan akal pula, kita dapat
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh ...
jika akal sedemikian mulia dan penting; kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh
menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau kita tidak boleh mengendalikannya, sebab ia
adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah. Tetapi kita harus merujuk
kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita harus sesuai
dengan perintahnya”.

Pernyataan al-Razi merupakan suatu ungkapkan keagungannya terhadap akal. Al-Razi


memang menentang kenabian wahyu dan kecendrungan irrasional. Segalanya harus masuk akal
ilmiah dan logis. Sehingga akal sebagai kriteria prima dalam pengetahuan dan prilaku. Perbedaan
manusia adalah disebabkan oleh berbedanyan pemupukan akal karena ada yang memperhatikan
hal tersebut dan ada yang tidak memperhatikannya, baik dalam segi teoritis maupun yang
bersifat praktis.

Fenomena yang terjadi, bahwa al-Razi adalah seorang yang selalu mengagungkan akal,
ini terbantah karena pendapat demikian adalah sebuah tuduhan-tuduhan yang diberikan
kepadanya dari lawan-lawan debatnya. Hal seperti ini lumrah terjadi karena untuk kepentingan
politik semata yang kalah tetapi tidak sadar diri. Dalam bukunya al- Thibb al-Ruhani tidak
ditemukan keterangan bahwa al-Razi mengingkari kenabian ataupun agama, namun sebaliknya
ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepada agama, karena dengan
agama akan mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surga dan mendapatkan keuntungan
berupa ridha Allah. Dalam buku tersebut ia mengatakan :

”Mengendalikan hawa nafsu adalah wajib menurut rasio, menurut semua orang berakal dan
menurut semua agama dan wajiblah manusia yang baik, Manusia yang utama dan yang
melaksanakan syari’ah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Hal ini disebabkan
syari’ah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai
kenikmatan abadi”.

Selain itu, al-Razi juga mengakui kenabian sebagaimana ia nyatakan dengan sebuah kata
”Semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad dan
keluarganya dan semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada Sayid kita, kekasih kita, dan
penolong kita di hari kiamat, yakni Muhammad. Semoga Allah melimpahkan kepadanya
Shalawat dan Salam yang banyak selama-lamanya. Denganh demikian, tuduhan-tuduhan itu
terbantahkan, al-Razi adalah seorang rasionalis religius, bukan rasionalis liberal karena al-Razi
masih mengakui dan mendasarkan logikanya kepada agama dan kewahyuan.

c. Filsafat Jiwa (ruh)

Mengenai filsafat tentang jiwa (ruh), bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul dari
buah pikiran al-Razi, yakni, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian?
Keabadian lain itu adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena
kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh
kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk membantu ruh.
Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang beragam macam. Kemudian Tuhan
menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah manusia yang berguna untuk menggerakkan
aktifitas di dunia ini.

Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat


Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan
dengan meninggalkan alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, maka roh harus lebih dahulu
disucikan dan yang dapat menyucikan roh adalah ilmu pengetahuan dan membuat pantangan
dalam mmengerjakan beberapa hal tanpa dasar ilmu. Menurut al-Razi jalan mensucikan roh
adalah falsafat. Manusia harus menjauhi kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan
menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan
pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk
memelihara diri.
D. Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Abu Bakar
Muhammad bin Zakaria al-Razi atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah
seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864-930. Ia lahir di Rayy. Al-Razi lahir pada
tanggal 28 Agustus 865 Hijirah dan meninggal pada tanggal 09 Oktober 925 Hijriah. Nama Razi-
nya berasal dari nama kota Rayy.Ia adalah seorang pemikir atau filosof yang rasionalis yang
tidak mempercayai wahyu dan kenabian. Namun ia juga seorang muslim yang ingin
menginterpretasikan pemahamannya tentang Tuhan dan makhlukNya. Karena ia seorang dokter,
maka karyanya yang banyak adalah dalam bidang kedokteran.

Pemikiran filsafatnya sangat rasionalis, bahkan ia tidak mempercayai eksistensi al-qur’an


dan kenabian. Ajaran yang terkenal darinya adalah lima kekal. Di samping itu, ia juga
mempunyai ajaran etika agar manusia tidak terlalu zuhud dan juga tidak terlalu bermewah-
mewah.
Daftar Pustaka

Al-Razi, Abu Bakar, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif Al-Ghaid, Kairo: Maktabat al-
Nahdat al-Mishriyyat, 1978

Dahlan, Ahmad Aziz, Kitab Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’Al-Thurats al-
Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah, Beirut: Dar al-Falaq al-Jadidah, 1982

Luthfi Jum’ah, Muhammad, Tarikh Falasifah Al-Islam, Mesir, t.tp,1927

Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004

Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Nashr, Sayyed Husein, (edt), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Tej. Mizan, Mizan, Bandung:
2003

Ridah, Abu, Rasa’il al-Kindi Al-Falsafiyah, Kairo: t.t, 1950

Razi, Al, Rasa’il Falsafiyah Islam, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982

Salam, Abdus, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, Bandung: Salman ITP, 1983

Syahrastaniy, Al, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t

Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz,
1963

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

Anda mungkin juga menyukai