Anda di halaman 1dari 35

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. DEFINISI
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang
mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)sehingga ginjal tidak
dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Hudak & Gallo,
1996).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth,
2001). Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan
bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)

Gambar: Anatomi ginjal

B. ETIOLOGI
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal
yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber
terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik
(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan
atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal
seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo
(2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut
sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua
organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga
pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan
yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua
golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut
juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini
dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks
maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat
disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain
yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult
polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi
pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada
fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono,
1998).
C. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun,
dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).
D. KLASIFIKASI
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan
melalui penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk
menghitung GFR dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke
laboratorium untuk melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah
produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari
dalam darah oleh ginjal yang sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
 Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
 Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
 Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
 Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)
 Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance
Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus :
(140 − 𝑎𝑔𝑒) × 𝑚𝑎𝑠𝑠 (𝑘𝑔)[× 0,85 𝑖𝑓 𝑓𝑒𝑚𝑎𝑙𝑒]
𝐶𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛𝑒 𝐶𝑙𝑒𝑎𝑟𝑎𝑛𝑐𝑒 = 𝑚𝑔
72 × 𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚 𝑐𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛𝑒 ( )
𝑑𝐿

1. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya
belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada
ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal
meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen, sehingga banyak
penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1.
Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri
untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
2. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda-tanda seseorang berada pada
stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat
penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan
hipertensi.
3. Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR
moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. dengan penurunan pada tingkat
ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang
disebut uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah
tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang.
 Gejala-gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
 Fatigue
Rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan
Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat
lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini
membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian
bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami
sesak nafas akibat terlalu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin
Urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan
protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita
sering terbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal
Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami oleh
sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik
dan infeksi.
 Sulit tidur
Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri
ke seorang ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan
rekomendasi terbaik serta terapi-terapi yang bertujuan untuk
memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat
disarankan juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk mendapatkan
perencanaan diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini biasanya
akan diminta untuk menjaga kecukupan protein namun tetap
mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam makanan tersebut, karena
menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah penting bagi
kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus membatasi
asupan kalsium apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada
pembatasan kalium kecuali didapati kadar dalam darah diatas normal.
Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita yang
juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan selain
pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.
4. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30 persen saja dan
apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam
waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau
melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun
dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu
besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi
(hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit
kardiovaskular lainnya.
 Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :
 Fatigue
 Kelebihan cairan
 Perubahan pada urin
 Rasa sakit pada ginjal.
 Sulit tidur
 Nausea
 Perubahan cita rasa makanan
Dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti
biasanya.
 Bau mulut uremic
Ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau
pernafasan yang tidak enak.
 Sulit berkonsentrasi
5. Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
 Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
 Kehilangan nafsu makan
 Nausea.
 Sakit kepala.
 Merasa lelah.
 Tidak mampu berkonsentrasi.
 Gatal-gatal.
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
 Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
 Keram otot
 Perubahan warna kulit
E. TANDA DAN GEJALA
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifestasi klinik
mengenai dihampir semua sistem tubuh manusia, seperti:
1. Gangguan pada Gastrointestinal
Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan
terbentuknya zat toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme
protein yang terganggu oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum
akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul stomatitis,
cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir
dijumpai pada 90 % kasus gagal ginjal kronik, bahkan kemungkinan terjadi
ulkus peptikum dan kolitis uremik
2. Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik
hitam dan gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
3. Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampir selalu ada pada gagal ginjal kronik.
Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu
dipikirkan apakah suatu gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronik dengan
penyebab polikistik ginjal yang disertai polistemi. Hemolisis merupakan
sering timbul anemi, selain anemi pada gagal ginjal kronik sering disertai
pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai
trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu
sehingga pertahanan seluler terganggu sehingga pada penderita gagal ginjal
kronik mudah terinfeksi oleh karena imunitas yang menurun.
4. Sistem Saraf Otot
Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak
(restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan
syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.
5. Sistem Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi. Mekanisme
terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh karena penimbunan
garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak
nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat kelebihan cairan
tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial.
Gangguan irama jantung sering dijumpai akibat gangguan elektrolit.
6. Sistem Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan
menstruasi sampai aminore. Toleransi glukosa sering terganggu pada gagal
ginjal kronik, juga gangguan metabolik vitamin D.
7. Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan
elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik,
hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia. Gambaran klinik gagal ginjal
kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-
kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular
(Sukandar, 2006).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak
keluar (anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus
bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan
menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan
kerusakan ginjal berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular,
dan rasio urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
 Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar
kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya
kurang ari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada
azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia
atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas
normal (menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir,
perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan
urine.
 Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan
ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
 Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks
ke dalam ureter, terensi.
 Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
 Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan
sel jaringan untuk diagnosis histoligis.
 Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis
ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
 EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa. Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat
menunjukan demineralisasi.
G. KOMPLIKASI
a. Hiperkalemia
b. Perikarditis
c. Hipertensi
d. Anemia
e. Penyakit tulang (Smeltzer & Bare, 2001)
H. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-
kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

Gambar. Hemodialisa

b. Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke,
pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-
80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
PASIEN CKD DENGAN ORD (OSTEO RENAL DISTROFI)

1. DEFINISI
Osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada GGK akibat gangguan
absorpsi kalsium, hiperfungsi paratiroid dan gangguan pembentukan vitamin
D aktif (kalsitriol). Yang terjadi adalah penimbunan asam fosfat yang
mengakibatkan hiperfosfatemia dan kadar ion kalsium serum menurun.
Keadaan ini merangsang kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon lebih
banyak, agar ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat kembali normal.
Gejala klinis berupa gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang, fraktur
spontan, dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis, akan timbul
hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Akan ditemukan osteoporosis
dan osteomalasia.
2. HORMON PARATIROID
Kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon paratiroid (parathiroid
hormone, PTH) yang bersama-sama dengan Vitamin D3 (1.25-
dthydroxycholccalciferal), dan kalsitonin mengatur kadar kalsium dalam
darah. Sintesis PTH dikendalikan oleh kadar kalsium plasma, yaitu dihambat
sintesisnya apabila kadar kalsium tinggi dan dirangsang bila kadar kalsium
rendah. PTH akan merangsang reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal,
meningkatkan absorbsi kalsium pada usus halus, sebaliknya menghambat
reabsorbsi fosfat dan melepaskan kalsium dari tulang. Jadi PTH akan aktif
bekerja pada tiga titik sasaran utama dalam mengendalikan homeostasis
kalsium yaitu di ginjal, tulang dan usus.
Kadar normal PTH utuh dalam plasma adalah 10-55 pg/mL. Waktu
paruh PTH kurang dari 20 menit, dan polipeptida yang disekresikan ini cepat
diuraikan oleh sel-sel Kupffer di hati menjadi 2 polipeptida, sebuah fragmen
terminal C yang tidak aktif secara biologis dengan berat molekul 2500. PTH
bekerja langsung pada tulang untuk meningkatkan resorpsi tulang dan
memobilisasi Ca2+. Selain meningkatkan Ca2+ plasma dan menurunkan
fosfat plasma, PTH meningkatkan ekskresi fosfat dalam urin. Efek fosfaturik
ini disebabkan oleh penurunan reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal. PTH
juga meningkatkan reabsorpsi Ca2+ di tubulus distal, walaupun ekskresi Ca2+
biasanya meningkat pada hiperparatiroidisme karena terjadi peningkatan
jumlah yang difiltrasi yang melebihi efek reabsorpsi. PTH juga meningkatkan
pembentukan 1,25 dihidroksikolekalsiferol, metabolit vitamin D yang secara
fisiologis aktif.
Efek hormon paratiroid terhadap konsentrasi kalsium dan fosfat dalam
cairan ekstraselular. Naiknya konsentrasi kalsium terutama disebabkan oleh
dua efek berikut ini: (1) efek hormon paratiroid yang menyebabkan terjadinya
absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang, dan (2) efek yang cepat dari hormon
paratiroid dalam mengurangi ekskresi kalsium oleh ginjal. Sebaliknya
berkurangnya konsentrasi fosfat disebabkan oleh efek yang sangat kuat dari
hormon paratiroid terhadap ginjal dalam menyebabkan timbulnya ekskresi
fosfat dari ginjal secara berlebihan, yang merupakan suatu efek yang cukup
besar untuk mengatasi peningkatan absorpsi fosfat dri tulang.
Absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang yang disebabkan oleh hormon
paratiroid. Hormon paratiroid mempunyai dua efek pada tulang dalam
menimbulkan absorpsi kalsium dan fosfat. Pertama merupakan suatu tahap
cepat yang dimulai dalam waktu beberapa menit dan meningkat secara
progresif dalam beberapa jam. Tahap ini diyakini disebabkan oleh aktivasi
sel-sel tulang yang sudah ada (terutama osteosit) untuk meningkatkan
absorpsi kalsium dan fosfat. Tahap yang kedua adalah tahap yang lebih
lambat, dan membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan beberapa minggu
untuk menjadi berkembang penuh; fase ini disebabkan oleh adanya proses
proliferasi osteoklas, yang diikuti dengan sangat meningkatnya reabsorpsi
osteoklastik pada tulang sendiri, jadi bukan hanya absorpsi garam fosfat
kalsium dari tulang.
3. HIPERPARATIROID
Hiperparatiroid adalah karakter penyakit yang disebabkan kelebihan
sekresi hormone paratiroid, hormon asam amino polipeptida. Sekresi hormon
paratiroid diatur secara langsung oleh konsentrasi cairan ion kalsium. Efek
utama dari hormon paratiroid adalah meningkatkan konsentrasi cairan kalsium
dengan meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfat dari matriks tulang,
meningkatkan penyerapan kalsium oleh ginjal, dan meningkatkan absorbsi
kalsium di usus. Hormon paratiroid juga menyebabkan fosfaturia, yang secara
tidak langsung menyebabkan terjadinya hipofosfatemia. Hiperparatiroidisme
terbagi menjadi primer, sekunder dan tersier. Hiperparatiroid sekunder
merupakan suatu keadaan dimana sekresi hormon paratiroid meningkat lebih
banyak dibanding dengan keadaan normal, karena kebutuhan tubuh meningkat
sebagai proses kompensasi. Pada keadaan ini terdapat hiperplasi dan
hiperfunsi merata pada keempat kelenjar paratiroid, terutama dari chief cells.
Biasanya penyebab primer adalah gagal ginjal kronik, dan glomerulonefritis
atau pyelonefritis menahun. Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan
hiperparatiroid sekunder adalah osteogenesis imperfekta, penyakit paget
multiple mieloma, karsinoma dengan metastase tulang.
Pada keadaan gagal ginjal, ada banyak factor yang merangsang produksi
hormon paratiroid berlebih. Salah satu faktornya termasuk hipokalsemia,
kekurangan produksi vitamin D karena penyakit ginjal, dan hiperpospatemia.
Hiperpospatemia berperan penting dalam perkembangan hyperplasia
paratiroid yang akhirnya akan meningkatkan produksi hormon paratiroid.
4. PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya hiperparatiroidisme sekunder sudah
dihipotesiskan sejak ± 30 tahun yang lalu, dikenal dengan trade-off theory.
Pada GGK, terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan jumlah massa ginjal
yang berfungsi, sehingga akan mengurangi ekskresi maupun fungsi
metaboliknya. Salah satu substansi yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal
ialah fosfat. Akibatnya terjadi hiperfosfatemia. Ginjal juga merupakan organ
utama yang mensekresikan kalsitriol (1,25(OH)2D3). Berkurangnya massa
ginjal akan mengakibatkan berkurangnya sekresi kalsitriol
(hipokalsitriolemia). Hiperfosfatemia dan hipokalsitriolemia ini merupakan
penyebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder.
Pada GGK, terjadinya hiperfosfatemia secara langsung mengakibatkan
hipokalsemia, yaitu melalui mekanisme keseimbangan kalsium dan fosfat: ion
kalsium + hidrogen fosfat  CaHPO4. pada hiperfosfatemia, keseimbangan
tersebut bergeser ke kanan, sehingga kadar kalsium menurun. Kesimpulannya,
hiperfosfatemia menyebabkan hal-hal sebagai berikut: (1) hipokalsemia
melalui keseimbangan fisikokimiawi, (2) mengurangi aktivitas kalsitriol
dengan menghambat 1α hidroksilase, (3) diduga secara langsung
meningkatkan sekresi hiperparatiroid.
Hipokalsitriolemia mengakibatkan hal-hal sebagai berikut: (1)
hiperparatiroidemia melalui hilangnya penghambatan terhadap sintesis pre-
pro PTH, dan hiperplasia sel kelenjar paratiroid, (2) hipokalsemia melalui:
berkurangnya absorbsi kalsium di saluran cerna, terhambatnya reabsorbsi
kalsium di tubulus renalis, dan terhambatnya mobilisasi kalsium dari tulang.
5. MANIFESTASI KLINIS
Karena hiperparatiroidisme sekunder disebabkan oleh berbagai macam
etiologi, maka manifestasi klinis yang sering muncul selalu diserati dengan
adanya manifestasi klinis akibat kelainan yang mendasarinya, yaitu gagal
ginjal atau defisiensi vitamin D (osteomalasia atau miopati). Pasien mungkin
tidak atau mengalami tanda-tanda dan gejala akibat terganggunya beberapa
sistem organ pada kasus hiperparatiroidisme sekunder yang lama dan berat.
Gejala apatis, keluhan mudah lelah, kelemahan otot, mual, muntah,
konstipasi, hipertensi dan aritmia jantung dapat terjadi, semua ini berkaitan
dengan peningkatan kadar kalsium dalam darah. Manifestasi psikologis dapat
bervariasi mulai dari emosi yang mudah tersinggung dan neurosis hingga
keadaan psikosis yang disebabkan oleh efek langsung kalsium pada otak serta
sistem saraf. Peningkatan kadar kalsium akan menurunkan potensial eksitasi
jaringan saraf dan otot.
Manifestasi utama dari hiperparatiroidisme terutama pada ginjal dan
muskuloskeletal. Pembentukan batu pada salah satu atau kedua ginjal yang
berkaitan dengan peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor merupakan salah
satu komplikasi hiperparatiroidisme. Kerusakan ginjal terjadi akibat
presipitasi kalsium oksalat atau kalsium fosfat dalam pelvis dan parenkim
ginjal yang mengakibatkan nefrolithiasis, obstruksi, pielonefritis serta gagal
ginjal. Nefrolitiasis juga menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan retensi
fosfat.
Manifestasi skeletal yang menyertai hiperparatiroidisme dapat terjadi
akibat demineralisasi tulang atau tumor tulang, yang muncul berupa sel-sel
raksasa benigna akibat pertumbuhan osteoklast yang berlebihan, disebut
sebagai osteitis fibrosa cystica. Secara histologis, gambaran patognomonik
adalah peningkatan giant multinukleal osteoklas pada lakuna Howship dan
penggantian sel normal dan sumsum tulang dengan jaringan fibrotik. Pasien
dapat mengalami nyeri skeletal dan nyeri tekan, khususnya di daerah
punggung, panggul, tungkai dan persendian lutut serta, nyeri ketika
menyangga tubuh, fraktur patologik, deformitas, osteomalasia dan
kiposkoliosis. Nyeri persendian akibat deposit kristal hidroksiapatite, karena
adanya hiperfosfatemia. Bahkan, dapat terjadi neksrosis avaskular pada caput
femoris karena adanya renal distrofi yang menyebabkan nyeri sendi panggul.
Kehilangan tulang yang berkaitan dengan hiperparatiroidisme merupakan
faktor risiko terjadinya fraktur.
Pada pasien dapat disertai dengan gejala disfungsi sistem saraf pusat,
nervus dan otot perifer, traktus gastrointestinal, dan sendi. Manifestasi dari
neuromuscular termasuk tenaga otot berkurang (paroxysmal muscular
weakness) yang perlahan-lahan, mudah lelah, dan atrofi otot yang mungkin
menyolok adalah tanda kelainan neuromuscular primer.
Manifestasi pada traktus gastrointestinal kadang-kadang ringan.
Insidens ulkus peptikum dan pankreatis meningkat pada hiperparatiroidisme
dan dapat menyebabkan terjadinya gejala gastroitestinal.
Pada anak-anak dengan azotemia, terjadi deformitas skeletal berupa
pembengkokan tibia dan femur. Kalsifikasi vaskular dan nekrosis iskemia
perifer dapat menyebabkan warna kulit jari dan kuku menjadi pucat. Kadang,
ulcer dan scar dapat timbul. Dan didapatkan adanya hubungan kejadian
stenosis mitral dan aorta pada pasien anak dengan hemodialisis.
6. PENATALAKSANAAN
Pada kasus defisiensi vitamin D dapat dikoreksi dengan pemberian
kapsul vitamin D 50.000 IU/kapsul satu kali seminggu selama 8 minggu dan
dapat diulang 8 minggu lagi apabila tanda defisiensi masih terlihat. Pada
kasus gagal ginjal kronik, National Kidney Foundation (NKF)
merekomendasikan penurunan kadar PTH untuk menormalkan turnover
mineral tulang dan meminimalisasi terbentuknya kalsifikasi ektopik. Pasien
yang mengalami dialisis gagal ginjal, biasanya mengalami peningkatan kadar
hormon paratiroid. Berikut pilihan terapi non bedah yang dianjurkan bagi
pasien hiperparatiroidisme sekunder pada kasus gagal ginjal kronik:
1. Restriksi konsumsi fosfat, jika dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar 25-hydroxyvitamin D >30 ng/mL.
2. Phosphate binder Calcium-based phosphate binders, seperti calcium
carbonate atau calcium acetate Non-calcium-based phosphate binders,
seperti sevelamer hydrochloride atau lanthanum carbonate
3. Suplementasi kalsium dibatasi kurang dari 2 gr/hari
4. Vitamin D dan analognya: Calcitriol
Penekanan sekresi hormon paratiroid dengan low-dose calcitriol
mungkin dapat mencegah hiperplasia kelenjar paratiroid dan
hiperparatiroidisme sekunder. Analog calcitriol: Paricalcitol,
doxercalciferol, maxacalcitol, dan falecalcitriol
5. Kalsimimetik, seperti cinacalcet
Kalsimimetik digunakan efeknya dalam meningkatkan sensitivitas
reseptor kalsium dan menghambat pengeluaran dari PTH. Selain itu,
kalsimimetik juga dapat menurunkan kadar fosfor dalam darah.
Penyembuhan dengan calcitriol dan kalsium dapat mencegah atau
meminimalisir hiperparatiroidisme sekunder. Kontrol kadar cairan
fosfat dengan diet rendah fosfat juga penting. Pasien yang mengalami
dialysis-dependent chronic failure membutuhkan calcitriol, suplemen
kalsium, fosfat bebas aluminium, dan cinacalcet (sensipar) untuk
memelihara level cairan kalsium dan fosfat.
HEMODIALISIS
A. Definisi
Hemodialisis adalah suatu proses memisahkan sisa metabolisme yang
tertimbun dalam darah dan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit juga
asam basa melalui sirkulasi ekstrakorporeal dengan menggunakan ginjal buatan.
Beberapa aspek yang mempunyai hubungan erat dengan masalah keperawatan
antara lain : Ginjal buatan, Dialisat, Pengolahan Air, Akses Darah, Antikoagulan,
tekhnik Hemodialisa, Perawatan Pasien Hemodialisa, Kompliokasi akut
hemodialisa dan pengelolaannya, peranan perawat yang bekerja di luar HD (ruang
perawatan biasa).
B. Indikasi Hemodialisa
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialisis segera adalah HD yang harus segera dilakukan. Indikasi
hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1) Kegawatan ginjal
a. Klinis : keadaan uremik berat, overhidrasi.
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam).
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam).
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l).
e. Asidosis berat (pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l).
f. Uremia (BUN >150 mg/dL).
g. Ensefalopati uremikum.
h. Neuropati/miopati uremikum.
i. Perikarditis uremikum.
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L).
k. Hipertermia
2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membrane dialisis.
Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut
K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang
mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini
(Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis.
b. Gejala uremia meliputi : lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
C. Cara Kerja Hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu,
kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi
proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya
beredar di dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser
(Daurgirdas et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membrane semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah
perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi
adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran
kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air
melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau
mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007). Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan
gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et
al., 2007).
 Ginjal Buatan (Dialiser)
Suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme
tubuh, bila fungsi kedua ginjal sudah tidak memadai lagi, mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit, mengeluarkan racun-racun atau toksin
yang merupakan komplikasi dari Gagal Ginjal. Sedangkan fungsi hormonal/
endokrin tidak dapat diambil alih oleh ginjal buatan. Dengan demikian ginjal
buatan hanya berfungsi sekitar 70-80 % saja dari ginjal alami yang normal.
Macam-macam ginjal buatan :
a. Paraller-Plate Diyalizer
Ginjal pertama kali ditemukan dan sudah tidak dipakai lagi, karena
darah dalam ginjal ini sangat banyak sekitar 1000 cc, disamping cara
menyiapkannya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
b. Coil Dialyzer
Ginjal buatan yang sudah lama dan sekarang sudah jarang dipakai
karena volume darah dalam ginjal buatan ini banyak sekitar 300 cc,
sehingga bila terjadi kebocoran pada ginjal buatan darah yang terbuang
banyak. Ginjal ini juga memerlukan mesin khusus, cara menyiapkannya
juga memerlukan waktu yang lama.
c. Hollow Fibre Dialyzer
Ginjal buatan yang sangat banyak saat ini karena volume darah dalam
ginjal buatan sangat sedikit sekitar 60-80 cc, disamping cara
menyiapkannya mudah dan cepat.
 Kompartemen Cairan Pencuci (Dialisat)
Adalah cairan yang terdiri dari air, elektrolit dan zat-zat lain supaya
mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat pada dialisit:
a. Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme
b. Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa
Tabel perbandingan darah dan dialisat :
Komponen elektrolit Darah Dialisat
Natrium/sodium 136mEq/L 134mEq/L
Kalium/potassium 4,6mEq/L 2,6mEq/L
Kalsium 4,5mEq/L 2,5mEq/L
Chloride 106mEq/L 106mEq/L
Magnesium 1,6mEq/L 1,5mEq/L
Ada 3 cara penyediaan cairan dialisat:
a. Batch Recirculating
Cairan dialisat pekat dicampur air yang sudah diolah dengan
perbandingan 1 : 34 hingga 120 L dimasukan dalam tangki air kemudian
mengalirkannya ke ginjal buatan dengan kecepatan 500 – 600 cc/menit
b. Batch Recirculating/single pas
Hampir sama dengan cara batch recirculating hanya sebagian
langsung buang.
c. Proportioning Single pas
Air yang sudah diolah dan dialisat pekat dicampus secara konstan
oleh porpropotioning dari mesin cuci darah dengan perbandingan air :
dialisat = 34 : 1 cairan yang sudah dicampur tersebut dialirkan keginjal
buatan secara langsung dan langsung dibuang, sedangkan kecepatan aliran
400 – 600 cc/menit
 Pengolahan air/ Water Treatment
Tujuan:
a. Mencegah infeksi nosokongial (sepsis).
b. Mencegah intoksikasi (trace element).
Air untuk mencampur dialisat pekat tidak perlu steril tetapi seharusnya
tidak mengandung zat/elektrolit, mikroorganisme dan benda-benda asing
lainnya. Pada kenyataannya kandungan air biasanya cukup bervariasi, hal ini
dipengaruhi oleh letak geografis jenis sumber air, musim, sistim instalasi dan
penjernihan air.
 Akses Darah
Hemodialisme akan efektif jika dialisme dilakukan sekitar 2-6
jam/minggu pada pasien baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan
menjalani kronik hemodialisa sekitar 6 – 18 jam /minggu. Untuk
mendapatkan aliran darah yang besar (sekitar 200 -300 cc/menit) selama 2
jam sangatlah sulit. Biasannya pada pasien akut kita lakukan pada vena
vemoralis, sehingga dapat diperoleh aliran darah yang besar. Pada pasien
dengan program HD berkala yaitu 2 -3 kali/minggu harus disiapkan
penyambungan pembuluha darah arteri dan vena.
Ada 2 macam cara:
a. Pintas (shunt) eksternal
Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri langsung ke vena yang
berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan dengan konektor sehingga
pada saat dialisa konektor dibuka lalu kanula arteri dihubungkan ke slang
yang mengalirkan darah ke ginjal buatan dan kanula vena untuk
memasukkan darah kembali ketubuh penderita. Komplikasi yang sering
terjadi, seperti pembekuan darah infeksi, oleh karena itu pemakaian pintas
ini biasanya dibatasi lama pamakaiannya, paling lama 6 bulan. Hal ini
jarang dilakukan lagi.
b. Fistula Arteriovenisa Interna
Fistula Arteriovenisa Interna pertama kali dibuat oleh Brescia dan
Cimino pada tahun 1966 yaitu menghubungan arteri dan vena yang
berdekatan dengan cara operatif, biasanya dilakukan pada daerah tangan.
Aliran dan tekanan darah dalam vena akan meningkat sehingga
menyebabkan pelebaran lumen vena dan arterialisasi vena secara
perlahan-lahan. Dengan demikian memudahkan penusukan pembuluh
darah sesuai dengan yang diharapkan.
c. Antikoagulan
Selama hemodialisa berlangsung diperlukan antikoagulan agar tidak
terjadi pembekuan darah, yang biasanya digunakan heparin. Pemakaian
heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam heparinisasi:
1) Heparinisasi sistemik
Digunakan pada hemodialisa kronik yang stabil. Bolus heparin 1000 –
5000 unit tiap jam. Pada jam terakhir tidak diberikan lagi.
2) Heparinisasi regional (sedang haid) bolus heparin tetap diberikan
sebanyak 1000 – 5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal buatan
dan protamine sulfat, sesudah ginjal buatan, sebelum darah masuk
kedalam tubuh penderita. Jadi heparin diberikan pada sirkulasi
ekstrakorporeal saja.
3) Heparinisasi minimal
Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan karena penderita
cenderung berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.
 Teknik Hemodialisa
Sebelum berbicara tentang tekhnik hemodialisa terlebih dahulu menjelaskan
beberapa istilah:
a. Sirkulasi ekstrakorporeal
b. Sirkulasi diluar tubuh selama terjadi hemodialisa.
c. Sirkulasi sistemik
d. Sirkulasi dalam tubuh
e. Selaput semipermiabel
f. Selaput yang sangat tipis mempunyai pori-pori halus, hanya dapa dilihat
dengan mikroskop.
g. Blood pump (Roller Pump)
h. Pompa mesin hemodialisa yang gunanya mengalirkan darah dari sirkulasi
sistemik ke sirkulasi ekstrakorporea dan kembali lagi ke sirkulasi sistemik
selama proses hemodialisa.
i. Blood Lines, selang darah yang mengalirkan darah dari tubuh penderita ke
dyalizer disebut arteria blood lines/inlet, sedangkan selang yang mengalirkan
darah dari dyalizer ke tubuh penderita disebut venous blood line/outlet.
 Persiapan Mesin dan Perangkat HD
a. Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
b. Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
c. Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
d. Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke jaringan tempat
dialisat yang telah disiapkan
e. Tunggu sampai lampu hijau
f. Tes conductivity dan temperatur
g. Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan heparin
sebanyak 25-30 unit dalam masing-masing flatboth
h. Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pas
i. Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak2
j. Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (primin)
k. Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
l. Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan lalu
jalankan blood pump (sirkulasi tertutup).
 Persiapan Penderita :
Indikasi hemodialisa
a. Segera/ indikasi mutlak: over hidrasi atau edema paru, hiperkalemi, oliguri
berat atau anuria, asidosis, hipertensi maligma.
b. Dini/ profilaksis: gejala uremia (mual muntah) perubahan mental, penyakit
tulang, gangguan pertumbuhan dan seks, perubahan kualitas hidup.
Bila penderita baru yang datang di ruang HD, sebelum kita melakukan HD
terlebih dahulu periksa kembali hasil-hasil pemeriksaan yang penting (Hb,
hematokrit, ureum, kreatinin, dan HbsAg), hal ini perlu untuk menentukan
tindak lanjut sperlu untuk menentukan tindak lanjut suatu HD.
Langkah-langkah HD
a. Timbang dan catat BB
b. Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk
menginterpretasikan kelebihan cairan)
c. Tentukan akses darah yang akan ditusuk.
d. Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol
70% kemudian ditutup pakai duk steril.
e. Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil :spuit 2,5cc
sebanyak 1, spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa
steri
f. Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonestdan heparin.
g. Pakai masker dan sarung tangan steril.
h. Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusu
i. Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000unit pada
inlet sedangkan outlet sebanyak 1000 unit.
j. Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan.
k. Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menitkemudian dinaikkan
perlahan sampai 200 ml/menit.
l. Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan.
m. Segera ukur kemabali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah yang
digunakan dicatat dalam status yang telah tersedia.
 Perawatan pasien Hemodialisa
Terbagi 3 yaitu;
a. Perawatan sebelum hemodialisa
 Mempersiapkan perangkat HD
 Mempersiapkan mesin HD
 Mempersiapkan cara pemberian heparin
 Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor BioPsikososial,
agar penderita dapat bekerja sama dalam hal program HD
 Mempersiapkan akses darah
 Menimbang berat bada, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
 Menentukan berat badan kering
 Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
b. Perawatan Selama Hemodialisa
Selama HD berjalan ada 2 hal pokok yang diobservasi yaitu penderita dan
mesin HD
1) Observasi terhadap pasien HD
 Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dalam status
 Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
 Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat
jumlahnya dalam status
 Akses darah dihentikan
2) Observasi terhadap mesin HD
 Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd dicatat
setiap 1 jam
 Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
 Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
 Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
 Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1 jam.
c. Perawatan sesudah Hemodialisa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan HD
pada pasien dan mesin HD
1) Cara mengakhiri HD pada pasien
 Ukur tekanan darah nadi sebelum slang inlet dicabut
 Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
 Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
 Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline
normal sebanyak 50-100 cc, lalu memakai udara hingga semua
darah dalam sirkulasi ekstrakorporeal kembali ke sirkulasi sistemik
 Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit,
hingga darah berhenti dari luka tusukan
 Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
 Timbang berat badan lalu dicatat
 Kirimkan darah ke laboratorium
2) Cara mengakhiri mesin HD
 Kembalikan tekanan negatif, tekanan positif, ke posisi nol
 Sesudah darah kembali ke sirkulasi sistemik cabut selang dialisat
lalu kembalikan ke Hansen connector
 Kembalikan tubing dialisat pekat pada konektornya
 Mesin ke posisi rinse, lalu berikan cairan desifektan (hipoclhoride
pekat) sebanyak 250 cc, atau cairan formalin 3% sebanyak 250 cc
 Formalin dibiarkan selama 1-2 x 24 jam, baru mesin dirinsekan
kembali.
A. Komplikasi Hemodialisa
 Komplikasi Akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot,
mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik
hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang
terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade

jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,


neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
 Komplikasi Kronik
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.
Komplikasi kronik yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
a. Penyakit jantung
b. Malnutrisi
c. Hipertensi
d. Anemia
e. Renal ostedystrophy
f. Neuropaty
g. Disfungsi reproduksi
h. Komplikasi pada akses
i. Gangguan perdarahan
j. Infeksi
k. Amiloidosis
l. Acqured cystic kidney disease

ASUHAN KEPERAWATAN UMUM PASIEN CKD DENGAN ORD


YANG MENDAPATKAN TERAPI HEMODIALISA
1. Pengkajian
1. Aktivitas / istirahat
Gejala: Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur (insomnia /
gelisah atau somnolen)
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
2. Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi lama, atau berat, palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda: Hipertensi, nadi kuat,edema jaringan umum dan pitting pada kaki,
telapak,tangan, disritmia jantung. Nadi lemah halus,hipotensi ortostatik
menunjukan hipovolemia, pucat, kecenderungan perdarahan.
3. Integritas ego
Gejala: Factor stress, contoh financial, hubungan dan sebagainya, perasaan
tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian
4. Eliminasi
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen kembung,
diare, atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah,
cokelat,berawan, oliguria, dapat menjadi anuria.
5. Makanan/ cairan
Gejala: Peningkatan berat badan cepat (edema), penuruna berat badan
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap
di mulut (pernapasan amonia), penggunaan diuretic
Tanda: Distensi abdomen / asites, pembesaran hati,, perubahan turgor kulit /
kelembaban, edema (umum,tergantung), ulserasi gusi, perdarahan gusi /
lidah, penurunan oto, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga.
6. Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, sindrom “ kaki
gelisah”,
Tanda: Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkosentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran, stupor, koma, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7. Nyeri / kenyamanan
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala ; kram otot/nyeri kaki (memburuk saat
malam hari)
Tanda: Perilaku berhati-hati/ distraksi, gelisah.
8. Pernapasan
Gejala: napas pendek ; dispnea nocturnal paroksimal ; batuk dengan / tanpa
sputum kental dan banyak.
Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman (pernapasan
kusmaul), batuk produktif dengan sputum merah muda – encer (edema
paru).
9. Keamanan
Gejala: Kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi
Tanda: Pruritus, demam,(sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara actual
terjdai peningkatan pada pasie yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari
normal., petechie,
10. Seksualitas
Gejala: Penurunan libido ; amenorea ; infertilitas
11. Interaksi social
Gejala: kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankn fungsi peran biasanya dalam keluarga.
12. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala: riwayat DM keluarga (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit
polikistik, nefritis herediter,kalkulus urinaria, malignasi, riwayat terpajan
oleh toksin, contoh, obat, racun lingkungan
2. Diagnosa keperawatan
Daftar diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus CKD dengan
komplikasi ORD :
 Kelebihan volume cairan b.d penurunan mekanisme regulasi ginjal
 Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai oksigen
 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
 Ketidakefektifan perfusi jaringan renal
 Gangguan pertukaran gas
3. Rencana asuhan keperawatan
1. Kelebihan volume cairan
Ditandai dengan oedema , hasil laboratorium kadar elektrolit ↑,
peningkatan TD, peningkatan BB, penurunan urine output, turgor kulit
buruk
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tanda
kelebihan volume cairan berada pada skala 2* dan 5**
Kriteria hasil:
 Pasien rileks
 Tidak terjadi oedema, asites, berat badan stabil dan turgor kulit baik
 TD 120/80 mmHg, RR 16-20x/menit, N 60-100x/menit, suhu 36,5o-
37,2o C
NOC: Fluid Balance
No. Indikator 1 2 3 4 5
1* Tekanan darah: 120/80 mmHg √
2* Nadi: 60-100x/menit √
3* Turgor kulit √
4* Kestabilan berat badan √
5** Hipotensi ortostatik √
6** Asites √
7** Edema perifer √
Keterangan penilaian*: Kriteria penilaian**:
1: sangat kompromi 1:sangat parah
2: kompromi sebagian 2: parah
3: kompromi sedang 3: sedang
4: kompromi ringan 4: ringan
5: tidak kompromi 5: tidak
NIC: Fluid/electrolyte Management
 Cek TD, suhu, nadi dan RR
 Atur intake cairan sesuai indikasi
 Monitor hasil laboratorium pada keseimbangan cairan (kematokrit, BUN,
albumin, dll)
 Monitor intake dan output
 Observasi adanya tanda retensi cairan
2. Intoleransi aktivitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, pasien
toleran terhadap aktivitasnya
Kriteria hasil:
 TD 120/80mmHg, RR 16-20x/menit, Nadi 60-100x/menit, suhu 36,5o-
37,2oC
 Pada saat evaluasi indicator NOC berada pada skor 5
NOC: toleran aktivitas
No. Indicator 1 2 3 4 5
1. TTV √
2. Kekuatan otot √
3. Kemudahan melakukan aktivitas √
4. Kemampuan untuk berbicara saat aktivitas √
fisik
Kriteria penilaian:
1: selalu
2: sering
3: kadang-kadang
4: jarang
5: tidak pernah
NIC
 Kaji membrane mukosa dan warna kulit
 Monitor TTV
 Tingkatkan aktivitas motorik secara bertahap sesuai toleransi
 Bantu pemenuhan ADL klien
 Bantu keluarga dan klien mengidentifikasi tingkat kelemahan aktivitas

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan


Ditandai dengan penurunan nafsu makan, porsi makan berkurang,
pemasukan cairan tidak sesuai kebutuhan, lemah
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
ketidakseimbangan nutrisi dapat teratasi
Kriteria hasil : pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indicator NOC
NOC: nafsu makan
No. Indicator 1 2 3 4 5
1. Ada keinginan makan √
2. Menghabiskan porsi makan √
3. Pemasukan cairan sesuai kebutuhan dan √
indikasi
Kriteria penilaian:
1: selalu
2: sering
3: kadang-kadang
4: jarang
5: tidak pernah
NIC:
 Identifikasi makanan kesukaan
 Kolaborasi dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah kalori gizi yang
dibutuhkan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
 Monitor intake dan output
 Monitor BB
 Berikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi dan bagaimana
cara memenuhinya

4. Gangguan pertukaran gas


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
pertukaran gas dalam tubuh tidak mengalami gangguan
Kriteria hasil : pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indicator NOC
NOC: respiratory status:gas exchange
No. Indicator 1 2 3 4 5
1. PaO2 √
2. PaCO2 √
3. Saturasi oksigen √
4. Dsypnea at rest √
5. Dsypnea with mild exertion √
6. Sianosis √
7. Impaired cognition √
Kriteria penilaian*:
1: severe deviation from normal range
2: substantial deviation
3: moderate deviation
4: mild deviation
5: no deviation
NIC
a. Monitor rate, ritme, kedalaman dari nafas
b. Monitor adanya suara pernafasan seperti snoring atau crowning
c. Monitor pola pernafasan: bradypnea, tachypnea, hyperventilation,
pernafasan Kussmaul
d. Auskultasi suara nafas
e. Identifikasi suction apabila dibutuhkan
f. Monitor kemampuan pasien untuk batuk efektif
g. Monitor secret pernafasan pasien
h. Kolaborasi terapi pernafasan (missal nebulizer) jika dibutuhkan
5. Gangguan perfusi jaringan Renal
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tidak
terjadi gangguan perfusi jaringan renal
Kriteria hasil : pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indicator NOC
NOC: tissue perfusion:cellular
No. Indicator 1 2 3 4 5
1. Tekanan darah √
2. Fluid balance √
3. Heart rhythm √
4. Capillary refill √
5. Urine output √
6. Creatinin clearance √
7. Agitation √
8. Nausea √
9. Vomiting √
10. Pain √
11. Pale, cold skin √
12. Decreased level of conciousness √
Kriteria penilaian*:
1: severe deviation from normal range
2: substantial deviation
3: moderate deviation
4: mild deviation
5: no deviation
NIC
a. Kaji Perubahan EKG, Respirasi (Kecepatan dan kedalamannya) serta
tanda – tanda chvostek”s dan Trousseau”s.
b. Monitor data-data laboratorium : Serum pH, Hidrogen, Potasium,
bicarbonat, calsium magnesium, Hb, HT, BUN dan serum kreatinin.
c. Berikan pengobatan sesuai pesanan / permintaan dokter dan kaji respon
terhadap pengobatan.
d. Observasi status hidrasi (kelembaban membran mukosa, TD ortostatik,
dan keadekuatan dinding nadi)
e. Monitor HMT, Ureum, albumin, total protein, serum osmolalitas dan urin.
f. Observasi tanda-tanda cairan berlebih/ retensi (CVP menigkat, oedem,
distensi vena leher dan asites)
g. Pertahankan intake dan output secara akurat
h. Monitor TTV
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses


keperawatan), Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih
bahasa: Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC,
Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis,
alih bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification, Puji
Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilit II, Edisi III, BP FKUI
Jakarta
Hundak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II, Jakarta,
EGC.
Guidelines for planning and documenting patients care. Alih
bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal
Ginjal Kronik
Smezer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai