Anda di halaman 1dari 14

Kasus

Seorang laki-laki, 57 tahun, Hindu, Bali datang ke rumah sakit dikeluhkan sesak
napas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan seperti sulit
mengeluarkan napas. Awalnya sesak dirasakan tidak terlalu berat sehingga penderita
masih mampu melakukan aktivitas ringan. Namun sesak dirasakan semakin memberat
sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit, sesak dirasakan membaik jika penderita
duduk dan semakin berat jika penderita berbaring sehingga penderita tidak mampu
melakukan aktivitas.
Berat badan dikatakan menurun. Sekitar 15 tahun yang lalu penderita pernah
memiliki berat badan 80 kg, namun kini berat badan hanya 58 kg walaupun makan dan
minumnya biasa saja. Makan 3x sehari, satu piring tiap kali makan. Frekuensi
berkemihnya agak menurun, dulu dikatakan 5-6 kali sehari, dengan volume berkemih
1-2 gelas per kali. Sejak sebulan yang lalu berkurang menjadi 2-3 x/hari, dengan
volume 1/2 gelas kali. Urine berwarna agak keruh, berbuih, tidak berbau. BAB
dikatakan biasa saja. Badan lemas dikatakan dirasakan sejak sebulan yang lalu. Lemas
di seluruh badan, hampir sepanjang hari, bertambah berat bila digunakan beraktivitas
dan sedikit membaik jika beristirahat.
Saat ini penderita sedang menjalani pengobatan DM, rutin berobat ke dokter
spesialis dan diberikan obat Novomix (10-0-8). Penderita menderita DM sejak tahun
1992, kontrol ke dokter hanya bila muncul keluhan. Sejak 1992 mulai mengkonsumsi
obat diabetes oral. Namun sejak bulan Juni 2009 obat diabetes oral diganti dengan
insulin. 6 bulan yang lalu, penderita pernah dirawat dengan diagnosis CKD st V dan
mulai dilakukan HD regular 1 x seminggu. HD terakhir pada hari minggu (5 hari
SMRS). Penderita juga memiliki riwayat hipertensi yang diketahui sejak saat itu.
Penderita tidak memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal, batu. Adik laki-laki
menderita penyakit ginjal, diketahui di dokter setelah melakukan pemeriksaan dan rutin
cuci darah. Penderita tidak memilki kebiasaan merokok dan minum alkohol maupun
mengkonsumsi jamu-jamuan.
Pada hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 7 Januari 2010 didapatkan
penderita dengan kesadaran compos mentis (E4V5M6) dengan tekanan darah 170/90
mmHg. Nadi 84 kali per menit, reguler, isi cukup. Respirasi 24 kali per menit (teratur,
tipe thorakoabdominal). Temperatur aksila 36,70 C. Tinggi badan 165 cm, berat badan
58 kilogram, IMT 21,3 kg/m2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada kedua mata
tampak anemia. Tidak tampak ikterus, refleks pupil positif pada kedua mata. Telinga
Hidung Tenggorokan dalam batas normal. Pada leher tidak didapatkan peningkatan
Jugular Venous Pressure (JVP).
Pemeriksaan thorak didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis dan dinamis.
Pada palpasi didapatkan vokal fremitus kanan sama dengan kiri , perkusi sonor pada
lapang paru atas dan redup pada kedua sisi paru region basal, auskultasi didapatkan
suara nafas vesikuler, ronkhi basah halus pada seluruh lapangan paru kanan dan kiri,
dan rongki basah kasar pada bagian basal paru kanan dan kiri. Tidak terdapat wheezing
pada kedua sisi paru. Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus cordis tidak tampak,
palpasi iktus kordis teraba pada MCL kiri ICS VI, tidak kuat angkat, pada perkusi
didapatkan batas atas pada ICS II, batas kanan PSL dextra, batas kiri teraba 1 jari lateral
MCL sinistra, auskultasi didapatkan S1S2 tunggal reguler, tidak ada murmur.
Pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak tampak ada distensi, auskultasi bising usus
normal, palpasi hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, ballotement negatif,
perkusi perut didapatkan suara timpani. Hangat pada keempat ektremitas dan
ditemukan adanya edema pada kedua kaki penderita.
Dari hasil pemeriksaan penunjang pada saat waktu masuk (1 Januari 2010)
didapatkan WBC 10,9 K/uL, RBC 2,94 106/mm3, HGB 8,8 gr/dL, HCT 25,5 %, PLT
233 K/uL, MCV 86,8, MCH 29,9 pg, MCHC 34,5 gr/dl, dengan diferensiasi sel
neutrofil 8,6 K/uL (78,9%), limfosit 1,2 K/uL (10,8%), Monosit 0,9 (8,0%), Eosinofil
0,2 (1,6%), dan basofil 0,1 (0,7%). Dari hasil pemeriksaan kimia darah didapatkan
SGOT 35,28 IU/L, SGPT 43,39 IU/L, albumin 4,126 g/dL, BUN 87,89 mg/dL,
creatinin 10,76 mg/dL, glukosa darah sewaktu 165,60 mg/dL. Pemeriksaan analisa gas
darah didapatkan pH 7,45, pCO2 34 mmHg, pO2 93 mmHg, Hct 26%, HCO3- 23,6
mmol/L, BE (B) -0,2, SO2 98 %, Na+ 130 mmol/L, K+ 4,3 mmol/L. Pemeriksaan EKG
didapatkan irama sinus, 100 kali per menit, axis normal, R+S>35. Dari hasil
pemeriksaan foto thorak AP: Cor: membesar dengan CTR: 66%. Pulmo: tampak
perivaskuler infiltrate. Sinus pleura kanan-kiri tertutup perselubungan. Diafragma
tertutup perselubungan. Tulang-tulang normal. Kesan: kardiomegali dengan edema
pulmonum dan efusi pleura kanan-kiri. Dari hasil Foto BOF didapatkan kesan:
Spondylosis lumbalis dan tidak tampak batu radioopak pada KUB. Pemeriksaan
tanggal 2 Januari 2010 didapatkan HbA1c 5,427%, BUN 45,3 mg/dl, creatinin 6,24
mg/dl, Na 132,30 mmol/L, K 3,47 mmol/L. Pemeriksaan urine lengkap didapatkan PH
5, leukosit 500 (3+), nitrit (-), protein 500 (4+), glukosa 50 (4+), keton (-), urobilinogen
(norm), bilirubin (-), eritrosit 50 (3+). Specific gravity 1,015, warna kuning, sedimen
urin; leukosit banyak/lp, eritrosit 8-10/lp, sel epitel gepeng 2-3/lp, silinder granula +2,
Kristal amorph +3, bakteri (+), tubulus cell (+). Pemeriksaan gula darah puasa 201
mg/dl (04/01/2010). Tanggal 05/01/2010, didapatkan hasil glukosa darah puasa 192
mg/dL, glukosa darah sewaktu 263 mg/dL.
Pasien ini didiagnosa dengan CKD stg V ec susp DKD dd PNC, uremic lung,
anemia ringan N-N on CKD, hiponatremia hipoosmolar kronis asimptomatik, DM tipe
II, observasi kardiomegali ec suspect HHD/FC II, Hipertensi stadium II.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan IVFD NS 8 tts/mnt, diet 35 kkal+1,2 gr
protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x 500 mg, captopril 2x25 mg tab,
amlodipin 1x10 mg, Irbesartan 1x150mg, novorapid 3x6 IU/hr, HD cito.
Untuk perencanaan mendiagnosis pasien ini direncanakan dilakukan
echocardiografi, konsul mata, neuro, dan gizi, dengan pemantauan vital sign dan
keluhan pasien. Prognosis pada pasien ini
dubius ad malam.

Pembahasan Kasus
Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus-menerus dibuat baik oleh WHO,
American Diabetes Association (ADA), maupun PERKENI (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia). Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar
glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.
Tabel 4. 2. Kriteria diagnosis diabetes melitus 11

Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal. Pada
pasien diagnosis ditegakkan dari anamnesis, didapatkan bahwa pasien telah dikatakan
menderita DM sejak tahun 1992, didapatkan penurunan berat badan serta dari
pemeriksaan gula, gula darah puasa 201 mg/dl (04/01/2010). Tanggal 05/01/2010,
didapatkan hasil glukosa darah puasa 192 mg/dL, glukosa darah sewaktu 263 mg/dL.
Dari hasil pemeriksaan HbA1C ditemukan hasil 5,427 mg/dl. Dari kriteria
pengendalian DM, hal ini masuk ke dalam pengendalian baik.
Namun hal ini bukanlah satu-satunya kriteria yang digunakan karena HbA1C hanya
menggambarkan pengendalian dalam waktu 3 bulan terakhir. Diagnosis PGK mengacu
pada kriteria K/DOQI didasarkan atas 2 kriteria, yaitu:
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau
tanpa penurunan penurunan laju filtrasi glomerolus berdasarkan kelainan patologik
atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada komposisi darah atau urin atau
kelainan pada pemeriksaan pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerolus < 60 ml/min/1,73 m3 selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal. PGK diklasifikasikan berdasarkan oleh laju filtrasi glomerolus, yaitu
stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerolus yang lebih rendah,
berdasarkan ada atau tidaknya penyakit ginjal.

LFG dihitung menggunakan rumus Cockroft Gault yaitu:


LFG (ml/menit/1,73 m3) = ( 140 – umur ) x BB x 0,85 (jika wanita)
72 x kreatinin plasma

Pasien ini didiagnosis dengan PGK stadium V ec. susp. DKD dd PNC. Berdasarkan
rumus Cockroft Gault, LFG pasien saat ini adalah 6,42. Hal ini berarti sesuai dengan
kriteria dan klasifikasi yaitu PGK stadium V atau gagal ginjal.
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus
yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/ 24 jam atau >200mg/menit)
pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Dasar dari diagnosis
penyakit ginjal diabetik adalah adanya riwayat diabetes mellitus yang lama disertai
dengan ditemukannya protein atau albumin dalam urin. Tahapan nefropati diabetik
oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahap yaitu :
Tabel 4.4 Tahapan nefropati diabetik oleh Mogensen 11

Penyebab dari gagal ginjal pada pasien ini adalah suatu penyakit ginjal diabetik. Hal
ini didukung dari anamnesis bahwa pasien telah mengidap diabetes lama sejak 17 tahun
(1992) dengan kontrol yang tidak teratur. Menurut tahapan Mogensen, pasien ini dapat
digolongkan nefropati diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi albumin tinggi,
LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,42), serta hipertensi.
Hiperglikemia pada tahap awal dapat menyebabkan peningkatan LFG
(hiperfiltrasi), hal ini diikuti dengan kompensasi berupa peningkatan ukuran ginjal
yang terjadi baik karena hipertropi ginjal maupun peningkatan proliferasi
tubulointerstisial. Perubahan yang terlihat setelahnya adalah mikroalbuminuria
persisten (ekskresi albumin 30-300 mg/hari), yang jika tidak tertangani dapat
berkembang menjadi proteinuria (ekskresi albumin >300 mg/hari. Proteinuria ini
menandakan kerusakan glomerulus yang parah, sampai akhirnya ginjal tidak mampu
menjalankan fungsi ekskresi, yang ditandai dengan LFG yang rendah (<10 ml/menit)
dan menumpuknya bahan uremik. Mekanisme hiperglikemia menyebabkan nefropati
diabetik adalah melalui beberapa hal : efek langsung glukosa melalui protein kinase C,
efek produk akhir glikasi (AGE) dan efek dari sorbitol (poliol pathway).
Pasien ini juga didiagnosa anemia ringan normokromik normositer ec. PGK. Secara
laboratorik anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin, eritrosit dan
hematokrit di bawah normal. Sesuai dengan umur pasien maka kadar RBC 2,94
juta/mm3, HGB 8,8 gr/dL, HCT 25,5 % berada dibawah normal. Derajat anemia pada
pasien ini adalah anemia ringan, sesuai dengan klasifikasi derajat anemia ringan yaitu
HGB 8-9,9 g/dl. Klasifikasi anemia pada pasien ini didasarkan atas morfologik dan
etiopatogenesis yaitu anemia normokromik normositer ec. PGK karena nilai MCV 86,8
fl (80-94), MCH 29,9 pg (27-32) masih dalam batas normal serta penyebab anemia
pada pasien ini oleh karena PGK. Penyebab utama terjadinya anemia pada PGK adalah
penurunan produksi eritropoietin oleh ginjal. Akan tetapi banyak faktor non renal yang
ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup eritrosit yang memendek,
dan faktor-faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defesiensi
besi, asam folat, toksisitas aluminium dan hiperparatiroidism.
Pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah pasien 170/90 mmHg. Sesuai dengan
klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 maka pasien ini diklasifikasi dalam hipertensi
stadium II.
Tabel 4.5. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII 22

Seperti diketahui bahwa hipertensi dan diabetik nefropati merupakan dua hal yang
memiliki hubungan timbal balik, di mana hipertensi dapat menyebabkan nefropati
diabetik dan nefropati diabetik juga dapat menyebabkan hipertensi sekunder.
Hipertensi pada nefropati diabetik disebabkan karena keterlibatan sistem renin
angiotensin. Mekanisme patologi yang menyebabkan angiotensin II menyebabkan
nefropati diabetik tidak terlalu jelas. Sebagai tambahan efek hemodinamik yaitu
dengan meningkatkan tekanan darah sistemik dan glomerulus, menyebabkan
proteinuria, dan vasokonstriksi ginjal, angiotensin II juga merangsang proliferasi sel,
hipertropi, ekspansi matriks dan sintesis sitokin terutama TGFß.
Pada pasien ini hipertensi diketahui baru sejak Juni 2009, setelah pasien menderita
DM hampir selama 17 tahun. Jadi kemungkinan hipertensi terjadi setelah terjadinya
nefropati diabetik atau kerusakan ginjal. Hipertensi memiliki berbagai macam
komplikasi berupa kerusakan target organ seperti jantung (hipertrofi ventrikel kiri,
angina atau infark myokard, gagal jantung), otak (stroke dan Transient Ischemic
Attack), penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, dan retinopati. Pada
pemeriksaan toraks didapatkan pembesaran jantung 66%, dari EKG menunjukkan R+S
>35 mV. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
mikroangiopati adalah pemeriksaan optalmologi dengan funduskopi. Pada
pemeriksaan dapat dicari suatu retinopati diabetik atau retinopati hipertensif.
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi pembuluh darah
perifer, di mana jika salah satu atau keduanya meningkat maka akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Pada PGK kedua faktor tersebut mengalami peningkatan
yang disebabkan karena penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama hipertensi pada PGK
adalah ketidakmampuan ginjal mengekskresikan natrium dan air. Hal ini akan
menyebabkan air yang berada di ekstraseluler akan berpindah ke pembuluh darah untuk
menyesuaikan osmolaritas darah, sehingga volume darah akan bertambah dan
menyebabkan peningkatan curah jantung.
Peningkatan resistensi vaskular pada PGK dipengaruhi oleh beberapa hal. Pada PGK
terjadi disregulasi sistem renin angiotensin yang disebabkan oleh iskemia pada
aparatus jukstaglomerolus. Iskemia tersebut mengakibatkan ketidakadekuatan
pengaktifan renin terhadap rangsangan natrium. Pada PGK juga terjadi aktivitas
berlebihan dari sistem saraf simpatis yang terjadi akibat peningkatan sensitifitas
kemoreseptor ginjal terhadap toksin uremic dan afferent limb yang akan mengaktifkan
sistem saraf simpatik sentral. Pada PGK juga terjadi peningkatan vasopresor
(Endothelin I dan Thromboxane) dan penurunan vasodilator (Nitric Oxide).
Hiperparatiod sekunder yang diakibatkan oleh hiperfosfatemia juga mengakibatkan
peningkatan resistensi vaskular melalui peningkatan kalsium intraseluler, efek
langsung terhadap sekresi renin, dan sensitisasi otot polos pembuluh darah terhadap
vasopresor.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan IVFD NS 8 tts/mnt, diet 35 kkal+1,2 gr
protein/kgBB/hr, asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x500mg, captopril 2x25 mg tab,
amlodipin 1x10 mg, Irbesartan 1x150mg, novorapid 3x6 IU/hr, HD cito.
Rekomendasi dari K-DOQI untuk mempertahankan keadaan klinik stabil pada
pasien gagal ginjal setelah dilakukan HD reguler adalah 1,2 gram protein/kgBB/hr, di
mana 50 % protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi. Energi yang
dibutuhkan adalah 35 Kkal/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menurunkan hasil
katabolisme protein dan asam amino berupa ureum, fosfat dan toksin uremik lainnya
yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna
mencegah terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang pengeluaran insulin.
Selain itu pada pasien ini juga dilakukan diet rendah garam karena adanya hipertensi
dan edema.
Untuk mencegah osteodistrofi tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder, kadar
fosfat serum harus dikendalikan dengan diet rendah fosfat (terutama daging dan susu).
Apabila LFG < 30 ml/menit, diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti kalsium
karbonat atau kalsium asetat yang diberikan pada saat makan. Pada penderita ini juga
diberikan CaCO3 3x500 mg untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia, sehingga
hipokalsemia dan hiperparatiroidisme dapat dicegah.
Pada penatalaksanaan pasien ini diberikan asam folat 2 x II. Pemberian asam folat
dimaksudkan untuk mengatasi keadaan hiperhomositein pada PGK. Peningkatan kadar
homosistein dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Selain itu
asam folat juga dimaksudkan untuk mengatasi anemia pada pasien PGK yang
disebabkan oleh defisiensi asam folat.
Pasien ini didiagnosa dengan hipertensi derajat II, sehingga modalitas terapi yang
digunakan adalah kombinasi dua atau lebih macam obat antihipertensi. Pada pasien ini
diberikan captopril 2 x 25 mg Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu
mekanisme terjadinya hipertensi pada pasien PGK adalah melalui aktivasi sistem renin
angiotensin. Oleh sebab itu terapi lini pertama adalah anti hipertensi golongan ACE
Inhibitor. Suatu penelitian membuktikan bahwa pemberian ACE inhibitor dapat
menurunkan proteinuria dan memperbaiki perubahan glomerulus berkaitan dengan
penurunan tekanan hidrostatik glomerulus. ACE inhibitor juga menurunkan cedera
tubulointerstitial pada percobaan Diabetes. Suatu penelitian pada manusia juga
menunjukkan ACE inhibitor menghambat progresi mikroalbuminuria pada diabetes
tipe 1 dan 2. Kombinasi yang disukai untuk hipertensi pada DM adalah ACE inhibitor
dan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) karena efek antiprotein uric maupun
renoproteksi yang baik. Penggunaan Calsium Channel Blocker pada hipertensi dengan
DM dan PGD masih merupakan kontroversi, karena penggunaan tunggal dapat
meningkatkan proteinuria dan angka kejadian kardiovaskuler. Namun beberapa
penelitian menyebutkan bahwa penggunaan CCB apabila dikombinasikan dengan ACE
inhibitor tidak terbukti meningkatkan risiko kardiovaskuler. Target terapi pada pasien
hipertensi dengan PGK adalah < 130/80.
Pada pasien ini dilakukan HD cito karena terjadi bendungan paru yang ditandai
dengan sesak napas yang berat. Indikasi klinik untuk dilakukan hemodialisis adalah:
1. Indikasi cito
• Pericarditis/efusi perikardium
• Ensefalopati/neuropati azotemik
• Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik.
• Hiperkalemia (> 6,5)
2. Indikasi elektif
• Sindrom uremia
• Hipertensi sulit terkontrol
• Overload cairan
• Persiapan preoperasi
• Oliguria-anuria (3-5 hari)
• BUN > 120 mg% dan kreatinin > 10mg% atau CCT < 5 ml/menit.

Prognosis pasien ini dubius ad malam baik tanda-tanda vital maupun fungsi tubuh
secara keseluruhan. Pasien sudah masuk dalam tahap gagal ginjal kronik dan sampai
saat ini terapi definitif untuk gagal ginjal kronik adalah terapi pengganti baik itu
transplantasi, hemodialisis, maupun peritonial dialisis. Pasien dengan gagal ginjal
kronik juga memiliki berbagai macam komplikasi oleh karena hipertensi, anemia,
hiperfosfatemia, maupun uremic toksin yang juga bisa memperburuk prognosis pada
pasien ini.

Ringkasan
Penyakit ginjal diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari penyakit DM.
Patogenesis yang menyebabkan keadaan hiperglikemi menyebabkan penyakit ginjal
diabetik melalui alur metabolik yang melibatkan produk akhir glikasi (AGE), protein
kinase C dan polyol, serta alur hemodinamik yang terutama melibatkan sistem
angiotensin II. Pada pasien ini penyakit ginjal kronik yang terjadi diakibatkan karena
penyakit diabetes yang diderita pasien selama > 17 tahun. Menurut tahapan Mogensen,
pasien ini dapat digolongkan nefropati diabetik tahap 5, karena ditemukan ekskresi
albumin tinggi, LFG yang rendah < 10 ml/menit (6,42), serta hipertensi.
Pasien ini didiagnosa dengan CKD stg V ec susp DKD dd PNC, uremic lung,
anemia ringan N-N on CKD, hiponatremia hipoosmolar kronis asimptomatik, DM,
observasi kardiomegali ec suspect HHD/FC II, Hipertensi stadium II. Penatalaksanaan
pada pasien ini diberikan IVFD NS 8 tts/mnt, diet 35 kkal+1,2 gr protein/kgBB/hr,
asam folat 2x4 mg, CaCO3 3x 500 mg, captopril 2x25 mg tab, amlodipin 1x10 mg,
Irbesartan 1x150mg, novorapid 3x6 IU/hr, HD cito.
Hasil Diskusi
Pada kasus dalam artikel diatas diperoleh data dari pasien dengan Nefropati Diabetik,
dengan diagnosa medis pasien adalah CKD (Chronic Kidney Disease) stg V ec.susp
DKD (Diabetic Kidney Disease) dd PNC (Pieloneferitis Chronic).
Pasien sudah lama menderita DM, kurang lebih selama 17 th. Pasien didiagnosis CKD
stg V karena pada pemeriksaan didapatkan LFG <15 mL/mm yaitu 6,42 mL/mm,
ekskresi albumin yang tinggi dan pasien mengalami hipertensi.
1. Masalah yang muncul
a. Ureum yang tinggi dalam darah yaitu 87,89 mg/dL.
b. Edema pada kedua kaki.
c. Laju Filtrasi Glomerulus yang rendah yaitu 6,42 mL/mm.
d. Hiperhomosintein atau meningkatnya kadar asam amino alami dalam
darah.
e. Anemia.
f. Hipertensi.
g. Uremic lungs.
2. Tindakan yang diberikan
a. HD regular setiap 1 minggu sekali dilanjutkan dengan diet rendah
protein, dengan mengonsumsi 1,2 gram protein/kgBB/hr dan 35
Kkal/kgBB/hari.
b. Diet rendah garam/ natrium.
c. Pemberian pengikat fosfor seperti kalsium karbonat, CaCO3 3x500 mg.
d. Pemberian asam folat 2x 1 1.
e. Captopril 2x25 mg.
f. HD cito.
g. Pemberian Novorapid 3x6 IU/hari.
3. Alasan diberikannya tindakan
a. Dilakukannya HD regular setiap 1x dalam seminggu dikarenakan
pasien menderita CKD stg V sejak 6 bulan terakhir sehingga perlu
dilakukan cuci darah rutin untuk membantu mengeluarkan sisa sisa
metabolism yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal. Pada pemberian
diet rendah protein akan menurunkan hasil katabolisme protein dan
asam amino berupa ureum, fosfat dan toksin uremik lainnya yang tidak
dapat diekskresikan oleh ginjal. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna
mencegah terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang
pengeluaran insulin.
b. Diet Rendah garam /sodium diberikan karena adanya hipertensi dan
edema apada kedua kaki pasien.
c. Pemberian pengikat fosfor (CaCO3) karena apabila LFG < 30 ml/menit,
diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti kalsium karbonat atau
kalsium asetat yang diberikan pada saat makan untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia, sehingga hipokalsemia dan
hiperparatiroidisme dapat dicegah.
d. Pemberian Asam Folat dimaksudkan untuk mengatasi keadaan
hiperhomositein pada PGK. Peningkatan kadar homosistein dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Selain itu
asam folat juga dimaksudkan untuk mengatasi anemia pada pasien PGK
yang disebabkan oleh defisiensi asam folat.
e. Pemberian captopril dikarenakan salah satu mekanisme terjadinya
hipertensi pada pasien PGK adalah melalui aktivasi sistem renin
angiotensin. Oleh sebab itu terapi lini pertama adalah anti hipertensi
golongan ACE Inhibitor. Suatu penelitian membuktikan bahwa
pemberian ACE inhibitor dapat menurunkan proteinuria dan
memperbaiki perubahan glomerulus berkaitan dengan penurunan
tekanan hidrostatik glomerulus.
f. HD cito diberikan pada pasien dikarenakan terjadi bendungan paru,
terdapat ureum dalam paru yang mengakibatkan pasien mengalami
sesak nafas.
g. Pemberian Novorapid, injeksi insulin harus tetap digunakan untuk
mengontrol kadar insulin dalam darah agar tidak memperparah keadaan
ginjal, hiperkalemi dapat menurunkan laju filtrasi glomerulus.

Anda mungkin juga menyukai