Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang


Sejak zaman dahulu vitiligo telah dikenal dengan beberapa istilah yakni
shwetekusta, suitra, behak, dan beras1.Kata vitiligo sendiri berasal dan bahasa latin,
yakni vitellus yang berarti anak sapi, disebabkan karena kulit penderita berwarna
putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo mulai
diperkenalkan oleh Celsus, ia adalah seorang dokter Romawi pada abad kedua1.
Vitiligo adalah gangguan depigmentasi idiopatik didapat yang ditandai
dengan gambaran macula putih tidak bersisik, hasil dari hancurnya melanosit kulit
secara selektif.1
Vitiligo terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi mencapai 1%. Survey
epidemiologi pada kepulauan Bornholm di Denmark menemukan prevalensi
vitiligo mencapai 0,38%. Kemungkinan bahwa angka ini juga berlaku untuk
negara-negara lain di utara-barat Eropa.2
Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa
muda, dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan
ini dapat terjadi pada semua usia.Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan
laki-laki sama dengan perempuan. Pernah dilaporkan bahwa vitiligo yang terjadi
pada perempuan lebih berat dari pada laki-laki, tetapi perbedaan ini dianggap
berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena masalah
kosmetik.3
Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun,
beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada seseorang,
diantaranya : factor mekanis (10-70%), factor sinar matahari (7-15%), factor psikis
dan hormonal (20%). 2
Vitiligo merupakan anomali pigmentasi kulit didapat. Kulit vitiligo
menunjukan gejala depigmentasi dengan bercak putih yang dibatasi oleh warna
kulit normal atau oleh hiperpigmentasi9. Pada vitiligo, ditemukan makula dengan
gambaran seperti “Kapur” atau putih pucat dengan tepi yang tajam.

1
Progres dari penyakit ini bisa merupakan suatu pengembangan bertahap dari
makula lama atau pengembangan dari makula baru. Trichrome vitiligo (tiga warna:
putih,coklat muda,coklat tua) mewakili tahapan yang berbeda dalam evolusi
vitiligo.3
Tangan, pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah sekitar lubang
(misalnya mulut) merupakan daerah-daerah yangsering ditemukan vitiligo5,6.
Kadang dapat juga ditemukan gambaran rambut yang memutih atau uban prematur.
Gambaran rambut putih pada vitiligo, dianalogikan dengan makula putih, disebut
dengan poliosis3.
Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis, serta ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan
lampu Wood.
Biasanya, diagnosis vitiligo dapat dibuat dengan mudah pada pemeriksaan
klinis pasien, dengan ditemukannya gambaran bercak “kapur putih”, bilateral
(biasanya simetris), makula berbatas tajam pada lokasi yang khas. Pada
pemeriksaan dengan lampu wood, lesi vitiligo tampak putih berkilau dan hal ini
berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya.
Dalam kasus-kasus tertentu, pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk
melihat ada tidaknya melanosit dan granul melanin di epidermis. Ada banyak
pilihan terapi yang bisa dilakukan pada pasien dengan vitiligo. Hampir semua terapi
bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit (Repigmentasi). Seluruh
pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, dan tidak semua
terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita.
Repigmentasi dapat diberikan dengan berbagai cara diantaranya:
Glukokortikoid topical (betametason valerat 0,1% atau klobetasol propionat 0,05%,
Topikal inhibitor Kalsineurin (Tacrolimus dan pimecrolimus), Topikal
fotokemoterapi (8-methoxypsoralen (8-MOP) dan PUVA), Immunomudulator
sistemik (methylprednisolon), Topikal analog Vitamin D (Calcipotriol), Topikal 5-
Fluorouracil. UVB Narrow-band(311nm), Laser Excimer (308nm), Minigrafting,
dan Depigmentasi.1,3

2
Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi
prognosisnya masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan
kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat yang berbentuk macula


putih susu tidak mengandung melanosit, berbatas tegas dan sering bersifat
herediter. Vitiligo dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel
melanosit, termasuk rambut dan mata.1

2.2 Epidemiologi

Vitiligo dapat mengenai semua ras dan gender dan semua umur. Vitiligo
lebih sering terjadi (50%) pada usia 10-30 tahun. Terdapat faktor genetic yang
mempengaruhi munculnya vitiligo ini yakni penderita vitiligo akan memiliki
kemungkinan 5% memiliki anak dengan kelainan serupa. Riwayat keluarga vitiligo

4
berkisar 30%. Penyakit ini lebih sering diderita oleh orang kulit berwarna dan
biasanya dengan derajat yang lebih berat.2

2.3 Etiologi

Penyebab vitiligo hingga kini belum diketahui. Beberapa faktor pencetus


dan faktor predisposisi terjadinya vitiligo antara lain:1

1) Faktor mekanis
Pada 30% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya
setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi.

2) Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A.


Ada 715% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan yang berat.

3) Faktor trauma psikis


Contoh: kematian anggota keluarga, kehilangan pekerjaan.
4) Faktor hormonal
Diduga vitiligo memburuk penggunaan kontrasepsi oral.

2.4 Gejala Klinis

Makula berwarna putih dengan diameter beberapa milimeter sampai


beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan
epiodermis yang lain. Kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula
apigmentasai. Didalam makula vitilogo dapat ditemukan makula dengan
pigmentasi normal atau hiperpigmentasi disebut repigmentasi perifolikular.
Kadang-kadang ditemukan tanpa lesi yang meninggi, eritema dan gatal disebut
inflamatoar.4

Didaerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas
jari, periorifisialis sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anteruior dan

5
pergelangan tangan bagian fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada
area yang terkena trauma dapat timbul vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang
mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir atau ginggiva.4

Bentuk yang paling umum dari vitiligo yaitu makula amelanosis yang
dilapisi kulit normal. Makula-makula tersebut memiliki warna yang seragam yaitu
putih susu atau layaknya seperti warna kapur. Berbatas tegas dan berbentuk
konveks dengan perbatasan kulit normal seakan-akan menginvasi kulit normal.
Memiliki ukuran bundar atau linear, ukuran beberapa millimeter sampai centimeter.
Lesi biasanya meluas secara sentrifugal.3

Lesi yang ada biasanya asimptomatik atau tidak disertai gejala yang
biasanya menyertai lesi kulit lainnya seperti gatal dan nyeri. Walaupun kadang pada
lesi yang sering terpapar matahari dapat merasakan nyeri akibat luka bakar.4

Vitiligo dapat mengenai seluruh bagian tubuh tanpa pengecualian, namun


daerah yang sering mengalami trauma atau mendapat paparan sinar matahari lebih
rentan menjadi tempat predileksi. Tempat predileksi vitiligo diantaranya muka,
bagian dorsum manus, axilla, nipple, umbilicus, sacrum , inguinal maupun daerah
anogenital.3

Depigmentasi juga dapat terjadi pada rambut pada kulit kepala yang
ditandai dengan perubahan warna pada rambut menjadi warna putih atau abu-abu.
Pada awalnya hanya sebagian kecil rambut yang mengalami depigmentasi.
Perubahan warna tersebut juga dapat terjadi pada rambut pada alis, bulu mata,
ketiak dan pubis. Oleh karena itu rambut putih yang lebih dini muncul yaitu
dibawah usia dekade ketiga mengindikasikan vitiligo. Pada kasus ini tidak terjadi
repigmentasi spontan.3,4

Berikut merupakan variasi klinis pada vitiligo :

 Trichrome vitiligo
Vitiligo dengan lesi kulit depigmentasi dan hipopigmentasi. Lesi
hipopigmentasi cenderung akan menjadi depigmentasi total.

6
 Quadricrhome vitiligo
Terdapat makula perifollikular atau batas hiperpigmentasi pada daerah
yang mengalami proses repigmentasi.
 Inflammatory vitiligo
Eritema pada tepi lesi makula depigmentasi.34

2.5 Patogenesis

Proses patogenesis vitiligo meliputi:

1. Hipotesis autoimun
Penderita vitiligo cenderung menderita kelainan autoimun seperti tiroiditis
Hashimoto, penyakit Grave, penyakit Addison, uveitis, alopecia areata,
kandidiatis mukokutan dan hipoparatiroid melanosit dijumpai pada serum
80% penderita vitiloho.
2. Hipotesis neurohormonal
Hipotesis ini mengatakan bahwa mediator neurokimiawi seperti asetilkolin,
epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan oleh ujung-ujung saraf perifer
merupakan bahan neurotoksik yang dapat merusak melanosit ataupun
menghambat produksi melanin.
Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekol.
Kemungkinan adanya produk intermediate yang terbentuk selama sintesis
katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada
gangguan keringat dan pembuluh darah terhadap respons transmitter saraf,
misalnya asetilkolin.
Secara klinis dapat terlihat pada vitiligo segmental satu atau dua dermatom,
dan seringkali timbul pada daerah dengan gangguan saraf seperti pada
daerah paraplegia, penderita polineuritis berat.
3. Autositotoksik
Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan
DOPA ke dopakinon yang kemudian dioksidasi menjadi berbagai indol dan

7
radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh penumpukan
precursor melanin. Secara invitro dibuktikan tirosin, DOPA, dan dopakrom
merupakan sitotoksik terhadap melanosit.
4. Pajanan terhadap bahan kimiawi
Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan monobenzil eter dalam
sarung tangan
Dipigmentasi kulit dapat terjadi akibat paparan monobenzil eter
hidroquinon yang terdapat pada sarung tangan atau detergen yang
mengandung fenol. Terdapat sejumlah bahan kimia yang mampu
menyebabkan terjadinya depigmentasi yaitu thiol, derivat katekol,
merkaptoamin, dan beberapa quinon. Menghirup dan menelan senyawa
kimia ini akan berperan dalam terjadinya dipigmentasi.

2.6 Patofisiologi

Patofisiologi vitiligo multifaktorial. Misalnya: faktor defek genetik (pola


poligenetik, multifactorial inheritance), berbagai jenis stres (stres emosional, stres
oksidatif dengan akumulasi radikal bebas), kerusakan melanosit karena mekanisme
autoimmunity (kekebalan tubuh), self-destructive, sitotoksik (keracunan tingkat
seluler), ketidakseimbangan kalsium, peningkatan ROS (reactive oxygen species),
oksidan-antioksidan, autotoksik/metabolik, penyakit autoimun, dan mekanisme
biokimiawi yang diperantarai saraf.11,12 Vitiligo tidak hanya memengaruhi kulit,
melainkan juga terkait dengan beragam abnormalitas metabolik, termasuk
intoleransi glukosa dan abnormalitas lemak, yang memperkuat sifat sistemik
vitiligo. Melanosit, terutama yang dijumpai di jaringan adipose, karena mampu
mengurangi inflamasi dan kerusakan oksidatif, dapat juga mencegah sindrom
metabolik.13

1. Hipotesis genetik

Secara genetik vitiligo telah menunjukkan keterkaitan dengan dua sinyal


asosiasi independen (rs11966200 dan rs9468925) di dalam major

8
histocompatibility comlex (MHC) dengan kerentanan HLA (terkait dengan HLA-
A3001, HLA-B1302, HLA-C0602 dan HLADRB1 * 0701 alel). Berbagai lokus
yang berisiko pada genetik seperti 3p13 meliputi FOXP1 (rs17008723), 6q27
meliputi CCR6 (rs6902119), (rs2236313 dan RNASET2, FGFR1OP dan c6orf10-
BTNL2 (rs7758128) telah dicurigai dalam vitiligo.

Ekspresi yang meningkat dari gen kandidat biologis, X-box binding protein
1 (XBP1, yang terletak dikromosom 22) dan modulasi transkripsi oleh regulasi
polimorfisme kuman memiliki dampak pada perkembangan vitiligo. Ditemukan
bahwa dalam lesi kulit pasien vitiligo membawa gen risiko C alel-rs2269577.

Faktor genetik juga berperan penting pada perkembangan vitiligo. MYG1


(Melanocyte proliferating gene 1) adalah gen yang memiliki fungsi spesifik pada
melanosit. MYG1 adalah gen kandidat vitiligo. Beberapa studi replikasi
menyatakan keterlibatan gen PTPN22 (1p13), kluster gen MHC (6p21.3), dan
NALP (SLEV1; 17p13) berulang-ulang berasosiasi dengan vitiligo. Beberapa gen
ini secara langsung berkaitan dengan regulasi respons imun.14 PTPN22 mengkode
lymphoid protein tyrosine phosphatase, yang penting di dalam kontrol negatif dari
aktivasi limfosit T. NALP1 menyandi NACHT leucine-rich-repeat protein 1, suatu
regulator sistim imun bawaan.15 Major histocompatibility complex (MHC) adalah
daerah yang dipadati gen-gen imun dimana variasinya adalah kunci penentu
kerentanan dan ketahanan terhadap sejumlah penyakit infeksi, autoimun, dan
penyakit lainnya.16

Mitokondria yang berlokasi di MYG1 terlibat pada regulasi dari perubahan


metabolism dan ketidakseimbangan antioksidan pada penderita vitiligo. Bukti
selanjutnya memperlihatkan perubahan fungsi mitokondria.17

Sebuah studi berhasil menemukan beberapa lokus antara lain: AIS1 (1p31),
AIS2 (7q), dan SLEV1 terutama dari beberapa keluarga yang terkait autoimun, dan
efek linkage AIS3 lokus (8p) terutama dari keluarga yang tidak memiliki penyakit
autoimun.18

9
Untuk mengetahui kerentanan gen/lokus pada vitiligo, telah dilakukan studi
genom vitiligo berskala-luas yang disebut GWAS (a large-scale vitiligo genome-
wide association study) pada populasi Eropa (seperti Rumania) dan China.19,20
Kajian genetika dan biomolekuler menyatakan beberapa lintasan gen pembawa
vitiligo pada keturunan Eropa merupakan bagian dari kerentanan (diathesis)
autoimun atau “isolasi”. Pada kelompok autoimun, telah teridentifikasi gen
pengkode NACHT leucine-rich-repeat protein 1 (NALP1).15,19,20 Sejumlah faktor
kerentanan genetik (genetic susceptibility) telah teridentifikasi melalui studi. Hanya
sedikit lokus, seperti: NLRP1 (pengkode famili NLR, pyrin domain–containing 1
dan juga dikenal sebagai NALP1) dan beberapa alel HLA (Human Leukocyte
Antigen), yang telah diujicoba berkali-kali pada berbagai riset.15,19,20 Beberapa gen
yang rentan vitiligo adalah 6q27 dan 10q22 (yang berlokasi di intron 4 pada lokus
ZMIZ1). Lokus 6q27 mengandung RNASET2, FGFR1OP, dan CCR6. Di
Rumania, juga telah teridentifi kasi gen yang berhubungan dengan vitiligo, SMOC2
(encoding SPARC related modular calcium binding 2), pada 6q27. Namun
berdasarkan analisis GWAS (genome-wide association study) terkini, lokus 6q27
teridentifikasi bebas dari lokus SMOC2.19,20

MYG1 (Melanocyte proliferating gene 1, pada manusia disebut juga


C12orf10 merupakan protein nucleo-mitochondrial yang ada dimana-mana
(ubiquitous). Gen MYG1 tersusun dari 7 exons yang menjangkau (span) 7,5 kb
DNA genomik pada daerah kromosom 12q13, juga tersusun dari 10 polimorfisme
yang sudah dikenal sebagai single nucleotide polymorphisms (SNPs). Ekspresi
MYG1 pada jaringan orang dewasa sehat bersifat stabil dan dapat berubah terutama
sebagai respons terhadap stres atau saat sakit. Ekspresi MYG1 mRNA ini
meningkat pada kulit penderita vitiligo. MYG1 juga ditemukan up-regulated secara
konsisten pada biopsi kulit penderita dermatitis atopik (eksim).22 MYG1 berada di
nukleus dan mitokondria, terlibat di dalam cellular pathways yang berimplikasi
pada stres seluler, respons imun, perkembangan, dan metabolisme. Baik MYG1
promoter polymorphism -119C/G dan Arg4Gln polymorphism di sinyal
mitokondria memiliki pengaruh pada fungsi gen dan protein MYG1. Studi analisis

10
aktivitas promoter in vivo dan in vitro bersama analisis asosiasi mengkonfirmasikan
bahwa polimorfisme -119C/G memengaruhi kadar MYG1 mRNA. -119C/G adalah
risk-allele untuk perkembangan vitiligo dan risk-allele yang lebih spesifik untuk
perkembangan penyakit.23,24,25

2. Ketidakseimbangan melanosit

Penyebab lain antara lain: gangguan homeostasis melanosit (lemahnya


kalsium intraseluler dan ekstraseluler), rusaknya melanosit karena produk
metabolik sintesis melanin atau mediator neurokimiawi tertentu, akumulasi
prekursor melanin yang toksik di melanosit (seperti: DOPA dopachrome, 5, 6-
dihydroxyindole). Stres oksidatif berperan penting pada proses degradasi melanosit,
juga paparan bahan kimia, seperti: monobenzileterhidrokinon pada sarung-tangan
atau detergen yang mengandung fenol.8,12

3. Hipotesis biokimia

Hipotesis biokimiawi menyatakan terjadi peningkatan sintesis


hydrobiopterin, suatu kofaktor hidroksilase tirosin yang menghasilkan peningkatan
katekolamin dan reactive oxygen species (ROS) toksik untuk melanosit. Penurunan
kadar katalase dan peningkatan konsentrasi H2O2 pada kulit penderita vitiligo
memperkuat hipotesis biokimiawi. Riset dasar biokimiawi menemukan bahwa pada
penderita vitiligo terjadi akumulasi H2O2, kadar catalase di seluruh epidermis
menurun, ekspresi catalase mRNA tetap tidak berubah. Uniknya, limfosit darah tepi
pada penderita vitiligo juga memiliki kadar catalase yang rendah dan sel-sel ini
rentan terhadap tekanan (stress) H2O2. H2O2 dapat memodulasi respons sel-sel
Langerhans epidermis pada vitiligo. Didapatkan hubungan langsung antara tekanan
H2O2 dan kerusakan sel serta onset respons imun seluler adaptif.28

Mayoritas eumelanin disintesis di melanosit dari konversi autocrine L-


phenylalanine menjadi L-tyrosine via PAH, gangguan (perturbation) homeostasis
kalsium di sel-sel penderita vitiligo ini amat berperan penting pada hilangnya
pigmen di vitiliginous melanocytes.28 Dengan spektroskopi FT-Raman in vivo, 40%
penderita vitiligo memiliki metabolisme fenilalanin yang rendah dibandingkan

11
orang sehat. Namun, 60% tidak memiliki problem saat memproduksi L-tyrosine
dari L-phenylalanine melalui phenylalanine hydroxylase. L-phenylalanine secara
aktif diangkut menuju sel oleh mekanisme calciumdependent ATPase antiporter.28

4. Hipotesis virus

Beberapa virus, seperti cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr virus


(EBV), pernah terdeteksi di epidermis penderita vitiligo di California tahun 1996
dan 1999, dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Keberadaan DNA
CMV pada specimen biopsi kulit penderita vitiligo menunjukkan potensi kerusakan
yang diinduksi virus pada melanosit. Infeksi virus dapat memicu respons autoimun
karena molecular mimicry dari sekuens peptide virus mengaktivasi subset T-cells.
Keterlibatan virus lainnya, seperti: hepatitis C, HIV, dan virus Epstein-Barr juga
pernah dilaporkan.29,30,31

5. Hipotesis neurogenik

Menurut teori neurogenik, gangguan pelepasan katekolamin dari ujung


saraf otonom berperan penting dalam perkembangan vitiligo melalui produksi
partikel toksik di microenvironment melanosit area yang terkena; melalui aksi
sitotoksik langsung dari katekolamin; atau metabolite (produk–metabolisme)-nya.
Peningkatan konsentrasi katekolamin juga menjadi fenomena sekunder karena
stress yang berhubungan dengan vitiligo. Vitiligo melibatkan interaksi kompleks
berbagai faktor lingkungan dan genetik yang pada akhirnya berkontribusi terhadap
destruksi melanosit. Selain hilangnya fungsi melanosit, keratinosit dan sel-sel
Langerhans juga terganggu pada penderita vitiligo. Peningkatan kadar neuropeptide
Y juga dijumpai pada kulit penderita vitiligo. Hilangnya epidermal melanocytes
memang merupakan tanda khas (hallmark) vitiligo. Meskipun demikian,
mekanisme dasar kehilangan melanosit atau bagaimana melanosit kehilangan
fungsi dan viability pada vitiligo, serta terbatasnya repigmentasi folikuler atau
marginal masih belum jelas, sehingga peluang riset tetap terbuka dan menjanjikan.

12
6. Lymphocyte Mediated

Ekspresi berlebih dari B lymphocyte activating factor (BAF) dapat


menghancurkan toleransi sistem imun diri sendiri pada vitiligo. BAF mengaktifkan
sel-sel B yang reaktif untuk menghasilkan auto-antibodi terhadap melanosit,
meningkatkan efek CD4+ T-helper pada aktivasi CD8+ T cells dan
mempresentasikan antigen melanosit langsung ke CD8+ T cells. Antibodi untuk
Lamin A (VIT75, melanocyte membrane antigen) juga meningkat pada vitiligo
autoimun. Peningkatan Th1 / Th2 dan rasio IL-2 / IL-4, ketergantungan kuat
terhadap IFN-γ dan CXCR3 dengan peningkatan signifikan IL-17 dan penurunan
TGF-β, polimorfisme gen dari cluster / reseptor IL19 dan IL20RB semuanya telah
tercatat dalam vitiligo. Sel T CD8 + melanosit spesifik (sel CD8 + / CD45RO +)
dan hilangnya melanosit pada vitiligo berkorelasi dengan aktivitas penyakit.

Transplantasi organ dikenal sebagai faktor risiko vitiligo melalui


peningkatan penghancuran melanosit yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang
dipicu oleh graft-versus-host-disease (GVHD) kronik. Dalam sebuah studi, enam
kasus vitiligo generalista terjadi setelah transplantasi sel hematopoietik alogenik /
allogeneic hematopoietic cell transplantation (AHCT). Laporan kasus lain
menunjukkan vitiligo pasca transplantasi hati & ginjal yang terduga sebagai
penyebab kehancuran melanosit oleh sitotoksik alloreactive T-limfosit yang
diturunkan donor atau antibodi yang ditransfer selama transplantasi. Seorang pasien
dengan penyakit sickle-cell, yang menerima HCT alogenik dari HLA vitiligo
identik nya, dapat terkena vitiligo.

7. Melanin / tirosinase Associated

Karakteristik depigmentasi diproduksi oleh haptogenic ortho-quinones


yang mengikat tirosinase (enzim yang menghasilkan melanin) atau protein
melanosomal lainnya dengan menghasilkan neo-antigen yang bertanggung jawab
untuk hipersensitivitas tipe IV pada melanosit tertentu. Melanocyte-MART-1
(melanoma antigen yang dikenali oleh T-sel) ditemukan berkorelasi dengan
mekanisme autoimun pada anak-anak dengan vitiligo. Di antara mediator

13
melanogenic, stem cell factor (SCF) dan endothelin-1 (ET-1) mRNA secara
signifikan berkurang pada lesi bila dibandingkan dengan epidermis di sekitar lesi.
Melanin, hidrasi stratum korneum, dan indeks eritema telah terbukti secara
signifikan rendah pada vitiligo dan pemulihan epidermal barrier juga tertunda.
8. Stres oksidatif
Antioksidasi oleh 5,6-Dihydroxyindole-2-carboxylic-acid (DHICA)
memainkan peran penting dalam pemeliharaan respon rendah imun terhadap
protein melanosomal. Pada keratinosit dari kulit di sekitar lesi vitiligo kadar tinggi
p38 activated, NF-kB p65 subunit, p53, dan Smac / DIABLO protein dan rendahnya
kadar ERK fosforilasi menunjukkan peran stres oksidatif dalam vitiligo. Terdapat
bukti bahwa kadar superoxide dismutase (SOD) dan malondialdehid (MDA) secara
signifikan lebih tinggi dan kadar katalase (CAT) dan glukosa dehidrogenase 6-
fosfat (G6PD) signifikan lebih rendah pada vitiligo. Sintesis abnormal dan
pengolahan tyrosinase-related protein (TRP-1) dan interaksinya dengan calnexin
menghasilkan peningkatan sensitivitas melanosit vitiligo terhadap stres oksidatif
dan kematian sel.

9. Disfungsi mitokondria

Mitokondria telah diusulkan menjadi target stimuli, seperti pembangkit


spesies oksigen reaktif, produksi sitokin, pelepasan katekolamin, perubahan
metabolisme kalsium, yang semuanya mampu merangsang degenerasi melanosit.
Pengurangan kadar cardiolipin dalam membran dalam mitokondria, peningkatan
ekspresi HMGCoA reduktase dan kadar kolesterol, ekspresi subunit rantai transport
elektron dan perubahan potensial transmembran mitokondria telah dicatat dalam
vitiligo.

10. Kerusakan DNA

Terdapat bukti peningkatan kerusakan DNA dalam vitiligo. Dalam sebuah


penelitian yang merinci kultur sel melanosit epidermal pada 18 pasien vitiligo,
kerusakan DNA disebabkan oleh peningkatan kadar 8-oxoguanine, pengikatan
DNA abnormal karena nitrasi protein penekan tumor p53 oleh epidermal

14
peroxynitrite (ONOO-), peningkatan epidermis p53 (in-vitro dan in-vivo) dan p53
antagonis p76MDM2. Peningkatan regulasi mekanisme perbaikan DNA seperti
perbaikan short-patch base-excision melalui hOgg1 (8-oxoguanine glikosilase
DNA), apurinic / apyrimidinic endonuklease 1 (APE1), dan perbaikan DNA
polimerase-β juga ditemukan.

11. Apoptosis
NACHT-leucine-rich-repeat protein-1 (NALP1) (NLR family of proteins)
memainkan peran kunci dalam apoptosis spontan dan mungkin menjadi bagian dari
APAF 1 apoptosome. NALP1, bagian dari kaskade inflamasi, diidentifikasi
memainkan peran penting dalam vitiligo. Maker atau penanda apoptosis secara
signifikan meningkat pada biopsi kulit pasien vitiligo. Antibodi IgG serum dari
pasien vitiligo dapat menembus ke dalam kultur in vitro melanosit, dan memicu
apoptosis.
12. Homosistein
Metabolisme homosistein tergantung pada kedua asam folat dan vitamin
B12, yang keduanya turun pada pasien dengan vitiligo. Peningkatan kadar
homosistein serum ditemukan pada vitiligo yang luas dan mungkin merupakan
penanda keparahan.
13. Hubungan dengan Tiroid
Bukti kuat menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara
vitiligo dengan disfungsi tiroid. Dalam sebuah studi, insiden yang lebih tinggi pada
disfungsi tiroid ditemukan pada orang-orang dengan vitiligo non-segmental
dibandingkan dengan kontrol (11,8% vs 4,3%). Insiden antibodi anti-TPO dalam
vitiligo juga tercatat tinggi. Vitiligo seringkali bermanifestasi sebelum
perkembangan penyakit tiroid, maka itu skrining untuk fungsi tiroid dan kadar
antibodi bermanfaat penting.

15
2.7 Klasifikasi

Berdasarkan distribusi dan bentuk lesinya, vitiligo diklasifikasikan menjadi


2. Klasifikasi ini penting dalam memahami prognosis penyakit. Ada 2 bentuk
vitiligo:

1. Lokalisata dapat dibagi dibagi lagi:


a. Fokal
Satu atau lebih macula pada satu area saja tetapi tidak segmental.
b. Segmental
Satu atau lebih macula pada satu area, dengan distribusi menurut dermatom.
Misalnya pada satu tungkai.
c. Mukosal
Hanya terdapat pada membran mukosa.

Vitiligo lokalisata jarang berubah menjadi vitiligo generalisata.

2. Generalisata
Hampir 90% penderita mengalami vitiligo generalisata yang biasanya simetris.
Vitiligo generalisata ini terbagi atas:
a. Akrofasial
Depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka,
merupakan stadum permulaan vitiligo generalisata.
b. Vulgaris
Macula tanpa pola tertentu di banyak tempat.
c. Universalisata
Depigmentasi terjadi menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan
vitiligo total. Vitiligo tipe universalisata merupakan depigmentasi kulit
secara total atau hampir seluruh tubuh.

Vitiligo yang diklasifikasi berdasarkan bentuk lesinya, antara lain :


1. Trichrome vitiligo : vitiligo yang terdiri atas lesi berwarna coklat, coklat
muda dan putih

16
2. Vitiligo inflamatoar: lesi dengan tepi yang meninggi eritematosa dan gatal.
3. Lesi linear

2.8 Faktor Resiko


Faktor resiko dari kekurangan melanin belum diketahui secara pasti, para ahli
telah menduga bahwa penyakit ini berkenaan dengan beberapa faktor resiko, yaitu:
1. Faktor keturunan
Sekitar 1 dari 5 pengidap vitilogo terdapat pada anggota keluarga yang
mengalami penyakit yang sama
2. Adanya penyakit autoimun lainnya seperti hipertiroidisme, diabetes dan
lain-lain
3. Stres
4. Kelainan kulit akibat terbakar oleh matahari
5. Terpajan oleh senyawa kimia

2.9 Diagnosis

a. Anamnesa
Diagnosis vitiligo didasarkan pada anamnesis dan gambaran klinis. Hal
yang ditanyakan kepada penderita meliputi:
o Awitan penyakit
o Riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul sendiri
o Riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes mellitus, dan
anemia pernisiosa
o Kemungkinan faktor pencetus, misalnya stress emosi, terbakar sinar
matahari, dan pajanan bahan kimia
o Riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit yang muncul sebelum bercak
putih

17
b. Pemeriksaan fisik
Macula berwarna putih pucat atau putih susu atau putih seperti kapur
tulis dengan diameter 5mm – 5cm atau lebih, bulat atau lonjong dengan batas

18
tegas. Kadang-kadang terlihat macula hipomelanotik selain macula
apigementasi seperti pada salah satu varian yakni trichrome vitiligo dengan
macula berwarna putih, coklat muda, dan coklat tua. Pemeriksaan fisik dapat
pula dilakukan dengan lampu Wood, terutama pada area yang tertutup
pakaian/tidak terpajan sinar matahari dan pada orang berkulit terang.

Di dalam macula vitiligo dapat ditemukan macula dengan pigmentasi


normal atau hiperpigmentasi disebut repigmentasi perifolikuler. Kadang-
kadang ditemukan ditemukan tepi lesi yang meninggi, eritema dan gatal,
disebut inflamatoar.Lokasi predileksi antara lain bagian ekstensor terutama di
atas jari, periorbita, mulut dan hidung, tibialis anterior, dan pergelangan tangan
bagian fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada area yang
terkena trauma dapat timbul vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang-kadang
mengenai genital eksterna, puting susu, dan ginggiva.

Gambar 1 Tempat Predileksi Vitiligo

19
c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan histopatologi
Dengan pewarnaan hematoksilin eosin tampak normal kecuali tidak
ditemukan melanosit, kadang ditemukan limfosit di tepi macula. Reaksi
dopa untuk melanosit negative pada daerah apigmentasi, tapi
meningkat pada tepi yang hiperpigmentasi.
 Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan dopa
menunjukkan tidak ada tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit
normal.

2.10 Diagnosis Banding


 Pitiriasis Vesicolor
Merupakan infeksi kronik oleh Malassezia furfur, yang tampak sebagai
hiperpigmentasi atau yang lebih umum yaitu makula hipopigmentasi dan
bersisik. Biasanya menyerang usia muda antara 15- 35 tahun, dengan lesi
terlokalisasi pada dada, leher, lengan atas dan punggung. Pada neonates dan
anak-anak, beberapa kasus menyerang pada bagian muka dengan transmisi
dari orangtua yang terinfeksi. Pemeriksaannya yaitu menggunakan Wood’s
lamp atau pemeriksaan KOH dengan hasilnya tampak hifa dan spora.

20
 Pytiriasis Alba
Bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya.
Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan
menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Diduga adanya
infeksi Streptococcus, tetapi belum dapat dibuktikan. Sering dijumpai pada
anak berumur 3-16 tahun. Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk
bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai
warna kulit dengan skuama halus.

2.11 Penatalaksaan
Penatalaksanaan dilakukan dengan:

A. Nonfarmakologi
1. Penerangan tentang penyakit kepada penderita.
2. Kosmetika: tabir surya untuk proteksi dan cover mask concealer untuk
kamuflase.
3. Repigmentasi dengan fototerapi
a. Fototerapi topical
Fototerapi psoralen topikal dilakukan apabila lesi terbatas (kurang
dari 20% permukaan tubuh) atau pada anak lebih dari 5 tahun dengan
vitiligo fokal. Larutan yang digunakan adalah larutan metoksalen

21
1% dan 8-metoksipsoralen (8-MOP) topikal dengan cara dioleskan
secara hati-hati. Olesan tidak sampai ke batas tepi, karena
diharapkan akan terjadi difusi intradermal.

b. Fototerapi sistemik
Pengobatan sistemik menggunakan 5-Metoksipsoralen (5-MOP)
dengan sinar matahari atau 8-MOP dan 5-MOP dengan sinar
matahari artifisial. Bahan ini bersifat photosensitizer. Sebagai
sumber sinar, digunakan sinar matahari atau sinar buatan yang
mengandung ultraviolet gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis
psoralen adalah 20-30 mg atau 0,6 mg/kg berat badan yang diminum
2 jam sebelum penyinaran. Penyinaran dilakukan dua kali seminggu.
Lama penyinaran dimulai sebentar kemudian setiap hari dinaikkan
perlahan-lahan (antara ½ sampai 4 menit). Terapi dilakukan selama
6 bulan sampai setahun. Pengobatan dengan psoralen secara topical
yang dioleskan lima menit sebelum penyinaran sering menimbulkan
dermatitis kontak iritan. Selain itu, dapat pula digunakan narrow-
band UVB tanpa psoralen.

Perlu diwaspadai akan terjadinya efek samping, baik jangka pendek


maupun jangka panjang. Efek samping jangka pendek berupa nausea
(dapat diatasi dengan minum susu), kulit kering dan gatal (dapat
diberikan antihistamin), eritema, nyeri dan “PUVA-pain”.

b. Farmakologi
1. Kortikosteroid
Pada beberapa penderita kortikosteroid misalnya triamcinolone
acetonide 0,1%, desonide 0,05%, betametason valerat 0.1% atau
klobetasol propionate 0.05% efektif menimbulkan pigmen. Biasanya
diperlukan terapi yang lama dan adanya efek samping akibat pemakaian
steroid yang lama menyebabkan pemakaiannya terbatas.

22
2. Depigmentasi

MBEH (monobenzylether of hydroquinon) 20% krim dapat dipakai


untuk pengobatan vitiligo yang luas lebih dari 50% permukaan kulit dan
tidak berhasil dengan pengobatan psoralen. Bila tidak ada dermatitis
kontak pengobatan dilanjutkan sampai 4 minggu untuk daerah yang
normal. Depigmentasi dapat terjadi setelah 2-3 bulan dan sempurna
setelah 1 tahun. Kemungkinan timbul kembali pigmentasi yang normal
pada daerah yang terpajan sinar matahari dan pada penderita berkulit
gelap sehingga harus dicegah dengan tabir surya.

3. Terapi pembedahan
Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah autologus skin graft atau
tandur kulit, baik pada seluruh epidermis dan dermis, maupun hanya
kultur sel melanosit. Cara ini dilakukan dengan memindahkan kulit
normal (2-4 mm) ke ruam vitiligo. Efek samping yang mungkin timbul
antara lain parut, repigmentasi yang tak teratur dan infeksi. Daerah
ujung jari, bibir, siku, dan lutut umumnya memberi hasil pengobatan
yang buruk. Dicoba dilakukan repigmentasi dengan cara tato dengan
bahan ferum oksida dalam gliserol atau alcohol.

2.12 Komplikasi
Jika tidak ditangani, vitiligo akan terus berkembang dan terkadang
mengakibatkan beberapa komplikasi, misalnya:
1. Kekurangan melanin akan menyebabkan kulit rentan terhadap pengaruh
sinar matahari sehingga mudah terbakar dan mempertinggi risiko kanker
kulit
2. Kekurangan pigmen pada mata dapat menyebabkan inflamsi pada bagian
iris

23
2.13 Prognosis
Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan. Keberhasilan
terapi bergantung pula pada kesabaran dan kepatuhan penderita terhadap
pengobatan yang diberikan. Efek psikososial vitiligo dapat berupa hambatan sosial
atau psikis.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa
muda dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan
ini dapat terjadi pada semua usia. Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan
laki-laki sama dengan perempuan.
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Walaupun
penyebab pasti viligo sepenuhnya belum diketahui. Namun, beberapa faktor diduga
dapat menjadi penyebab timbulnya vitiligo pada seseorang, misalnya, faktor
emosi/stress, faktor mekanis seperti trauma, faktor sinar matahari atau penyinaran
sinar UVA, dan faktor hormonal.
Gejala klinis pada pasien adanya makula hipopigmentasi, lentikular hingga
geografis, konfluens, dan sirkumskrip dan beberapa makula hipopigmentasi dengan
repigmentasi folikular pada bawah hidung, bibir atas, kedua tangan, kedua siku, dan
kedua kaki. Hal ini sesuai dengan teori, gambaran ruam vitiligo dapat berupa
makula hipopigmentasi yang lokal sampai universal dengan daerah tangan,
pergelangan tangan, lutut, leher, dan daerah sekitar lubang sebagai daerah
predileksi dari vitiligo.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan terapi topikal tabir surya SPF 30,
klobetasol propionat 0,05% salep, dan betametason valerat 0,1% . Terapi vitiligo
sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir surya dan kosmetik
covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan mudah serta dapat
digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi lainnya. Karena penyebab
dan patogenesisnya belum diketahui secara pasti, maka dapat dilakukan beberapa
cara dan usaha yaitu: psoralen, kortikosteroid, fluorourasil, zat warna, dan lain-lain
misalnya dengan tindakan pembedahan.

25
Prognosis vitiligo masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran
dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.

26

Anda mungkin juga menyukai