Vitiligo Isi
Vitiligo Isi
PENDAHULAN
1
Progres dari penyakit ini bisa merupakan suatu pengembangan bertahap dari
makula lama atau pengembangan dari makula baru. Trichrome vitiligo (tiga warna:
putih,coklat muda,coklat tua) mewakili tahapan yang berbeda dalam evolusi
vitiligo.3
Tangan, pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah sekitar lubang
(misalnya mulut) merupakan daerah-daerah yangsering ditemukan vitiligo5,6.
Kadang dapat juga ditemukan gambaran rambut yang memutih atau uban prematur.
Gambaran rambut putih pada vitiligo, dianalogikan dengan makula putih, disebut
dengan poliosis3.
Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis, serta ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan
lampu Wood.
Biasanya, diagnosis vitiligo dapat dibuat dengan mudah pada pemeriksaan
klinis pasien, dengan ditemukannya gambaran bercak “kapur putih”, bilateral
(biasanya simetris), makula berbatas tajam pada lokasi yang khas. Pada
pemeriksaan dengan lampu wood, lesi vitiligo tampak putih berkilau dan hal ini
berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya.
Dalam kasus-kasus tertentu, pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk
melihat ada tidaknya melanosit dan granul melanin di epidermis. Ada banyak
pilihan terapi yang bisa dilakukan pada pasien dengan vitiligo. Hampir semua terapi
bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit (Repigmentasi). Seluruh
pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, dan tidak semua
terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita.
Repigmentasi dapat diberikan dengan berbagai cara diantaranya:
Glukokortikoid topical (betametason valerat 0,1% atau klobetasol propionat 0,05%,
Topikal inhibitor Kalsineurin (Tacrolimus dan pimecrolimus), Topikal
fotokemoterapi (8-methoxypsoralen (8-MOP) dan PUVA), Immunomudulator
sistemik (methylprednisolon), Topikal analog Vitamin D (Calcipotriol), Topikal 5-
Fluorouracil. UVB Narrow-band(311nm), Laser Excimer (308nm), Minigrafting,
dan Depigmentasi.1,3
2
Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi
prognosisnya masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan
kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Vitiligo dapat mengenai semua ras dan gender dan semua umur. Vitiligo
lebih sering terjadi (50%) pada usia 10-30 tahun. Terdapat faktor genetic yang
mempengaruhi munculnya vitiligo ini yakni penderita vitiligo akan memiliki
kemungkinan 5% memiliki anak dengan kelainan serupa. Riwayat keluarga vitiligo
4
berkisar 30%. Penyakit ini lebih sering diderita oleh orang kulit berwarna dan
biasanya dengan derajat yang lebih berat.2
2.3 Etiologi
1) Faktor mekanis
Pada 30% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya
setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi.
Didaerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas
jari, periorifisialis sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anteruior dan
5
pergelangan tangan bagian fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada
area yang terkena trauma dapat timbul vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang
mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir atau ginggiva.4
Bentuk yang paling umum dari vitiligo yaitu makula amelanosis yang
dilapisi kulit normal. Makula-makula tersebut memiliki warna yang seragam yaitu
putih susu atau layaknya seperti warna kapur. Berbatas tegas dan berbentuk
konveks dengan perbatasan kulit normal seakan-akan menginvasi kulit normal.
Memiliki ukuran bundar atau linear, ukuran beberapa millimeter sampai centimeter.
Lesi biasanya meluas secara sentrifugal.3
Lesi yang ada biasanya asimptomatik atau tidak disertai gejala yang
biasanya menyertai lesi kulit lainnya seperti gatal dan nyeri. Walaupun kadang pada
lesi yang sering terpapar matahari dapat merasakan nyeri akibat luka bakar.4
Depigmentasi juga dapat terjadi pada rambut pada kulit kepala yang
ditandai dengan perubahan warna pada rambut menjadi warna putih atau abu-abu.
Pada awalnya hanya sebagian kecil rambut yang mengalami depigmentasi.
Perubahan warna tersebut juga dapat terjadi pada rambut pada alis, bulu mata,
ketiak dan pubis. Oleh karena itu rambut putih yang lebih dini muncul yaitu
dibawah usia dekade ketiga mengindikasikan vitiligo. Pada kasus ini tidak terjadi
repigmentasi spontan.3,4
Trichrome vitiligo
Vitiligo dengan lesi kulit depigmentasi dan hipopigmentasi. Lesi
hipopigmentasi cenderung akan menjadi depigmentasi total.
6
Quadricrhome vitiligo
Terdapat makula perifollikular atau batas hiperpigmentasi pada daerah
yang mengalami proses repigmentasi.
Inflammatory vitiligo
Eritema pada tepi lesi makula depigmentasi.34
2.5 Patogenesis
1. Hipotesis autoimun
Penderita vitiligo cenderung menderita kelainan autoimun seperti tiroiditis
Hashimoto, penyakit Grave, penyakit Addison, uveitis, alopecia areata,
kandidiatis mukokutan dan hipoparatiroid melanosit dijumpai pada serum
80% penderita vitiloho.
2. Hipotesis neurohormonal
Hipotesis ini mengatakan bahwa mediator neurokimiawi seperti asetilkolin,
epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan oleh ujung-ujung saraf perifer
merupakan bahan neurotoksik yang dapat merusak melanosit ataupun
menghambat produksi melanin.
Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin dan katekol.
Kemungkinan adanya produk intermediate yang terbentuk selama sintesis
katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada
gangguan keringat dan pembuluh darah terhadap respons transmitter saraf,
misalnya asetilkolin.
Secara klinis dapat terlihat pada vitiligo segmental satu atau dua dermatom,
dan seringkali timbul pada daerah dengan gangguan saraf seperti pada
daerah paraplegia, penderita polineuritis berat.
3. Autositotoksik
Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan
DOPA ke dopakinon yang kemudian dioksidasi menjadi berbagai indol dan
7
radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak oleh penumpukan
precursor melanin. Secara invitro dibuktikan tirosin, DOPA, dan dopakrom
merupakan sitotoksik terhadap melanosit.
4. Pajanan terhadap bahan kimiawi
Depigmentasi kulit dapat terjadi terhadap pajanan monobenzil eter dalam
sarung tangan
Dipigmentasi kulit dapat terjadi akibat paparan monobenzil eter
hidroquinon yang terdapat pada sarung tangan atau detergen yang
mengandung fenol. Terdapat sejumlah bahan kimia yang mampu
menyebabkan terjadinya depigmentasi yaitu thiol, derivat katekol,
merkaptoamin, dan beberapa quinon. Menghirup dan menelan senyawa
kimia ini akan berperan dalam terjadinya dipigmentasi.
2.6 Patofisiologi
1. Hipotesis genetik
8
histocompatibility comlex (MHC) dengan kerentanan HLA (terkait dengan HLA-
A3001, HLA-B1302, HLA-C0602 dan HLADRB1 * 0701 alel). Berbagai lokus
yang berisiko pada genetik seperti 3p13 meliputi FOXP1 (rs17008723), 6q27
meliputi CCR6 (rs6902119), (rs2236313 dan RNASET2, FGFR1OP dan c6orf10-
BTNL2 (rs7758128) telah dicurigai dalam vitiligo.
Ekspresi yang meningkat dari gen kandidat biologis, X-box binding protein
1 (XBP1, yang terletak dikromosom 22) dan modulasi transkripsi oleh regulasi
polimorfisme kuman memiliki dampak pada perkembangan vitiligo. Ditemukan
bahwa dalam lesi kulit pasien vitiligo membawa gen risiko C alel-rs2269577.
Sebuah studi berhasil menemukan beberapa lokus antara lain: AIS1 (1p31),
AIS2 (7q), dan SLEV1 terutama dari beberapa keluarga yang terkait autoimun, dan
efek linkage AIS3 lokus (8p) terutama dari keluarga yang tidak memiliki penyakit
autoimun.18
9
Untuk mengetahui kerentanan gen/lokus pada vitiligo, telah dilakukan studi
genom vitiligo berskala-luas yang disebut GWAS (a large-scale vitiligo genome-
wide association study) pada populasi Eropa (seperti Rumania) dan China.19,20
Kajian genetika dan biomolekuler menyatakan beberapa lintasan gen pembawa
vitiligo pada keturunan Eropa merupakan bagian dari kerentanan (diathesis)
autoimun atau “isolasi”. Pada kelompok autoimun, telah teridentifikasi gen
pengkode NACHT leucine-rich-repeat protein 1 (NALP1).15,19,20 Sejumlah faktor
kerentanan genetik (genetic susceptibility) telah teridentifikasi melalui studi. Hanya
sedikit lokus, seperti: NLRP1 (pengkode famili NLR, pyrin domain–containing 1
dan juga dikenal sebagai NALP1) dan beberapa alel HLA (Human Leukocyte
Antigen), yang telah diujicoba berkali-kali pada berbagai riset.15,19,20 Beberapa gen
yang rentan vitiligo adalah 6q27 dan 10q22 (yang berlokasi di intron 4 pada lokus
ZMIZ1). Lokus 6q27 mengandung RNASET2, FGFR1OP, dan CCR6. Di
Rumania, juga telah teridentifi kasi gen yang berhubungan dengan vitiligo, SMOC2
(encoding SPARC related modular calcium binding 2), pada 6q27. Namun
berdasarkan analisis GWAS (genome-wide association study) terkini, lokus 6q27
teridentifikasi bebas dari lokus SMOC2.19,20
10
aktivitas promoter in vivo dan in vitro bersama analisis asosiasi mengkonfirmasikan
bahwa polimorfisme -119C/G memengaruhi kadar MYG1 mRNA. -119C/G adalah
risk-allele untuk perkembangan vitiligo dan risk-allele yang lebih spesifik untuk
perkembangan penyakit.23,24,25
2. Ketidakseimbangan melanosit
3. Hipotesis biokimia
11
orang sehat. Namun, 60% tidak memiliki problem saat memproduksi L-tyrosine
dari L-phenylalanine melalui phenylalanine hydroxylase. L-phenylalanine secara
aktif diangkut menuju sel oleh mekanisme calciumdependent ATPase antiporter.28
4. Hipotesis virus
5. Hipotesis neurogenik
12
6. Lymphocyte Mediated
13
melanogenic, stem cell factor (SCF) dan endothelin-1 (ET-1) mRNA secara
signifikan berkurang pada lesi bila dibandingkan dengan epidermis di sekitar lesi.
Melanin, hidrasi stratum korneum, dan indeks eritema telah terbukti secara
signifikan rendah pada vitiligo dan pemulihan epidermal barrier juga tertunda.
8. Stres oksidatif
Antioksidasi oleh 5,6-Dihydroxyindole-2-carboxylic-acid (DHICA)
memainkan peran penting dalam pemeliharaan respon rendah imun terhadap
protein melanosomal. Pada keratinosit dari kulit di sekitar lesi vitiligo kadar tinggi
p38 activated, NF-kB p65 subunit, p53, dan Smac / DIABLO protein dan rendahnya
kadar ERK fosforilasi menunjukkan peran stres oksidatif dalam vitiligo. Terdapat
bukti bahwa kadar superoxide dismutase (SOD) dan malondialdehid (MDA) secara
signifikan lebih tinggi dan kadar katalase (CAT) dan glukosa dehidrogenase 6-
fosfat (G6PD) signifikan lebih rendah pada vitiligo. Sintesis abnormal dan
pengolahan tyrosinase-related protein (TRP-1) dan interaksinya dengan calnexin
menghasilkan peningkatan sensitivitas melanosit vitiligo terhadap stres oksidatif
dan kematian sel.
9. Disfungsi mitokondria
14
peroxynitrite (ONOO-), peningkatan epidermis p53 (in-vitro dan in-vivo) dan p53
antagonis p76MDM2. Peningkatan regulasi mekanisme perbaikan DNA seperti
perbaikan short-patch base-excision melalui hOgg1 (8-oxoguanine glikosilase
DNA), apurinic / apyrimidinic endonuklease 1 (APE1), dan perbaikan DNA
polimerase-β juga ditemukan.
11. Apoptosis
NACHT-leucine-rich-repeat protein-1 (NALP1) (NLR family of proteins)
memainkan peran kunci dalam apoptosis spontan dan mungkin menjadi bagian dari
APAF 1 apoptosome. NALP1, bagian dari kaskade inflamasi, diidentifikasi
memainkan peran penting dalam vitiligo. Maker atau penanda apoptosis secara
signifikan meningkat pada biopsi kulit pasien vitiligo. Antibodi IgG serum dari
pasien vitiligo dapat menembus ke dalam kultur in vitro melanosit, dan memicu
apoptosis.
12. Homosistein
Metabolisme homosistein tergantung pada kedua asam folat dan vitamin
B12, yang keduanya turun pada pasien dengan vitiligo. Peningkatan kadar
homosistein serum ditemukan pada vitiligo yang luas dan mungkin merupakan
penanda keparahan.
13. Hubungan dengan Tiroid
Bukti kuat menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara
vitiligo dengan disfungsi tiroid. Dalam sebuah studi, insiden yang lebih tinggi pada
disfungsi tiroid ditemukan pada orang-orang dengan vitiligo non-segmental
dibandingkan dengan kontrol (11,8% vs 4,3%). Insiden antibodi anti-TPO dalam
vitiligo juga tercatat tinggi. Vitiligo seringkali bermanifestasi sebelum
perkembangan penyakit tiroid, maka itu skrining untuk fungsi tiroid dan kadar
antibodi bermanfaat penting.
15
2.7 Klasifikasi
2. Generalisata
Hampir 90% penderita mengalami vitiligo generalisata yang biasanya simetris.
Vitiligo generalisata ini terbagi atas:
a. Akrofasial
Depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka,
merupakan stadum permulaan vitiligo generalisata.
b. Vulgaris
Macula tanpa pola tertentu di banyak tempat.
c. Universalisata
Depigmentasi terjadi menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan
vitiligo total. Vitiligo tipe universalisata merupakan depigmentasi kulit
secara total atau hampir seluruh tubuh.
16
2. Vitiligo inflamatoar: lesi dengan tepi yang meninggi eritematosa dan gatal.
3. Lesi linear
2.9 Diagnosis
a. Anamnesa
Diagnosis vitiligo didasarkan pada anamnesis dan gambaran klinis. Hal
yang ditanyakan kepada penderita meliputi:
o Awitan penyakit
o Riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul sendiri
o Riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes mellitus, dan
anemia pernisiosa
o Kemungkinan faktor pencetus, misalnya stress emosi, terbakar sinar
matahari, dan pajanan bahan kimia
o Riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit yang muncul sebelum bercak
putih
17
b. Pemeriksaan fisik
Macula berwarna putih pucat atau putih susu atau putih seperti kapur
tulis dengan diameter 5mm – 5cm atau lebih, bulat atau lonjong dengan batas
18
tegas. Kadang-kadang terlihat macula hipomelanotik selain macula
apigementasi seperti pada salah satu varian yakni trichrome vitiligo dengan
macula berwarna putih, coklat muda, dan coklat tua. Pemeriksaan fisik dapat
pula dilakukan dengan lampu Wood, terutama pada area yang tertutup
pakaian/tidak terpajan sinar matahari dan pada orang berkulit terang.
19
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan histopatologi
Dengan pewarnaan hematoksilin eosin tampak normal kecuali tidak
ditemukan melanosit, kadang ditemukan limfosit di tepi macula. Reaksi
dopa untuk melanosit negative pada daerah apigmentasi, tapi
meningkat pada tepi yang hiperpigmentasi.
Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan dopa
menunjukkan tidak ada tirosinase. Kadar tirosin plasma dan kulit
normal.
20
Pytiriasis Alba
Bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya.
Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan
menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Diduga adanya
infeksi Streptococcus, tetapi belum dapat dibuktikan. Sering dijumpai pada
anak berumur 3-16 tahun. Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk
bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai
warna kulit dengan skuama halus.
2.11 Penatalaksaan
Penatalaksanaan dilakukan dengan:
A. Nonfarmakologi
1. Penerangan tentang penyakit kepada penderita.
2. Kosmetika: tabir surya untuk proteksi dan cover mask concealer untuk
kamuflase.
3. Repigmentasi dengan fototerapi
a. Fototerapi topical
Fototerapi psoralen topikal dilakukan apabila lesi terbatas (kurang
dari 20% permukaan tubuh) atau pada anak lebih dari 5 tahun dengan
vitiligo fokal. Larutan yang digunakan adalah larutan metoksalen
21
1% dan 8-metoksipsoralen (8-MOP) topikal dengan cara dioleskan
secara hati-hati. Olesan tidak sampai ke batas tepi, karena
diharapkan akan terjadi difusi intradermal.
b. Fototerapi sistemik
Pengobatan sistemik menggunakan 5-Metoksipsoralen (5-MOP)
dengan sinar matahari atau 8-MOP dan 5-MOP dengan sinar
matahari artifisial. Bahan ini bersifat photosensitizer. Sebagai
sumber sinar, digunakan sinar matahari atau sinar buatan yang
mengandung ultraviolet gelombang panjang (ultraviolet A). Dosis
psoralen adalah 20-30 mg atau 0,6 mg/kg berat badan yang diminum
2 jam sebelum penyinaran. Penyinaran dilakukan dua kali seminggu.
Lama penyinaran dimulai sebentar kemudian setiap hari dinaikkan
perlahan-lahan (antara ½ sampai 4 menit). Terapi dilakukan selama
6 bulan sampai setahun. Pengobatan dengan psoralen secara topical
yang dioleskan lima menit sebelum penyinaran sering menimbulkan
dermatitis kontak iritan. Selain itu, dapat pula digunakan narrow-
band UVB tanpa psoralen.
b. Farmakologi
1. Kortikosteroid
Pada beberapa penderita kortikosteroid misalnya triamcinolone
acetonide 0,1%, desonide 0,05%, betametason valerat 0.1% atau
klobetasol propionate 0.05% efektif menimbulkan pigmen. Biasanya
diperlukan terapi yang lama dan adanya efek samping akibat pemakaian
steroid yang lama menyebabkan pemakaiannya terbatas.
22
2. Depigmentasi
3. Terapi pembedahan
Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah autologus skin graft atau
tandur kulit, baik pada seluruh epidermis dan dermis, maupun hanya
kultur sel melanosit. Cara ini dilakukan dengan memindahkan kulit
normal (2-4 mm) ke ruam vitiligo. Efek samping yang mungkin timbul
antara lain parut, repigmentasi yang tak teratur dan infeksi. Daerah
ujung jari, bibir, siku, dan lutut umumnya memberi hasil pengobatan
yang buruk. Dicoba dilakukan repigmentasi dengan cara tato dengan
bahan ferum oksida dalam gliserol atau alcohol.
2.12 Komplikasi
Jika tidak ditangani, vitiligo akan terus berkembang dan terkadang
mengakibatkan beberapa komplikasi, misalnya:
1. Kekurangan melanin akan menyebabkan kulit rentan terhadap pengaruh
sinar matahari sehingga mudah terbakar dan mempertinggi risiko kanker
kulit
2. Kekurangan pigmen pada mata dapat menyebabkan inflamsi pada bagian
iris
23
2.13 Prognosis
Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan. Keberhasilan
terapi bergantung pula pada kesabaran dan kepatuhan penderita terhadap
pengobatan yang diberikan. Efek psikososial vitiligo dapat berupa hambatan sosial
atau psikis.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa
muda dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan
ini dapat terjadi pada semua usia. Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan
laki-laki sama dengan perempuan.
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Walaupun
penyebab pasti viligo sepenuhnya belum diketahui. Namun, beberapa faktor diduga
dapat menjadi penyebab timbulnya vitiligo pada seseorang, misalnya, faktor
emosi/stress, faktor mekanis seperti trauma, faktor sinar matahari atau penyinaran
sinar UVA, dan faktor hormonal.
Gejala klinis pada pasien adanya makula hipopigmentasi, lentikular hingga
geografis, konfluens, dan sirkumskrip dan beberapa makula hipopigmentasi dengan
repigmentasi folikular pada bawah hidung, bibir atas, kedua tangan, kedua siku, dan
kedua kaki. Hal ini sesuai dengan teori, gambaran ruam vitiligo dapat berupa
makula hipopigmentasi yang lokal sampai universal dengan daerah tangan,
pergelangan tangan, lutut, leher, dan daerah sekitar lubang sebagai daerah
predileksi dari vitiligo.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan terapi topikal tabir surya SPF 30,
klobetasol propionat 0,05% salep, dan betametason valerat 0,1% . Terapi vitiligo
sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir surya dan kosmetik
covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan mudah serta dapat
digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi lainnya. Karena penyebab
dan patogenesisnya belum diketahui secara pasti, maka dapat dilakukan beberapa
cara dan usaha yaitu: psoralen, kortikosteroid, fluorourasil, zat warna, dan lain-lain
misalnya dengan tindakan pembedahan.
25
Prognosis vitiligo masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran
dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.
26