Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Edema serebri atau edema otak adalah keadaan patologis yaitu terjadinya akumulasi cairan

di dalam jaringan otak sehingga meningkatkan volume otak. Dapat terjadi peningkatan volume

intraseluler (lebih banyak di daerah substansia grisea) maupun ekstraseluler (daerah substansia

alba), sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.

Etiologi edema serebri dapat muncul pada kondisi neurologis dan non neurologis. Kondisi

neurologis yaitu pada stroke iskemik dan perdarahan intraserebral, trauma kepala, tumor otak, dan

infeksi otak. Kondisi non neurologis yaitu ketoasidosis diabetikum, koma asidosis laktat, hipertensi

maligna, ensefalopati, hiponatremia, ketergantungan pada opioid, gigitan reptil tertentu, atau high

altitude cerebral edema (HACE).

Klasifikas edema serebri dibagi atas dua bagian besar yaitu pertama berdasarkan lokalisasi

cairan dalam jaringan otak yang terdiri dari edema serebri ekstraseluler ( kelebihan air terutama

dalam substansia alba) dan edema serebri intraseluler (kelebihan air terutama dalam substansia

grisea). Kedua berdasarkan pathogenesis yang terdiri dari edema serebri vasogenik, edema serebri

osmotic dan edema serebri hidrostatik/interstisial

Tanda dan gejala edema serebri yaitu pada kondisi terjadi peningkatan tekanan intrakranial dapat

ditemukan tanda dan gejala berupa nyeri kepala hebat, muntah; dapat proyektil maupun tidak,

penglihatan kabur, bradikardi dan hipertensi, Penurunan frekuensi dan dalamnya pemapasan, dan

gambaran papiledema pada funduskopi.

Pemeriksaan diagnostic pada edema serebri dapat dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI otak

untuk melihat etiologi dan luas edema serebri.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Otak

Otak terletak di dalam tengkorak dan melanjutkan diri menjadi saraf tulang belakang (medulla

spinalis). Berat Otak kurang lebih 1.300-1400 gr (2% berat badan). Tidak Ada hubungan langsung

antara berat otak dan besarnya kepala dengan tingkat kecerdasan. Otak bertambah besar tetapi tetap

dalam tengkorak sehingga makin lama akan semakin berlekuk - lekuk (konvolusi), semakin dalam

lekukan berarti semakin banyak informasi yg disimpan dan semakin cerdas pemiliknya. Otak

manusia dewasa kira-kira 1.300-1.400 gram, terdiri dari 100 milyar sel saraf dan satu trilyun sel

penyokong saraf (neuroglia).

Secara anatomis bongkahan otak di bagi menjadi otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum)

dan batang otak (brain stem). Cerebrum berhubungan dengan pembelajaran, cerebellum

bertanggung jawab dalam proses koordinasi dan keseimbangan, batang otak berfungsi mengatur

dasar kehidupan misalnya denyut jantung, pernafasan dan lain-lain.

Otak besar terbelah menjadi dua belahan (hemisfer cerebri) yaitu otak kiri dan otak kanan.

Keduanya dihubungkan dengan semacam serat atau kabel yang disebut corpus callosum. Bila otak

dibelah secara vertikal, tampak bagian otak sebelah luar berwarna abu-abu dan otak bagian dalam

berwarna putih. Alur yang membagi otak menjadi dua belahan disebut fisura longitudinal. Otak kiri

berfungsi antara lain cara berfikir linear, sekuensial, mengatur hal-hal yang bersifat rasional,

berurusan dengan kata-kata, bahasa dan matematika. Otak kanan berfungsi antara lain berhubungan

dengan kreativitas, seni, music, gambar dan warna.

Otak terbagi atas lobus-lobus dan berbeda fungsi. Lobus frontal berada di depan (dahi) berfungsi

untuk kegiatan berfikir, perencanaan, penyusunan konsep, dan perilaku social. Lobus temporal (di

sekitar daerah telinga) bertanggung jawab terhadap persepsi suara dan bunyi. Lobus parietal

(dipuncak kepala) bertanggung jawab untuk kegiatan berfikir, terutama pengaturan memori. Lobus

occipital (dibelakang) bertanggung jawab mengatur fungsi ppenglihatan.


Cortex cerebri (kulit otak) pada lapisan abu-abu yang melapisi seluruh permukaan otak, dengan

ketebalan bervariasi (1,5 mm-4,5 mm) rata-rata 2,5 mm (lobus frotal), paling tebal 4,5 mm (area

motoric) dan paling tipis 1,5-2,2 mm (area visual). Dari luar tampak tidak beraturan, ada sungai

(sulcus) dan pinggirannya meninggi (gyrus). Cortex cerebri mengandung badan sel saraf dan

bertanggung jawab pada proses berfikir rasional. Fungsi cortex cerebri yaitu sensorik (menerima

masukan), asosiasi (mengolah masukan) dan motoric (mereaksi masukan dengan gerakan tubuh).

Ganglia basalis terdiri dari kumpulan badan sel saraaf, terletak di bagian dalam masing-masing

belahan otak. Bagian yang penting: nucleus caudatus, putamen dan globus palitus. Fungsi ganglia

basalis mengontrol aktivitas otot, memperkuat aktivitas motoric melalui sirkuti yang memberi

umpan balik pada korteks motoric.

B. Definisi Edema Serebral

Edema serebral atau otak merupakan akumulasi cairan secara abnormal di dalam

jaringan otak yang kemudian menyebabkan pembesaran secara volumetrik.1

C. Epidemiologi

Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering terjadi

pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh penyakit

jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot), meningitis,

otitis media kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun
scalp, status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial. Patogenesis abses

otak tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus. Walaupun teknologi kedokteran diagnostik

dan perkembangan antibiotika saat ini telah mengalami kemajuan, namun rate kematian

penyakit abses otak masih tetap tinggi, yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini

sudah jarang dijumpai terutama di negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya

sangat tinggi, abses otak termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan

masyarakat (life threatening infection).

Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada laki-

laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih usia produktif

yaitu sekitar 20-50 tahun. Yang SY menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah

sakit merupakan faktoryang sangat mempengaruhi rate kemtian. Jika kondisi pasien buruk,

rate kematian akan tinggi.

Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson Cancer

Center Houston Texas) terhadap 9 penderita abses otak yang diperolehnya selama 14 tahun

(1989-2002), menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki > perempuan dengan

perbandingan 7:2, berusia sekitar 38-78 tahun dengan rate kematian 55%.2 Demikian juga

dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20 pasien abses otak yang terkumpul selama

2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, menunjukkan hasil yang tidak jauh

berbeda, dimana jumlah penderita abses otak pada laki-laki > perempuan dengan

perbandingan 11:9, berusia sekitar 5 bulan-50 tahun dengan angka kematian 355 (dari 20

penderita, 7 meninggal).5

D. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah,

sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).3,4

Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik

(empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut

dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi
putih dan abu dari jaringan otak).6Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak

absesnya sesuai dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama

lobus parietalis, atau cerebellum dan batang otak.3,6

Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS,

penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem

kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang

dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit,

luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia.

Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus otak.

Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde thrombophlebitis melalui

klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal,

terletak superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga

menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis

dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris dapat

menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses

pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis.

Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti

kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat

menyebar ke dalam serebelum.

Bakteri penyebabnya antara lain, Streptococcus aureus, streptococci

(viridians, pneumococci, microaerophilic), bakteri anaerob (bakteri kokus gram

positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp, Prevotella spp, Actinomyces spp,

dan Clostridium spp), basil aerob gram-negatif (enteric rods, Proteus spp, Pseudomonas

aeruginosa, Citrobacter diversus, dan Haemophilus spp). Infeksi parasit (Schistosomiasis,

Amoeba) dan fungus (Actinomycosis, Candida albicans) dapat pula menimbulkan abses,

tetapi hal ini jarang terjadi.

Factor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau factor lingkungan:

1. faktor tuan rumah (host)


Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup kesehatan umum

yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang

adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi sempurna.

2. faktor kuman

Kuman tertentu cendeerung neurotropik seperti yang membangkitkan meningitis bacterial

akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak bersangkut paut dengan faktor

pertahanan host. Kuman yang memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi di

susunan saraf pusat jika terdapat ganggguan pada system limfoid atau retikuloendotelial.

3. faktor lingkungan

Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke dalam tubuh

melalui kontak antar individu, vektor, melaui air, atau udara.9

E. Manifestasi Klinis

Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi

seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan intrakranial berupa

muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas

berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan

gejala neurologik fokal.2,7

Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik

seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai kesadaran yang menurun

menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke

dalam kavum ventrikel.2,5,7

Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap

didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit.

Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses

ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga

gejala fokal adalah gejala sensorimotorik.7 Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu

hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan
nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan

berakibat fatal.

F. Pemeriksaan Penunjang

CT scan dan MRI menunjukkan efek massa dari edema dengan kompresi dari vertikel

lateral dan pergeseran struktur unline. Seperti yang kita ketahui, kecuali pada stroke fossa

posterior, pasien dengan infark yang luas dan banyak efek massa mempunyai prognosis yang

jelek. Pada stroke yang meleibatkan serebellum, jumlah kecil dari bengkak dapat

mengkompresi batang otak, melukai struktur vitalnya dan menyebabkan progresif yang

cepat dari hicrocephalus obstruktif. CT dapat menunjukkan perimesencephlalis, sistema

sudut serebellopontan dan displacement dari ventrikel keempat.

1. Gambaran CT Scan

Pada iskemia fokal serebri, edema dapat terlihat karena pengurangan radiodensitas

pada jaringan pada daerah infark dan karena ada midline shift dan desakan serta distorsi

ventrikular.

Infark arteri: menunjukan edema ringan di inti lentiformus kanan, yang terdiri

dari putamen (panah putih) dan globus palidus (panah hitam).


Midle cerebral artery: hiperdens sebelah kanan (panah)

Gambaran pada tingkat semioval centrum menunjukan hipodens pada

subkortikal difus serta hipodens pada lacuna

perdarahan akut yang berpusat di ganglia basal kanan, biasanya karena

hipertensi.
vasogenic edema di lobus temporal kiri

2. Gambaran MRI

sinyal tinggi maka pada gambaran lemak akan tampak terang dengan sebaliknya lebih

kecil air sehingga sinyal rendah maka gambaran air gelap.


Lemak pendek dari pada air lemak meluruh lebih cepat. Besarnya M transfersal pada air

lebih besar dari pada lemak sehingga sinyal dari air lebih tinggi yang berpengaruh air

nampak terang pada kontras. Bagaimanapun lemak lebih kecil sehingga sinyalnya

rendah maka nampak gelap.

Pasien dengan infark encephalomyopati mitokondrial, asidosis laktat.


Menunjukan kerentanan terhadap area perdarahan (*). Ada juga perdarahan di kedua

occipital.

Gambaran Vasogenic Edema

Memperlihatkan adanya peningkatan signal terhadap yang berkaitan dengan edema.


G. Patofisiologi

1. Edema Vasogenic

Pada vasogenic edema, terdapat peningkatan volume cairan ekstrasel yang berhubungan

dengan peningkatan permeabilitas kapiler. Vasogenic edema ini disebabkan oleh faktor

tekanan hidrostatik, terutama meningkatnya tekanan darah dan aliran darah dan oleh

faktor osmotik. Ketika protein dan makromolekul lain memasuki rongga ekstraseluler

otak karena kerusakan sawar darah otak, kadar air dan natrium pada rongga ekstraseluler

juga meningkat. Vasogenic edema ini lebih terakumulasi pada substansia alba cerebral

can cerebellar karena perbedaan compliance antara substansia abla dan grisea. Edema

vasogenic ini juga sering disebut “edema basah” karena pada beberapa kasus, potongan

permukaan otak nampak cairan edema. Tipe edema ini terlihat sebagai respon terhadap

trauma, tumor, inflamasi fokal, stadium akhir dari iskemia cerebral, dll

2. Edema Sitotoksik

Pada edema sitotoksik, terdapat peningkatan volume cairan intrasel, yang berhubungan

dengan kegagalan dari mekanisme energi yang secara normal tetap mencegah air

memasuki sel, mencakup fungsi yang inadekuat dari pompa natrium dan kalium pada

membran sel glia. Neuron, glia dan sel endotelial pada substansia alba dan grisea

menyerap air dan membengkak. Pembengkakan otak berhubungan dengan edema

sitotoksik yang berarti terdapat volume yang besar dari sel otak yang mati, yang akan

berakibat sangat buruk. Edema sitotoksik ini sering diistilahkan dengan edema kering.

Edema sitotoksik ini terjadi bila otak mengalami kerusakan yang berhubungan dengan

hipoksia, iskemia, abnormalitas metabolik (uremia, ketoasidosis metabolik), intoksikasi

(dimetrofenol, triethyl itin, hexachlorophenol, isoniazid) dan pada sindroma Reye,

hipoksemia berat

3. Edema osmotic

Apabila tekanan osmotic plasma turun >12% akan terjadi edema serebri dan kenaikan

TIK. Hal ini dapat dibuktikan pada binatang percobaan dengan infus air suling yang
menunjukan kenaikan volume air. Pada edema serebri osmotic tidak ada kelainan pada

pembuluh darah dan membrane sel.

4. Edema Interstisial

Edema interstisial adalah peningkatan volume cairan ekstrasel yang terjadi pada

substansia alba periventrikuler karena transudasi cairan serebrospinal melalui dinding

ventrikel ketika tekanan intraventrikuler meningkat.

H. Penatalaksanaan

Prinsip tindakan umum adalah mengoptimalkan perfusi, oksigenasi, dan drainase

vena, meminimalkan metabolisme otak, dan menghindari intervensi yang dapat

memperburuk gradien ionik atau osmolar.9

1. Posisi Kepala dan Leher

Posisi kepala harus netral, dan segala bentuk kompresi vena jugularis harus dihindari.

Praktek elevasi kepala untuk mengurangi edema otak adalah luas tetapi hanya didukung oleh

data yang tidak konsisten. ICP cenderung lebih rendah ketika kepala tempat tidur dinaikkan

menjadi 30 derajat dibandingkan dengan posisi horisontal. Namun, pengaruh elevasi kepala

pada tekanan perfusi serebral kurang dapat diprediksi. Pada pasien dengan stroke iskemik

besar di antaranya masih ada kemungkinan menyelamatkan jaringan dalam penumbra

iskemik, mungkin lebih baik untuk menjaga kepala tempat tidur datar kecuali pada saat saat

ICP akut crisis. Menentukan posisi kepala yang optimal secara individual tetap bijaksana

dan idealnya harus disesuaikan dalam setiap kasus.10

2. Analgesia, Sedasi dan Agen Pelumpuh Neuromuskuler

Rasa sakit, kecemasan, dan agitasi dapat meningkatkan metabolisme otak, aliran

darah otak, dan kadang-kadang juga ICP. Oleh karena itu, rejimen rasional analgesia dan

sedasi sesuai pada kebanyakan pasien dengan edema serebral dengan gejala ini. Opiat,

benzodiazepin, dan propofol adalah yang agen paling umum digunakan untuk mencapai

sedasi di unit perawatan intensif neurologis. Kodein sering digunakan pada pasien terjaga
untuk meminimalkan sedasi, tapi potensi analgesik mungkin tidak cukup dalam beberapa

situasi. Fentanyl dan sulfentanyl harus digunakan dengan hati-hati karena mereka telah

dikaitkan dengan peningkatan ICP pada pasien dengan trauma otak parah, meskipun hal ini

mungkin dapat dihindari dengan dosis titration dengan hati-hati. Di sisi positif, morfin sulfat

sangat efektif dalam mengendalikan gejala dari otonomik berlebihan. Benzodiazepin yang

lebih murah dari propofol (terutama lorazepam) dan memiliki keuntungan merangsang

amnesia, serta sedasi. Namun, lorazepam memiliki onset kerja yang lebih lama dan

midazolam memiliki onset kerja sangat singkat, tapi efek sedatif bertahan lebih lama sebagai

long-acting metabolit yang mulai menumpuk.9

3. Ventilasi dan Oksigenasi

Hipoksia dan hiperkapnia adalah vasodilator serebral ampuh, dengan demikian dapat

menyebabkan peningkatan volume darah otak dan hipertensi intrakranial, terutama pada

pasien dengan permeabilitas kapiler yang abnormal. Intubasi dan ventilasi mekanik

diindikasikan jika ventilasi atau oksigenasi tidak cukup pada pasien dengan edema otak.

Lidokain intravena (1 mg/kg), etomidate (0,1-0,5 mg/kg), atau thiopental (1-5 mg/kg) dapat

digunakan untuk mencegah respon refleks yang merugikan. Setelah pasien diintubasi,

pengaturan ventilator harus disesuaikan untuk mempertahankan PO2 normal dan PCO2.10

4. Manajemen Cairan

Osmolaritas serum rendah harus dihindari pada semua pasien dengan pembengkakan

otak karena akan memperburuk edema sitotoksik. Tujuan ini dapat dicapai dengan

membatasi ketat asupan cairan hipotonik. Pada pasien dengan hiperosmolaritas serum

berkepanjangan, harus dikoreksi perlahan untuk mencegah rebound pembengkakan seluler.

Keseimbangan cairan harus dipertahankan netral untuk mempertahankan keadaan

euvolemia.10

5. Manajemen Tekanan Darah


Tekanan darah yang ideal akan tergantung pada penyebab yang mendasari edema

otak. Pada pasien trauma dan stroke, tekanan darah harus didukung untuk mempertahankan

perfusi yang adekuat, menghindari kenaikan tekanan darah yang tiba-tiba dan sangat tinggi.

Menjaga tekanan perfusi serebral di atas 60-70 mm Hg umumnya direkomendasikan setelah

cedera otak karena trauma. Peningkatan tekanan darah sesuai parameter dengan

menggunakan obat inotropik harus dalam pengawasan. Target tekanan darah kontroversial

dalam kasus perdarahan intraserebral, tapi mungkin aman untuk fase akut, dan strategi ini

dapat mengurangi risiko awal berkembangnya hematoma. Setelah pertama 24-48 jam onset

hematoma, tekanan darah harus diatur mendekati normotensi karena risiko pengembangan

edema masih berlanjut. Pada pasien dengan stroke iskemik, penurunan tekanan darah yang

cepat merugikan pada fase akut (24-48 jam pertama) karena mereka dapat menghasilkan

perburukan defisit neurologis akibat hilangnya perfusi di penumbra.11

6. Pencegahan Kejang, Demam dan Hiperglikemia

Manfaat dari penggunaan profilaksis antikonvulsan tetap tidak terbukti pada pasien

dengan sebagian besar kondisi yang menyebabkan edema otak. Namun, penggunaan

pencegahan ini sangat umum dalam praktek dan mungkin dipertahankan pada pasien dengan

kepatuhan intrakranial yang terbatas. Demam dan hiperglikemia memperburuk kerusakan

otak iskemik, dan nyata dapat memperburuk edema serebral. Oleh karena itu, intervensi

keperawatan harus mencakup pengukuran suhu tubuh (termasuk suhu otak jika probe

intraparekim tersedia) dan glukosa kapiler secara teratur. Normothermia ketat dan

normoglycemia (yaitu, glukosa darah pada setidaknya di bawah 120 mg/ dL) harus dijaga

setiap saat.10

7. Terapi Osmotik

Manitol dan salin hipertonik adalah 2 agen osmotik paling ekstensif dipelajari dan

paling sering digunakan dalam praktek untuk memperbaiki edema otak dan hipertensi

intrakranial. Efektifitasnya terlepas dari patofisiologi dan distribusi edema.10


Agen hiperosmolar, terutama manitol, membuat gradien osmotik melewati sawar

darah otak. Manitol juga menginduksi pengurangan cepat TIK melalui perubahan dalam

dinamika cairan-darah atau rheology. Mekanisme yang mendasari perbaikan rheologi

termasuk optimalisasi viskositas darah dan pengiriman tambahan oksigen pada kompensasi

vasokonstriksi cerebral.11 Pada volume yang sama, manitol 25 % memberikan beban

osmotik (1375 mOsm/L), lebih besar dibandingkan salin hipertonik 3 % (1026 mOsm/L).

Manitol merupakan diuretik osmotik dengan rentang dosis 0,25-1 gram/kg berat badan,

diberikan secara bolus intermiten. Manitol menurunkan tekanan intrakranial melalui efek

reologik, yaitu menurunkan hematokrit dan viskositas darah, meningkatkan aliran darah ke

otak sehingga menurunkan diameter vaskuler otak sebagai hasil dari autoregulasi. Efek

reologi paling baik dicapai dengan pemberian bolus cepat dibandingkan infus kontinyu. Efek

puncak terjadi dalam 90 menit hingga 6 jam tergantung kondisi klinis. Oleh karena efek

diuretikum yang kuat, reduksi volume intravaskular seringkali terjadi. Efek samping

pemberian manitol termasuk nekrosis tubular akut, gagal ginjal, dan edema serebri berulang

(rebound). Risiko meningkat pada osmolalitas > 320 mOsm/L. Pada anak, manitol dapat

diberikan apabila kondisi pasien euvolemia dan osmolaritas serum < 320 mOsm/ L. Efek

samping manitol juga meningkat apabila diberikan dalam periode yang lama, misalnya infus

kontinyu atau dosis berulang yang berlebihan. Rekomendasi pemberian manitol adalah

dengan bolus intermitten dengan selang beberapa jam dan disertai penggantian cairan untuk

mempertahankan kondisi euvolemia.12

Salin hipertonik sebagai agen osmotik yang lebih efektif dan lebih tahan lama. Bukti

klinis dan hewan menunjukkan salin hipertonik sama efektif manitol dalam penurunan TIK

dan komponen cairan otak bahkan pada kasus refrakter terhadap manitol.11 Salin hipertonik

memberikan tekanan osmotik yang membawa air dari ruang interstisial memasuki

kompartemen intravaskular sehingga menurunkan tekanan intrakranial. Arginin-vasopresin

(AVP) yang disekresi sistem hipotalamus-neurohipofisis, mempengaruhi sel glia dengan

meregulasi keseimbangan air melalui permeabilitas astrositik dan berperan dalam terjadinya
edema serebri. Salin hipertonik menurunkan sekresi AVP dalam mekanisme yang belum

diketahui. Koefisien salin hipertonik terhadap sawar darah otak lebih tinggi (1,0)

dibandingkan manitol (0,9), yang artinya manitol tetap dapat menembus sawar darah otak

yang intak.12

Salin hipertonik menurunkan TIK lebih baik dibandingkan salin normal atau larutan

ringer laktat. Apabila dibandingkan dengan manitol, salin hipertonik dapat mempertahankan

atau meningkatkan tekanan perfusi serebral, yang merupakan penentu penting luaran

neurologis. Salin hipertonik (umumnya 3%) menurunkan TIK dengan mobilisasi osmotik

cairan melalui sawar darah otak intak, selanjutnya mengurangi isi cairan otak. Hal ini dapat

memperbaiki CBF regional dengan efek dehidrasi. Terapi salin hipertonis menyebabkan

peningkatan dalam volume intravaskular yang menyebabkan peningkatan kardiak output.12

Loading dose salin hipertonik 23% 30 mL diberikan selama 10 sampai 20 menit

melalui jalur sentral, dosis pemeliharaan salin 3% 1 mg/kg/jam dititrasi sampai Na serum

150-155 mEq/jam. Na harus diperiksa setiap 6 jam. Pemberian salin hipertonik berhubungan

dengan edema paru dan dapat menimbulkan hipotensi jika diberikan terlalu cepat. Bolus

salin hipertonik menunjukkan penurunan TIK lebih cepat daripada manitol dan efektif

bahkan pada pasien yang refrakter terhadap manitol


DAFTAR PUSTAKA

1. Robert H. A. Haslam. Brain Abscess. In Nelson Textbook of Pediatrics

17th ed. USA: WB Saunders. 2004. p: 2047-2048.

2. Robert H. A. Haslam. Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook of

Pediatrics 17th ed. USA: WB Saunders. 2004. p:1973-1982.

3. Dorlan, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta : EGC

4. Adams RD, Victor Maurice. Brain Abscess. In Principles of Neurology. 5th

ed. USA:McGraw-Hill Inc, 1993:612-616.

5. Margaret B. Rennels, Celeste L. Woodward, Walker L. Robinson, Maria T.

Gumbinas.1983. Medical Cure of Apparent Brain

Abscesses. Pediatrics 1983;72;220-224.

6. Edwin G. Fischer, James E. McLennan, Yamato Suzuki. 1981. Cerebral

Abscess in Children. Am J Dis Child. 1981;135(8):746-749.

7. Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. 2004. Prevalence, Symptoms, and

Prognosis of Intracerebral Abscess. American Academy of Pediatrics.

Availablathttp://aapgrandrounds.aappublications.org accessed at 3 May

2011.

8. Bailey.R, 2011, Anatomy of the Brain, Available

at http://biology.about.com/od/humananatomybiology/a/anatomybrain.htm

accessed 16 May 2011

9. Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit

Dian Rakyat.

18
10. Nag S, Manias JL, Stewart DJ. Pathology and new players in the

pathogenesis of brain edema. Acta Neuropathol 2009; 118:197–217

11. Marmarou A. A review of progress in understanding the pathophysiology

and treatment of brain edema. Neurosurg Focus 2007; 22:E1

12. Latchaw RE, Alberts MJ, Lev MH, et al. Recommendations for imaging of

acute ischemic stroke: a scientific statement from the American Heart

Association. Stroke 2009; 40:3646–3378

13. Moritani T, Ekholm S, Westesson PL. Brain edema. In: Moritani T, Ekholm

S, Westesson PL, eds. Diffusion-weighted MR imaging of the brain, 2nd ed.

Berlin, Germany: Springer-Verlag, 2009: 37–52

14. AA. Treatment of cerebral edema. Neurologist 2006; 12:59–73

15. Berkow R. Talbott JH. 1977. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy

13th ed. New York: Merck & Co Rahway

16. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III Jilid II. Jakarta: Media

Aesculapius FKUI. 2000

19

Anda mungkin juga menyukai