Gangguan pada tanaman bisa disebabkan oleh faktor abiotik maupun biotik. Faktor
abiotik diantaranya keadaan tanah (struktur tanah, kesuburan tanah, kekurangan unsur hara) ;
tata air (kekurangan, kelebihan, pencemaran air); keadaan udara (pencemaran udara) dan
faktor iklim. Gangguan dari faktor abiotik bisa diatasi dengan tindakan pengoreksian atau
tidak bisa dikoreksi dengan penggunaan pestisida. Sedangkan faktor biotik yang
menyebabkan gangguan pada tanaman atau biasa disebut dengan organisme pengganggu
tanaman (OPT). OPT dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : Hama (serangga, tungau, hewan
menyusui, burung dan moluska) ; Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematoda) dan Gulma
(tumbuhan pengganggu). Gangguan yang disebabkan oleh OPT inilah yang bisa dikendalikan
dengan pestisida.
2.2 Penggolongan Pestisida Berdasarkan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman)
1. Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang bisa mematikan semua
jenis serangga.
2. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk
memberantas dan mencegah fungsi/cendawan.
3. Bakterisida merupakan senyawa mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh
bakteri.
4. Nermatisida digunakan untuk mengendalikan nematode/cacing
5. Akarisida atau mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang digunakan
untuk membunuh tungau, caplak dan laba-laba.
6. Rodenstisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk
mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.
7. Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu : siput, bekicot serta tripisan
yang banyak dijumpai di tambak.
8. Herbisida adalah senyawa kimia beracun yang dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan
pengganggu seperti gulma.
9. Algasida digunakan untuk mengendalikan ganggang (algae).
10. Pilkisida digunakan untuk mengendalikan ikan buas.
11. Avisida digunakan untuk meracuni burung perusak hasil pertanian.
12. Antraktan digunakan untuk menarik atau mengumpulkan serangga.
13. ZPT digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman yang efeknya bisa memacu
pertumbuhan atau menekan pertumbuhan.
14. Plant Activator digunakan untuk merangsang timbulnya kekebalan tumbuhan sehingga tahan
terhadap penyakit tertentu.
Pengendalian hayati merupakan teknik dasar yang penting dalam konsep pengendalian
hama, yakni dengan memanfaatkan musuh alami serangga hama itu sendiri yang berupa
predator, parasit dan patogen. Patogen serangga adalah mikroorganisme (cendawan, bakteri,
virus, protozoa, nematoda dan mikroba lainnya) yang dapat menyebabkan infeksi dan
menimbulkan penyakit pada serangga hama. Patogen serangga merupakan agensia hayati
yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif pengendalian hama. Teknik
pengendalian hama ini berpotensi mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia. Secara
spesifik mikroorganisme yang dapat menibulkan penyakit pada serangga disebut
“mikroorganisme entomopatogen”.
Agen hayati yang paling banyak digunakan sebagai insektisida biologi adalah dari
jenis bakteri, jamur dan virus. Untuk jenis bakteri dikenal Bacillus thuringiesis, sedangkan
untuk jamur yang lazim adalah Beauveria bassiana dan dari golongan nematoda yakni
Heterorhabditis indicus.
Salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang aman bagi lingkungan dan
makhluk hidup lain adalah pengendalian secara biologis dengan menggunakan insektisida
mikroba. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan salah satu jenis bakteri yang sering
digunakan sebagai insektisida mikroba untuk mengontrol serangga hama seperti Lepidoptera,
Diptera, dan Coleoptera.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus thuringiensis mampu menghasilkan suatu
protein yang bersifat toksik bagi serangga, terutama seranggga dari ordo Lepidoptera. Protein
ini bersifat mudah larut dan aktif menjadi toksik, terutama setelah masuk ke dalam saluran
pencemaan serangga. Bacillus thuringiensis mudah dikembangbiakkan, dan dapat
dimanfaatkan sebagai biopestisida pembasmi hama tanaman. Pemakaian biopestisida ini
diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang timbul dari pemakaian pestisida kimia.
Bakteri penyebab penyakit serangga pada umumnya di bagi ke dalam dua kelompok
besar, yakni bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri yang membentuk spora. Bakteri
yang tidak membentuk spora terdapat dalam saluran pencernaan serangga, merupakan
patogen yang potensial menyerang bagian pencernaan. Tingkat kematian karena bakteri
patogen ini rendah. Sedangkan bakteri pembentuk spora menginveksi larva di dalam
mesofagus, kemudian membentuk spora dan sporanya menyerang bagian tubuh serangga.
Tingkat kematian karena bakteri patogen ini tinggi. Kebanyakan spesies bakteri
entomopatogen yang diisolasi dari serangga yang sakit adalah bakteri yang tidak membentuk
spora, akan tetapi untuk produksi komersial, bakteri yang membentuk spora lebih mudah
untuk diformulasikan dan dapat di simpan lebih lama karena dalam bentuk spora bakteri tidak
membutuhkan makanan.
Bakteri yang paling banyak dimanfaatkan sebagai insektisida hayati adalah species
Bacillus thuringiensis (Bt). Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agen hayati
adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya bakteri dapat
mematikan serangga tertentu saja sehingga tidak beracun terhadap hama bukan sasaran atau
manusia dan ramah lingkungan karena mudah terurai dan tidak menimbulkan residu yang
mencemari lingkungan.
Kingdom : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillusthuringiensis
b. Deskripsi
Bacillus thuringiensis adalah bakteri tanah gram positif, pembentuk spora, berbentuk
batang dengan lebar 1,0 sampai 1,2 µm dan panjang 3,0 sampai 5,0 µm (Sembiring, 2004).
Bakteri ini termasuk patogenfakultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada
tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk
fase sporulasi.
Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal
(tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami
sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( d –
endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru
keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan
puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam
glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu
mannosa dan glukosa.
Kristal protein merupakan protoksin dalam bentuk protein murni yang kaya akan asam
glutamate dan asam aspartat. Berdasarkan protoksinnya, Kristal protein memiliki berbagai
macam bentuk antara lain bipiramidal, kuboidal, persegi panjang, dan jajaran genjang. Ada
hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Toksisitas B.
thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang
terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya,
yang pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh
enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta
susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal.
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi
pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi
inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga
akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek
dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh
insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.
Toksin Cry sebenarnya merupakan protoksin, yang harus diaktifkan terlebih dahulu
sebelum memberikan efek negatif. Aktivasi toksin Cry dilakukan oleh protease usus sehingga
terbentuk toksin aktif dengan bobot 60 kDA yang disebut delta-endotoksin. Delta-endotoksin
ini diketahui terdiri dari tiga domain. Toksin tersebut tidak larut pada kondisi normal
sehingga tidak membahayakan manusia, hewan tingkat tinggi, dan sebagian insekta. Namun.
pada kondisi pH tinggi (basa) seperti yang ditemui di dalam usus lepidoptera, yaitu di atas
9.5, toksin tersebut akan aktif. Selanjutnya, toksin Cry akan menyebabkan lisis (pemecahan)
usus lepidoptera. B. thuringiensis dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin kristal
(Crystal, Cry) dan toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat toksin Cry
sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam mengontrol insekta. Lebih
dari 50 gen penyandi toksin Cry telah disekuens dan digunakan sebagai dasar untuk
pengelompokkan gen berdasarkan kesamaan sekuens penyusunnya.
c. Substansi aktif
Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang mempunyai aktivitas tertentu yang
dihasilkan oleh makhluk hidup, dan bahan aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada
makhluknya sendiri akan tetapi dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk hidup lain.
4. Bacillus thuringiensisvarietas aizawai menyerang larva ngengat dan berbagai ulat, terutama
ulat ngengat diamondback.
Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat
daun, kumbang daun, dan kutu daun pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis
cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan lepidoptera,
coleoptera, dan hemiptera.
e. Mekanisme Patogenisitas
Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada
usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna
protein serangga. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada
pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau
lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis. Pada akhirnya serangga akan mengalami
gangguan pencernaan dan mati.
f. Cara Isolasi
Isolat Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran
hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif
adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media
pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media
asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B. thuringiensis menjadi sel vegetatif.
Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama beberapa menit.
Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh
termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang
telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian
dipindahkan ke media sporulasi B. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek
keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk
isolat B. thuringiensis.
Tidak semua isolat Bt beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan
daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan
untuk hal ini. Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.
Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai
dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target.
Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat.
h. Cara Perbanyakan
Perbanyakan bakteri B. thuringiensis dalam media cair dapat dilakukan dengan cara
yang mudah dan sederhana. Karena yang diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein
kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media
yang mengandung tryptose telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis.
Dalam 2–5 hari B. thuringiensis akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada
suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih
besar dengan fermentor.
Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein kristal Bt
dalam bentuk kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt
yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal yang
diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan
lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.
Contoh insektisida biologi dari jamur adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini biasa
dikenal sebagai cendawan patogen serangga yaitu cendawan yang dapat menimbulkan
penyakit pada serangga. Beberapa contoh serangga yang dapat dikendalian oleh Beauveria
bassiana antara lain berbagai jenis wereng, walang, walang sangit, ulat, lembing dan sundep
beluk (penggerek batang).
Beauveria bassiana secara alami terdapat didalam tanah sebagai jamur saprofit.
Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan
bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan
waktu aplikasi. Secara umum, suhu di atas 30 C, kelembapan tanah yang berkurang dan
adanya antifungal atau pestisida dapat menghambat pertumbuhannya.
Beauveria bassiana termasuk dalam golongan pathogen serangga ordo Monililes, famili
Moniliaceae. Jamur Beauveria bassiana menyerang banyak jenis serangga, di antaranya
kumbang, ngengat, ulat, kepik dan belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga
yang hidup di dalam tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga
pada tanaman atau pohon.
Kerajaan: Fungi
Filum : Ascomycota
Kelas : Sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : Cordycipitaceae
Genus : Beauveria
cendawan berwarna putih, penyebaran spora melalui air atau terbawa angin
Cendawan tumbuh keluar dari tubuh inang pada saat cendawan siap menghasilkan spora
untuk disebarkan
Tubuh serangga mati yang terinfeksi Beauveria bassiana mengeras seperti mumi.
Cara cendawan Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak
inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang,
kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. Beauveria bassiana masuk ke tubuh serangga
inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang
menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk
tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara
mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya,
jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang
dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke
luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan
hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur Beauveria bassiana akan mati
dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.
Dalam infeksinya, Beauveria bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga
terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen
antena, antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan
antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh
permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna
putih.Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul kepala
dengan toraks atau diantara segmen-segmen apendages demikian pula miselium jamur keluar
pertama kali pada bagian-bagian tersebut.
Penggunaan jamur ini untuk membasmi hama dapat dilakukan dengan beberapa
metode. Jamur ini bisa dipakai untuk jebakan hama. Adapun cara penggunaanya yaitu dengan
memasukkan Beauveria bassiana beserta alat pemikat berupa aroma yang diminati serangga
(feromon) ke dalam botol mineral. Serangga akan masuk ke dalam botol dan terkena spora.
Akhirnya menyebabkan serangga tersebut terinfeksi.
Cara aplikasi lain yaitu dengan metode penyemprotan. Serangga yang telah terinfeksi
Beauveria bassiana, selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan, baik dengan cara
mengeluarkan spora menembus kutikula keluar tubuh inang, maupun melalui fesesnya yang
terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan terinfeksi.
Diantara spesies NPS yang diketahui efektif digunakan sebagai agensia hayati untuk
mengendalikan hama tanaman adalah Heterorhabditis indicus.H. Indicus adalah nematoda
yang bersimbiosis mutualisme dengan bakteri gram negatif dari famili Enterobacteriaceae.
Kompleks nematoda-bakteri ini dalam lingkungan yang sesuai dapat menjadi agen
pengendali hayati yang efektif terhadap hama sasaran. Species H. indicus, membawa satu
spesies bakteri simbion, Photorhabdus luminescens. Sel-sel bakteri P. luminescens yang
dorman disimpan dalam saluran pencernaan H. indicus.
a. Klasifikasi Heterorhabditis indicus
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secermentae
Ordo : Rhabditida
Famili : Rhabditidae
Genus : Heterorhabditis
Betina dewasa Heterorhabditis indicus tubuhnya lebih besar dan lebih panjang
daripada jantan, pada pertengahan tubuhnya terdapat vulva yang berfungsi untuk perkawinan.
Pada bagian kepala terdapat satu mulut dengan enam bibir yang menyerupai gigi dan terdapat
satu papilla. Jantan dewasa Heterorhabditis indicus tubuhnya lebih kecil dan lebih pendek
dari betina, ujung posterior melengkung dan terdapat sepasang spikula sebagai alat kopulasi.
Kepala spikula pendek, berasal dari penyempitan lamina dan gubernaculum, berukuran
setengah dari panjang spikula.
Heterorhabditis indicus memiliki siklus hidup yang sederhana yang terdiri dari 4 stadia
juvenil, dan dewasa. Siklus hidup terbagi kedalam siklus reproduktif dan infektif. Siklus
infektif dimulai saat serangga terinfeksi oleh JI yang masuk melalui lubang-lubang alami
tubuh serangga. Pada siklus reproduktif, JI berubah menjadi juvenil instar ketiga (J3) yang
aktif memakan produk samping hasil metabolisme bakteri simbion, berganti kutikula menjadi
juvenil instar keempat (J4) kemudian berganti kutikula menjadi dewasa. Telur diproduksi tiga
hari setelah invasi nematoda kedalam tubuh serangga. Telur menetas dan berkembang di
dalam tubuh induknya menjadi juvenil instar pertama (JI) yang akan berganti kutikula
menjadi juvenil instar kedua (J2). Pada stadia J2 nematoda dapat menjalani siklus reproduktif
kembali atau memasuki siklus infektif, tergantung kepadatan populasi dan nutrisi inang. Jika
nutrisi inang mencukupi dan kepadatan populasi rendah maka J2 berkembang menjadi J3,
dan memasuki siklus reproduktif. Sebaliknya bila kepadatan populasi tinggi dan nutrisi
sedikit, J2 berkembang menjadi J3 khusus yang bersifat infektif (JI), tidak makan dan mampu
hidup di luar tubuh inang serangga.
f. Penyebaran
Pada stadia JI akan aktif meskipun hanya 90 cm ke arah horizontal dan vertikal dalam
kurun waktu 30 hari. Penyebaran secara pasif oleh air, angin, inang yang terinfeksi, aktifitas
manusia, dan lain-lain dapat menempuh jarak yang luas dan dapat dihitung distribusi
penyebarannya. Faktor yang berpengaruh pada motilitas/kematian JI adalah kelembaban,
suhu dan tekstur tanah. Faktor yang terpenting adalah kelembaban karena nematoda
membutuhkan film air yang menyelubungi area tanah. Di Indonesia H. indicus telah
ditemukan di daerah Jawa, Ambon, Bali dan Seram yang umumnya menyukai habitat pantai.
g. Kelangsungan hidup
Faktor abiotik dan biotik sangat mempengaruhi efikasi dan persistensi nematoda
entomopatogen untuk mengendalikan serangga hama yang hidup di lingkungan tanah, habitat
tersembunyi dan daun. Persistensi JI yang digunakan sangat dipengaruhi faktor instrinsik
(tingkah laku, fisiologi, karakteristik genetik) dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik meliputi faktor
abiotik (temperatur, kelembaban tanah, tekanan osmotik, tekstur tanah, kelembaban, radiasi
UV yang ekstrim) dan faktor biotik (antibiosis, kompetisi, dan musuh alami).
1. NPS dengan populasi 200 juvenil infektil (JI) dalam 10 ml air disebar merata dengan
pipet pada dua lapis kertas koran dalam boks plastik.
2. Sebanyak 50 gram ulat hongkong dimasukkan kedalamnya, boks ditutup rapat selama
2 hari (48 jam), boks di bagian atas diberi kain kasa.
3. Ulat yang mati terinfeksi akan berubah warna menjadi coklat kemerahan, ulat yang
terinfeksi kemudian diambil dan diletakkan diatas kain kasa basah pada cawan petri
(dalam boks plastik) yang telah diberi aquades 250 ml.
4. Ulang hongkong tersebut diinkubasi selama 14 hari, dan kemudian nematoda siap
dipanen.
5. Pemanenan dilakukan 2 hari sekali hingga hari ke -21 setelah inokulasi (panen 3-4
kali selama 7 hari)
7. Untuk penyimpanan nematoda dimasukkan ke dalam spon lembab pada suhu 100 C,
pada suhu tersebut nematoda dapat hidup dan tetap aktif selama 8 bulan.
8. Untuk pemeliharaan Nematoda dapat disimpan dalam toples dengan penambahan air
serta dipasang aerator untuk suplai oksigen.
i. Cara dan waktu aplikasi
1. Lahan tanaman yang akan diaplikasikan NPS harus sangat lembab atau macak-macak
air.
2. Tangki semprot yang akan digunakan tidak boleh bekas pestisida kimia.
5. NPS yang disimpan dalam spon basah direndam terlebih dahulu dalam air, agar
semua NPS keluar dari spon sebaiknya spon diguyur air yang ditampung ke dalam
ember.
Waktu aplikasi yang tepat adalah pada sore hari karena NPS sangat rentan terhadap
kekeringan. Waktu satu malam cukup bagi NPS untuk menemukan dan menginfeksi inang.
Bioherbisida yang
kedua dengan menggunakan jamur Colletotrichum gloeosporioides yang diperdagangkan
dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika.
2. Rhizobacteria
Bakteri yang mendatangkan dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman, tetapi tidak
memparasit tanaman dianggap sebagai exopatogen dan diberi istilah Deletirous Rhizobacteria (DRB) . Cara
kerja dari DRB terutama melalui toksin yang dihasilkannya yang diserap oleh perakaran gulma. Tidak perlu
memusnahkan gulma, tetapi secara nyata mampu menekan pertumbuhan awal dari gulma dan membiarkan
tanaman budidaya untuk secara efektif bersaing dengan gulma yang telah dilemahkan tersebut. DRB paling
efektif ketika gulma tumbuh pada saat faktor-faktor lingkungan kondusif bagi pertumbuhan
bakteri.
Contoh pengendalian dengan DRB :
Bakteri penghambat tanaman Pseudomonas fluorescens strain D dapat mengendalikan
Bromus tectorum (Downy brome) gulma utama di lahan gandum. Karakteristik dari Pseudomonas
fluorescens yaitu:
a. Berbentuk batang lurus atau agak lengkung
b. Berukuran (0,5-1,0) x (1,5-5,0)µm
c. Tidak spiral, bergerak dengan satu atau beberapa flagellum polar
d. Bersifat gram negatif, bakteri hidup secara aerob.
e. Beberapa bakteri bersifat kemolitotrof fakultatif, yang menggunakan H2 sebagai sumber
energi.
f. P. fluorescens mengeluarkan pigmen hijau, merah hijau, merah jambu, dan kuning terutama
pada medium yang kekuranagn unsur besi.
g. P. fluorescens membentuk pigmen berpendar yang dikenal dengan nama fluorescein.
h. Bakteri P. fluorescens dapat memberikan pengaruh menguntungkan terhadap perkembangan
dan pertumbuhan tanaman, yaitu sebagai “ Plant Growth Promoting Rhizobacteria” (PGPR).
Menurut Goto (1992), pengklasifikasian Pseudomonas fluorescens adalah:
Kingdom : Prokariota
Divisi : Gracilutes
Kelas : Proteobacteria
Ordo : Pseudomonadales
Family : Pseudomonadaceae
Genus : Pseudomonas
Spesies : Pseudomonas fluorescens
3. Bakteri Patogen Tanaman
Bakteri patogen tanaman (Phytopathogenic bacteria ) telah menunjukkan potensinya yang
besar sebagai agen pengendali hayati karena dapat diaplikasikan secara langsung ke daun gulma.
Bakteri bioherbisida mirip dengan cendawan mycoherbisida. Contohnya : Bakteri Pseudomonas
syringae pv. tagetis (Pst) yang menyebabkan klorosis pada beberapa spesies gulma sepertiAmbrosia
artemisiifolia (common ragweed),Helianthus tuberosus (Jerusalem artichoke), Cirsium
avense (Canada thistle), danTagetes erecta L. (marigold). PSt menyebabkan penurunan vigor
gulma, penghambatan pembungaan, dan mortalitas tanaman.
3. Antibiosis. Ada pula mikroorganisme yang menghasilkan senyawa kimia tertentu (toksin
atau antibiotik) yang beracun bagi jamur penyebab penyakit tanaman. Contohnya, jamur
Pseudomonas fluorescens menghasilkan antibiotika yang mampu menghambat Thielaviopsis
basicola (penyebab penyakit busuk akar hitam pada tanaman tembakau).
6. Menginduksi pertahanan tanaman inang (induced host resistance). Akhirnya ada juga
mikroorganisme yang merangsang tanaman dimana mereka hidup untuk mengaktifkan
mekanisme pertahanan terhadap keberadaan jamur patogen, misalnya merangsang tanaman
untuk menghasilkan fitoaleksin, sistim SAR (systemic acquired resistance = ISR, induced
systemic resistance), dan sebagainya.
Fungisida Biologi: Jamur
Hingga kini, telah dilaporkan 54 genus jamur, meliputi ratusan spesies yang
mempunyai potensi sebagai antagonis bagi jamur penyebab penyakit tumbuhan. Genus-genus
tersebut antara lain (Habazar dan Yaherwandi, 2006): Acaulospora, Ampelomyces,
Ascocoryne, Aspergillus, Aureobasidium, Candelabrella, Candida, Catenaria, Chaetomium,
Cicinobolus, Cladosporium, Coniothyrium, Cryptococcus, Cryphonectria (dahulu Endothia),
Dactylaria, Dactylela, Fusarium, Genicularia, Gliocladium, Glomus, Hansfordia,
Heteroconium, Laccaria, Laetisaria (dahulu Corticium), Leucopaxillus, Myrothecium,
Microsphaeropsis, Nematophthora, Oidendron, Penicillium, Piniophora, Phialocephala,
Phialophora, Pichia, Pisolithus, Pleospora, Pythium, Rhizoctonia, Rhodotorulla, Rosellinia,
Saccharomyces, Sclerotinia, Scytalidium, Spherellopsis, Sporidesmium, Trichoderma (dahulu
Gliocladium), Trichotecium, Tuberculina, Typhula, Ulocladium, dan Verticillium.
Dari sekian puluh genus jemur antagonis, yang sering disebut dan relatif banyak diteliti
adalah (Agrios, 2005):
Jamur dari genus Trichoderma, terutama Trichoderma harzianum merupakan parasit bagi
Rhizoctonia dan Sclerotium, dan menghambat pertumbuhan Pythium, Phytophthora,
Fusarium dan Heterobasidion (Fomes).
Laetisaria arvalis (Corticium sp.) merupakan mikoparasit serta antagonis bagi Rhizoctonia
dan Pythium;
Beberapa spesies Pythium yang non-patogenik juga diketahui merupakan parasit bagi
Phytophthora dan spesies Pythium lainnya.
Jamur Verticillium lecanii diketahui merupakan parasit bagi nematoda patogen Heterodera
glycines.
Beberapa jenis ragi, seperti Pichiagulliermondii juga merupakan parasit dan menghambat
pertumbuhan beberapa jamur patogen seperti Botrytis dan Penicillium.
Di bawah ini beberapa jenis jamur berguna yang telah berhasil diformulasi secara
komersial:
1. Ampelomyces quisqualis Ces (Deuteromycetes)
Jamur yang dahulu bernama Cicinnobolium quisqualis ini terdapat luas di alam. Isolat
10 ditemukan di kebun anggur di Israel dan diproduksi secara komersial sebagai fungisida
biologi setelah diketahui bahwa jamur ini dapat tumbuh dan menghasilkan spora pada kondisi
tertentu. Jamur hiperparasit ini digunakan untuk mengendalikan semua jenis jamur penyebab
penyakit embun tepung (powdery mildew) dari familia Erysiphaceae, meskipun pada tanaman
yang berbeda penyebab embun tepungnya juga berbeda.
Spora A. quisqualis yang berkecambah akan memasuki hifa jamur embun tepung
sebagai parasit, dan akhirnya perkembangan embun tepung akan terhenti. Untuk dapat
berkecambah, spora A. quisqualis memerlukan kelembaban minimal 60%, dan proses
masuknya kedalam hifa patogen memakan waktu 2 – 4 jam. Diaplikasikan dengan cara
disemprotkan. Karena perkecambahan spora A. quisqualis memerlukan kelembaban cukup
tinggi, dianjurkan untuk melakukan penyemprotan pada pagi hari sewaktu embun masih ada,
atau pada sore hari. Pengendalian akan berhasil baik bila tingkat serangan dibawah 3%. Juga
diaplikasikan secara protektif sebelum ada serangan penyakit.
2. Candida oleophila Montrocher (Ascomycota)
Jamur Candida oleophila merupakan kapang yang terdapat luas di alam. Isolat I-82
telah diproduksi secara komersial oleh Novartis (sekarang Syngenta), dan diaplikasikan
sebagai fungisida dengan cara semprotan atau pencelupan buah-buahan yang akan disimpan,
untuk menghindari penyakit-penyakit pasca panen, pada apel, jeruk dan lain-lain.
12.
Talaro
mycesfl
avus
(Klocke
r) Stolk
&
Samson
Efikasi T. harzianum isolat T-22 terhadap jamur patogen disebabkan oleh beberapa cara.
Pertama, T. harzianum T-22 dikenal sebagai mikoparasit yang menginvasi jamur patogen dan
memparasit benang-benang jamur (hifa) patogen. Jamur ini secara persisten berada di zona
perakaran tanaman, tetapi tidak dapat hidup tanpa adanya akar yang sedang tumbuh. T.
harzianum T-22 bersaing dengan jamur patogen dalam hal nutrisi di zona akar tanaman. T.
harzianum T-22 mempunyai efek pada perkembangan akar tanaman dan membantu
melarutkan berbagai hara tanah, sehingga akar tanaman lebih kuat, hara yang tersedia bagi
tanaman lebih banyak, yang menyebabkan tanaman lebih dapat bertahan terhadap serangan
penyakit. Terakhir, T. harzianum T-22 mengaktifkan kekebalan sistemik dapatan (SAR:
systemic acquired resistance), yang akan melindungi tanaman dari penyakit.
Telah dilaporkan sekitar 16 genus bakteri mempunyai potensi sebagai antagonis bagi
penyebab penyakit tumbuhan, yakni (Habazar dan Yaherwandi, 2006): Agrobacterium,
Bacillus, Bdellovibrio, Burkholderia, Enterobacter, erwinia, Herbaspirillum, Klebseilla,
Cryptococcus, Curtobacterium, Paenibacillus, Pantoea, Pasteuria, Pseudomonas,
Streptomyces dan Serratia.
Dari antara genus-genus bakteri tersebut, yang terkenal diantaranya adalah (Agrios,
2005; Copping, 2004):
Agrobacteriumradiobacter
Bacilluspumilus, Bacillussubtilis, dan Bacillussubtilis var. amyloliquefaciens
Brevibacillusbrevis
Burkhoderiacepacia (fungisida dan nematisida)
Enterobacter
Pantoeaagglomerans
Pseudomonasaureofaciens, Pseudomonaschlororaphis, Pseudomonasfluorescens
(fungisida dan bakterisida), Pseudomonassyringae, dan Pseudomonastolassii (bakterisida),
Streptomycesgriseoviridis, dan Streptomyceslicidus
Di bawah ini diuraikan secara singkat beberapa di antara fungisida bakteri yang telah berhasil
diformulasi dan diproduksi secara komersial.
2.3.4 Nematisida
Biopestisida dapat diartikan sebagaimana semua bahan hayati, baik berupa tanaman ,
hewan, mikroba atau protozoa yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama dan
penyakit pada tanaman. Penggunaannya memberikan banyak manfaat selain efektif
mengendalikan hama dan penyakit, ternyata terbukti dapat meningkatkan hasil panen.
Nematisida Biologi (Bionematisida), berasal dari kata latin nematoda atau bahasa Yunani
nema yang berarti benang, berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam cacing yang
hidup di akar).
A. Nematoda
Morfologi nematoda
Nematoda termasuk dalam kerajaan hewan, dan spesiesnya bersifat parasit pada
tumbuhan, berukuran sangat kecil yaitu antara 300 - 1000 mikron, panjangnya sampai 4 mm
dan lebar 15 - 35 mikron. Karena ukurannya yang sangat kecil ini menyebabkan hewan ini
tidak dapat dilihat dengan mata telanjang akan tetapi hanya bisa dilihat dengan mikroskop
Jenis nematoda yang merugikan
Salah satu jenis nematoda yang merugikan dan menyerang tanaman adalah
Meloydogyne Sp. Nematoda parasit seperti nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) adalah
satu patogen yang menyerang tanaman tomat dan lada, kentang, bunga krisan dll. Serangan
Meloidogyne spp. pada akar dapat menurunkan produksi sebanyak 15 – 60 persen, bahkan
dapat mencapai 70 persen bila tanaman yang terserang rentan Percobaan menunjukkan bahwa
dengan sekitar 500 – 800 larva Meloidogyne spp per kilogram tanah dapat menurunkan
produksi sebesar 40 persen. Serangan nematoda sering berasosiasi dengan organisme lainnya,
misalnya dengan cendawan dan bakteri. Nematoda parasit puru akar (Melodogyne, spp)
memiliki empat stadium pertumbuhan yaitu telur, larva, pupa dan imago. Telurnya berbentuk
bulat dan berkelompok dan ditutupi oleh lapisan gelatin. Tahap penentuan apakah Nematoda
berjenis kelamin jantan atau betina. Faktor lingkungan sangat berpengaruh untuk menentukan
jenis kelamin. Nematoda Melodogyne, spp terutama ketersediaan makanan, apabila makanan
tersedia dalam jumlah yang cukup maka Nematoda berkembang menjadi betina, tetapi
apabila tidak tersedia dalam jumlah yang memadai larva Nematoda akan berkembang
menjadi jantan. Nematoda betina berbentuk seperti botol (badannya besar sedangkan mulai
dari leher dan mulutnya mengecil), sedangkan Nematoda jantan tubuhnya berbentuk silindris
memanjang. Adapun Klasifikasi Nematoda Meloidogyne spp menurut (Luc et al, 1995)
adalah sebagai berikut :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub Kelas : Secernenteae
Ordo : Thylenchina
Famili : Heteroderidae
Genus : Meloidogyne
Spesies : Meloidogyne spp
Pengendalian Meliodogyne spp. secara hayati telah banyak dilakukan oleh para ahli
nematologi yang perduli terhadap kelestarian lingkungan. Dari berbagai penelitian diketahui
bahwa beberapa agen hayati dapat mengendalikan populasi nematoda hingga di bawah
ambang kendali.
Indonesia yang terletak di daerah tropik diketahui memiliki kekayaan mikroflora yang
melimpah. Diantara mikroflora yang tumbuh di alam indonesia ada yang potensial sebagai
agen hayati untuk mengendalikan Meloidogynespp. pemanfaatan agen hayati dalam industri
florikultura perlu dikembangkan untuk memecahkan masalah nematoda, sekaligus
mengurangi ketergantungan penggunaan bahan kimia yang berarti akan mengurangi biaya
produksi, menghindari pencemaran lingkungan dan menjamin kelangsungan sistem produksi
florikultura yang sesuai dengan tuntutan masyarakat global.
Secara alami mikroflora berperan secara aktif dalam dinamika populasi nematoda
parasit. Hal ini terjadi pada ekosistem yang seimbang. Di dalam ekosistem pertanian, dimana
manusia sering melakukan perubahan lingkungan, peran musuh alami menjadi terabaikan.
Untuk meningkatkan peran musuh alami dalam pengendalian populasi nematoda parasit,
maka dibutuhkan upaya isolat-isolat yang terbukti efektif ke dalam ekosistem pertanian.
Dalam beberapa kasus teknik membuktikan musuh alami tersebut mampu secara signifikan
menekan populasi nematoda bengkak akar.
Beberapa jenis mikroflora yang tumbuh di alam Indonesia dan potensial sebagai agen
pengendali Meloidogyne spp. dapat dikelompokan berdasarkan jenisnya, yaitu: (1) kelompok
fungi, misalnya Dactylaria, Dactylella, Arthrobotrys, Botrytis (pembentuk hifa jerat),
Paecilomyces, Aspergillus, Penicillium dan Fusarium (fungi oportunistik) dan (2) kelompok
bakteri, misalnya Pasteuria penetrans (bersifat obligat). Setiap kelompok mikroflora tersebut
hidup bebas di dalam tanah dan dapat diisolasi masing-masing dengan menggunakan teknik
spesifik. Hasil penelitian menunjukan bahwa
Cara nematoda Meloidogyne spp menyerang akar dan pengaruhnya terhadap tanaman
Nematoda yang menyebabkan penyakit dan kerusakan pada tanaman hampir semuanya
hidup di dalam tanah, baik yang hidup bebas di dalam tanah bagian luar akar dan batang yang
ada di dalam tanah bahkan ada beberapa parasit yang hidupnya bersifat menetap didalam akar
dan batang. Konsentrasi hidup nematoda lebih besar terdapat didalam perakaran tumbuhan
inang terutama disebabkan oleh laju reproduksinya yang lebih cepat karena tersedianya
makanan yang cukup dan tertariknya nematoda oleh zat yang dilepaskan dalam rizosfir.
Nematoda parasit tanaman merupakan parasit obligat, mengambil nutrisi hanya dari
sitoplasma sel tanaman hidup. Memiliki ukuran yang sangat kecil, tetapi menyebabkan
kehancuran pada tanaman pangan dan hortikultura di seluruh dunia sehingga menyebabkan
kerugian yang banyak.
Beberapa nematoda parasit tanaman adalah ektoparasit, hidup di luar inangnya. Spesies
jenis ini menyebabkan kerusakan berat pada akar dan dapat menjadi vektor virus yang
penting. Kumpulan telur nematode Meloidogyne dilindungi oleh cairan pekat. Larva stadium
kedua akan ke luar dari telur, berbentuk cacing dengan ukuran panjang 0,3-0,5 mm. Larva
tersebut bergerak aktif melalui selaput air di antara partikel-partikel tanah dan menyerang
akar tanaman dengan cara melukai epidermis ujung akar dengan stilet (alat penusuk dan
pengisap pada mulutnya) lalu masuk ke dalam jaringan sampai ke jaringan tengah. Larva
tersebut mengisap cairan sel akar. Cairan pencernaan yang dikeluarkan oleh nematoda ini
merangsang terjadinya pembelahan sel akar sehingga terjadi pembengkakan. Keadaan ini
dibutuhkan untuk perkembangan larva. Nematoda betina berbentuk seperti buah per dengan
ukuran panjang 0,5 - 1,2 mm. Nematoda jantan berbentuk cacing memanjang dengan ukuran
1,0 - 2,0 mm.
Nematoda dewasa terus-menerus bergerak tiap detik, tiap jam, tiap hari dan menetap di
sekitar akar. Dalam gerakan - gerakan tersebut nematoda menggigit dan menginjeksikan air
ludah pada bagian akar tumbuhan., menyebabkan sel tumbuhan menjadi rusak. Gejala
kerusakan pada akar akibat gigitan nematoda ditandai dengan adanya puru akar ( gall ). Luka
akar, ujung akar rusak dan akar akan membusuk apabila terinfeksi nematoda tersebut disertai
oleh bakteri dan jamur patogen. Gejala kerusakan pada akar biasanya selalu diikuti oleh
pertumbuhan tanaman yang lambat dikarenakan terhambatnya penyerapan unsur hara oleh
akar yang akhirnya terjadi defisiensi hara seperti daun menguning, layu pada cuaca kering
dan panas, sehingga produktifitas dan kuantitas hasil panen menurun bahkan untuk tanaman-
tanaman tertentu mengakibatkan tanaman tidak dapat panen sama sekali ( Fuso ), menurun
dan kualitasnya jelek.
Dengan menetapnya nematoda dalam akar secara tidak langsung dapat menimbulkan
luka mekanik pada akar di samping itu dapat menjadi tempat berkumpulnya banyak spora
jamur patogen dan bakteri yang siap masuk kedalam jaringan. Walaupun nematoda itu sendiri
dapat menjadi penyebab penyakit, nematoda juga terus menerus dikelilingi oleh jamur dan
bakteri, yang banyak menjadi penyebab penyakit, Kombinasi Nematoda patogen ini
menghasilkan kerusakan yang jauh lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan apabila
kedua patogen tersebut menyerang sendiri-sendiri.
Uji coba penggunaan jamur Paecilomyces liliacinus yang menginfeksi bunga krisan di
laboratorium
Percobaan dilakukan pada pot-pot plastik yang diisi dengan 1 liter media tanah steril.
Tiap formula agen hayati sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan diinfestasikan ke
dalam tanah. Media tanah di dalam pot yang telah diinfestasi dengan formula agen hayati
segera diinfestasi dengan 1000 ekor Meloidogyne sp. Tiap pot, kemudian diinkubasikan pada
suhu kamar dan kelembabannya dipertahankan dengan cara penyiraman. Setelah diinkubasi
selama ± 7 hari, kemudian pot-pot tersebut ditanami dengan bibit krisan yang berumur 2
minggu. Perlakuan terdiri dari satu jenis agen hayati yaitu cendawan P. lilacinus, dalam tiga
macam formulasi yaitu pelet, kompos dan suspensi dan dengan tiga level dosis masing-
masing formulasi pelet dan kompos 3, 6, dan 9 gram per pot serta dosis suspensi 3, 6 dan 9
ml per pot. Tiap perlakuan terdiri dari 10 pot tanaman krisan. Percobaan dilakukan dengan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Penilaian aktivitas antagonistik agen
hayati terhadap nematoda bengkak akar (Meloidogyne spp.) didasarkan pada jumlah bengkak
akar yang terbentuk dalam tiap 10 gram akar segar setelah tanaman berumur 40 hari.
Berdasarkan analisis ragam data hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum dapat
dikatakan semua perlakuan dapat menekan terbentuknya bengkak akar pada tanaman krisan.
Namun demikian penekanan yang nyata terjadi pada perlakuan formulasi kompos dengan
dosis 9 gram/pot dan formulasi suspensi dengan dosis 9 ml/pot (Tabel 1). Pada kedua
perlakuan tersebut pembentukan bengkak akar memperlihatkan perbedaan yang nyata jika
dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan-perlakuan lainnya walaupun menunjukkan
penekanan terbentuknya bengkak akar, tetapi tingkat penekanannya tidak berbeda nyata bila
dibandingkan dengan kontrol.