Anda di halaman 1dari 4

Nama : Hanof Fia Rina Ashali

NIM : 1808020178
KELAS : PSPA 29A

JAWABAN UJIAN TAKE HOME


FARMAKOTERAPI TERAPAN

1. Penerapan terapi HIV dengan Co Infeksi TBC


Status HIV pada pasien TB tidak mempengaruhi pemilihan kategori OAT.
Tatalaksana pasien TB +HIV sama dengan pasien TB lain karena keefektifan OAT pada
ODHA sama dengan pada pasien TB umumnya. Pasien TB+HIV positif tetap diberi
OAT+ARV dengan mendahulukan OAT untuk mengurangi angka kesakitan dan
kematian (Cahyawati, 2018)
Semua pasien TB (termasuk HIV) yang belum pernah diobati diberi paduan obat
yang disepakati internasional menggunakan obat yang bioavailabilitinya telah
diketahui. Dosis OAT yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional.
Kombinasi dosis tetap terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid), 3 obat (HRZ), dan 4 obat
(HRZE) sangat direkomendasikan (Kemenkes, 2014).
Pemberian OAT pada pasien pasien ODHA yang belum pernah mendapat
pengobatan, dianjurkan menggunakan lini pertama selama 6 bulan, meliputi 2 bulan
fase intensif HRZE (isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol) diminum setiap
hari dan 4 bulan fase lanjutan HR (isoniazid dan rifampicin) tiga kali seminggu.
(Cahyawati, 2018).
2. ASMA DAN PPOK
a. Perbedaan

Sumber : (Indonesia, P. D. P, 2011)

b. Persamaan
 Inflamasi
Pada Asma dan PPOK yang keduanya terjadi inflamasi kronis didapati penebalan otot
polos saluran napas (Halaman 21).
 Hiperresponsif bronkus
Merupakan faktor risiko terhadap penurunan FEV1 dan berperan pada terjadinya asma
dan PPOK. Hal ini tidak terkait dengan status atopi penderita. (Halaman 25)
 Kelainan obstruktif
setiap keadaan sebagai akibat hambatan aliran udara karena adanya sumbatan atau
penyempitan saluran pernapasan, contohnya pada asma bronkial, bronkitis, PPOK,
emfisema. (halaman 39).
 Menyerang saluran pernapasan
Inflamasi pada saluran napas menjadi dasar kelainan obstruksi pada Asma dan PPOK
namun berbeda dalam hal sel inflamasi dan mediator yang berperan (Halaman 20)
 Inflamasi bersifat kronis
Pada Asma dan PPOK yang keduanya terjadi inflamasi kronis didapati penebalan otot
polos saluran napas(halaman 21) (Rosyid, A. N., & Maranatha, D. (2017).
3. Pemberian zinc pada diare
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat
keparahan diare, mengurangi frekuensi BAB, volume tinja, serta menurunkan
kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya.(Black, 2003). Penelitian di
Indonesia menunjukkan bahwa Zinc mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak
11 % dan hasil pilot study menunjukkan Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67
% (Hidayat 1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti semua anak diare harus diberi
Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
- Umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari selama 10 hari
- Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang
atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare.
(KemenKes, R. I. 2011)
4. Wanita hamil bolehkah menjalani terapi TBC
Boleh, pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena
dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus
barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran
dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan
kepada ibu hamil bahwa keberhasilan sangat penting artinya supaya proses kelahiran
dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular
TB. Pemberian Piridoksin 50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan
pengobatan TB, sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila
Rifampisin digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus. (Kemenkes,
Pedoman Pengendalian Tuberculosis, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Cahyawati, Fany. 2018. Tatalaksana TB pada Orang dengan HIV AIDS (ODHA). CDK-
268/ vol. 45 no. 9 th. 2018

Indonesia, P. D. P. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK): Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. 2011. Tersedia: http://www. klikpdpi. com/konsensus/k
onsensus-ppok/ppok. pdf, diunduh tanggal, 25.

(Indonesia, K. K. R. (2014). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Direktorat


Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, Indonesia, ISBN,
978-602-235-733-9.)

(Indonesia, K. K. R. (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Direktorat


Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, Indonesia,
ISBN,978-979-9254-99-3.)

(KemenKes, R. I. "Situasi diare di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi


Kesehatan." (2011): 1-16.)

Rosyid, A. N., & Maranatha, D. (2017). Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK
dan bukan PPOK perokok (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

Anda mungkin juga menyukai