Anda di halaman 1dari 11

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

STRATIGRAFI, UMUR DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN FORMASI KEREK


DAERAH WATUTUGEL, KECAMATAN GESI, KABUPATEN SRAGEN, JAWA TENGAH

Aulia Agus Patria1


Mutiara Cikasimi1
Finlan Aditya Aldan1
Akmaluddin2*
3.
Program Studi S-1 Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Jalan Grafika No.2, Bulaksumur, Yogyakarta
2
Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Jalan Grafika No.2, Bulaksumur, Yogyakarta
*Corresponding author: akmaluddin@ugm.ac.id
ABSTRAK
Perbukitan Kendeng menarik untuk diteliti karena pada daerah ini tersusun atas litologi berupa batuan
sedimen karbonatan yang berulang. Daerah Watutugel termasuk ke dalam Formasi Kerek, yang
tersusun atas litologi berupa batupasir karbonatan, batulanau karbonatan, dan napal yang kaya akan
foraminifera. Selain itu, penelitian tentang lingkungan pengendapan dan umur Formasi Kerek masih
sedikit dilakukan oleh peneliti terdahulu. Analisis stratigrafi lingkungan pengendapan dan penentuan
umur Formasi Kerek dilakukan dengan menggunakan metode tongkat Jacob dan pengambilan sampel
secara sistematis pada urutan stratigrafi yang diukur. Sebanyak sembilan sampel dilakukan preparasi
dengan menggunakan metode ayakan dan dilakukan perhitungan sebanyak 300 spesimen foraminifera
plangtonik dan bentonik pada setiap sampelnya dengan menggunakan mikroskop binokuler perbesaran
40x untuk menentukan lingkungan pengendapan dan umurnya. Hasil analisis stratigrafi pada daerah
penelitian memiliki ketebalan 31 meter, dan dapat diidentifikasi menjadi empat fasies litologi yaitu,
fasies batulanau karbonatan, fasies batupasir karbonatan, fasies batupasir tuffan-tuff, dan fasies breksi
andesit. Dari hasil analisis paleontologi didapat hasil 2 zonasi yaitu N18 (Zona Globorotalia tumida)
dan N19 (Zona Sphaerodinella dehiscens) yang dibatasi oleh 1 biodatum, yaitu kemunculan awal
spesies Sphaerodinella dehiscens. Penelitian mengenai lingkungan pengendapan dilakukan dengan
cara mengelompokkan fosil penciri dan hasilnya didapatkan bahwa lingkungan pengendapan yang
menyusun daerah tersebut yaitu daerah batial atas-tengah dan batial bawah.
Kata kunci : Formasi Kerek, stratigrafi, biostratigrafi foraminifera, lingkungan pengendapan,

1. Pendahuluan
Formasi Kerek baik untuk dilakukan penelitian mengenai umur serta lingkungan
pengendapan karena formasi ini tersusun atas litologi berupa perulangan perselingan
batulempung karbonatan dan batulanau karbonatan, batupasir karbonatan dan batupasir tuffan,
dimana dari litologi tersebut mengandung fosil foraminifera yang melimpah. Penelitian
mengenai umur dan lingkungan pengendapan Formasi Kerek masih sedikit dilakukan salah
satunya penelitian oleh Morina (2014). Dari beberapa penelitian tersebut dihasilkan bahwa
Formasi Kerek yang tersingkap memiliki umur Miosen tengah sampai Miosen atas, dengan
lingkungan pengendapan pada daerah laut dangkal.
Sebuah singkapan yang berada di daerah Watutugel, Kecamatan Gesi, Kabupaten
Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Di dalam peta geologi lembar Ngawi (Datun dkk, 1996)
daerah Watutugel termasuk ke dalam Formasi Kerek dan dipotong oleh sesar geser sinistral
berarah NNE-SSW. Daerah ini menarik untuk dilakukan penelitian tentang umur dan
lingkungan pengendapan karena pada daerah ini tersusun atas perselingan batulempung dan
batulanau karbonatan, batupasir karbonatan, dan batupasir tuffan. Selain itu, secara umum
835
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

daerah ini berada pada kontak batuan volkanik fragmental yang ditandai adanya breksi
andesit dengan batuan volkanik halus. Lokasi ini dipilih karena belum ada penelitian yang
membahas tentang umur dan lingkungan pengendapan, serta hubungan stratigrafi dengan
formasi daerah sekitar. Masih minimnya penelitian tentang Formasi Kerek serta
ditemukannya kontak batuan volkanik di daerah ini menjadikan penelitian tentang umur dan
lingkungan pengendapan di daerah ini menarik untuk dilakukan.

2. Me tode Penelitian
Penelitian tentang stratigrafi, umur dan lingkungan pengendapan Formasi Kerek ini
dilakukan dengan cara pengambilan sampel secara sistematis pada urutan stratigrafi yang
diukur menggunakan metodde tongkat Jacob. Sebanyak 9 sampel dilakukan preparasi
menggunakan metode ayakan dan dilakukan penghitungan sebanyak 300 spesimen
foraminifera plangtonik dan bentonik pada setiap sampelnya menggunakan mikroskop
binokuler dengan perbesaran 40x untuk dapat menentukan umur dan lingkungan
pengendapannya. Penelitian tentang lingkungan pengendapan Formasi Kerek dilakukan
dengan mengelompokkan spesies penciri yang terdapat pada daerah tersebut. Sedangkan,
penelitian mengenai umur Formasi Kerek didasarkan pada kemunculan awal dan atau
kemunculan akhir spesies foraminifera plangtonik yang diyakini sebagai fosil indeks. Zona
yang dihasilkan kemudian disebandingkan dengan zonasi standard Bolii (1957) dan Blow
(1969). Kolom hasil stratigrafi digunakan untuk menentukan fasies serta model pengendapan
yang disebandingkan dengan fasies model pengendapan sedimen yang telah ada.

3. Hasil
3.1. Stratigrafi
Penampang stratigrafi daerah Watutugel secara geografis terletak pada koordinat -
7.346125, 111.003943. Penampang stratigrafi memiliki ketebalan 31 meter dan secara umum
terdapat empat jenis litofasies yang berkembang yaitu perselingan batulempung karbonatan-
batulanau karbonatan, batupasir karbonatan, batupasir tuffan-tuff dan breksi andesit.
3.1.1. Fasies perselingan batulempung karbonatan-batulanau karbonatan
Pada fasies ini litologi yang berkembang perselingan batulempung karbonatan-batulanau
karbonatan memiliki warna segar abu-abu kecoklatan dengan warna lapuk agak kemerahan,
dengan ukuran butir lempung-lanau, kontak tegas, memiliki struktur laminasi, flasser dan
wavy, bersifat karbonatan. Pada fasies ini memiliki ketebalan sekitar 10 m secara vertikal.
3.1.2. Fasies batupasir karbonatan
Fasies yang kedua ialah fasies batupasir karbonatan. Pada fasies ini memiliki warna segar
putih kecoklatan dengan ukuran butir pasir sangat halus-sedang, bentuk butir subrounded,
permeabilitas baik, sortasi sedang, memiliki kontak tegas, bersifat karbonatan dan memiliki
struktur laminasi, wavy, gradasi normal. Pada fasies ini memiliki ketebalan sekitar 7 meter.
3.1.3. Fasies batupasir tuffan-tuff
Fasies ini memiliki litologi berupa batupasir tuffan-tuff berwarna putih kecoklatan pada
warna segar putih dan coklat pada warna lapuk, dengan ukuran butir pasir halus (ash grain)
dengan komposisi volkaniklastik yang dominan yaitu berupa tuff, bersifat non karbonatan,
memiliki struktur laminasi, wavy, dan gradasi normal. Ketebalan pada fasies ini setebal 11
meter.

836
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

3.1.4. Fasies breksi andesit


Pada fasies ini breksi andesit berwarna coklat kemerahan memili fragmen berupa andesite
dengan ukuran yang sangat bervariasi mulai dari kerikil, kerakal, nerangkal dan bongkah,
berbentuk butir angular, sortasi buruk, kemas terbuka, bersifat non karbonatan, berukuran
masif dan mengerosi bidang kontak perlapisan dibawahnya. Matriks pada breksi ini berwarna
coklat berukuran butir pasir kasar dengan bentuk subrounded, mengandung material volkanik
dan bersifat non karbonatan. Pada fasies ini memiliki ketebalan 3 meter.
Pada penampang stratigrafi ini dibagi kedalam tiga paket pengendapan berdasarkan
suksesi fasiesnya berupa coarsening upward dan kontak erosional oleh breksi. Dari
penampang stratigrafi dan tiap paket pengendapan diambil contoh litologi untuk analisis fosil
baik foraminifera plangtonik dan bentonik. Umur relatif dari penampang stratigrafi daerah ini
berkisar antara N18-N19 yang diendapkan pada kala Miosen Akhir- Pliosen Awal. Dari hasil
analisa foraminifera bentonik didapatkan bahwa daerah ini berada pada lingkungan batial
bawah dan batial atas-tengah dengan keadaan mendangkal keatas.
Pada penampang stratigrafi ini terdapat lima fasies mengacu pada sekuen turbidit oleh
Bouma (1962) yaitu T-a, T-b, T-c, T-d dan T-e. Pada klasifikasi menurut Mutti dan Ricci
Lucchi (1972) terdapat empat fasies yaitu A1, B2, C dan D. Sedangkan, pada klasifikasi
Walker (1978) daerah penelitian ini memiliki empat fasies yaitu SL, CT, MS dan PS.
Kemudian, dari fasies-fasies tersebut dikelompokkan kedalam asosiasi fasies untuk
mengetahui lingkungan pengendapannya, hasilnya pada daerah penelitian ini termasuk pada
lingkungan pengendapan kipas bawah laut pada bagian kipas dalam (inner fan) dan kipas
tengah (middle fan).
3.2. Biostratigrafi
Penentuan umur daerah Watutugel ini berdasarkan foraminifera plangtonik dan
didapati hasil yaitu dua zonasi yang dibatasi oleh satu biodatum, yaitu kemunculan awal
Sphaerodinella dehiscens, yang membatasi zona N18 dan N19 (Blow, 1969).
3.2.1. Zona kisaran sebagian Globorotalia tumida / N18 (Blow, 1969)
Pada zona ini dibatasi oleh biodatum dari kemunculan awal (first appearance) dari
spesies Sphaerodinella dehiscens. Zona yang digunakan adalah zona kisara sebagian karena
pada daerah penelitian hanya ditemukan kisaran umur sebagian dari beberapa biodatum, batas
bawah dari zona ini tidak diketahui, sedangan batas atas dari zona ini digunakan kemunculan
pertama (first appearance) dari spesies Sphaerodinella dehiscens. Spesies ini digunakan
sebagai biodatum untuk membatasi akhir zona N18 dan awal zona N19. Zona ini terdapat
pada sampel BLK-01, BLK-02, BLK-03, BLK-04, dan BLK-05. Dari data stratigrafi terukur,
zona ini memiliki ketebalan sekitar 13 m pada daerah Watutugel, Kecamatan Gesi.
Pada zona ini terdapat juga beberapa kemunculan lain seperti Globorotalia
plesiotumida (Blow & Banner), Globorotalia tumida tumida (Brady), Globorotalia menardii
(d`Orbigny), Globorotalia mayeri (Cushman), Globorotalia obesa (Bolii), Globigerina
seminulina , Globigerina bulloides (d`Orbigny), Globigerina venezuelana (Hedberg),
Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), Globoquadrina dehiscens (Chapmann),
Globigerinoides immaturus (LeRoy), Globigerinoides obliquus (Bolii), Globigerinoides
sacculiferus (Brady), Globigerinoides ruber (d`Orbigny), Globigerinoides conglobatus
(Brady), Globigerinoides trilobus, Orbulina universa (d`Orbigny), Orbulina bilobata
(d`Orbigny).
3.2.2. Zona kisaran sebagian Sphaerodinella dehiscens/N19 (Blow, 1969)
Pada zona ini dibatasi oleh biodatum dari kemunculan awal (first appearance) dari
spesies Sphaerodinella dehiscens. Zona yang digunakan adalah zona kisaran sebagian karena
pada daerah penelitian hanya ditemukan kisaran umur sebagian dari beberapa biodatum, batas

837
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

bawah dari zona ini menggunakan kemunculan pertama (first appearance) dari spesies
Sphaerodinella dehiscens, sedangan batas atas dari zona ini tidak diketahui. Spesies ini
digunakan sebagai biodatum untuk membatasi akhir zona N18 dan awal zona N19. Zona ini
terdapat pada sampel BLK-06. Dari data stratigrafi terukur, zona ini memiliki ketebalan
sekitar 10 m pada daerah Watutugel, Kecamatan Gesi. Namun, tidak dijumpai di lapisan
berikutnya karena lapisan yang tidak karbonatan.
Pada zona ini terdapat juga beberapa kemunculan lain seperti Globorotalia
plesiotumida (Blow & Banner), Globorotalia tumida tumida (Brady), Globorotalia menardii
(d`Orbigny), Globorotalia mayeri (Cushman), Globorotalia margaritae, Globorotalia obesa
(Bolii), Globigerina venezuelana (Hedberg, Globigerinoides immaturus (LeRoy),
Globigerinoides obliquus (Bolii), Globigerinoides sacculiferus (Brady), Globigerinoides
ruber (d`Orbigny), Globigerinoides conglobatus (Brady), Globigerinoides trilobus, Orbulina
universa (d`Orbigny).
Lingkungan pengendapan
Penelitian mengenai lingkungan pengendapan daerah ini dilakukan dengan
mengelompokkan spesies penciri pada foraminifera bentonik yang terdapat pada daerah
tersebut.hasilnya, terdapat dua lingkungan pengendapan yang berbeda yaitu, lingkungan
bathial tengah-atas dan bathial bawah.
3.2.3. Lingkungan Batial tengah-atas
Daerah lingkungan ini dicirikan oleh kehadiran beberapa spesies foraminifera
bentonik yaitu seperti, Ammonia falsobeccari (Rouvillinois), Cibicides refulgens (de
Montfort), Marsipella cylindrica (Brady), Stilostomella fistuca (Schwager).
3.2.4. Lingkungan Batial bawah
Daerah ini dicirikan oleh kehadiran spesies foraminifera bentonik yaitu, Bulimina
gibba (Formasini), Bulimina Marginata (d’Orbigny), Cyclamina cancellata (Brady),
Dentalina subsoluta (Cushman)
Selain spesies penciri yang telah disebutkan diatas, terdapat pula asosiasi fosil
foraminifera bentonik lainnya yang kisaran penyebarannya cukup luas, seperti Amphycorina
scalaris, Caudammina gigantea, Hormosinella carpenteri, Bulimina elongata, Stylostomella
abyssorum.

4. Pembahasan
4.1. Dinamika sedimentasi

Daerah penelitian yang terletak pada daerah Watutugel memiliki litologi berupa
batuan sedimen hasil dari endapan transportasi massal (MTD – Mass Transport Deposits)
yang dikontrol oleh gaya gravitasi pada lingkungan laut dalam kehadiran endapan debris flow
dan turbidit. Hal ini dicirikan oleh adanya variasi singkapan batuan yang ditemukan di daerah
penelitian mulai dari perselingan batulempung karbonatan-batulanau karbonatan, batupasir
karbonatan, batupasir tuffan-tuff hingga bresksi andesit. Selain itu adanya struktur sedimen
yang memperlihatkan urutan sekuen Bouma (T-a – T-e), yaitu struktur gradasi normal,
laminasi paralel, wavy, flasser, serta suksesi vertikal yang mengkasar dan menebal ke atas
(coarsening & thickening upward) yang mencirikan endapan turbidit serta kontak erosional
oleh breksi andesit yang memiliki fragmen yang bervariasi dari kerikil hingga bongkah yang
telah terkompaksi menandakan juga adanya aliran debris flow pada daerah ini.

838
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Berdasarkan penampang stratigrafi bagian bawah memperlihatkan secara vertikal


suksesi yang mengkasar keatas (coarsening upward) yang mengindikasikan suplai dan
kecepatan sedimentasi yang bertambah serta energi pengendapan yang naik. Energi
pengendapan dapat dilihat melalui besar butir, ketebalan lapisan, dan struktur sedimen. Pada
penampang bagian bawah stratigrafi, diendapkan material halus oleh mekanisme aliran low
density turbidity current dimana memiliki karakterisitk lingkungan kipas tengah pada sistem
kipas laut dalam (Mutti dan Ricci Lucchi, 1972). Pada lingkungan ini dicirikan dengan
adanya fasies D berupa batulempung karbonatan dan fasies C berupa batulanau karbonatan-
batupasir halus karbonatan.
Pada bagian tengah stratigrafi juga menunjukkan hal yang sama yaitu suksesi yang
mengkasar keatas (coarsening upward) dan menebal keatas (thickening upward) dengan
mekanisme low density turbidity current. Pada daerah ini juga dicirikan dengan adanya fasies
D berupa batulanau karbonatan serta fasies C dengan batupasir halus karbonatan hingga
batupasir sedang karbonatan, yang mengindikasi lingkungan kipas tengah pada sistem kipas
laut dalam. Yang membedakan adalah ukuran butir yang lebih kasar dari penampang bagian
bawah, yang mengindikasi bahwa daerah pengendapannya mendekati bagian kipas luar.
Pada bagian atas penampang stratigrafi menunjukkan yaitu litologi yang kasar dan
bervariasi ukurannya, pada awalnya berupa suksesi yang mengkasar keatas namun kemudian
didapati breksi yang masif dengan fragmen yang bervariasi mengindikasikan adanya
mekanisme grain flow dan debris flow. Mekanisme tersebut dicirikan oleh adanya fasies B2
yaitu batupasir berukuran kasar-kerikilan yang masif, fasies C berupa perselingan batupasir
tuffan berukuran sedang-kasar, dan fasies A1 berupa breksi andesit yang memiliki fragmen
yang acak dan bervariasi. Asosiasi fasies dalam penampang stratigrafi bagian atas
menunjukkan bahwa mekanisme pengendapannya melalui proses debris flow pada daerah
kipas dalam (inner fan) dalam sstem kipas laut dalam.
Korelasi biostratigrafi dan lingkungan pengendapan
Hasil penelitian mengenai biostratigrafi daerah ini sebanding dengan penelitian yang
dilakukan oleh Putra (2017) yang dilakukan di daerah Klantung, Kendal, Jawa Tengah. Pada
daerah ini Formasi Kerek memiliki umur yang berkisar antara N16-N22 atau memiliki
rentang dari Miosen Akhir hingga Plistosen Akhir. Penelitian lain juga menunjukkan hal yang
sama yaitu diantaranya penelitian oleh Jurnaliah (2016) yang melakukan penelitian di daerah
Demak menunjukkan umur Formasi Kerek yaitu pada Miosen Akhir, De Genevraye dan
Samuel (1972) di daerah Juwangi, Grobogan dan Setyowiyoto dan Surjono (2003) yang
dilakukan di daerah Ngawi, keduanya mengidentifikasi umur Formasi Kerek yaitu Miosen
Tengah-Akhir. Rentang umur yang lebih panjang ditemukan oleh Panogari (2012) yaitu
Miosen Awal-Miosen Akhir. Putra (2017) menggunakan spesies indeks untuk penentuan
umur, antara lain Globigerinoides obliquus, Globigerinoides extremus, Globorotalia
crassaformis, Globorotalia tosaensis dan Globoquadrina altispira. Jika memperhatikan
hukum kemunculan awal dan kepunahan akhir spesies maka didapatkan umur satuan daerah
penelitian adalah N21 atau Pliosen Akhir-Plistosen

Penelitian mengenai lingkungan pengendapan yang dilakukan oleh Putra (2017) yang
dilakukan di daerah Klantung, Kendal, Jawa Tengah menunjukkan bahwa Formasi Kerek
diendapkan pada daerah Batial atas. Sedangakan, Jurnaliah (2016) mengidentifikasi bahwa
Formasi Kerek terendapkan pada daerah yang memiliki rentang cukup luas yaitu mulai dari
Neritik Luar-Batial atas-bawah-Neritik luar dan terakhir terendapkan pada daerah Batial
bawah-atas. Penelitian ini sebanding dengan penelitian terdahulu yaitu lingkungan

839
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

pengendapan atau paleobatimetri Formasi Kerek yang terendapkan pada daerah batial atas-
bawah.
Korelasi stratigrafi
Dari hasil analisa stratigrafi dan paleontologi dapat diketahui bahwa lingkungan
pengendapan daerah ini berada pada daerah kipas tengah dan kipas dalam pada sistem kipas
laut dalam, hal ini juga sesuai dengan hasil dari analisa paleontologi untuk menentukan
lingkungan pengendapan berdasarkan kehadiran fosil foraminifera bentonik, yaitu daerah ini
diendapkan pada daerah bathial bawah dan bathial tengah-atas, atau dengan kata lain
mendangkal ke atas. Putra (2017) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa litologi yang
berkembang pada daerah tersebut berupa napal, batupasir karbonatan berukuran halus-kasar,
batupasir kasar-konglomeratan dari data tersebut Formasi Kerek yang tersingkap memiliki
Fasies turbidit yaitu Fasies CT, Fasies PS, dan Fasies MS menurut Walker (1976),
berdasarkan pembagian serta asosiasi fasies tersebut dapat diketahui bahwa daerah tersebut
digolongkan pada daerah kipas tengah – kipas luar dalam sistem kipas bawah laut.Dari hasil
analisa foraminifera plangtonik didapatkan hasil bahwa umur dari daerah penelitian ini
berkisar antara N18-N19. Datun dkk, (1996) pada peta Geologi Lembar Ngawi memasukkan
daerah Watutugel ke dalam Formasi Kerek, dan apabila dilihat pada stratigrafi Zona Kendeng
oleh Harsono (1983) dalam Rahardjo (2004) menunjukkan bahwa usia Formasi Kerek berada
pada sekitar akhir N18. Selain itu, Harsono (1983) menganggap bahwa daerah Watutugel ini
berada pada Formasi Kalibeng bagian bawah atau yang biasa dikenal dengan
Anggota/Formasi Banyak, dilihat pada litologinya yang sudah merupakan kontak dengan
dominasi material volkanik hingga breksi. Diduga, daerah penelitian merupakan kontak
antara Formasi Kerek yang memiliki litologi berupa dominasi batulempung serta napal
dengan Formasi Kalibeng bawah. Material volkanik yang tidak menyeluruh atau terdapat
pada beberapa bagian saja diinterpretasikan bahwa daerah Watutugel ini memiliki kedudukan
yang menjari pada kedudukan stratigrafi regional pada Zona Kendeng.

5. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada daerah Watutugel, Gesi,
Sragen, Jawa Tengah dengan metode stratigrafi dan ayakan fosil, maka didapat beberapa
kesimpulan, yaitu :
o Pada daerah penelitian terdapat enam fasies berdasarkan Mutti dan Ricci Lucchi (1972),
yaitu fasies A1, B2, C, D
o Berdasarkan analisa stratigrafi terdapat dua lingkungan pengendapan yaitu kipas tengah
dan kipas dalam pada sistem kipas laut dalam
o Lingkungan pengendapan berdasarkan analisa fosil bentonik berada pada daerah bathial
bawah menuju bathial atas-tengah
o Umur daerah Watutugel berada pada kisaran umur N18-N19 dengan batas First
Appearance dari Sphaerodinella dehiscens
o Hubungan stratigrafi daerah Watutugel dengan daerah merupakan hubungan yang saling
menjari

840
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Acknowledgement
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengizinkan kami untuk
menyelesaikan paper ini. Terima kasih kepada Khairani Alkatiri yang telah membantu dan
membimbing dalam penentuan lokasi penelitian. Serta kepada HMTG FT UGM, yang telah
mempertemukan kami pada GSRC (Geology Student Research Community).

Daftar Pustaka
Blow, W.H. (1969), Late Middle Eocene to Recent Planktonic Foraminiferal Biostratigraphy
International Conference Planktonic Microfossils : 1st Proceeding of the First International
Conference on Planktonic Microfossils, Geneva. Proc Leiden, E.J. Buill V. I. 422p
Bolii, H.M, J.B. Saunders, & K. Perch-Nielsen. (1985), Plankton Stratigraphy. Cambridge University
Press, London 599p
Datun, M, Sukandarrumidi, B. Hermanto & N. Suwarna (1996), Peta Geologi Lembar Ngawi, Jawa,
Geological Research and Development Center, 2nd Edition, Bandung.
De Genevraye,p., Samuel, Luki. (1972), The Ratio Between Pelagic and Benthonic Foraminif era as
Means of Estimating Depth of Deposition Sedimentary Rocks, Proceedings of World
Petroleum Congress
Hafizh, Muhammad F.A, Akmaluddin, (2016), Biofasies dan Umur Formasi Sentolo, Daerah
Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Proceeding Seminar Nasional Kebumian ke-9, Yogyakarta
Haq, B.U, Boersma, (1998), Introduction to Marine Micropaleontology, Singapore : Elsevier Science
(Singapore) Pte Ltd
Houlbourn, Ann, Andrew Henderson & Norman MacLeod. (2013), Atlas of Benthic Foraminifera,
Wiley-Blackwell, London, 650p
Jurnaliah, Lia, Faizal Muhammadsyah, Nurisyam Barkah. (2017), Lingkungan Pengendapan Formasi
Kalibeng pada Kala Miosen Akhir di Kabupaten Demak dan Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah Berdasarkan Rasio Foraminifera Plangtonik dan Bentonik ( Rasio P/B), Buletin of
Scientific Contribution Vol 12, no 3, Bandung : Universitas Padjadjaran
Komisi sandi stratigrafi indonesia. (1996), Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia .
Jakarta, 36 hal
Morina, Hana, Ildrem Syafii, Lia Jurnaliah, (2014). Lingkungan Pengendapan Satuan Batulempung
Sisipan Batupasir pada Formasi Kerek, Daerah Juwangi dan Sekitarnya, Berdasarkan
Karakteristik Litologi Analisis Struktur Sedimen dan Kandungan Fosil Bentonik, Buletin of
Scientific Contribution Vol 12, no 3, Bandung : Universitas Padjadjaran
Panogari, E., (2012), Geologi Dan Studi Lingkungan Pengendapan Formasi Kerek Daerah Gesi dan
Sekitarnya, Kecamatan Gesi, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Yogyakarta : UP N
Veteran Yogyakarta
Postuma, J.A. (1971). Manual of Planktonic Foraminifera. Elsevier Publishing Company, Amsterdam,
London, New York, 420p
Pringgoprawiro, H. & Kapid, R., (2000), Foraminifera, Pengenalan dan Aplikasi Biostratigrafi,
penerbit ITB, Bandung, Indonesia 183 hal
Putra, Purna Sulastya, Praptisih, (2017), Re-Interpretasi Formasi Kerek di Daerah Klantung, Kendal,
Berdasarkan Data Stratigrafi dan Foraminifera, Bandung : Jurnal Geologi dan Sumberdaya
Mineral, Vol.18, No.2
841
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

842
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

843
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

844
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

845

Anda mungkin juga menyukai