Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Autis atau dikenal dengan sindroma Keanner adalah ketidakmampuan

anak dalam menggunakan bahasa, perilaku berulang-ulang, kelainan emosi,

intelektual dan gangguan pervasif. Autis adalah gangguan perkembangan yang

sangat kompleks pada anak. Gejala yang tampak adalah gangguan dalam bidang

perkembangan; perkembangan interaksi dua arah, perkembangan interaksi timbal

balik, dan perkembangan perilaku. Anak autis menderita gangguan perilaku atau

pun otak. Meskipun mereka tidak mampu bersosialisasi, tetapi anak autis tidak

bodoh (Hasdianah, 2013).

Kata autis berasal dari bahasa Yunani yaitu auto yang berarti sendiri.

Istilah autis hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autis pertama kali diperkenalkan

oleh Leo Keanner, seorang psikiater dari Harvard pada tahun 1943. Autis

merupakan kelainan yang terjadi pada anak yang tidak mengalami perkembangan

normal, khususnya dalam hubungan dengan orang lain. Autis pada masa kanak-

kanakadalah gangguan perkembangan normal, khususnya dalam hubungan

dengan orang lain. Autis dipandang sebagai kelainan perkembangan sosial dan

mental yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak akibat kerusakan

selama pertumbuhan fetus, atau saat kelahiran, atau pada tahun pertama

kehidupannya (Winarno, 2013).

Autisme merupakan gangguan perkembangan dalam komunikasi, interaksi

sosial dan cara-cara yang tidak biasa mengamati dan pengolahan informasi dapat

serius menghambat fungsi sehari-hari (WHO, 2013).Gangguan autisme adalah


kondisi perkembangan saraf yang ditandai dengan masalah yang nyata dalam

interaksi sosial, komunikasi/bermain dan sekelompok perilaku yang tidak biasa,

terkait dengan kesulitan dalam menoleransi perubahan lingkungan, ini merupakan

kondisi onset awal. Dalam kebanyakan kasus, tampaknya menjadi bawaan, tapi

mungkin di 20 % kasus, periode perkembangan normal yang diamati. Kondisi ini

selalu muncul sebelum usia 3 tahun (Volkmar, 2011).

Menurut Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus di

tunjukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan prodiktif secara sosial,

ekonomis, dan bermartabat. Pemerintah wajib menjami ketersediaan fasilitas

pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk tetap hidup

mandiri dan produktif secara sosial dan ekenomis (Kemenkes RI, 2009).

Setiap tahun jumlah penyandang autis semakin bertambah. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Center For Diesase Control And Prevention di

amerika Serikat, jumlah penderita gangguan spektrum autisme, maka pada tahun

2015, rasionya naik menjadi 1 dari 68 anak (Restaskie,2015).

Di indonesia meski belum ada penelitian resmi, menurut Direktur Bina

Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan, diperkirakan ada sekitar 112.000 anak

dengan gangguan spektrum autisme dengan rentang usia antara 5-19 tahun.

Dengan perkiraan jumlah tersebut, tentu saat ini cukup banyak keluarga di

indonesia yang hidup dengan anak gangguan spektrum autisme (Autisme dan

Permasalahannya, 2015) di sumatera barat, jumlah penderita autis berdasarkan


data dari badan penelitian statistik (BPS) sejak 2010 hingga 2015, terdapat sekitar

140.000 anak usia dibawah 17 tahun menyandang autisme (Fitriyani, 2015).

Di Gorontalo berdasarkan hasil wawancara denganpetugas Pusat Layanan

Anak Autis data yang diperoleh adalah jumlah anak yang di rawat sebanyak57

orang diantaranya ada 41orang yang aktif dan 16 orang yang tidak aktif.

Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh penderita autis adalah

pemilihan jenis makanan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk

meringankan autisme diantaranya adalah penanganan secara medis, terapi

psikologis, tata laksana perilaku, danpemilihan bahan makanan yang dikonsumsi,

khususnya penghindaran bahan makanan yang mengandung gluten dan kasein

(Mashabi NA, Tajudin NR, 2014).

Ibu merupakan pelaku utama dalam keluarga pada proses pengambilan

keputusanterutama yang berhubungan dengan konsumsi pangan. Latar belakang

pendidikan, pekerjaan,pendapatan maupun besar keluarga berpengaruh terhadap

pola konsumsi makanan keluarga, apalagi jika keluarga tersebut memiliki anak

autisme(Mashabi NA, Tajudin NR, 2014).

Ibu harus bisa memilah dan memilih jenis makanan yang diolahnya, tidak

hanya kualitas yang diutamakan tetapi kandungan gizi yang didalam bahan

makanan juga perlu diperhatikan. Pengetahuan khusunya gizi yang dibutuhkan

bagi anak autisme ibu dapat menyusun pola konsumsi makanan yang baik bagi

anak autisme selain itu sikap ibu dan pola asuh ibu juga berpengaruh dalam proses

pemberian dan pemilihan makanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan anak

autisme (Mashabi NA, Tajudin NR, 2014).


Aspek pengaturan pola makanan sedemikian penting bagi anak autis

karena suplai makanan merupakan bahan dasar pembentuk neurotransmitter.

Efeknya, zat-zat makanan yang seharusnya membentuk neurotransmitter yang

membantu kerja syaraf, diubah menjadi zat yang dapat meracuni saraf atau

neurotoksin. Jika saraf mengalami kerusakan maka akan membuat gangguan

tingkah laku yang tidak normal yang disebabkan disfungsi neurologis(Priyatna,

2013).

Di samping itu, sebagian besar anak autis mengalami reaksi alergi dan

intoleransi terhadap makanan dengan kadar gizi tinggi, alergi banyak diakibatkan

oleh protein dan dapat memperburuk kondisi anak autis. Gejala alergi yang timbul

pada anak autis, misalnya sakit perut, sakit kepala, menangis berlebihan, sensitif

terhadap suara yang didengar, dan mengalami depresi yang memicu terjadinya

kondisi hiperaktif dan agresif pada anak (Prasetyono, 2014).

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal dari sebagian orang tua

anak autis diperoleh bahwa mereka belum mengetahui makanan yang boleh dan

tidak bolehdikonsumsi oleh anak autis, ada juga yang masih memberikan

makanan yang tidak diperbolehkan untukdikonsumsi salah satunya susu, alasan

orang tua tetap memberikan karena tidak tega pada anak jika tidak diberi susu.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang gambaran pengetahuan orang tua dengan pola makan anak autis

di pusat layanan autis gorontalo.


1.2 Identifikasi Masalah

1. Pola makan yang tidak sesuai pada anak autis mengakibatkan reaksi

alergi dan intoleransi terhadap makanan dan dapat memperburuk kondisi

anak autis

2. Efek alergi yang muncul seperti sakit perut, sakit kepala, menangis

berlebihan, sensitif terhadap suara yang didengar, dan mengalami depresi

yang memicu terjadinya kondisi hiperaktif dan agresif pada anak

3. Sebagian orang tua belum mengetahui makanan yang boleh dan tidak

boleh dikonsumsi oleh anak autis

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti ingin mengetahui apakah

ada Hubungan Pengetahuan Orang Tua dengan Pola makan Pada Anak Autis Di

Pusat Layanan Anak Autis Gorontalo?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Dianalisa hubungan pengetahuan orang tua dengan pola makan pada anak

di pusat layanan anak autis gorontalo

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahui pengetahuan orang tua tentang pola makan pada anak autis

di Pusat Layanan Anak Autis Gorontalo

2. Diketahui pola makan pada anak autis Di Pusat Layanan Anak Autis

Gorontalo
3. Dianalisa hubungan pengetahuan orang tua dengan pola makan anak

autis Di Pusat Layanan Anak Autis Gorontalo

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa hasil

tentang Hubungan Pengetahuan Orang Tua Dengan Pola makan Pada Anak Di

Pusat Layanan Anak Autis Gorontalo

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah kepustakaan dan

sebagai pertimbangan untuk penelitian sejenis.

2. Bagi Orang tua

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menanmbah pengetahuan

pada orang tua tentang makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi

anak autis

3. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai acuan dan pengembangan bahan pelajaran

dalam pengetahuan tentang anak autis

Anda mungkin juga menyukai