Anda di halaman 1dari 5

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Industri Baja di Indonesia

Ketersediaan sumber daya konstruksi menjadi hal yang sangat penting terutama untuk
mendukung pembangunan infrastruktur. Salah satu sumber daya konstruksi tersebut adalah baja,
bahkan dapat dikatakan baja menjadi “mother of industry” karena banyaknya sektor yang
menggunakannya seperti konstruksi, perhubungan, pertambangan dan energi, otomotif, hingga
sistem pertahanan..

Penggunaan industri baja di Indonesia masih di dominasi oleh sektor konstruksi, yaitu sebesar 78%
(sebesar 40% untuk infrastruktur dan 38% untuk noninfrastruktur).
Sayangnya, menurut Syarif, di tengah gencarnya pembangunan konstruksi yang selalu dikaitkan
dengan baja dan material, ternyata konsumsi baja sangat rendah.

Saat ini, pertumbuhan konsumsi baja per kapita di Indonesia jauh lebih rendah ketimbang negara-
negara lain di ASEAN, yaitu sekitar 65 kg /kapita. Sementara jika di bandingkan dengan negara-
negara tetangga seperti Malaysia sekitar 410 kg/kapita, Singapura 1.036 kg/kapita, 296 kg/ kapita,
dan Vietnam 164 kg/ kapita.

 Pertumbuhan Industri Logam Dasar

Angka pertumbuhan Industri Logam Dasar berfluktuasi antara tahun 2009 sampai dengan
tahun 2013. Tahun 2011 industri logam dasar tumbuh sebesar 6,28%, angka ini meningkat
tajam sebesar 110% dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2010. Tetapi pada tahun 2012
pertumbuhan industri logam dasar mengalami penurunan yang tajam menjadi 1,81% dan
selanjutnya meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 8,38% atau meningkat sebesar 363%
dibandingkan angka pertumbuhan tahun sebelumnya.
Cakupan Industri material dasar logam dalam KBLI 24101 sangat luas. Selain Slab dan
Billet dalam KBLI ini termasuk produk logam dasar lainnya seperti: pellet bijih besi, besi
spons, besi kasar (pig iron), dan lain-lain. Begitu juga cakupan dalam KBLI 24102 sangat
luas. Selain HRC dalam KBLI ini termasuk produk-produk gilingan batang kawat baja,
baja tulangan, baja profil, baja strip, baja rel, pelat baja, dan baja lembaran hasil gilingan
dingin (cold rolled sheet). Dari data pertumbuhan nalai tambah kedua KBLI tersebut, maka
nilai tambah untuk produk Slab/Billet dan HRC sudah merupakan bagian dari angka
pertumbuhan tersebut. 20 Profil Industri BAJA 2014 Nilai tambah produk pada KBLI
24101 meningkat terus dari tahun 2009 sampai tahun 2011, tetapi menurun sekitar 37%
pada tahun 2012. Nilai tambah produk pada KBLI 24102 tahun 2010 menurun drastis
sebesar 57% dibandingkan tahun 2009, namun kemudian meningkat tajam sebesar 200%
pada tahun 2010.

 Jumlah Perusahaan dan Kapasitas per industri

Awalnya Indonesia hanya mempunyai satu perusahaan yang memproduksi Slab


dan Billet yaitu PT. Krakatau Steel, di Cilegon, Banten. Belakangan karena adanya
masalah PT. Krakatau Steel tidak lagi memproduksi Slab dan Billet. Untuk memenuhi
kebutuhan pabriknya memproduksi produk hilir baja, maka PT. Krakatau Steel mengimpor
slab dan billet. Perusahaan dalam negeri lainnya yang memproduksi produk hilir baja, juga
mengimpor Slab sebagai bahan bakunya. Dalam beberapa tahun terakhir PT.Krakatau Steel
bekerja sama dengan Posco Korea Selatan membangun pabrik baja di Banten Indonesia
dengan nama PT. Krakatau Posco. Perusahaan ini mengimpor material selanjutnya
diproses sebagai bahan baku untuk memproduksi memproduksi Slab dan Billet. Jenis
produk yang dihasilkan serta kapasitas produksi PT. Krakatau Posco adalah 21 Profil
Industri BAJA 2014 Ada beberapa perusahaan yang memproduksi produk HRC dan
produk baja hilir lainnya. Perusahaan tersebut mengimpor Slab dan Billet sebagai bahan
baku untuk memproduksi HRC dan produk baja batangan.

 Ekspor –Impor
Karena produsen baja dasar (crude steel) di dalam negeri masih sangat sedikit,
sehingga jumlah produksinya juga sedikit dibandingkan kebutuhan nasional, maka pada
dasarnya Indonesia belum mengekspor produk logam dasarnya, atau mengekspor dengan
nilai yang sangat sedikit. Kekurangan kebutuhan nasional terpaksa dipenuhi dari produk
impor. Jumlah Impor produk logam dasar dalam beberapa tahun terakhir relatif tetap.
3.3 Masalah-masalah yang dihadapi industri baja lokal

Indonesian Iron and Steel Industri Association (IISIA) menyatakan bahwa terdapat tiga isu
utama yang menghambat perkembangan industri baja nasional. Ketiga isu utama itu antara lain
rendahnya produksi dan konsumsi baja nasional, terbatasnya ketersediaan energi, dan masalah
perdagangan baja.

Menurut Ketua Umum IISIA sekaligus Direktur Utama PT Krakatau Steel (KS) Fazwar Bujang,
pihak sudah melakukan beberapa langkah untuk mengantisipasi dan menanggulangi masalah-
masalah tersebut, sebagian besar membutuhkan campur tangan pemerintah.

Ia mengatakan, permasalahan pertama yang melanda industri baja nasional adalah rendahnya
produksi dan konsumsi baja nasional. Saat ini arah kebijakan pemerintah mengenai industri baja
belum jelas, selain itu daya tarik industri ini kepada investor masih kurang.

Juga masih kurangnya kampanye penggunaan baja dalam negeri secara nasional. Pemerintah juga
tidak memiliki regulasi yang mengatur tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di
Indonesia, dengan lebih menekankan pemanfaatan sumber daya alam dan energi oleh industri
domestik.

Masalah kedua pada industri ini mencakup aspek kebutuhan energi di industri baja. Menurutnya,
selain kecukupan energi, terutama volume dan tekanan gas, yang terbatas, juga semakin tingginya
harga juga belum adanya fokus pemanfaatan produksi gas untuk pemenuhan kebutuhan domestik.

Selain itu belum ada peningkatan infrastruktur untuk energi pada masa yang akan datang oleh
pemerintah. IISIA sudah memberikan masukan kepada Kemenperin dan Kemenperek untuk
mensinergikan arah pengembangan industri baja dengan kebijakan energi nasional.
baja.

Sementara masalah yang ketiga, yaitu permasalahan perdagangan di industri baja. Menurutnya,
pasar baja domestik terlalu terbuka, dalam arti tidak adanya pengendalian impor, sistem tarif yang
tidak harmonis, adanya penyalahgunaan master list dan lain-lain.

Selain itu, masih adanya impor murah yang terindikasi dumping, hambatan ekspor di negara tujuan
ekspor dan penyalahgunaan form D dalam skema ASEAN.

IISIA sudah melakukan langkah penganggulangan dengan cara memberikan masukan berupa
training singkat kepada aparat Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dalam pemahaman
dan pengetahuan lapangan atas produk industri baja.

Penggunaan industri baja di Indonesia masih di dominasi oleh sektor konstruksi, yaitu sebesar 78%
(sebesar 40% untuk infrastruktur dan 38% untuk non infrastruktur).
Sayangnya, menurut Syarif, di tengah gencarnya pembangunan konstruksi yang selalu di kaitkan
dengan baja dan material, ternyata konsumsi baja sangat rendah.

Saat ini, pertumbuhan konsumsi baja per kapita di Indonesia jauh lebih rendah ketimbang negara-
negara lain di ASEAN, yaitu sekitar 65 kg /kapita. Sementara jika di bandingkan dengan negara-
negara tetangga seperti Malaysia sekitar 410 kg/kapita, Singapura 1.036 kg/kapita, 296 kg/ kapita,
dan Vietnam 164 kg/ kapita.

Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi sektor konstruksi terutama
Kementerian PUPR. Secara logika penambahan anggaran Kementerian PUPR untuk sektor
konstruksi seharusnya diiringi oleh meningkatnya kebutuhan baja.

Berbagai kendala lain yang masih ditemui pada pengembangan industri baja antara lain, harga baja
impor yang masih lebih murah jika dibandingkan dengan baja produksi dalam negeri, dan
standarisasi produk baja nasional yang masih beragam sehingga masih beredar baja yang tidak
terstandar.
Kendala lain adalah masih terbatasnya tenaga terampil yang bersertifikat dalam fabrikasi
konstruksi baja, serta belum terjalinnya interaksi diantara para pelaku industri konstruksi baja.

Anda mungkin juga menyukai