Anda di halaman 1dari 27

BAB 28

Graft-Versus-Host Disease
Misty T. Tajam
Thomas D. Horn

Ringkasan
Graft-Versus-Host Disease

● Graft-versus-host reaction (GVHR) akut pada kulit terjadi pada 20%


hingga 80% pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang
alogenik, biasanya 10 hingga 30 hari setelah infus.
● Kulit merupakan target paling awal dan yang paling sering. Penyakit
pada hati dan gastrointestinal juga sering terjadi; adanya peningkatan
kadar bilirubin total dan diare dapat membantu menegakkan diagnosis.
● Faktor predisposisi termasuk ketidakcocokan pada major
histocompatibility complex antigens, antara lain pada transplantasi
antara individu yang tidak ada hubungan kekeluargaan, usia yang lebih
tua, dan regimen profilaksis tertentu.
● Erupsi GVHR akut terdiri dari makula eritematosa pada setiap
permukaan kulit, yang dapat dimulai dengan suatu pola perifolikular
(tahap awal) dan berkembang menjadi eritroderma (tahap lanjut) atau
bula (stadium 4).
● Gambarab patologis GVHR akut terdiri dari infiltrasi limfosit pada
dermis, perubahan vakuolar basal, dan nekrosis sel epidermal pada
frekuensi setidaknya empat per milimeter linier epidermis (grade 2).
● GVHR kronis umumnya terjadi pada 60 hari setelah transplantasi
sumsum alogenik dengan kejadian sekitar 25%; Kondisi tersebut dibagi

1
menjadi bentuk likenoid dan sklerodermoid.
● Erupsi kutaneus mensimulasikan GVHR alogenik akut terjadi setelah
transplantasi autolog dan singeneik pada hingga 10% pasien.

Dermatologists memiliki peran yang penting dalam mengevaluasi dan


penatalaksanaan pasien yang berisiko atau didiagnosis dengan graft versus-host
disease (GVHD). Dari semua organ yang mungkin terkena GVHD, kulit
merupakan target paling awal dan yang paling sering. Untuk mengevaluasi pasien
secara optimal, dokter kulit harus mengetahui jenis, transplantasi sumsum,
manipulasi sumsum sebelum infus, regimen preparatif yang digunakan, tanggal
infus sumsum, jumlah sel darah putih perifer, obat yang diberikan, dan rawat inap.
Manifestasi klinis, gambaran histopatologi, pengobatan, dan patogenesis
GVHD dengan penekanan pada kulit dipertimbangkan dalam bab ini. Tabel 28-1
memberikan definisi untuk beberapa istilah yang sering digunakan.
TABEL 28-1. ISTILAH DAN DEFINISI
Istilah Definisi
 Alogeneik  Antara dua individu
 Autolog  Dari individu yang sama
 Sinegeik  Antara dua individu dengan
material genetik yang identik
 Xenograft  Transplantasi jaringan dari
spesies lain
 Disfungsi organ total dari
 Graft-versus-host disease
jaringan target penerima oleh
(GVHD)
limfosit yang imunokompeten
 Graft-versus-host reaction
 Ekspresi GVHD pada organ
(GVHR)
tertentu (GVHR kutaneus)
 Istilah berdasarkan temuan
 Stadium
klinis
 Grade
 Istilah berdasakan temuan

2
histopatologis

ERUPSI DARI PERBAIKAN LIMFOSIT


Konsep terjadinya erupsi kulit pada saat pemulihan limfosit perifer setelah
terapi ablatif sumsum menyatukan semua diagnosa yang dipertimbangkan dalam
bab ini.4 Seperti yang didefinisikan pada awalnya, erupsi limfosit pemulihan
terjadi dengan kembalinya limfosit awal ke sirkulasi perifer pasien dengan
leukemia akut yang tidak menerima transplantasi sumsum.5 Erupsi terdiri dari
makula eritematosa, terutama pada badan dan ekstremitas proksimal. Spesimen
biopsi kulit menunjukkan perubahan non-spesifik, dengan infiltrasi limfosit pada
perivaskular dermis atas dan spongiosis epidermis yang bervariasi tetapi tidak
terdapat nekrosis sel epidermal yang signifikan. Peningkatan suhu akut disertai
erupsi kulit. Perbaikan erupsi terjadi dengan pemulihan hematologi multi-line.
Konsep erupsi pemulihan limfosit ini memiliki aplikasi untuk bidang
transplantasi sel induk, karena reaksi graftversus-host (GVHRs) berkembang pada
saat pemulihan limfosit perifer dan mewakili fenomena ini dengan perbedaan
imunologi antara donor dan penerima atau dalam pengaturan beberapa imunologi
manipulasi. Memang, beberapa histologis erupsi kulit non-spesifik di antara
pasien yang berisiko GVHD dapat merupakan erupsi pemulihan limfosit daripada
GVHR sejati, karena GVHR akut pada kulit membutuhkan epidermis untuk
ditargetkan untuk kerusakan sitotoksik oleh populasi limfosit efektor.

EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENSI


Regimen ablatif sumsum bervariasi. Digunakan kombinasi siklofosfamid,
busulfan, paparan total-tubuh terhadap radiasi pengion, metotreksat, dan tiapepa.
GVHR kulit akut berkembang pada 20% hingga 80% pasien, biasanya 10 hingga
30 hari setelah infus sel punca. Faktor yang mempengaruhi terjadinya GVHD
termasuk ketidakcocokan antara lain dalam hal antigen major histocompatibility
complex (MHC), transplantasi antara individu yang tidak ada hubungan
kekeluargaan (Tabel 28-2), usia yang lebih tua, dan regimen profilaksis. Pasien
menerima siklosporin dalam dosis tinggi pada saat infus sel induk untuk memicu

3
engrafnent dan mencegah ekspresi maksimal dari GVHD. Modalitas lain yang
digunakan untuk mengurangi keparahan GYHD memerlukan penggunaan
berbagai antibodi untuk menghilangkan populasi sel efektor yang diduga berasal
dari graft.
TABEL 28-2. RINGKASAN GRAFT-VERSUS-HOST DISEASE AKUT MELALUI
TIPE TRANSPLAN
Insidensi dan
Transplan Manifestasi
Keparahan Pengobatan Histopatologi
Sumsum Kulit
GVHD
Alogeneik, ++ Makula Prednison, Infiltrat dermal dari
sesuai eritematosa dan FK-506, limfosit, nekrosis
papul, Anti- selepidermal lebih dari
distribusi thymocyte empat per linear
bervariasi, bula globulin milimeter, bula sub
jarang Monoclonal epidermal
antibodies
Alogeneik, +++ Secara umum Sama Sama
Kurang sesuai distribusi dan
intensitas lebih
berat daripada
alogeneik, yang
sesuai
Alogeneik, ++++ Secara umum Sama Sama
Tidak sesuai distribusi dan
intensitas lebih
berat daripada
alogeneik, yang
sesuai
Alogeneik, ++++ Secara umum Sama Sama
Tidak sesuai, distribusi dan
tidak terkait intensitas lebih
berat daripada
alogeneik, yang
sesuai
Sinegeik + Secara umum Biasanya Limfosit lebih sedikit,
distribusi dan tidak ada lebih sedikit keratinosit
intensitas tidak yang nekrotik daripada
lebih berat alogeneik, yang sesuai
daripada

4
alogeneik, yang
sesuai
Autolog + Secara umum Biasanya Perubahan erupsi dari
distribusi dan tidak ada pemulihan limfosit
intensitas tidak
lebih berat
daripada
alogeneik, yang
sesuai
Autolog ++ Secara umum Biasanya Limfosit lebih sedikit,
dengan distribusi dan tidak ada lebih sedikit keratinosit
Siklosporin intensitas tidak yang nekrotik daripada
lebih berat alogeneik, yang sesuai
daripada
alogeneik, yang
sesuai
Autolog ++ Erupsi lebih Prednison Spongiosis kadang
dengan luas, jarang untuk gambaran prominen
Siklosporin eritroderma eritroderma dengan sel epidermal
dan lebih sering yang nekrosis lebih
interferon-ɣ terjadi daripada sedikit dari pada
autolog dengan alogeneik, yang sesuai
atau tanpa
siklosporin

GVHD kronis dikategorikan ke dalam bentuk likenoid dan sklerodermoid.


Fase likenoid umumnya berkembang lebih awal dari fase sklerodermoid dan
keduanya biasanya terjadi lebih lama dari 60 hari setelah transplantasi. Beberapa
pasien mengalami kedua bentuk penyakit secara berurutan atau bersamaan.
Prediktor terbesar untuk pengembangan GVHR kronis adalah GVHD akut
sebelumnya.6 Terjadinya GVHR kronis pada kulit sekitar 25 persen. Terdapat
laporan GVHR kronis setelah transplantasi autolog namun jarang.7
Erupsi pada kulit mensimulasikan GVHRs alogenik akut terjadi setelah
transplantasi autologus dan syngeneic pada hingga 10% pasien.8 Evaluasi
prospektif erupsi pada pasien yang menerima transplantasi sel induk perifer belum
dilakukan, tetapi erupsi ringan terjadi pada saat pemulihan limfosit perifer.

5
Pemberian siklosporin dosis rendah dalam jangka panjang pada transplantasi
sumsum autolog memicu timbulnya erupsi yang menyerupai graft-versus-host
(GVH) pada sekitar 60% pasien. Secara teoritis, siklosporin, diberikan dalam
dosis rendah, memicu penurunan dari mekanisme timus dan perifer yang
mengatur ekspresi mekanisme yang ditargetkan terhadap diri sendiri dan dengan
demikian memungkinkan ekspresi autoimunitas.9
Autoimunitas ini menyerupai GVHR alogenik akut ringan pada kulit.
Sekali lagi dengan tujuan memperbaiki efek tumor akibat graft-versus, terdapat
protokol yang tambahan berupa interferon- ɣ (IFN-ɣ dan interleukin-2 untuk
regimen siklosporin. Sitokin ini mendukung reaksi imunologi umum dan
memperluas populasi sel-T, dan diharapkan mereka akan menjadi prima. Efek
tumor graft-versus yang mungkin bertambah dengan transplantasi autolog. Erupsi
pada hal ini lebih sering terjadi dan lebih berat, menyebabkan eritroderma
(penyakit stadium 3), temuan yang tidak biasa setelah transplantasi autolog.10
Apakah erupsi ini benar-benar GVHRs seperti yang terlihat setelah
transplantasi alogenik masih belum pasti, karena program transplantasi sumsum
dan sel punca autolog semakin banyak dilakukan di luar pusat universitas, dokter
kulit akan menghadapi erupsi ini lebih sering.Untuk menilai hasil uji klinis secara
adekuat, dokter kulit dan patologist di pusat akademik harus menilai terjadinya
reaksi yang menyerupai GVH secara akurat.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Reaksi Graft-Versus-Host Akut Pada Kulit Setelah Transplantasi Sel Induk
Alogeneik
Prediksi patofisiologi GVHD tidak diketahui. Sebuah distilasi dari
sebagian besar bukti berimplikasi pada allostimulasi limfosit donor oleh antigen
transplantasi mayor dan atau minor dengan penargetan berikutnya jaringan inang,
yakni pada sebagian besar epitel, untuk kerusakan sitotoksik. Tidak jelas apakah
kerusakan diperantarai limfosit secara langsung atau terjadi melalui molekul
seperti granzim dan perforin, apakah sitokin merupakan mediator utama kematian
sel, atau apakah kedua mekanisme tersebut bersifat operatif.1l Kematian sel epitel

6
terjadi akibat apoptosis, dengan bukti yang melibatkan mekanisme yang
diperantarai sel T serta pemicu non seluler.12,15
Tidak mungkin bahwa subset limfosit spesifik secara konsisten memediasi
GVHD. Sebagian besar epitop pada antigen histokompatibilitas mayor dan minor
cenderung untuk memicu allostimulasi, yang menghasilkan banyak populasi
limfosit efektor pada organ target. Memang, beberapa klon sel T sitotoksik telah
diisolasi dan diidentifikasi dari kulit seorang pasien tunggal,14 sel CD4+ dan CD8 +
mampu menengahi kerusakan epidermal. Pada model murine GVHD, populasi
efektor yang memediasi GVHR pada kulit bervariasi dengan strain yang
digunakan dalam transplantasi,15 yang menunjukkan bahwa di antara manusia
setiap pasangan penerima donor hampir khas, dengan potensi untuk menggunakan
subset limfosit yang berbeda pada GVHD berikutnya. Terdapat bukti untuk
mengimplikasikan sel T CD4+ sebagai mediator utama penyakit manusia.16
Pertimbangan ini kemungkinan akan menjelaskan variabilitas ekspresi penyakit,
apakah kesesuaian atau ketidaksesuaian MHC.
Jenis sel lain yang kemungkinan terlibat dalam mediasi GVHD. Kehadiran
banyak sel natural killer dalam infiltrat dermal dan epidermal pada GVHRs kulit
menunjukkan bahwa sel-sel ini direkrut setelah fase pengenalan antigen-spesifik
dari reaksi imunologi yang telah terjadi pada jaringan target.17 Sel mast dan
dendrosit dermal mengalami peningkatan jumlah pada dermis superfisial selama
fase akut penyakit.l8
Mengapa keterlibatan kulit pada GVHD begitu sering dan lebih awal
dibandingkan dengan penyakit hati dan gastrointestinal masih belum diketahui.

Reaksi Graft -Versus Host Kronik Setelah Transplantasi Sel Induk Alogenik
GVHD kronis pada kulit memiliki kemiripan yang besar dengan berbagai
penyakit yang diduga berasal dari autoimun. Pengamatan empiris menunjukkan
hubungan antara liken planus, skleroderma, dan sindrom Sjogren dengan fase
GVHR pada kulit. Peraturan yang tidak tepat dari unsur-unsur autoreaktif dari
sistem imunitas diusulkan sebagai penjelasan untuk terjadinya gangguan ini.19
Hubungan bukti yang kuat perubahan growth factor-β untuk perkembangan kulit

7
dan perubahan viseral pada sklerodermoid GVHD dengan antibodi penetral yang
mampu membalikkan fibrosis pada model tikus.26
Pada wanita dengan skleroderma, diidentifikasi chimerism persisten dari
jaringan janin laki-laki. Reaksi imunologi anti matemal-janin diusulkan sebagai
mekanisme yang mirip GVH yang memediasi penyakit.21 Fibroblas kulit pada
skleroderma kulit mengekspresikan molekul MHC kelas II dan membuat jumlah
kolagen tipe I yang abnormal dalam jumlah besar.
Karena penggunaan transplantasi sel punca darah tepi meningkat, penting
untuk mencatat kemungkinan insiden terkait GHVD kronis yang lebih tinggi.22

REAKSI GRAFT-VERSUS-HOST AKUT PADA KULIT SETELAH


TRANSPLANTASI SEL INDUK PERIFER DAN SUMSUM SECARA
AUTOLOGUS DAN SYNGENEIC
Pada hewan pengerat dan manusia, terdapat bukti bahwa autoimunitas
diarahkan terhadap satu atau lebih epitop pada molekul MHC kelas II.23 Karena
IFN-ɣ meregulasi ekspresi MHC kelas II (idealnya pada sel tumor), dan karena
siklosporin memicu reaktivitas sel limfosit T MHC kelas II, terapi ini
dikombinasikan dengan intensifikasi dosis transplantasi autolog menyebabkan
peningkatan reaksi kulit yang mirip dengan GVH dan mungkin efek tumor graft-
versus yang menguntungkan.

TEMUAN KLINIS
Anamnesis
Evaluasi optimal pasien dengan dugaan GVHD harus dimulai dengan
identifikasi faktor-faktor kunci tertentu dalam riwayat pasien. Jenis transplantasi
sel induk, manipulasi sel punca sebelum infus, regimen preparatif yang
digunakan, tanggal infus sel punca, jumlah sel darah putih, obat-obatan yang
diberikan, dan rawat inap di rumah sakit merupakan bagian penting dari
anamnesis untuk di pertimbangkan. Meskipun skenario klinis yang paling umum
yang mengakibatkan GVHR akut pada kulit, transplantasi sel induk alogenik,
seseorang dengan GVHR akut pada kulit dapat timbul setelah transfer matemal-

8
fetal dari limfosit24 serta setelah transfusi darah25 dan transplantasi organ padat,
yang paling umum dari hati yang mengandung banyak limfosit imunokompeten
.26
Adanya tanda-tanda yang mengindikasikan GVHD ekstrakutan, seperti
diare, dapat membantu. Namun, ketiadaan tanda-tanda tersebut seharusnya tidak
menghalangi dokter dari diagnosis GVHD yang diberikan kecenderungan untuk
keterlibatan kulit awal dan tersembunyi. Hal-hal ini, ditambah dengan temuan
klinis dan histologis, seperti yang dibahas kemudian, dapat membantu dokter kulit
dalam menegakkan diagnosis GVHD akut atau kronis, untuk memfasilitasi
intervensi lebih dini.

LESI KULIT
REAKSI GRAFT-VERSUS-HOST AKUT SETELAH TRANSPLANTASI
ALLOGENEIC
Erupsi GVHR akut umumnya dimulai dengan makula eritematosa yang
samar pada permukaan kulit tetapi biasanya telapak tangan, telapak kaki, dan
pinnae (stadium 1) (Gambar 28-1). Spesifitas eritema palmoplantar dalam
diagnosis GVHR pada kulit dipertanyakan karena kemoterapi saja, tanpa
dukungan sel punca, dapat menyebabkan eritema akral.27 Edema dan nyeri tekan
sering menyertai eritema terlepas dari penyebabnya. Pruritus merupakan keluhan
yang jarang. Ketika GVHR akut berevolusi, distribusi makula eritematosa
meningkat, dan makula menjadi konfluen di atas permukaan yang luas umumnya
pada punggung bagian atas (stadium 2 hingga 3). Pada badan, makula eritematosa
dapat diamati dalam susunan perifolikular pada stadium yang sangat awal
(Gambar 28-2). Pada stadium lanjut, dapat terjadi eritroderma (Gambar 28-3).
Terbentuknya bula (stadium 4) menandakan prognosis yang buruk. Bula ini
termasuk bula sub-epidermis dengan atap yang nekrotik dan sangat menyerupai
nekrolisis epidermal toksik (Gambar 28-4). Skema pementasan diperinci pada
tabel 28-3. Perkembangan GVHR akut pada kulit ini umumnya terjadi selama
beberapa minggu. Variasi eksplosif menjelaskan mengapa eritroderma berevolusi
dengan cepat, dengan evolusi cepat berikutnya menjadi erupsi mirip liken planus

9
yang menyerupai penyakit kronis.28 Faktor predisposisi untuk bentuk GVHR akut
pada kulit ini tidak diketahui.
Dengan pengobatan yang berhasil, erupsi menghilang dengan deskuamasi
dalam perkembangan umum yang sama seperti penampilannya. Perubahan warna
coklat-abu-abu pada kulit dapat berevolusi sebagai perubahan paska-inflamasi
dengan sangat lambat atau, dalam beberapa kasus, tidak terjadi resolusi.

Gambar 28-1. Graft-versus-host reaction (GVHR) akut pada kulit. Makula


eritematosa yang melibatkan area pinna (A), Telapak tangan (B), dan telapak kaki
yang khas pada stadium awal dari GVHR di kulit setelah transplantasi sumsum
alogeneik dan autolog

Gambar 28-2. Graft-versus-host reaction (GVHR) folikular. Pada beberapa


pasien, manifestasi paling awal dari GVHR akut di kulit berupa eritema
perifolikuler, sama seperti yang terlihat pada foto pada hari ke 15 setelah
transplantasi sumsum

10
Gambar 28-3. Graft-versushost reaction (GVHR) pada kulit. Eritema difus dapat
melibatkan GVHR akut pada kulit dan biasanya rapuh

Gambar 28-4. Graft-versus-host reaction stadium 4. Menunjukkanbula


yang pecah, erosi, dan krusta yang menyerupai nekrolisis epiderma toksik

TABEL 28-3. SKEMA STADIUM KLINIS UNTUK GRAFT-


VERSUS-HOST REACTION AKUT PADA KULIT
Stadium Deskripsi
1 Erupsi kulit yang melibatkan permukaan tubuh kurang dari
25%
2 Erupsi kulit melibatkan permukaan tubuh 25-50%
3 Eritroderma
4 Vesikel dan bula

DIAGNOSIS BANDING GRAFT-VERSUS-HOST REACTION PADA


KULIT SETELAH TRANSPLANTASI ALLOGENEIC
Diagnosis banding klinis GVHR akut pada kulit termasuk erupsi
hipersensitivitas terhadap obat, eksantem virus, dermatosis akantolitik transien,
dan, dengan adanya bula, nekrolisis epidermis toksik. Temuan dalam spesimen

11
biopsi kulit dapat membantu membedakan GVHR dari erupsi obat atau eksantem
virus. Dermatosis akantolitik transien merupakan temuan insidental pada pasien
demam yang menerima kemoterapi antineoplastik, dengan atau tanpa dukungan
sel induk.29 Pengambilan sampel lesi yang lebih teraba cenderung untuk dapat
memperoleh diagnosis palsu ini. Perbedaan kepercayaan antara GVHR akut pada
kulit stadium 4 dan nekrolisis epidermal toksik umumnya tidak mungkin,
meskipun dokter kulit biasanya diminta untuk mencobanya. Pasien yang terkena
telah menerima banyak obat yang diketahui menyebabkan nekrolisis epidermal
toksik, tetapi tidak ada kriteria rasional untuk menyingkirkan GVHR dalam
pengaturan ini.

HISTOPATOLOGI GRAFT-VERSUS-HOST REACTION PADA KULIT


SETELAH TRANSPLANTASI ALLOGENEIC
Perubahan dari dermatitis interface muncul pada semua fase dari GVHR
pada kulit, termasuk penyakit sklerodermoid kronis. Skema grading untuk
gambaran histopatologi GVHR akut pada kulit diberikan pada Tabel 28-4.
Kriteria minimal untuk diagnosis termasuk infiltrasi limfosit pada dermis,
perubahan vakuolar basal, dan nekrosis sel epidermis pada frekuensi setidaknya
empat per milimeter linier epidermis (grade 2).30
Sering terjadi perluasan limfosit ke dalam epidermis (Gambar 28-5).
Perubahan posisi secara langsung dari limfosit ke keratinosit yang nekrotik
dikenal sebagai sel satelit nekrosis dan dapat terjadi pada banyak jenis dermatitis
interface di mana kematian sel dimediasi oleh limfosit. Beberapa kuantisasi sel
epidermis nekrotik disarankan, karena secara jelas perubahan dapat merujuk ke
regimen preparatif yang termasuk temuan ini, tetapi jumlahnya lebih rendah
daripada GVHR.30 Temuan histologis lainnya yang dapat diatribusikan pada
langkah-langkah ablasi sumsum tulang termasuk hilangnya polaritas keratinosit,
keratinosit besar dan keratinosit dengan gambaran mitosis yang tidak biasa, dan
bentuk-bentuk nuklear yang tidak beraturan.31 "Dismaturasi" ini harus diabaikan
ketika mencari diagnosis GVHR karena itu mungkin mencegah penilaian
spesimen yang memadai. Infiltrasi yang signifikan oleh limfosit biasanya tidak

12
menyertai perubahan karena regimen preparatif, asalkan tidak ada erosi atau
ulserasi.
Evaluasi perubahan imunologi pada kulit selama GVHD akut pada kulit
meningkatkan regulasi ekspresi keratinosit molekul MHC kelas II dan molekul
adhesi interselular 1. Inflamasi mengandung campuran CD4+ (helper atau
inducer), CD8 + (sitotoksik atau supresor), dan CD56 +
limfosit sel natural killer
dengan perluasan dari semuan bagian ke epidermis.53 Setelah pemebrian regimen
preparatif, jumlah sel Langerhans berkurang secara bertahap lebih dari 1 sampai 4
minggu sehingga kadarnya tidak terdeteksi.34 Pembentukkan kembali sel yang
berasal dari donor. Dalam model murine, jumlah sel dan fungsi Langerhans
menurun lebih banyak pada hewan yang mengalami GVHD dibandingkan pada
pasien yang menjalani regimen preparatif saja.35

Gambar 28-5. Gambaran histopatologi graft-versus-host reaction stadium 2 akut


pada kulit. Inflamasi pada dermis bagian atas, dengan ekstensi limfosit ke dalam
epidermis dan permukaan

GRAFT-VERSUS-HOST REACTION KRONIS PADA KULIT SETELAH


TRANSPLANTASI ALLOGENEIC
Bentuk likenoid dari GVHD sangat menyerupai liken planus, dengan
eritematosa hingga poligonal, papula keratotik yang bervariasi yang muncul pada
permukaan fleksor. Distribusi yang lebih besar terjadi pada beberapa pasien
(Gambar 28-6). Fase likenoid berakhir dengan hiperpigmentasi pasca inflamasi.
Fase sklerodermoid sangat mirip dengan skleroderma pada plak yang menyebar
dari kulit yang menebal memiliki penampilan yang mengkilap, sedikit atrofik dan
hiperpigmentasi dan hipopigmentasi yang bervariasi (Gambar 28-7A).

13
Gambar 28-6. Graft-versus-host disease kronis. Menyerupai liken planus yang
berwarna ungu kecoklatan, papula perifolikuler yang menjadi konfluen pada
badan, yang terjadi dalam 3 bulan setelah transplantasi sumsum tulang alogeneik

Gambar 28-7. A. Graft-versus-host reaction sklerodermoid. Bukti adanya kulit


yang mengkilap dengan pigmentasi yang bervariasi, B. Graft-versus-host disease
kronik, tipe sklerodermoid. Terdapat sklerosis dan poikiloderma yang melibatkan
kulit. Area yang putih mengkilap seperti porselain merefleksikan suatu sklerosis,
merah merupakan telangiektasis yang masif dan erosi, dan kecoklatan yang
merupakan sisa pigmentasi setelah erupsi likenoid yang mengawalinya. Sklerosis
pada jaringan dan kulit terasa seperti lekukan saat dipalpasi, sama dengan
sklerosis sistemik yang progresif.

Plak menunjukkan eritema dan kehilangan progresif dari aparatus


pilosebaseus. Beberapa pasien mengalami sangat sedikit plak sklerodermoid dan
tidak memerlukan terapi. Pasien lain mengalami penyakit luas yang terkait dengan
kontraktur sendi, iskemia kronis pada kulit yang disertai dengan erosi (lihat
Gambar, 28-7B), alopesia, dan syndrome of general wasting. Infeksi bakteri pada
kulit muncul kembali, sejalan dengan imunodefisiensi umum yang menjadi ciri

14
GVHD kronis. Penurunan sistem imunitas ini memicu terjadinya sepsis, yang
merupakan penyebab umum kematian pada pasien ini.
Pemisahan tajam antara fase likenoid dan sklerodermoid GVHD kronis
adalah buatan. Kedua bentuk penyakit ini jelas tumpang tindih pada sebagian
besar pasien. Lebih jauh lagi, bentuk-bentuk yang mirip liken planus seperti
GVHD terjadi segera setelah transplantasi.36 Karena imunomodulasi dan
variabilitas dalam histokompatibilitas cenderung menghasilkan ekspresi klinis
yang berbeda pada segala bentuk GVHR pada kulit, Keterbatasan dengan konsep
waktu sebagai diskriminan akurat dari fase GVHD dapat tidak sesuai.

HISTOPATOLOGI GRAFT-VERSUS-HOST REACTION KRONIS PADA


KULIT SETELAH TRANSPLANTASI ALLOGENEIC
Gambaran histologis lengkap liken planus dapat terjadi pada GVHR
likenoid kronis. Secara umum, tingkat inflamasi yang kurang dalam GVHR, tetapi
akantosis, ortohiperkeratosis, hipergranulosis berbentuk baji, retardasi punggung
yang tajam, vakuolisasi basal, sel epidermal nekrotik, dan melanofag di dermis
atas menjadi ciri lesi yang sepenuhnya berevolusi (Gambar 28- 8A). Satu-satunya
perbedaan antara GVHR likenoid kronis dan GVHR akut terletak pada pengakuan
perubahan epidermis seperti liken planus, karena kedua entitas dianggap mewakili
dermatitis interface.
GVHR Sklerodermoid kronis menampilkan bundel kolagen yang menebal
dengan hilangnya celah, koil ekrin yang terperangkap, dan hilangnya unit
pilosebasea secara progresif (lihat Gambar. 28-8B). Persimpangan dermal-
epidermal tidak jelas dengan vakuolisasi basal dan melanofaga. Sel-sel epidermis
yang nekrotik jarang terjadi. Tidak seperti pada skleroderma, perkembangan
perubahan kolagen pada GVHR sklerodermoid berasal dari dermis papilaris
hingga ke bawah.9 Panikulitis merupakan temuan yang jarang.

15
Gambar 28-8. A. Gambaran histopatologi dari graft versus-host reaction
(GVHR). Gambaran epidermal dari liken planus yang timbul dengan akantosis.

Pendekatan pada pasien dengan eupsi setelah transplantasi hematopoietik allogeneic

10 hari sebelum 10 hari setelah 10 hari setelah


transplantasi transplantasi transplantasi
dengan BSA dengan BSA
<10% <10%

Observasi
Observasi

Biopsi
Observasi

Histologi Histologi Erupsi


Erupsi
Grade 2-4 Grade 1-2 persisten/
persisten/
meluas meluas

Prednison 1mg/kg Prednison 1mg/kg Observasi


+ protokol lokal + protokol lokal

Hipergranulosis, hiperkeratosis, dan penonjolan rete ridges. Infiltrat inflamasi


pada dermis bagian atas lebih sedikit dari pada kasus liken planus tipikal. B.
Gambaran histopatologi dari GVHR sklerodermoid. Epidermis menunjukkan
hiperkeratosis ringan, dan sumbatan keratotik. Terdapat hialinisasi dari kolagen
meskipun dermis mengalami struktur apendageal.

16
Gambar 28-9. Pendekatan terhadap pasien dengan erupsi setelah transplantasi
hematopioetik allogeneic. BSA= Body surface area

HISTOPATOLOGI MUKOSA DARI GRAFT-VERSUS-HOST REACTION


KRONIS PADA KULIT SETELAH TRANSPLANTASI ALLOGENEIC
Spesimen mukosa oral dan kelenjar ludah kecil dapat membantu dalam
diagnosis GVHD kronis.37 Dapat terjadi perubahan permukaan sepanjang epitel,
tetapi umumnya tanpa akantosis terkait dan gambaran epidermal lain dari GVHR
likenoid kronis pada kulit. Serupa dengan perubahan pada sindrom Sjogren,
limfosit menginfiltrasi elemen kelenjar ludah, dengan kerusakan progresif dan
hilangnya asinus. Kelenjar lakrimal jarang diambil sampelnya tetapi menunjukkan
perubahan serupa.

GRAFT-VERSUS-HOST REACTION AKUT PADA KULIT KUTUS


SETELAH TRANSPLANTASI SEL INDUK PERIFER DAN SUMSUM
SYNEGEIC DAN AUTOLOG
Papula eritematosa muncul di lokasi yang bervariasi dan distribusi pada
saat pemulihan limfosit perifer dan dapat sembuh dengan sendirinya. Resolusi
dengan deskuamasi terjadi tanpa terapi. Stadium 1 dan stadium 2 penyakit paling
umum setelah pemberian siklosporin, sedangkan penyakit stadium 3 sering terjadi
setelah penambahan IFN-ɣ dan disertai pruritus yang signifikan. Penyakit stadium
4, manifestasi GVHD kronis, dan keterlibatan diliar kulit sangatlah jarang.
Eritroderma dengan gambaran histologis dermatitis spongiotik terjadi tidak biasa
setelah infus transplantasi yang tidak dimodifikasi tetapi umumnya persisten dan
sulit diobati.
Infus transplantasi autolog yang tidak dimodifikasi menghasilkan erupsi
yang secara histologis tidak dapat dibedakan dengan pemulihan limfosit.38
Pemberian siklosporin menghasilkan beberapa erupsi kulit yang secara
histopatologi menyerupai GVHR stadium 2 pada kulit setelah transplantasi
alogenik, tetapi temuan biasanya ringan tanpa evolusi ke GVHR stadium 3 atau
stadium 4. Penggunaan transplantasi yang dimodifikasikan oleh pemberian
siklosporin dan IFN-ɣ menghasilkan erupsi yang menggabungkan gambaran

17
histologis GVHR dermatitis dan eksematosa, sebagaimana dibuktikan melalui
eksositosis dan edema interselular yang lebih nyata.10

TEMUAN FISIK TERKAIT


Meskipun kulit merupakan organ yang paling awal dan paling sering
terlibat dalam GVHD, sering terjadi penyakit hati dan gastrointestinal; adanya
peningkatan kadar bilirubin total dan diare biasanya dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis ketika temuan kulit tidak spesifik. Keterlibatan hati atau
gastrointestinal yang tersembunyi jarang terjadi. Analisis retrospektif dari
serangkaian seri pasien skala besar mengungkapkan bahwa tingkat erupsi
kutaneus, total nilai bilirubin, dan keluaran tinja per hari memberikan informasi
prognostik yang signifikan ketika dipertimbangkan secara terpisah atau bersama.39
Keterlibatan okular dan oral dapat terjadi pada fase akut tetapi lebih jarang
daripada GVHD kronis. Keterlibatan oral khas pada GVHD kronis pada kulit,
ditandai dengan bercak putih pada mukosa bukal. Pasien dapat hanya
menampilkan perubahan oral namun sangat jarang. Gejala Sika menyerupai
sindrom Sjogren sering menyertai fase sklerodermoid karena berkurangnya
produksi lakrimal dan saliva. Pada pasien tertentu dengan bentuk GVHD kronis
pada kulit, lokasi anatomi utama perubahan kolagen adalah fasia. Fasiitis ini juga
melemahkan dan dipertimbangkan pada pasien yang kulitnya tampak kenyal
tetapi jaringan lunak yang lebih dalam keras. Kontraktur sendi cukup sering
terjadi pada kelompok pasien ini.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Algoritma yang menguraikan pendekatan pada pasien dengan GVHD pada
kulit ditunjukkan pada Gambar. 28-9. Diagnosis GVHR akut pada kulit bertumpu
pada kombinasi temuan klinis, termasuk onset makula eritematosa dan papula
yang terdistribusi secara luas pada saat pemulihan limfosit perifer (umumnya
lebih lama dari 10 hingga 14 hari setelah transplantasi), dan minimal perubahan
histopatologi stadium 2. Karena penyakit stadium 1 umumnya tidak diobati,
erupsi dengan distribusi yang terbatas mungkin tidak menjamin pengambilan

18
sampel. Jika erupsi menetap atau berkembang meskipun terdapat perubahan
histopatologi awal yang tidak spesifik, pengambilan sampel kembali sangat
membantu karena perubahan diagnostik berevolusi ketika ruam berevolusi.
Meskipun beberapa gambaran klinis yang berbeda, GVHR alogenik akut
pada kulit tidak memiliki temuan yang benar-benar spesifik. Pertimbangan
diagnostik lainnya termasuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat dan eksantem
virus. Diferensiasi GVHR stadium 4 pada kulit dari nekrolisis epidermal toksik
telah dibahas sebelumnya. Selain itu, pada beberapa pasien, erupsi kulit yang
ditandai dengan karakteristik yang buruk tampaknya terjadi pada saat ablasi
sumsum tetapi menunjukkan penampilan limfosit perifer. Erupsi ini berkembang
sebelum hari ke 14 setelah transplantasi dan terdiri dari makula eritematosa yang
terdistribusi secara bervariasi. Seharusnya tidak bingung dengan GVHR, karena
erosi engrafment ini "atau" pelepasan sitokin "jelas terjadi sangat awal dan tanpa
peningkatan yang jelas dalam jumlah leukosit perifer (Kotak 28 - 1).
KOTAK 28-1. DIAGNOSIS BANDING GRAFT-VERSUS HOST
DISEASE
Hampir Mirip
 Acute graft-versus-host-reaction (GVHR)
 Erupsi dari pemulihan limfosit
 Erupsi obat
 Efek radiasi
 Erupsi engraftment atau pelepasan sitokin (sebelum hari ke 14.
 GVHR Kronis
 Likenoid dengan reaksi obat likenoid
 Dermatitis sklerodermoid akibat radiasi
Pertimbangkan
 GVHR akut
 Eksantema virus
 Transient acantholytic dermatosis
 Nekrolisis epidermal toksik (penyakit stadium 4.
 GVHR Kronis

19
 Likenoid : liken planus, Pityriasis lichenoides chronica
 Sklerodermoid
 Morfea
 Skleroderma
 Liken sklerosus
 Fasciitis eosinofilik
 Nephrogenic fibrosing dermopathy
 Sjorgen syndrome dengan gejala sika
Selalu tersingkirkan
 GVHR akut
 Sepsis
 GVHR kronis
 Infeksi kulit bakteri, jamur dan virus
 Sepsis
 Karsinoma sel skuamosa (oral atau kulit)

Apa peran dari spesimen biopsi? Lebih mudah untuk menegakkan


diagnosis GVHR daripada menyingkirkan erupsi obat dan eksantema virus dari
pertimbangan. Penyebab yang mungkin mendasari perubahan stadium 1
umumnya menentang identifikasi. Cukup untuk melaporkan "bukan GVHD"
daripada berspekulasi tentang penyebab ketika kriteria obyektif kurang.
Berdasarkan pada standar infiltrasi limfosit, vakuolisasi basal, dan setidaknya
empat sel epidermal nekrotik per milimeter epidermis membantu mengurangi efek
dari regimen preparatif dan meningkatkan spesifisitas, dan dengan demikian
signifikansi, dari histologika yang berubah. Standar ini harus digunakan dalam
diagnosis dermatopatologi serta penyelidikan prospektif dan retrospektif dari
spesifisitas perubahan histologis GVHR akut pada kulit. Meskipun tidak
didokumentasikan dalam literatur, pasien dapat menampilkan gambaran klinis dan
histologis awal dari reaksi hipersensitivitas terhadap obat, termasuk eosinofil
dalam jaringan, hanya untuk menunjukkan gambaran histopatologi khas dari
GVHR stadium 2 pada 7 hingga 10 hari kemudian setelah engraftment. Setelah

20
limfosit alogenik mendominasi dan infilttrat di lokasi inflamasi sebelumnya,
perubahan fungsi efektor, yang memungkinkan ekspresi GVHR.
Terdapat kontroversi mengenai penggunaan dan waktu biopsi kulit untuk
membantu diagnosis GVHD akut pada kulit. Beberapa dokter merasa bahwa
menahan pengobatan sambil menunggu hasil dari biopsi berpotensi menyebabkan
perkembangan penyakit yang cepat dan hasil yang merugikan. Yang lain
berpendapat bahwa terapi imunosupresif harus digunakan dengan hati-hati dalam
populasi transplantasi sel induk mengingat risiko tinggi sepsis pada pasien ini.
Kehadiran perubahan histopatologi spesifik pada awal GVHD menambah
kebingungan. Sebuah analisis keputusan yang dipublikasikan menggunakan
pendapat ahli untuk memperkirakan sensitivitas dan spesifisitas hasil biopsi kulit
untuk membantu menentukan rasio risiko-manfaat relatif dari pengobatan GVHD
yang tepat dan tidak sesuai. Model ini memprediksi bahwa pada populasi pasien
dengan prevalensi GVHD 30% atau lebih tinggi, seperti yang khas untuk pasien
yang menerima transplantasi sel induk alogenik, hasil terbaik dicapai dengan
pengobatan empiris GVHD tanpa mendapatkan hasil dari biopsi kulit. Namun,
ketika prevalensi GVHD 30% atau kurang, disarankan untuk menunggu hasil dari
biopsi kulit untuk membantu memandu pengobatan.40
Diagnosis dari GVHR sklerodermoid umumnya jelas berdasarkan temuan
klinis dan histologis secara rinci sebelumnya. Jika spesimen biopsi superfisial
gagal menunjukkan perubahan konsisten dengan penyakit sklerodermatosa, maka
pertimbangan harus diberikan untuk keterlibatan fasia, yang membutuhkan
sampel insisional. Membedakan antara GVHR akut pada kulit dan beberapa kasus
GVHR likenoid kronis lebih menantang. Keterbatasan terhadap waktu setelah
transplantasi sebagai pembeda yang dapat diandalkan antara dua fase yang
menimbulkan kebingungan.36 Gambaran klinis dan histologis menyerupai liken
planus harus mengarah pada diagnosis liken planus yang menyerupai GVHR,
dengan kurangnya penekanan pada apakah penyakit ini akut atau kronis.
Pemisahan GVHR autolog dari erupsi pemulihan limfosit dapat sulit. Dianjurkan
menerapkan kriteria histologis yang sama seperti untuk GVHR alogenik akut.

21
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Sebagaimana dibahas sebelumnya pada diagnosis dan diagnosis banding,
diagnosis GVHD akut pada kulit bersandar pada kecenderungan pada kombinasi
lesi kulit yang khas yang muncul dalam pengaturan klinis yang sesuai (biasanya
lebih lama dari 10 hingga 14 hari setelah transplantasi) dan minimal perubahan
histologis stadium 2. Jumlah sel darah putih perifer dapat membantu dalam
menentukan apakah telah terjadi pemulihan limfosit perifer, yang membuat
diagnosis GVHD akut lebih mungkin terjadi. Evaluasi hasil tes fungsi hati dan
kadar bilirubin total dapat membantu menentukan keberadaan dan luasnya
keterlibatan hati.
Dalam keadaan yang jarang, konfirmasi histologis cepat dari GVHD akut
dapat dibenarkan. Dalam kasus ini, biopsi kulit dengan diagnosis jaringan beku
mungkin diperlukan untuk membantu memandu penatalaksanaan pasien dan
keputusan perawatan.

KOMPLIKASI
Pada pasien dengan GVHD akut, risiko sepsis tinggi sebagai akibat dari
imunosupresi berat dari regimen persiapan pra-transplantasi atau dari pengobatan
imunosupresif dalam GVHR. Pembentukkan bula yang signifikan pada beberapa
pasien dapat menghasilkan denudasi luas dengan dermis yang terbuka, yang
menempatkan pasien pada risiko yang lebih besar dari sepsis serta
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Risiko infeksi sistemik juga tinggi pada
pasien dengan GVHD kronis dan merupakan penyebab kematian paling umum
pada pasien ini.
Pada pasien yang bertahan hidup lama jangka panjang dengan GVHD
kronis, insidens karsinoma sel skuamosa mukosa kulit dan mulut meningkat
dengan adanya faktor risiko yang mencakup usia yang lebih tua, pengobatan
dengan siklosporin, dan pemberian radiasi pengion sebelumnya.41,42

22
PROGNOSIS
Efek graft-versus-tumor diakui pada pasien yang mengalami GVHD.43
Insiden kekambuhan tumor berkurang, yang mengakibatkan pandangan dikotomis
penyakit. GVHD merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas paling umum
setelah transplantasi sel induk alogenik, namun penyakit ringan yang dimodulasi
oleh imunosupresi meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Seperti dinyatakan
sebelumnya, infeksi sistemik merupakan penyebab kematian paling umum pada
pasien dengan GVHD kronis. Pasien dengan penyakit sklerodermoid
menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih baik daripada pasien dengan
penyakit likenoid karena mereka telah mengatasi fase awal GVHD akut dan
kronis dan rata-rata telah hidup lebih lama. Pasien dengan spesimen biopsi kulit
menunjukkan gambaran penyakit likenoid yang berkembang penuh memiliki
risiko peningkatan 5,6 kali lipat untuk kematian akibat GVHD.36
Tidak ada temuan histologis lainnya yang diketahui berkorelasi dengan
hasil, khususnya tidak pada fase awal GVHD. Tingkat keterlibatan organ pada
GVHD akut telah digunakan untuk membuat sistem pementasan klinis [nilai 0
(terbaik) hingga IV (terburuk)]. Sistem ini telah digunakan sebagai indikator
prognostik.44

PENGOBATAN
REAKSI GRAFT VERSUS-HOST AKUT PADA KULIT SETELAH
TRANSPLANTASI ALLOGENEIC
Terapi standar tercantum dalam Kotak 2B-2. Obat anti-tumor necrosis
factor-α, seperti etanercept dan infliximab, telah digunakan dengan beberapa
keberhasilan.45,46 Dosis dan regimen khusus bervariasi di antara pusat
transplantasi.
Radiasi ultraviolet harus diberikan dengan hati-hati untuk menghindari
peningkatan eritema dari GVHR dan dengan demikian memicu lebih banyak
inflamasi. Satu studi menemukan bahwa fototerapi dengan sinar ultraviolet A
dengan panjang gelombang (340 hingga 400 nm) untuk menjadi pengobatan
tambahan yang aman dan efektif untuk manifestasi kulit baik GVHD akut maupun

23
kronis.47 Tidak ada data yang dipublikasikan mengenai penggunaan ultraviolet B
spektrum sempit untuk terapi pada GVHD. Extracorporeal photopheresis telah
bermanfaat pada penyakit akut, termasuk GVHD yang refrakter terhadap steroid,
mungkin dengan memicu pergeseran dari distribusi sel limfosit T helper 1 ke T
helper 2.48-50 Pra pengobatan graft dengan radiasi ultraviolet A mencegah
penyakit pada murine percobaan dari transfusi GVHD.51
Kotak 28-2. Pengobatan Graft-Versus-Host Disease Akut
Topikal Fisik Sistemik Dosis
Lini Kostikosteroid Psoralen Kostikosteroid- 2 mg/ KbBB/
Pertama ditambah metil hari
ultraviolet A prednisolon

Extra Takrolimus, 4-20 mg/hari


Corporeal Siklosporin 12-15
Photopperesis mg/kg/hari
Lini Kedua
Ultraviolet selama 10 hari
A1 (340-400 atau 3-5
nm) mg/kg/hari
Mycophenolate 2g hari
mofetil 15 mg/kg/hari
Etanercept, 15 mg PO
Anthymocyte
globulin 25 mg dua
Etanercept kali seminggu
Infllximab 10
OKT3 (anti mg/kg/minggu
CD3 mAb) 5 mg /hari

24
Kotak 28-2. Pengobatan Graft-Versus-Host Disease Kronis
Topikal Fisik Sistemik Dosis
Lini Kostikosteroid Psoralen Prednison 1 mg/ KgBB/ hari
Pertama ditambah Siklosporin 10 mg/kg dibagi dalam
ultraviolet A 2 dosis

Lini Tacrolimus Ultraviolet A1 Metotreksat 7.5 mg/m2 / minggu


Kedua (340-400 nm) Mikofenolate mofetil 2 gr/hari
Ultraviolet B Tacrolimus 0.05 mg/kg IV atau
20 j/cm2per Thalidomide 0.15mg/kg PO dua kali
minggu63 per hari
Extracorporeal Azathioprine 200-800 mg/hari
photopheresis Hydroxychloroquine 1.5 mg/kg/hari
2 hari Acitretin62 800 mg/hari (12
konsekutif mg/kg/hari)69
setiap 2
minggu65

REAKSI GRAFT VERSUS-HOST AKUT PADA KULIT SETELAH


TRANSPLANTASI ALLOGENEIC
Meskipun sebagian besar GVHR kronis termanifestasi pada kulit, terapi
imunosupresif oral digunakan karena penyakit ini dianggap sistemik (Kotak 28-3).
Kultur intermiten untuk bakteri dan jamur harus dilakukan seperlunya. Pemberian
antibiotik jangka panjang menjadi penting dalam kasus pioderma berulang.
Untuk manifestasi likenoid, terapi sinar ultraviolet umumnya dapat
mengendalikan penyakit secara luas.52,53 Penurunan dosis fototerapi
direkomendasikan setelah beberapa bulan pembersihan. Terapi mengklaim
keberhasilan dalam mengobati GVHR sklerodermoid sulit untuk dievaluasi karena
penyakit ini relatif jarang dan sembuh secara spontan dalam beberapa kasus.
Tidak jelas apakah iradiasi ultraviolet mampu membalikkan perubahan kulit pada

25
penyakit sklerodermoid. Photopheresis Extracorporeal telah terbukti bermanfaat
baik pada GVHD kronis yang resisten terhadap steroid dan sklerodermoid.54,55

REAKSI GRAFT-VERSUS-HOST AKUT PADA KULIT SETELAH


TRANSPLANTASI AUTOLOG DAN SYNGENEIC
Tidak ada morbiditas yang signifikan dikaitkan dengan GVHR autologus,
dan erupsi kulit sembuh tanpa terapi. Pasien dengan eritroderma setelah
transplantasi sel induk autolog mungkin memerlukan glukokortikoid tem temie
untuk mengontrol rasa gatal yang menyertai perubahan eksematosa yang terlihat
secara histologis.

PENCEGAHAN
Upaya untuk mencegah GVHD akut sangat penting, karena pengobatan
penyakit yang sulit, dan, seperti yang disebutkan sebelumnya, GVHD akut
sebelumnya merupakan prediktor terbesar untuk terjadinya GVHD kronis. Tiga
strategi profilaksis yang digunakan: pemilihan donor optimal, pra-perawatan
manipulasi sumsum atau sel punca donor, dan farmakoprofilaksis. Idealnya, donor
harus menjadi saudara kembar atau monozigotik kembar yang sama, cocok untuk
jenis kelamin, leukosit manusia atau saudara kembar. Terapi profilaksis sumsum
donor alogenik untuk menguras sel T efektor juga efektif dalam mencegah dan
mengurangi keparahan GVHD akut; Namun, manipulasi ini telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko kekambuhan tumor dan kegagalan graft. Berbagai
regimen profilaksis farmakologis umumnya digunakan dalam periode paska-
transplantasi, termasuk kombinasi metotrksat, takrolimus, siklosporin, dan
sikofosfamid. Karena perbaikan pengobatan GVHD, terdapat peningkatan
penggunaan donor MHC-yang tidak cocok dan tidak terkait.

26
DAFTAR PUSTAKA

3. Miller KB et aI: A novel reduced intensity regimen for allogeneic


hematopoietic stem cell transplantation associated with a reduced incidence of
graft-versus-host disease. Bone Marrow Transplant 33:881,2004
5. Hom TD et al: Cutaneous eruptions of lymphocyte recovery. Arch Dermatol
105:1512,1989
8. Hood AF et al: Acute graft-versus-host disease: Development following
autologous and syngeneic bone marrow transplantation. Arch Dermatol 123:745,
1987
12. Gilliam AC et al; Apoptosis is the predomil1ant form elf epithelial target cell
injury in acute experimel1ral graft·versus-host disease. J invest Dermatol
107:377, 1996
30. Horn TD et al: Reappraisal of histologic features of the acute cutaneous
graftversus-host reaction based upon an allogeneic rodent model. J invest
Dermatol 100:546a, 1993
47. Wetzig T et al: Medium dose long-wavelength ultraviolet A (WAl)
phototherapy for the treatment of acute and chronic graft-versus-host disease of
the skin. Bone Marrow Transplant 35:515.2005

27

Anda mungkin juga menyukai