Graft-Versus-Host Disease
Misty T. Tajam
Thomas D. Horn
Ringkasan
Graft-Versus-Host Disease
1
menjadi bentuk likenoid dan sklerodermoid.
● Erupsi kutaneus mensimulasikan GVHR alogenik akut terjadi setelah
transplantasi autolog dan singeneik pada hingga 10% pasien.
2
histopatologis
3
engrafnent dan mencegah ekspresi maksimal dari GVHD. Modalitas lain yang
digunakan untuk mengurangi keparahan GYHD memerlukan penggunaan
berbagai antibodi untuk menghilangkan populasi sel efektor yang diduga berasal
dari graft.
TABEL 28-2. RINGKASAN GRAFT-VERSUS-HOST DISEASE AKUT MELALUI
TIPE TRANSPLAN
Insidensi dan
Transplan Manifestasi
Keparahan Pengobatan Histopatologi
Sumsum Kulit
GVHD
Alogeneik, ++ Makula Prednison, Infiltrat dermal dari
sesuai eritematosa dan FK-506, limfosit, nekrosis
papul, Anti- selepidermal lebih dari
distribusi thymocyte empat per linear
bervariasi, bula globulin milimeter, bula sub
jarang Monoclonal epidermal
antibodies
Alogeneik, +++ Secara umum Sama Sama
Kurang sesuai distribusi dan
intensitas lebih
berat daripada
alogeneik, yang
sesuai
Alogeneik, ++++ Secara umum Sama Sama
Tidak sesuai distribusi dan
intensitas lebih
berat daripada
alogeneik, yang
sesuai
Alogeneik, ++++ Secara umum Sama Sama
Tidak sesuai, distribusi dan
tidak terkait intensitas lebih
berat daripada
alogeneik, yang
sesuai
Sinegeik + Secara umum Biasanya Limfosit lebih sedikit,
distribusi dan tidak ada lebih sedikit keratinosit
intensitas tidak yang nekrotik daripada
lebih berat alogeneik, yang sesuai
daripada
4
alogeneik, yang
sesuai
Autolog + Secara umum Biasanya Perubahan erupsi dari
distribusi dan tidak ada pemulihan limfosit
intensitas tidak
lebih berat
daripada
alogeneik, yang
sesuai
Autolog ++ Secara umum Biasanya Limfosit lebih sedikit,
dengan distribusi dan tidak ada lebih sedikit keratinosit
Siklosporin intensitas tidak yang nekrotik daripada
lebih berat alogeneik, yang sesuai
daripada
alogeneik, yang
sesuai
Autolog ++ Erupsi lebih Prednison Spongiosis kadang
dengan luas, jarang untuk gambaran prominen
Siklosporin eritroderma eritroderma dengan sel epidermal
dan lebih sering yang nekrosis lebih
interferon-ɣ terjadi daripada sedikit dari pada
autolog dengan alogeneik, yang sesuai
atau tanpa
siklosporin
5
Pemberian siklosporin dosis rendah dalam jangka panjang pada transplantasi
sumsum autolog memicu timbulnya erupsi yang menyerupai graft-versus-host
(GVH) pada sekitar 60% pasien. Secara teoritis, siklosporin, diberikan dalam
dosis rendah, memicu penurunan dari mekanisme timus dan perifer yang
mengatur ekspresi mekanisme yang ditargetkan terhadap diri sendiri dan dengan
demikian memungkinkan ekspresi autoimunitas.9
Autoimunitas ini menyerupai GVHR alogenik akut ringan pada kulit.
Sekali lagi dengan tujuan memperbaiki efek tumor akibat graft-versus, terdapat
protokol yang tambahan berupa interferon- ɣ (IFN-ɣ dan interleukin-2 untuk
regimen siklosporin. Sitokin ini mendukung reaksi imunologi umum dan
memperluas populasi sel-T, dan diharapkan mereka akan menjadi prima. Efek
tumor graft-versus yang mungkin bertambah dengan transplantasi autolog. Erupsi
pada hal ini lebih sering terjadi dan lebih berat, menyebabkan eritroderma
(penyakit stadium 3), temuan yang tidak biasa setelah transplantasi autolog.10
Apakah erupsi ini benar-benar GVHRs seperti yang terlihat setelah
transplantasi alogenik masih belum pasti, karena program transplantasi sumsum
dan sel punca autolog semakin banyak dilakukan di luar pusat universitas, dokter
kulit akan menghadapi erupsi ini lebih sering.Untuk menilai hasil uji klinis secara
adekuat, dokter kulit dan patologist di pusat akademik harus menilai terjadinya
reaksi yang menyerupai GVH secara akurat.
6
terjadi akibat apoptosis, dengan bukti yang melibatkan mekanisme yang
diperantarai sel T serta pemicu non seluler.12,15
Tidak mungkin bahwa subset limfosit spesifik secara konsisten memediasi
GVHD. Sebagian besar epitop pada antigen histokompatibilitas mayor dan minor
cenderung untuk memicu allostimulasi, yang menghasilkan banyak populasi
limfosit efektor pada organ target. Memang, beberapa klon sel T sitotoksik telah
diisolasi dan diidentifikasi dari kulit seorang pasien tunggal,14 sel CD4+ dan CD8 +
mampu menengahi kerusakan epidermal. Pada model murine GVHD, populasi
efektor yang memediasi GVHR pada kulit bervariasi dengan strain yang
digunakan dalam transplantasi,15 yang menunjukkan bahwa di antara manusia
setiap pasangan penerima donor hampir khas, dengan potensi untuk menggunakan
subset limfosit yang berbeda pada GVHD berikutnya. Terdapat bukti untuk
mengimplikasikan sel T CD4+ sebagai mediator utama penyakit manusia.16
Pertimbangan ini kemungkinan akan menjelaskan variabilitas ekspresi penyakit,
apakah kesesuaian atau ketidaksesuaian MHC.
Jenis sel lain yang kemungkinan terlibat dalam mediasi GVHD. Kehadiran
banyak sel natural killer dalam infiltrat dermal dan epidermal pada GVHRs kulit
menunjukkan bahwa sel-sel ini direkrut setelah fase pengenalan antigen-spesifik
dari reaksi imunologi yang telah terjadi pada jaringan target.17 Sel mast dan
dendrosit dermal mengalami peningkatan jumlah pada dermis superfisial selama
fase akut penyakit.l8
Mengapa keterlibatan kulit pada GVHD begitu sering dan lebih awal
dibandingkan dengan penyakit hati dan gastrointestinal masih belum diketahui.
Reaksi Graft -Versus Host Kronik Setelah Transplantasi Sel Induk Alogenik
GVHD kronis pada kulit memiliki kemiripan yang besar dengan berbagai
penyakit yang diduga berasal dari autoimun. Pengamatan empiris menunjukkan
hubungan antara liken planus, skleroderma, dan sindrom Sjogren dengan fase
GVHR pada kulit. Peraturan yang tidak tepat dari unsur-unsur autoreaktif dari
sistem imunitas diusulkan sebagai penjelasan untuk terjadinya gangguan ini.19
Hubungan bukti yang kuat perubahan growth factor-β untuk perkembangan kulit
7
dan perubahan viseral pada sklerodermoid GVHD dengan antibodi penetral yang
mampu membalikkan fibrosis pada model tikus.26
Pada wanita dengan skleroderma, diidentifikasi chimerism persisten dari
jaringan janin laki-laki. Reaksi imunologi anti matemal-janin diusulkan sebagai
mekanisme yang mirip GVH yang memediasi penyakit.21 Fibroblas kulit pada
skleroderma kulit mengekspresikan molekul MHC kelas II dan membuat jumlah
kolagen tipe I yang abnormal dalam jumlah besar.
Karena penggunaan transplantasi sel punca darah tepi meningkat, penting
untuk mencatat kemungkinan insiden terkait GHVD kronis yang lebih tinggi.22
TEMUAN KLINIS
Anamnesis
Evaluasi optimal pasien dengan dugaan GVHD harus dimulai dengan
identifikasi faktor-faktor kunci tertentu dalam riwayat pasien. Jenis transplantasi
sel induk, manipulasi sel punca sebelum infus, regimen preparatif yang
digunakan, tanggal infus sel punca, jumlah sel darah putih, obat-obatan yang
diberikan, dan rawat inap di rumah sakit merupakan bagian penting dari
anamnesis untuk di pertimbangkan. Meskipun skenario klinis yang paling umum
yang mengakibatkan GVHR akut pada kulit, transplantasi sel induk alogenik,
seseorang dengan GVHR akut pada kulit dapat timbul setelah transfer matemal-
8
fetal dari limfosit24 serta setelah transfusi darah25 dan transplantasi organ padat,
yang paling umum dari hati yang mengandung banyak limfosit imunokompeten
.26
Adanya tanda-tanda yang mengindikasikan GVHD ekstrakutan, seperti
diare, dapat membantu. Namun, ketiadaan tanda-tanda tersebut seharusnya tidak
menghalangi dokter dari diagnosis GVHD yang diberikan kecenderungan untuk
keterlibatan kulit awal dan tersembunyi. Hal-hal ini, ditambah dengan temuan
klinis dan histologis, seperti yang dibahas kemudian, dapat membantu dokter kulit
dalam menegakkan diagnosis GVHD akut atau kronis, untuk memfasilitasi
intervensi lebih dini.
LESI KULIT
REAKSI GRAFT-VERSUS-HOST AKUT SETELAH TRANSPLANTASI
ALLOGENEIC
Erupsi GVHR akut umumnya dimulai dengan makula eritematosa yang
samar pada permukaan kulit tetapi biasanya telapak tangan, telapak kaki, dan
pinnae (stadium 1) (Gambar 28-1). Spesifitas eritema palmoplantar dalam
diagnosis GVHR pada kulit dipertanyakan karena kemoterapi saja, tanpa
dukungan sel punca, dapat menyebabkan eritema akral.27 Edema dan nyeri tekan
sering menyertai eritema terlepas dari penyebabnya. Pruritus merupakan keluhan
yang jarang. Ketika GVHR akut berevolusi, distribusi makula eritematosa
meningkat, dan makula menjadi konfluen di atas permukaan yang luas umumnya
pada punggung bagian atas (stadium 2 hingga 3). Pada badan, makula eritematosa
dapat diamati dalam susunan perifolikular pada stadium yang sangat awal
(Gambar 28-2). Pada stadium lanjut, dapat terjadi eritroderma (Gambar 28-3).
Terbentuknya bula (stadium 4) menandakan prognosis yang buruk. Bula ini
termasuk bula sub-epidermis dengan atap yang nekrotik dan sangat menyerupai
nekrolisis epidermal toksik (Gambar 28-4). Skema pementasan diperinci pada
tabel 28-3. Perkembangan GVHR akut pada kulit ini umumnya terjadi selama
beberapa minggu. Variasi eksplosif menjelaskan mengapa eritroderma berevolusi
dengan cepat, dengan evolusi cepat berikutnya menjadi erupsi mirip liken planus
9
yang menyerupai penyakit kronis.28 Faktor predisposisi untuk bentuk GVHR akut
pada kulit ini tidak diketahui.
Dengan pengobatan yang berhasil, erupsi menghilang dengan deskuamasi
dalam perkembangan umum yang sama seperti penampilannya. Perubahan warna
coklat-abu-abu pada kulit dapat berevolusi sebagai perubahan paska-inflamasi
dengan sangat lambat atau, dalam beberapa kasus, tidak terjadi resolusi.
10
Gambar 28-3. Graft-versushost reaction (GVHR) pada kulit. Eritema difus dapat
melibatkan GVHR akut pada kulit dan biasanya rapuh
11
biopsi kulit dapat membantu membedakan GVHR dari erupsi obat atau eksantem
virus. Dermatosis akantolitik transien merupakan temuan insidental pada pasien
demam yang menerima kemoterapi antineoplastik, dengan atau tanpa dukungan
sel induk.29 Pengambilan sampel lesi yang lebih teraba cenderung untuk dapat
memperoleh diagnosis palsu ini. Perbedaan kepercayaan antara GVHR akut pada
kulit stadium 4 dan nekrolisis epidermal toksik umumnya tidak mungkin,
meskipun dokter kulit biasanya diminta untuk mencobanya. Pasien yang terkena
telah menerima banyak obat yang diketahui menyebabkan nekrolisis epidermal
toksik, tetapi tidak ada kriteria rasional untuk menyingkirkan GVHR dalam
pengaturan ini.
12
menyertai perubahan karena regimen preparatif, asalkan tidak ada erosi atau
ulserasi.
Evaluasi perubahan imunologi pada kulit selama GVHD akut pada kulit
meningkatkan regulasi ekspresi keratinosit molekul MHC kelas II dan molekul
adhesi interselular 1. Inflamasi mengandung campuran CD4+ (helper atau
inducer), CD8 + (sitotoksik atau supresor), dan CD56 +
limfosit sel natural killer
dengan perluasan dari semuan bagian ke epidermis.53 Setelah pemebrian regimen
preparatif, jumlah sel Langerhans berkurang secara bertahap lebih dari 1 sampai 4
minggu sehingga kadarnya tidak terdeteksi.34 Pembentukkan kembali sel yang
berasal dari donor. Dalam model murine, jumlah sel dan fungsi Langerhans
menurun lebih banyak pada hewan yang mengalami GVHD dibandingkan pada
pasien yang menjalani regimen preparatif saja.35
13
Gambar 28-6. Graft-versus-host disease kronis. Menyerupai liken planus yang
berwarna ungu kecoklatan, papula perifolikuler yang menjadi konfluen pada
badan, yang terjadi dalam 3 bulan setelah transplantasi sumsum tulang alogeneik
14
GVHD kronis. Penurunan sistem imunitas ini memicu terjadinya sepsis, yang
merupakan penyebab umum kematian pada pasien ini.
Pemisahan tajam antara fase likenoid dan sklerodermoid GVHD kronis
adalah buatan. Kedua bentuk penyakit ini jelas tumpang tindih pada sebagian
besar pasien. Lebih jauh lagi, bentuk-bentuk yang mirip liken planus seperti
GVHD terjadi segera setelah transplantasi.36 Karena imunomodulasi dan
variabilitas dalam histokompatibilitas cenderung menghasilkan ekspresi klinis
yang berbeda pada segala bentuk GVHR pada kulit, Keterbatasan dengan konsep
waktu sebagai diskriminan akurat dari fase GVHD dapat tidak sesuai.
15
Gambar 28-8. A. Gambaran histopatologi dari graft versus-host reaction
(GVHR). Gambaran epidermal dari liken planus yang timbul dengan akantosis.
Observasi
Observasi
Biopsi
Observasi
16
Gambar 28-9. Pendekatan terhadap pasien dengan erupsi setelah transplantasi
hematopioetik allogeneic. BSA= Body surface area
17
histologis GVHR dermatitis dan eksematosa, sebagaimana dibuktikan melalui
eksositosis dan edema interselular yang lebih nyata.10
18
sampel. Jika erupsi menetap atau berkembang meskipun terdapat perubahan
histopatologi awal yang tidak spesifik, pengambilan sampel kembali sangat
membantu karena perubahan diagnostik berevolusi ketika ruam berevolusi.
Meskipun beberapa gambaran klinis yang berbeda, GVHR alogenik akut
pada kulit tidak memiliki temuan yang benar-benar spesifik. Pertimbangan
diagnostik lainnya termasuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat dan eksantem
virus. Diferensiasi GVHR stadium 4 pada kulit dari nekrolisis epidermal toksik
telah dibahas sebelumnya. Selain itu, pada beberapa pasien, erupsi kulit yang
ditandai dengan karakteristik yang buruk tampaknya terjadi pada saat ablasi
sumsum tetapi menunjukkan penampilan limfosit perifer. Erupsi ini berkembang
sebelum hari ke 14 setelah transplantasi dan terdiri dari makula eritematosa yang
terdistribusi secara bervariasi. Seharusnya tidak bingung dengan GVHR, karena
erosi engrafment ini "atau" pelepasan sitokin "jelas terjadi sangat awal dan tanpa
peningkatan yang jelas dalam jumlah leukosit perifer (Kotak 28 - 1).
KOTAK 28-1. DIAGNOSIS BANDING GRAFT-VERSUS HOST
DISEASE
Hampir Mirip
Acute graft-versus-host-reaction (GVHR)
Erupsi dari pemulihan limfosit
Erupsi obat
Efek radiasi
Erupsi engraftment atau pelepasan sitokin (sebelum hari ke 14.
GVHR Kronis
Likenoid dengan reaksi obat likenoid
Dermatitis sklerodermoid akibat radiasi
Pertimbangkan
GVHR akut
Eksantema virus
Transient acantholytic dermatosis
Nekrolisis epidermal toksik (penyakit stadium 4.
GVHR Kronis
19
Likenoid : liken planus, Pityriasis lichenoides chronica
Sklerodermoid
Morfea
Skleroderma
Liken sklerosus
Fasciitis eosinofilik
Nephrogenic fibrosing dermopathy
Sjorgen syndrome dengan gejala sika
Selalu tersingkirkan
GVHR akut
Sepsis
GVHR kronis
Infeksi kulit bakteri, jamur dan virus
Sepsis
Karsinoma sel skuamosa (oral atau kulit)
20
limfosit alogenik mendominasi dan infilttrat di lokasi inflamasi sebelumnya,
perubahan fungsi efektor, yang memungkinkan ekspresi GVHR.
Terdapat kontroversi mengenai penggunaan dan waktu biopsi kulit untuk
membantu diagnosis GVHD akut pada kulit. Beberapa dokter merasa bahwa
menahan pengobatan sambil menunggu hasil dari biopsi berpotensi menyebabkan
perkembangan penyakit yang cepat dan hasil yang merugikan. Yang lain
berpendapat bahwa terapi imunosupresif harus digunakan dengan hati-hati dalam
populasi transplantasi sel induk mengingat risiko tinggi sepsis pada pasien ini.
Kehadiran perubahan histopatologi spesifik pada awal GVHD menambah
kebingungan. Sebuah analisis keputusan yang dipublikasikan menggunakan
pendapat ahli untuk memperkirakan sensitivitas dan spesifisitas hasil biopsi kulit
untuk membantu menentukan rasio risiko-manfaat relatif dari pengobatan GVHD
yang tepat dan tidak sesuai. Model ini memprediksi bahwa pada populasi pasien
dengan prevalensi GVHD 30% atau lebih tinggi, seperti yang khas untuk pasien
yang menerima transplantasi sel induk alogenik, hasil terbaik dicapai dengan
pengobatan empiris GVHD tanpa mendapatkan hasil dari biopsi kulit. Namun,
ketika prevalensi GVHD 30% atau kurang, disarankan untuk menunggu hasil dari
biopsi kulit untuk membantu memandu pengobatan.40
Diagnosis dari GVHR sklerodermoid umumnya jelas berdasarkan temuan
klinis dan histologis secara rinci sebelumnya. Jika spesimen biopsi superfisial
gagal menunjukkan perubahan konsisten dengan penyakit sklerodermatosa, maka
pertimbangan harus diberikan untuk keterlibatan fasia, yang membutuhkan
sampel insisional. Membedakan antara GVHR akut pada kulit dan beberapa kasus
GVHR likenoid kronis lebih menantang. Keterbatasan terhadap waktu setelah
transplantasi sebagai pembeda yang dapat diandalkan antara dua fase yang
menimbulkan kebingungan.36 Gambaran klinis dan histologis menyerupai liken
planus harus mengarah pada diagnosis liken planus yang menyerupai GVHR,
dengan kurangnya penekanan pada apakah penyakit ini akut atau kronis.
Pemisahan GVHR autolog dari erupsi pemulihan limfosit dapat sulit. Dianjurkan
menerapkan kriteria histologis yang sama seperti untuk GVHR alogenik akut.
21
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Sebagaimana dibahas sebelumnya pada diagnosis dan diagnosis banding,
diagnosis GVHD akut pada kulit bersandar pada kecenderungan pada kombinasi
lesi kulit yang khas yang muncul dalam pengaturan klinis yang sesuai (biasanya
lebih lama dari 10 hingga 14 hari setelah transplantasi) dan minimal perubahan
histologis stadium 2. Jumlah sel darah putih perifer dapat membantu dalam
menentukan apakah telah terjadi pemulihan limfosit perifer, yang membuat
diagnosis GVHD akut lebih mungkin terjadi. Evaluasi hasil tes fungsi hati dan
kadar bilirubin total dapat membantu menentukan keberadaan dan luasnya
keterlibatan hati.
Dalam keadaan yang jarang, konfirmasi histologis cepat dari GVHD akut
dapat dibenarkan. Dalam kasus ini, biopsi kulit dengan diagnosis jaringan beku
mungkin diperlukan untuk membantu memandu penatalaksanaan pasien dan
keputusan perawatan.
KOMPLIKASI
Pada pasien dengan GVHD akut, risiko sepsis tinggi sebagai akibat dari
imunosupresi berat dari regimen persiapan pra-transplantasi atau dari pengobatan
imunosupresif dalam GVHR. Pembentukkan bula yang signifikan pada beberapa
pasien dapat menghasilkan denudasi luas dengan dermis yang terbuka, yang
menempatkan pasien pada risiko yang lebih besar dari sepsis serta
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Risiko infeksi sistemik juga tinggi pada
pasien dengan GVHD kronis dan merupakan penyebab kematian paling umum
pada pasien ini.
Pada pasien yang bertahan hidup lama jangka panjang dengan GVHD
kronis, insidens karsinoma sel skuamosa mukosa kulit dan mulut meningkat
dengan adanya faktor risiko yang mencakup usia yang lebih tua, pengobatan
dengan siklosporin, dan pemberian radiasi pengion sebelumnya.41,42
22
PROGNOSIS
Efek graft-versus-tumor diakui pada pasien yang mengalami GVHD.43
Insiden kekambuhan tumor berkurang, yang mengakibatkan pandangan dikotomis
penyakit. GVHD merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas paling umum
setelah transplantasi sel induk alogenik, namun penyakit ringan yang dimodulasi
oleh imunosupresi meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Seperti dinyatakan
sebelumnya, infeksi sistemik merupakan penyebab kematian paling umum pada
pasien dengan GVHD kronis. Pasien dengan penyakit sklerodermoid
menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih baik daripada pasien dengan
penyakit likenoid karena mereka telah mengatasi fase awal GVHD akut dan
kronis dan rata-rata telah hidup lebih lama. Pasien dengan spesimen biopsi kulit
menunjukkan gambaran penyakit likenoid yang berkembang penuh memiliki
risiko peningkatan 5,6 kali lipat untuk kematian akibat GVHD.36
Tidak ada temuan histologis lainnya yang diketahui berkorelasi dengan
hasil, khususnya tidak pada fase awal GVHD. Tingkat keterlibatan organ pada
GVHD akut telah digunakan untuk membuat sistem pementasan klinis [nilai 0
(terbaik) hingga IV (terburuk)]. Sistem ini telah digunakan sebagai indikator
prognostik.44
PENGOBATAN
REAKSI GRAFT VERSUS-HOST AKUT PADA KULIT SETELAH
TRANSPLANTASI ALLOGENEIC
Terapi standar tercantum dalam Kotak 2B-2. Obat anti-tumor necrosis
factor-α, seperti etanercept dan infliximab, telah digunakan dengan beberapa
keberhasilan.45,46 Dosis dan regimen khusus bervariasi di antara pusat
transplantasi.
Radiasi ultraviolet harus diberikan dengan hati-hati untuk menghindari
peningkatan eritema dari GVHR dan dengan demikian memicu lebih banyak
inflamasi. Satu studi menemukan bahwa fototerapi dengan sinar ultraviolet A
dengan panjang gelombang (340 hingga 400 nm) untuk menjadi pengobatan
tambahan yang aman dan efektif untuk manifestasi kulit baik GVHD akut maupun
23
kronis.47 Tidak ada data yang dipublikasikan mengenai penggunaan ultraviolet B
spektrum sempit untuk terapi pada GVHD. Extracorporeal photopheresis telah
bermanfaat pada penyakit akut, termasuk GVHD yang refrakter terhadap steroid,
mungkin dengan memicu pergeseran dari distribusi sel limfosit T helper 1 ke T
helper 2.48-50 Pra pengobatan graft dengan radiasi ultraviolet A mencegah
penyakit pada murine percobaan dari transfusi GVHD.51
Kotak 28-2. Pengobatan Graft-Versus-Host Disease Akut
Topikal Fisik Sistemik Dosis
Lini Kostikosteroid Psoralen Kostikosteroid- 2 mg/ KbBB/
Pertama ditambah metil hari
ultraviolet A prednisolon
24
Kotak 28-2. Pengobatan Graft-Versus-Host Disease Kronis
Topikal Fisik Sistemik Dosis
Lini Kostikosteroid Psoralen Prednison 1 mg/ KgBB/ hari
Pertama ditambah Siklosporin 10 mg/kg dibagi dalam
ultraviolet A 2 dosis
25
penyakit sklerodermoid. Photopheresis Extracorporeal telah terbukti bermanfaat
baik pada GVHD kronis yang resisten terhadap steroid dan sklerodermoid.54,55
PENCEGAHAN
Upaya untuk mencegah GVHD akut sangat penting, karena pengobatan
penyakit yang sulit, dan, seperti yang disebutkan sebelumnya, GVHD akut
sebelumnya merupakan prediktor terbesar untuk terjadinya GVHD kronis. Tiga
strategi profilaksis yang digunakan: pemilihan donor optimal, pra-perawatan
manipulasi sumsum atau sel punca donor, dan farmakoprofilaksis. Idealnya, donor
harus menjadi saudara kembar atau monozigotik kembar yang sama, cocok untuk
jenis kelamin, leukosit manusia atau saudara kembar. Terapi profilaksis sumsum
donor alogenik untuk menguras sel T efektor juga efektif dalam mencegah dan
mengurangi keparahan GVHD akut; Namun, manipulasi ini telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko kekambuhan tumor dan kegagalan graft. Berbagai
regimen profilaksis farmakologis umumnya digunakan dalam periode paska-
transplantasi, termasuk kombinasi metotrksat, takrolimus, siklosporin, dan
sikofosfamid. Karena perbaikan pengobatan GVHD, terdapat peningkatan
penggunaan donor MHC-yang tidak cocok dan tidak terkait.
26
DAFTAR PUSTAKA
27