Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang


disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Virus ini ditransmisikan
melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Pada saat ini
jumlah kasus masih tetap tinggi rata-rata 10-25 per 100.000 penduduk. Umur
terbanyak yang terkena penyakit ini adalah kelompok umur 4-10 tahun.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe
yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain
sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia,
pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah
sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang
tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Infeksi virus dengue
sudah melanda seluruh daerah di Indonesia. Oleh karena itu, semua praktisi
kesehatan harus dapat mendiagnosis dan menangani penyakit ini dengan benar.

1
2
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Q
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Asrama Armed
Tanggal Masuk POLI : 18-03-2015
Tanggal Masuk Banggal : 18-03-2015, Pukul 15.00 WIB

ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis terhadap
pasien pada tanggal 18-03-2015, pagi menjelang siang di Poli Anak RST Dr.
Soedjono.
a. Keluhan Utama
Pasien datang ke Poli Anak RST Dr. Soedjono demam sejak 6 hari
SMRS.
b. Keluhan Tambahan
Pusing, menggigil, badan terasa ngilu, mimisan 1 x, batuk
berdahak. Pilek (+), Mual (-), Muntah (-), Diare (-). Nafsu makan
menurun.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien juga mengatakan bahwa pasien merasa demam sejak 6 hari SMRS
naik turun. Disertai pusing, menggigil,, badan terasa ngilu, mimisan 1 x, batuk
berdahak. Pilek (+), Mual (-), Muntah (-), Diare (-). Nafsu makan menurun.

3
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
R. Amandel
RIWAYAT PENGOBATAN
Berobat ke klinik di sekitar tempat tinggal, diberikan obat paracetamol dan
obat Kapsul tetapi keluhan tidak berkurang.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
-
RIWAYAT SOSIAL
Di lingkungan tempat tinggal banyak yang terkena DBD

PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital
N : 128x/menit
R : 26 x/menit
S : 38,3o C

GCS (Glaw Coma Scale)


Eyes : 4
Motorik : 6
Verbal :5
GCS : 15

BMI (Body Mass Index)


Berat Badan : 31 Kg
Tinggi Badan : cm
BMI :

4
Kepala
Bentuk : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

Mata
Palpebra : Edema –/– Pupil : Bulat, isokor
Konjungtiva : Anemis –/– Refleks Cahaya : +/+
Sklera : Ikterik –/– Cekung: -/-

Telinga
Bentuk :Normal/Normal Serumen : –/–
Liang : Lapang Membran Timpani :
Mukosa :Tidak hiperemis Intak/Intak

Hidung
Bentuk : Normal
Deviasi Septum : –
Sekret : –/–
Concha : Hipertrofi –/–, hperemis –/–, oedem –/–

Mulut
Bibir : Lembab Tonsil : T1–T2 tenang
Lidah :Coated tongue Mukosa Faring: Hiperemis (-)

Leher
KGB : Tidak terdapat pembesaran
Kel. Thyroid : Tidak terdapat pembesaran

5
Thoraks
Paru
Inspeksi : Hemithorax kanan-kiri simetris dalam keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki –/–, wheezing –/–

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I–BJ II reguler, murmur (–), gallop (–)

Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (–)
Perkusi : Timpani

Ekstremitas
Atas
Akral : Hangat Perfusi : Baik
Sianosis : (–) Edema : (–)

Bawah
Akral : Hangat Edema : (-)
Sianosis : (-)
Perfusi : Baik

6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 18-03-2015 11:38 WIB
Parameter Result Unit Range
WBC 6.7 X 10^3/UL 4.0-10.0
LYM % 14.6 % 20.0-40.0
MID% 4.6 % 1.0-15.0
GRAN% 80.8 % 50.0-70.0
LYM# 1 X 10^3/UL 0.6-4.1
MID# 0.3 X 10^3/UL 0.1-1.8
GRAN# 5.4 X 10^3/UL 2.0-7.8
RBC 4.9 x10^6/UL 3.50-5.50
HGB 12.6 g/dl 11.0-15.0
HCT 33.5 % 36.0-48.0
MCV 68.4 fl 80.0-99.0
MCH 25.7 pg 26.0-32.0
MCHC 37.6 g/dl 32.0-36.0
RDW_CV 12.5 % 11.5-14.5
RDW_SD 33.1 fl 39.0-46.0
PLT 159 X 10^3/UL 150-450
MPV 11.8 fl 7.4-10.4
PDW 12.2 fl 10.0-14.0
PCT 0.18 % 0.10-0.28

DIAGNOSIS KERJA
Dengue Fever

DIAGNOSIS BANDING

PLAN TERAPI
 Inf D5 ½ NS 1000/24 jam.
 Cefadroxil 2 x 250
 Paracetamol 2 X 1 ½
 Lapifed 3 X 1 ½cth

7
PLAN
-
FOLLOW UP
Hari/Tanggal/ Hasil Pemeriksaan Instruksi Dokter
Jam
18/03/2015 S : Pasien juga mengatakan bahwa Therapy:
pasien merasa demam sejak 6 hari  Inf D5 ½ NS 1000/24
SMRS naik turun. Disertai pusing, jam.
menggigil,, badan terasa ngilu,  Cefadroxil 2 x 250
mimisan 1 x, batuk berdahak. Pilek  Paracetamol 2 X 1 ½
(+), Mual (-), Muntah (-), Diare (-).  Lapifed 3 X 1 ½cth
Nafsu makan menurun.
O: KU/KS : tampak sakit sedang / CM
VS :
N : 128x/menit
R : 26 x/menit
S : 38,3o C
Kepala : normochepal
Mata : CA –/–, SI –/–
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : SI>S2 regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri
tekan
(–)

8
Ekstremitas : akral hangat + +
+ +
edem
– –
– –

A : DF
19/03/2015 S : Batuk berdahak (+), Pilek (+), Mual Therapy:
(-), Muntah (-), Diare (-).  Inf D5 ½ NS 1000/24
O: KU/KS : tampak sakit sedang / CM jam.
VS :  Cefadroxil 2 x 250
N : 100x/menit  Paracetamol 2 X 1 ½
R : 20 x/menit  Lapifed 3 X 1 ½cth
o
S : 36,1 C
Kepala : normochepal
Mata : CA –/–, SI –/–
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : SI>S2 regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri
tekan
(–)
+ +
Ekstremitas : akral hangat + +

edem
– –
– –

A : DF
20/03/2015 S : : Batuk berdahak (+), Pilek (-), Mual Therapy:
(-), Muntah (-), Diare (-).  Inf D5 ½ NS 1000/24
O: KU/KS : tampak sakit sedang / CM jam.
VS :  Cefadroxil 2 x 250

9
N : 100x/menit  Paracetamol 2 X 1 ½
R : 20 x/menit  Lapifed 3 X 1 ½cth
S : 37,5o C
Kepala : normochepal
Mata : CA –/–, SI –/–
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : SI>S2 regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri
tekan
(–)
+ +
Ekstremitas : akral hangat + +

edem
– –
– –

A : DF

Hasil Lab tanggal 20/3/2015 jam 07.05

Parameter Result Unit Range


WBC 3.8 X 10^3/UL 12
LYM % 33.7 % 5
MID% 4.7 % 1
GRAN% 61.6 % 8
LYM# 1.3 X 10^3/UL 50
MID# 0.2 X 10^3/UL 10
GRAN# 2.3 X 10^3/UL 80
RBC 4.62 x10^6/UL 6.2
HGB 13.4 g/dl 17
HCT 36.1 % 55
MCV 78.2 fl 100

10
MCH 29 pg 34
MCHC 37.1 g/dl 35
RDW 12.2 % 16
PLT 163 fl 400
MPV 7.9 X 10^3/UL 11
PCT 0.13 fl 0.5
PDW 12.1 fl 18

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

INFEKSI VIRUS DENGUE

A. ETIOLOGI
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,
sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut (Depkes, 2010).

B. EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala
(Depkes, 2010). Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi
berbagai faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk,
transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis
setempat. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang
tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di
Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka
pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus

12
sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun
(Depkes, 2010).

C. PATOGENESIS
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila
daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun
bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes, 2010).
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa
pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue
yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok
(Depkes, 2010).
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada

13
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak
ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang
dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian. Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti
juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan
sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus
mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis
tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratories (Depkes, 2010).

14
Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD Sumber : Suvatte, 1977

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi


selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan (Depkes,
2010).

15
Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD Suumber: Suvatte, 1977

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,


sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.
Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan
masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi (Depkes, 2010).

D. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Manifestasi klinis dapat bersifat asimptomatik, demam yang tidak khas,
demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue. Pada
umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh

16
fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu ini pasien tidak mengalami demam,
akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadinya renjatan jika tidak mendapat
pengobatan yang adekuat (Suhendro, et al., 2006).
Awal penyakit biasanya terjadi mendadak, disertai gejala prodroma
seperti nyeri kepala, nyeri di berbagai bagian tubuh, anoreksia, menggigil,
malaise. Terdapat pula sindrom trias, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota
badan, dan timbulnya ruam yang bersifat makulopapular. Ruam muncul pada
6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari ke 3-5 berlangsung
3-4 hari. Ruam terdapat di dada, tubuh, serta abdomen, menyebar ke anggota
gerak dan muka (Soedarmo, et al., 2002).
2. Pemeriksaan Fisik
Diawali dengan demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri
kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dan faring hiperemis, nyeri di
bawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada
Demam Dengue (DD) dibanding Demam Berdarah Dengue
(DBD).Hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada
DBD. Pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia, dan syok. Perembesan
plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga
peritoneal selama 24-48 jam. Perdarahan dapat berupa peteckie, epitaksis,
melena, ataupun hematuria (Pudjiadi, et al., 2010).
Tanda- tanda syok
Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis
Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba
Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
Akral dingin, capillary refill time menurun
Diuresis menurun sampai anuria
(Pudjiadi, et al., 2010)

17
3. Kriteria diagnosis WHO
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
- Uji bendung positif
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa (tersering epitaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain
- Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)

Sindrom Gejala Klinis Tanda Perdarahan Laboratorium


Demam demam, gejala uji torniquet +/-, trombosit
gangguan pernafasan tanda perdarahan +/- dalam jumlah
ringan, gangguan normal
pencernaan
Hct normal
Demam Dengue demam, sakit kepala, mialgia uji torniquet +/-, Trombositopenia/normal
, ruam tanda perdarahan +/- Hct normal
Demam Berdarah
Dengue
I demam, gejala gangguan uji torniquet +, trombositopenia
pernafasan dan tanda perdarahan - Hct meningkat
pencernaan
II demam, gejala gangguan uji torniquet +, trombositopenia
pernafasan dan tanda perdarahan + Hct meningkat
pencernaan
Sindrom Syok
Dengue
III gejala derajat I atau II uji torniquet +/-, trombositopenia
, akral dingin, kulit lembab, tanda perdarahan +/- Hct meningkat

18
hepatomegali, hipotensi,
tekanan nadi ≤ 20 mmHg
IV gejala grade derajat III, tekanan uji torniquet -, trombositopenia
darah tidak terukur tanda perdarahan +/- Hct meningkat
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit> 20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis klamin
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, atau
hipoproteinemia
(Suhendro, et al., 2006)

Kriteria Diagnosis Menurut WHO 1999


(WHO, 1999)

4. Diangnosis Banding
Demam Dengue
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua
atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
- Nyeri kepala
- Nyeri retro-orbital
- Mialgia/artralgia
- Ruam kulit
- Manifestasi perdarahan (uji bendung DBD positif atau petekie)
- Leukopenia
Dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien
DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama
(Suhendro, et al., 2006).

19
5. Pemeriksaan Penunjang
Leukosit: dapat normal atau menurun.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke- 3-8
Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan peningkatan hematokrit ≥
20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
Protein/abumin: dapat terjadi hipoproteinemia
SGOT/SGPT: dapat meningkat
Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit: parameter pemantauan pemberian cairan
Golongan darah dan cross match: bila akan diberikan transfusi atau
komponen darah
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM terhadap dengue. IgM
terdeteksi mulai hari ke- 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari. Sedangkan IgG, pada infeksi primer mulai terdeteksi
pada hari ke-14, pada infeksi sekunder mulai terdeteksi hari ke-2.
Pemeriksaan radiologis
Pada foto dada didapatken efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, dapat dijumpai pada kedua
hemithoraks. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral
dekubitus kanan.
USG: dapat digunakan untuk melihat adanya asites dan efusi pleura
(Suhendro, et al., 2006)

20
6. Penatalaksanaan
a. Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan:
Tirah baring, selama masih demam.
Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk
menurunkan suhu menjadi < 39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat
meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit danhematokrit sampai fase
konvalesen. Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan
tandapenyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi
terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun.
Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan
antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat
suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada
DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi
perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena
itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang
air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal
tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa
segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi
setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi (Depkes, 2010).

21
22
(Depkes, 2010)

23
(Depkes, 2010)

b. DBD tanpa syok (derajat I dan II)


Medikamentosa
Antipiretik dapat dianjurkan, penggunaan paracetamol lebih disarankan
dibanding dengan aspirin.

24
Diusahakan untuk tidak memberikan obat-obatan yang tidak diperlukan
untuk mengurangi detoksifiksasi obat dalam hati.
Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat
perdarahan salurah cerna, kortikosteroid tidak boleh diberikan.
Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Suportif
Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan.
Kunci keberhasilan adalah kemampuan untuk mengatasi masa peralihan
dari fase demam ke fase syok.
Cairan itravena diperlukan apabila anak terus menerus muntah,tidak mau
minum, demam tinggi, dehidrasi yang memperberat terjadinya syok,
nilai hematokrit cernderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
(Pudjiadi, 2010)

c. DBD disertai syok (derajat III dan IV)


Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat
1-20 ml/kgBB secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila
syok belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 mg/kgBB ditambah
koloid 20-30 ml/kgBB/jam, maksimal 1500/hari.
Pemberian cairan 10 mg/kgBB/jam diberikan 1-4 jam pasca syok.
Volume cairan diturunkan menjadi 7ml/kgBB/jam, selanjutnya 5ml,
dan 3 ml apabila tanda vital dan diuresis baik.
Jumlah urin 1 ml/kgBB/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi
membaik.
Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok
teratasi.
Oksigen 2-4 L/menit pada DBD syok.
Koreksi asidosis metabolic dan elektrolit pada DBD syok.
Indikasi pemberian darah:

25
Terdapat perdarahan secara klinis
Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap,
hematokrit turun diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah
segar 10 ml/kgBB.
Apabila kadar hematokrit tetap >40 vol% maka berikan darah
dalam volume kecil.
Plasma segar dan beku dan suspensi trombosit berguna untuk
koreksi koagulopati atau koagulasi intravaskular diseminata (KID)
pada syok berat yang menimbulkan perdarahan masif.
Pemberian transfuse suspense pada KID harus selalu disertai
plasma segar (berisi factor koagulasi yang diperlukan), untuk
mencegah perdarahan lebih hebat.
(Pudjiadi, 2010)

26
27
(Depkes, 2010)

28
7. Pemantauan
Tanda vital dan hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal- hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperature harus dicatat setiap 15-30
menit atau lebih sering, sampai syok teratasi.
Kadar hematokrit dipantau setiap 4-6 jam sekali sampai klinis pasien stabil
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum 1
mg/kgBB sedang jumlah cairan sudah melebuhi kebutuhan, dan ditandai
dengan tanda overload (edema, pernafasan meningkat,) maka furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi,
maka pemberian dopamin dapat dipertimbangkan. Pemantauan kadar
ureum dan kreatinin juga perlu dilakukan.
(Depkes, 2010)

Adakah pembesaran hati, tanda perdarahan saluan cerna, tanda ensefalopati


Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit setiap 6-12 jam
Pada DBD syok, lakukan cross match untuk persiapan transfusi darah bila
diperlukan.
(Pudjiadi, 2010)

29
(Depkes, 2010)

30
(Depkes, 2010)

8. Komplikasi
Ensefalopati dengue
Dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
Kelainan ginjal
Akibat syok berkepanjangan apat terjadi gagal ginjal akut.
Edema paru
Akibat overloading cairan. (Pudjiadi, 2010)

31
9. Kriteria memulangkan pasien
a. Tampak perbaikan secara klinis
b. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
c. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
d. asidosis)
e. Hematokrit stabil
f. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
g. Tiga hari setelah syok teratasi
h. Nafsu makan membaik. (Depkes, 2010)

32
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien An. Q, perempuan (9 tahun) datang ke poli anak RST Soedjono dengan
keluhan utama demam. Pada saat pasien masuk rumah sakit (18 maret 2015), demam
yang dialami pasien berada pada hari ke-6. Kurang lebih enam hari sebelum masuk
rumah sakit, pasien mengalami demam. Demam dirasakan terus-menerus. Saat itu
pasien sudah berobat dan mendapatkan obat penurun panas. Setelah meminum obat,
demam turun tetapi kemudian meningkat kembali. Riwayat batuk berdahak (+), pilek
(-), BAK normal, banyak warna kuning jernih, BAB normal berwarna coklat, mencret
(-), mual (-), muntah (-), kejang (-). Pasien mengeluhkan nyeri sendi (+) dan sakit
kepala (+).Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien masih demam disertai
dengan mimisan (epistaksis). Oleh karena tidak ada perbaikan, pasien dibawa ke RST
Soedjono oleh keluarga. Saat di Poli Anak RST, pasien demam (+), mual (-), muntah
(-), mencret (-), batuk (-), pilek (-), epistaksis (-).BAB dan BAK normal.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit pada pasien tersebut, dilakukan
anamnesis secara menyeluruh yang meliputi keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat alergi, dan
riwayat sosial. Dari anamnesis lebih lanjut setelah anamnesis keluhan utama dan
riwayat penyakit sekarang, diketahui bahwa pasien tidak memiliki riwayat mondok
sebelumnya dan riwayat menderita demam berdarah dengue (DBD). Di dalam
keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama, tetapi terdapat banyak
tetangga yang mempunyai riwayat penyakit yang sama di sekitar rumah pasien.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang
dilakukan pertama adalah pemeriksaan tanda vital suhu 38,3oC per aksilar, nadi 128
kali per menit, frekuensi nafas 28 kali per menit. Tekanan darah, frekuensi nadi, dan
frekuensi nafas berada dalam batas normal. Suhu tubuh yang meningkat
menunjukkan demam. Pemeriksaan fisik pada kepala didapatkan normocephal, pada
mata didapatkan konjungtiva anemis (-) sklera ikterik (-), udem palpebra (-), pada
hidung didapatkan nafas cuping hidung (-), discharge (-), pada mulut didapatkan
mukosa basah (+), sianosis (-) faring dan tonsil tidak hiperemis, pembesaran tonsil (-

33
), pada leher tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening, pada thoraks
didapatkan retraksi (-), pada jantung didapatkan bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, dan bising (-), pada pulmo didapatkan suara dasar vesikuler (+), suara
tambahan (-), pada abdomen didapatkan dinding abdomen dan dinding abdomen
sejajar, bising usus (+) normal, suara perkusi timpani, konsistensi saat palpasi supel,
serta tidak teraba hepar dan lien. Pada ekstremitas pasien tidak didapatkan akral
dingin, udem, dan anemis. Capillary refill time (CRT) kembali kurang dari dua detik
dan arteri dorsalis pedis teraba kuat.
Untuk lebih mengarahkan diagnosis pada pasien ini, kemudian dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk lab darah. Hasil lab darah hematologi rutin pada
tanggal 18 Maret 2015 pukul 11.33 WIB di Laboratorium Patologi Klinik RST
menunjukkan kadar Hb (12,6 g/ dl), kadar Hct (33,7%), kadar leukosit (6,7 ribu/ µl),
kadar trombosit (159 ribu/ µl).
Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan pada pasien mengarahkan diagnosis banding bahwa pasien mengalami
Dengue fever dengan manifestasi perdarahan dan dengan diagnosis diferensial DHF.
Pasien An. Q didiagnosis mengalami demam dengue karena mengalami demam akut
selama dua sampai tujuh hari dengan dua atau lebih manifestasi kinis antara lain nyeri
kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/ artralgia, manifestasi perdarahan berupa
epistaksis. Perbedaan utama DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya
kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20% atau
penurunan hematokrit >20% setelah diberi terapi cairan dibandingkan nilai
hematokrit sebelumnya. Pada pasien ini tidak terjadi penurunan trombosit, tidak
terjadi peningkatan hematokrit selama beberapa kali pemeriksaan lab darah mulai dari
18 maret 2015 hingga hari-hari berikutnya. Bila dilihat kriteria infeksi dengue virus
berdasarkan WHO 2009, pasien dengan keluhan demam, nyeri kepala, mialgia,
manifestasi perdarahn berupa epistaksis tetapi hasil lab trombosit dan hematrokit
masih normal mengarah ke dengue fever (bisa dilihat pada tabel kriteria IVD
berdasarkan WHO 2009 di bab tinjauan pustaka).

34
Terapi awal yang diberikan pada tanggal 18 Maret 2015 sesuai hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium adalah Inf D5 ½ NS
1000/24 jam. Cefadroxil 2 x 250, Paracetamol 2 X 1 ½, Lapifed 3 X 1 ½cth.
Cairan parenteral berupa D5½ NS diberikan sebagai terapi suportif. Cairan
diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat
kebocoran plasma. Paracetamol diberikan untuk menurunkan demam pasien. Lapifed
diberikan untuk mengobati gejala batuk berdahak dan pilek. Antibiotik cefadroxil
diberikan indikasi ISPA.

35
DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 2010. Tata Laksana DBD.


www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf. Diakses
tanggal 15 April 2012.

Hassan R., Alatas H., 1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal: 614-615.

Pudjiadi A. H., Hegar B., Handryastuti S., Idris N. S., Gandaputra E. P., Harmoniati
E. D., 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 141-145.

Soedarmo S. S. P., Garn, H., Hadinegoro S. R. S., 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak Infeksi & Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hal: 183-184, 367

Suhendro, Nainggolan L., Chen K., Pohan H. T., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 1710-1711

WHO, 1999. Guidelines For Treatment of Dengue Fever / Dengue Hemorrhagic


Fever In Small Hospitals. New Delhi

Widodo, Djoko, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. Hal: 1752-1753

36

Anda mungkin juga menyukai