Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SUMBER HUKUM ISLAM

Disusun Oleh:

 Aditya Putra Ramadhan 2015090059


 Ani Pitriani 2015090105
 Dony Agus Saputro 2015090122
 Hendri Setiyanto 2015090136
 Mohammad Firdaus 2015090113
 Nurlaela 2015090043
 Sartilah 2015090121
 Tyas Puspita Rini 2015090050

FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA

UNIVERSITAS PAMULANG
PAMULANG
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan rahmat dan karunian-Nya sehingga penyusunan makalah
“Sumber Hukum Islam” dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung dalam
penyusunan makalah ini.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yakni untuk mengenalkan dan
membahas sumber-sumber hukum yang dijadikan pedoman dan landasan oleh umat
Islam. Dengan makalah ini diharapkan baik penulis sendiri maupun pembaca dapat
memilki pengetahuan yang lebih luas mengenai sumber hukum Islam.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan
kami sendiri khususnya.

Tangerang, 13 Desember 2015

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan................................................................................................... 1
1.3 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
BAB II ................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 2
2.1 Macam-macam sumber ajaran Islam ........................................................................ 2
2.2 Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam ......................................................... 2
2.2.1 Pengertian Al-Qur’an ......................................................................................... 2
2.2.2 Asbabun nuzul Al-Qur’an .................................................................................. 3
2.2.3 Isi dan pesan-pesan Al-Qur’an ........................................................................... 6
2.2.4 Fungsi dan tujuan Al-Qur’an ............................................................................. 9
2.3 Hadits sebagai sumber hukum Islam ...................................................................... 10
a. Dalil Al-Qur’an ................................................................................................. 10
b. Dalil al-hadits .................................................................................................... 11
c. Kesepakatan ulama (ijma’) ............................................................................... 11
2.3.1 Tingkatan Hadits .............................................................................................. 13
2.3.2 Istilah-istilah dalam Hadits .............................................................................. 15
2.4 Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits ........................ 16
2.4.1 Pengertian Ijtihad ............................................................................................. 16
2.4.2 Macam-macam Ijtihad ..................................................................................... 17
BAB III............................................................................................................................. 20
PENUTUP........................................................................................................................ 20
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 20
3.2 Saran ....................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan
kecepatan yang menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa
Dinul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu agama
yang sekaligus menjadi pandangan atau pedoman hidup. Banyak sumber-
sumber ajaran Islam yang digunakan mulai zaman muncul pertama kalinya
Islam pada masa rasulullah sampai pada zaman modern sekarang ini. Sumber-
sumber yang berasal dari agama Islam merupakan sumber ajaran yang sudah
dibuktikan kebenarannya yaitu bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia,
sumber-sumber ajaran Islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam
mengatasi berbagai permasalahan seperti bidang akhidah, sosial, ekonomi,
sains, teknologi dan sebagainya.
Islam sangat mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan,
terutama yang bersumber dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an, Sunah,
Ijma’, Qiyas dan juga ijtihad. Begitu sempurna dan lengkapnya sumber-
sumber ajaran Islam. Namun permasalahan disini adalah banyak umat Islam
yang belum mengetahui betapa luas dan lengkapnya sumber-sumber ajaran
Islam guna mendukung umat Islam untuk maju dalam bidang pengetahuan.

1.2 Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Untuk memenuhi tugas Makalah Sumber Hukum Islam mata kuliah
Pendidikan Agama Islam
b. Untuk membahas Sumber Hukum Islam,sehingga pembaca pada
umumnya dan khususnya penulis bisa lebih memahami tentang sumber-
sumber hukum yang dijadikan landasan umat Islam.

1.3 Rumusan Masalah


a. Apa saja sumber-sumber ajaran Islam?
b. Bagaimana Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam?
c. Bagaimana Hadits sebagai sumber hukum kedua ajaran Islam?
d. Bagaimana Ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam setelah Al-Qur’an
dan Hadits?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Macam-macam sumber ajaran Islam


Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan atau acuan dalam
penyelenggaraan ajaran Islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang
sangat penting bagi pelaksanaan ajaran Islam. Dari sumber inilah umat Islam
dapat memiliki pedoman-pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran
Islam, tanpa adanya suatu sumber maka umat Islam akan terombang-ambing
dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan berahir pada kesesatan atau
kenistaan.
Dalam pembahasan disini akan diuraikan macam-macam sumber ajaran Islam
yang diantaranya meliputi:
1. Al-Quran
2. Sunah
3. Ijtihad

2.2 Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam

2.2.1 Pengertian Al-Qur’an


Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan,
qur’anan” yang berarti mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf serta kata-
kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Ada juga sumber lain
mengatakan bahwa Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna”
merupakan suatu nama pilihan Allah yng sungguh tepat, karena tiada satu
bacaanpun sejak anusia mengenl baca tulis yang dapat menandingi Al-Qur’an al-
Karim, secara terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Tuhan
kepada Nabi Muhammad SAW. Yang diampaikan lewat malaikat jibril, yang
dikomunikasikan dengn bahasa arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi
pedoman bagi para pengikutnya yaitu umat Islam diseluruh dunia.
Pengertian Al-Qur’an dari segi terminologinya dapat dipahami dari
pandangan beberapa ulama, bahwa:
a. Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur’an al-
Karim” menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Yang ditulis dalam
mushaf-mushf dan dinukilkan/ diriwayatkan kepada kita dengan jalan
mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang
(bagi yang tidak percaya) ataupun surat terpendek.
b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah
SWT yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada nabi

2
Muhammad SAW. Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya,
dan sebagai hujah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia
dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam
membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat
al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas, yang diriwayatkan kepada kita
dengan jalan mutawatir.
c. Muhammad abduh mendefinisikan Al-Qur’an sbagai kalam mulia
yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi yang paling smpurna
(Muhammad SAW) ajarannya mencakup keseluruhan ilmu
pengetahuan, ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak
dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci daan berakal cerdas.

2.2.2 Asbabun nuzul Al-Qur’an


2.2.2.1 Pengertian asbabun nuzul
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata
asbab dan nuzul. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-
sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Namun kata
asbabun nuzul hanya dipergunakan khusus untuk Al-Qur’an. Para
ulama berpendapat bahwa ketika memaknai kata nuzul, inzal, dan
tanzil yang terdapat pada ayat Al-Qur’an, ada yang memaknai
idhar yaitu melahirkan Al-Qur’an. Ada juga yang memanai bahwa
Allah SWT mengajarkannya kepada malaikat jibril baik megenai
bacaannya maupun pemahamannya lalu jibril menyampaikannya
kepada nabi Muhammad SAW yang ada di bumi.
Menurut az-zarqani asbabun nuzul adalah khusus atau sesuatu
yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya Al-Qur’an
sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
2.2.2.2 Urgensi Asbabun Nuzul
Mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang
terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbabun nuzul merupakan
suatu hal yang signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-
Qur’an. Bahkan al-wahidi menyatakan ketidakmungkinan untuk
menginterpretasikan Al-Qur’an tanpa mempertimbangkan aspek
kisah dan asbabun nuzul.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan
urgensi asbabun nuzul dalam memahami Al-Qur’an sebagai
berikut:
a. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam
menangkap pesan-pesan ayat Al-Qur’an.
b. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
c. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama
yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat
khusus dan bukan lafazh yang bersifat umum.
d. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.

3
e. Memudahkan untuk menghafalkan dan memahami ayat serta untuk
memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal panggabean
menyatakan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahn pra-
qur’an dan pada masa Al-Qur’an menjanjikan beberapa manfaat
praktis, yaitu
a. Pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral dan
sosial pada masyarakat Arab saat itu, sikap Al-Qur’an terhadapnya, dan cara
Al-Qur’an memodifikasi atau mentransformasi gejala itu hingga sejalan
dengan pandangan dunia Al-Qur’an.
b. Kesemuanya ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam
mengidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka hadapi.
c. Pemahaman tentang konteks kesejarahan pra-qur’an dan masa qur’an dapat
menghindarkan kita dari praktik-praktik pemaksaan prakonsep dalam
penafsiran.

2.2.2.3 Macam-macam asbabun nuzul


a. Dilihat dari segi sudut pandang redaksi-redaksi yang
dipergunakan dalam riwayat asbabun nuzul. Ada dua jenis
redaksi yang dipergunakan oleh perawi dalam mengungkapkan
riwayat asbabun nuzul yaitu:
 Sharih (visionable/jelas). Artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan
asbabun nuzul dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Contoh
riwayat asbabun nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah
riwayat yang diawakan oleh Jabir bahwa orang-orang yahudi berkata, “apabila
suami mendatangi “qubul” istrinya dari belakang, anaknya yang lahir akan
juling”. Maka turunlah ayat
ّ ‫نساءكم حرث ئكم فأ تو حر ثكم‬
‫انى‬
‫شئتم‬
Artinya: “istri-istrimu adalah seperti tanah tempat
kamu bercocok tanam maka datangilah tanah bercocok
tanammu itu bagaimana saja kamu hendaki.” (Q.S Al-Baqarah
: 223)
 Muhtamilah (kemungkinan). Artinya riwayat yang belum jelas menunjukkan
asbabun nuzul dan masih memungkinkan pula menunjukkan arti lain.
b. Dilihat dari sudut pandang berbilangnya asbabun nuzul untuk
satu ayat atau berbilangnya ayat untuk asbabun nuzul.
1. Berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat
Pada kenyataannya tidak setiap ayat memiliki riwayat
asbabun nuzul dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat
memiliki beberapa versi riwayat asbabun nuzul. Bentuk
variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula
dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbabu

4
nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama’
mengemukakan cara-cara berikut.
 Tidak mempermasalahkannya
 Mengambil versi riwayat asbabun nuzul yang
menggunakan sharih
 Melakukan studi selektif (tarjih)
2. Variasi ayat untuk satu sebab
Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya dua
ayat atau lebih.
3. Tahapan turunnya Al-Qur’an
Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang
sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit
dan bumi. Turunnya Al-Qur’an yang pertama kali pada
malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada
alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan
kemuliaan nabi Muhammad SAW dan umatnya dengan
risalah baru agar menjadi umat paling baik yang
dikeluarkan bagi manusia. Allah menurunkan kepada
manusia melalui 3 tahap yaitu:
 Al-Qur’an diturunkan Allah dari Lauhul Mahfudz
Al-arqani tidak menyinggung lebih jauh tentang kapan
penurunan Al-Qur’an di Lauhul Mahfudz ini. Beliau hanya
menyatakan tidak ada yang tahu persis kapan Al-Qur’an
diturunkan di Lauhul Mahfudz kecuali Allah sendiri.
 Dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza
Yaitu langit yang pertama yang tampak ketika dilihat di
dunia ini namun tidak diketahui letak persisnya. Adapun
jumlahnya adalah semuanya pada waktu Lailatul Qadr. Namun
tanggalnya tidak diketahui, dan pada bulan Ramadhan.
Al-Qurtubi telah menukil dari Muqtil bin Hayyan
riwayat tentang kesepakatan bahwa turunnya Al-Qur’an
sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza di langit di
dunia. Sebetulnya tidak hanya Al-Qur’an saja yang diturunkan
pada bulan Ramadhan, tetapi ada juga
1. Taurat : 6 Ramadhan
2. Suhuf Ibrahim : 1 Ramadhan
3. Injil : 13 Ramadhan
4. Zabur : 12 Ramadhan
 Dari Baitul ‘Izza ke Rasulullah
Tahapan ketiga atau yang terakhir adalah Al-Qur’an
diturunkan dari Baitul ‘Izza kepada Nabi Muhammad SAW
dengan perantara malaikat jibril. Penurunannya tidak secara
langsung sekaligus, namun diangsur-angsur selama dua puluh
tiga tahun berdasarkan kebutuhan, peristiwa atau bahkan
melalui permintaan malaikat jibril. Adapun kitab-kitab lain

5
seperti tauraut, zabur dan injil diturunkan oleh Allah SWT
dengan cara sekaligus tidak secara berangsur-angsur.

2.2.3 Isi dan pesan-pesan Al-Qur’an


Alqur’an diturunkan kepada nabi Muhammad kurang lebih
selama 23 tahun, dalam dua fase yaitu 13 tahun pada fase sebelum
beliau hijrah ke Madinah (Makiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah
hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi Al-Qur’an terdiri dari 114 surat,
6236 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf. Proporsi masing-masing
fase tersebuut adalah 86 surat untuk ayat-ayat Makiyah dan 28 surat
untuk ayat-ayat Madaniyah.
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung
pesan-pesa sebagai berikut; masalah tauhid, termasuk didalamnya
masalah kepercayaaan pada yang gaib; masalah ibadah, yaitu egiatan-
kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan
menghidupkan didalam hati dan jiwa; masalah janji dan ancaman
yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan
sebaliknya ancaman siksa bagi mereka yang berbuat jahat; jalan
menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan yang
hendaknya dipenuhi untuk mencapai keridhaan Allah SWT; riwayat
dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-
bangsa, tokoh-tokoh maupun Nabi dan Rosul.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih memerinci pokok-
pokok kandungan Al-Qur’an ke dalam 3 ktegori, yaitu:
a. Masalah kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan
rukun iman kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulullah, hari
kebangkitan dan taqdir.
b. Masalah etika (khuluqiyah) berkaitan dengan hal-hal yang
dijadikan perhisan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan
dan meninggalkan kehinaan.
c. Masalah perbuatan dan ucapan (‘amaliyah) yang terbagi dalam
dua macam yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah berkaitan
dengan rukun Islam, nazar, sumpah dan ibadah-ibadah yang
lain yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT.
Mu’amalah berkaitan dengan akad, pembelanjaan, hukuman,
jual-beli dan lainnnya yang mengtur hubungan manusia dengan
sesama.

Ada dua segi pembahasan isi/kandungan Al-Qur’an, yaitu dimensi


keagamaan dan dimensi keilmuan.
a. Dimensi keagamaan
Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam kaitannya dengan
persoalan-persoalan. Pertama, akidah dan kepercayaan yang harus dianut
oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan

6
kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan; kedua, mengenai
syariat dan hukum,dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang
harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan
sesamanya; ketiga, mengenai akhlak yang murni, dengan jalan
menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti
oleh manusia dalam kehidupannya baik secara individual maupun
kolektif
Menurut Prof. Dr. Mahmud Syaltut dalam “al-Islam wa al-
syariah” bahwa Al-Qur’an mengandung berbagai persoalan-persoalan :
1. Akidah yang wajib dimani.
2. Budi pekerti yang dapat membersihkan jiwa, membentukpribadi dan
masyarakat yang baik
3. Petunjuk dan bimbingan untuk menyelidiki dan mentadaburi tentang
rahasia-rahasia langit dan bumi.
4. Peringatan dan ancaman
5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut Masyfuk Zuhdi bahwa isi atau kandungan
ajaran Al-Qur’an pada hakekatnya mengandung lima prinsip, yaitu:
1. Tauhid
Sekalipun Nabi Adam AS sebagai manusia pertama dan Nabi
pertama adalah seorang monotheisme/muwahhid dan mengajarkan
tauhid kepada turunannya, namun kenyataannya tidak sedikit
manusia keturunannya itu yang menyimpang dari ajaran tauhid.
Untuk meluruskan kepercayaan mereka yang menyimpang dari
Tuhan dan untuk membimbing mereka ke arah yang lurus dan
diridlai Tuhan, maka diutuslah para Nabi/Rasul secara silih berganti
mulai Nabi Adam sampai Nabi Muhammad sebagai nabi penutup.
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad (pra Islam), keadaan
manusia pada umumnya telah menyimpang dari ajaran tauhid dan
ajaran-ajaranlainnya dari para nabi dan rasul sebelumnya, sekalipun
sebagian mereka ada pula yang masih mengaku percaya pada
keesaan Tuhan, tetapi sebenarnya tauhidnya sudah tidak murni lagi.
Sebab Tuhan dianggap tidak tunggal sepenuhnya, melainkan ia
terdiri dari beberapa oknum, misalanya doktrin tri murti atau trinitas
dari agama Hindu dan Kristen.
2. Janji dan ancaman tuhan
Tuhan menjanjikan kepada setiap orang yang beriman dan selalu
mengikuti semua petunjuk-Nya akan mendapatkan kebahagiaan
hidupnya di dunia dan di akhirat. Sebaliknya Tuhan akan
mengancam kepada siapa saja yang ingkar kepada tuhan dan
memusuhi nabi/rasul-Nya serta melanggar perintah-perintah dan
larangan-laranga-Nya, akan mendapat kesengsaraan hidup di dunia
maupun akhirat.
3. Ibadah
Tujuan hidup manusia didunia ini adalah untuk meribaddah
kepada Tuhan.pengertian ibadah menurut Islam adalah cukup
luas,sebab tidak hanya berbatas padaslat,puasa, haji dan
semacamnya. Tetapi semua aktifitas yang dilakukan manusia denga

7
motivasi niat yang baik seprti untuk mencari ridlo Allah, semuanya
dipandang ibadah.
Ibadah bagi manusia adalah berfungsi sebagai manifestasi
manusia bersyukur kepada tuhan pencipta atas segala nikmat dan
karunia. Dan juga berfungsi sebagai relisasi dan konsekwensi
manusia atas kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Jalan dan cara mencapai kebahagiaan
Setiap orang yang breagama pasti bercita-cita ingin mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat. Untuk bisa mencapai
cita-citanya, Tuhan dalam Al-Qur’an memberikan petunjuk-
petunjuk-Nya bahwa manusia harus menempuh jalan yang lurus
dengan cara menghayati dan mematuhi segala aturan agam yang
ditetapkan Allah dan rasul-Nya.
5. Cerita-cerita/sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi
Muhammad SAW
Didalam Al-Qur’an terdapat cerita-cerita tentang para nabi dan
umatnya masing-masing. Cerita-cerita tersebut diungkapkan kembali
didalam al-quran dengan maksud agar dijadikan pelajaran bagi
manusia sekarang tentang bagiamna nasib manusia yang taat kepada
tuhan. Disamping itu juga sebagai hiburan bagi Nabi Muhamad dan
umat Islam pada permulaan Islam, agar nabi dan sahabat-sahabatnya
tetap berteguh hati , tidak berkecil hati dalam menghadapi segala
macam hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan yang sama
bahkan yang lebih.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pada hakikatnya
Al-Qur’an adalah kitab keagamaan, dan bukan suatu kitab atau
ensiklopedi ilmu pengetahuan yang ddidlamnya membahas atau
berisitentang teori-teori ilmiah.
b. Dimensi keilmuan
Al-Qur’an adalah sumber segala pelajaran dan pengetahuan,
didalamnya pembicaraan-pembicaraan dan kandungan isinya tidak
semata-mata terbatas pada bidang-bidang keagamaan, ia meliputi
berbagai aspek hidup dan kehidupan manusia.
Menurut Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas
Damaskus, tak ada yang lebih menekankan pentingnya sains dari pada
kenyataan bahwa: berbeda dengan bagian legislatif yang hanya 250 ayat
saja, sedangkan 750 ayat Al-Qur’an –hampir seperdelapannya- menegur
orang-orang mukmin untuk mempelajari alam semesta, untuk berfikir,
untuk menggunakan penalaran yang sebaik-baiknya, untuk menjadikan
kegiatan ilmiah ini sebagai bagian dari kehidupan umat.
Sekarang banyak ditemukan orang yang mencoba menafsirkan
beberapa ayat Al-Qur’andalam sorotan ilmiah modern. Dengan tujuan
untuk menunjukkan mu’jizat Al-Qur’an dalam lapangan keilmuan untuk
meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan keunikan Al-
Qur’an, dan untuk menjadikan kaum muslimin bangga memiliki kitab
seperti itu.
Pandangan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber ilmu
pengetahuan bukanlah merupakan sesuatu yang baru, karena banyak
ulama besar kaum muslimin yang berpandangan demikian.

8
Dari keterangan diatas, para ulama berkeyakinan bahwa Al-
Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan
mencakup apa yang diperlukan manusia dalam wilayah iman dan amal.
Al-Quran juga mengandung rujukan-rujukan pada sebagian fenomena
alam.

2.2.4 Fungsi dan tujuan Al-Qur’an


Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman
Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung
petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Menurut Dr. M. Quraish Shihab
dalam “wawasan Al-Qur’an menyebutkan delapan tujuan diturunkannya Al-
Qur’an:
a. Untuk menbersihkan dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta
mementapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi tuhan
semesta alam.
b. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa
umat manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama
dalam pengapdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
c. Untuk menciptakan perstuan dan kesatuan.
d. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
e. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan,
penyakit dan penderitaan hidup,serta pemerasan manusia atas manusia
dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
f. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih
sayang.
g. Untuk memberikan jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme
dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan
yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
h. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan dan
panduan Nur Ilahi.
Berikut adalah fungsi al-quran menurut nama-namanya:
a. Al-huda (petunjuk). Dalam al-quran terdapat 3 kategori tentang posisi al-
quran sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum.
Kedua, al-quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.
Ketiga, petunjuk bagi orang-orang beriman.
b. Al-furqan (pemisah). Dalam al-quran dikatakan bahwa ia adalah ugeran
untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan batil.
c. Asy-syifa (obat). Al-quran dikatakan berfungsi sebagai obat bagi
penyakit-penyakit dalam dada. Yang dimaksud penyakit dalam dada
adalah penyakit-penyakit psikologis.
d. Al-mauizhah (nasihat). Al-quran berfungsi sebagai nasihat orang-orang
yang bertakwa.

9
2.3 Hadits sebagai sumber hukum Islam
Umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an. Dan tidak boleh seorang muslim hanya mencukupkan
diri dengan salah satu dari kedua sumber Islam tersebut. Al-Qur’an dan
hadits merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap. Umat Islam tidak
mungkin dapat memahami tentang syari’at Islam dengan benar sesuai
dengan tanpa Al-Qur’an dan Hadits. Banyak dari ayat Al-Qur’an yang
menerangkan bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-
Qur’an yang wajib diikuti. Baik itu dalam hal perintah ataupun larangan. Al-
Syatibiy dalam kaitan ini mengajukan tiga argumen.
Pertama, sunnah merupakan penjabaran dari Al-Qur’an. Secara rasional,
sunnah sebagai penjabaran (bayan) harus menempati posisi lebih rendah dari
yang dijabarkan (mubayyan) yakni Al-Qur’an. Apabila Al-Qur’an sebagai
mubayyan tidak ada, maka hadits sebagai bayyan tidak diperlukan. Akan
tetapi jika tidak ada bayyan, maka mubayyan tidak hilang.
Kedua, Al-Qur’an bersifat qat’iy al-subut, sedangkan sunnah bersifat
zanniy al-subut.
Ketiga, secara tekstual terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan
kedudukan sunnah setelah Al-Qur’an seprti hadits yang sangat populer
mengenai pengutusan Mu’az Ibn Jabal menjadi hakim di Yaman. Semuanya
menunjuka subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap Al-Qur’an.
Berikut uraian sedikit tentang kedudukan hadits sebagai sumber
hukum Islam:

a. Dalil Al-Qur’an
Banyak dari ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban
untuk dapat mempercayai dan menerima apa saja yang telah disampaikan oleh
Rasul kepada umat beliau untuk dijadikan sebuah pedoman hidup.
Selain Allah SWT memerintahkan agar umatnya percaya kepada Rasul
juga dapat menaati semua perintah atau peraturan yang telah ditetapkan atau
dibawa oleh beliau. Taat kepada Rasul sama denga taat kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah QS. Al- ‘Imran:32 yang berbunyi:

َ‫َّللاَ ال ي ُِحبُّ ْالكَا ِف ِرين‬


‫سو َل فَإ ِ ْن ت ََوله ْوا فَإ ِ هن ه‬
ُ ‫الر‬ ‫قُ ْل أ َ ِطيعُوا ه‬
‫َّللاَ َو ه‬

Artinya: “"Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu


berpaling, maka sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang
kafir'." – (QS. Al- ‘Imran 3:32)

Dari banyaknya ayat Al-Qur’an ini membuktikan bahwa dimana setiap


ada perintah taat kepada Allah, pasti ada perintah taat kepada Rasul. Demikian
pula mengenai ancaman. Ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan
dalam penetapan untuk taat kepada semua yang diperintah Rasulullah SAW.

10
b. Dalil al-hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan
keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur;an
sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:

: ‫وقال صلى هللا عليه وسلم‬

‫(روه‬ ‫تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب هللا وسنة النبيه صلى هللا عليه وسلم‬
)‫مالك في موطأ‬
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda: “Telah ku tinggalkan kepada kalian dua perkara,
kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh denga dua perkara ini,
yaitu Kitab Allah (Alqur’an) dan Sunnah Nabi SAW (Al-Hadist)

Masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang pedoman


hidup maupun penetapan hukum. Hadits-hadits tersebut menunjukkan
terhadap kita bahwa berpegang teguh kepada hadits sebagai pedoman hidup
iitu wajib, sebagaimana wajib pada Al-Qur’an.

c. Kesepakatan ulama (ijma’)


Banyak peristiwa yang menunjukan adanya kesepakatan menggunakan
hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a. Ketika abu bakar di baiat menjadi kholifah, ia pernahberkata “saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh
Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b. Saat umar berada di hajar aswad ia berkata: “saya tahu bahwa engkau
adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya
tidak akan menciummu”.
c. Diceritakan dari Sa’i bin Musayyab bahwa ‘usman bin ‘affan berkata: ”saya
duduk sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana
makannya Rasulullah dan saya sholat sebagaimana Sholatnya Rasulullah

Untuk mengukuhkan validitas sunnah sebagai otoritatif hukum Islam.


Al-syafi’i mengajukan analisis terhadap kata al-hikmah dalam Al-Qur’an.
Dalam banyak Al-Qur’an, kata tersebut selalu bergandengan dengan kata al-
kitab (Al-Qur’an).
Namun al-syafi’i menyimpulkan bahwa yang dimaksud al-kitab adalah
Al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud al-hikmah adalah sunnah atau al-hadits.
Dalam sejarah tercatat, ada sekelompok kecil umat Islam yang menolak
adanya sunnah atau hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dikenal
sebagai inkar al-sunnah dan munkir al-sunnah. Adanya kelompok tersebut
diketahui melalui tulisan al-syafi’i yang dikelompokkan dalam tiga golongan:
1. Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan

11
2. Golongan yang menolak sunnah kecuali jika sunnah itu
memiliki kesamaan denga petunjuk Al-Qur’an
3. Golngan yang menolak sunnah yang berstatus ahad

Hadits atau sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya


untuk kaitannya dalam hal ibadah, akan tetapi juga dalam masalah
masyarakat sosial. Eksistensi sunnah atau hadits dapat sumber hukum
Islam dapat dilihat dari beberapa argumen Al-Qur’an, ijma’ maupun
argumen rasional.
Beberapa implikasi pada perkembangan hukum Islam. Kosep
sunnah ternyata mengalami proses yang cukup panjang sebelum di
identikkan dengan istilah hadits. Proses tersebut disimpulkan dengan baik
oleh Fazlur Rahman sebagai berikut:
“that the sunnah-content left bythe prophet was not very large in
quantity and that it was not something meant tobe absolutely specific;
that the concept sunnah after the time of the propher himself but also
the interpretation of the prophetic sunnah; that the “sunnah” in this
last sense is co-extensive with the ijma’ of the community, which is
essentially an ever-expanding process;and finally; that after the mass-
scale hadith movement the organic relationship between the sunnah,
ijtihad, and ijma’ was destroyed”
Artinya:
Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak
bayak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara
mutlak, bahwa konsep sunnah setelah Nabi wafat tidak hanya
mencakup sunnah Nabi tetapi juga penafsiran-penafsiran terhadap
sunnah Nabi tersebut, bahwa sunnah dalam pengertian terakhir ini
sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan sebuah
proses yang semakin meluas secara terus-menerus, dan yang terkhir
sekali bahwa setelah gerakan pemurnian hadits besar-besaran,
hubungan organis diantara sunnah, ijtihad dan ijma’ menjadi rusak.

Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua abad hijriyah sunnah
diekspresikan sebagai hadits, sehingga pada tahap berikutnya hadits identik
dengan sunnah. Namun jalaluddin Rahmat membantah bahwa yang pertama
kali beredar dikalangan umat Islam untuk menunjuk pada Nabi adalah hadits
bukanlah sunnah.
Kondisi kemudian berubah setelah dua khalifah mengadakan gerakan
“penghilangan” hadits yang kemudian melahirkan keenggangan para sahabat
menuliskan hadits. Ini mengakibatkan hilangnya sebagian besar hadits dan
adanya kesempatan untuk pealsuan hadits yang mengakibatkan merebaknya
periwayatan dalam makna (riwayat bi al ma’na). Dan karena orang hanya
menerima hadits lewat lisan, maka ketika menyampaikannyapun hanya
menyampaikan maknanya, sehingga dalam periwayatan hadits dapat berubah-
ubah. Mengingat makna redaksi hadits itu berkembang sesuai orang yang

12
meriwayatkannya. Dan inilah yang menimbulkan banyaknya perbedaan
pendapat dalam penafsiran hadits. Kemudian memunculkan ra’y atau oleh
Rahman diidentifikasi sebagai sunnah. yangmana orang lebih cenderung
mencari petunjuk pada ra’y karena hilangnya sejumlah hadits akibat
perbedaan pendapat.
Ketika terjadi suasana yang tidak ada acuan universal, maka munculah
gerakan massif untuk membawa konsep sunnah kedalam konsep hadits. hadits
-hadits kemudian dihidupkan kembali, namun upaya ini mengalami kesulitan
yang besar menyangkut pengujian hadits yang dapat dipertanggungjawabkan
validitasnya yang kemudian dirumuskan kaidah-kaidah kesahihan hadits
(‘ulum al-hadits).
Dengan demikian jika ada pernyataan mengenai hadits nabi telah ada
sejak awal perkembangan Islam itu adalah sebuah kenyatan yang tidak dapat
diragukan lagi dan mematahkan pernyataan bahwa hadits adalah produk
belakangan. Perkembangan hadits berjalan pararel dengan praktek para
sahabat dan umat. Dalam hal ini hadits mengalami tahapan yang panjang
sebelum ia ditetapkan sebagai sentral keputusan hukum Islam. Memang dulu
pada masa-masa awal sunnah menjadi standar bagi manifestasi sunnah ideal
Nabi, akan tetapi pada masa al-Syafi’iy dan seterusnya haditslah yang
kemudian menjadi manifestasi teladan Nabi.

2.3.1 Tingkatan Hadits


Secara umum tingkatan hadis terbagi ke dalam tiga, yaitu hadits sahih,
hadis hasan, dan hadis dla‟if.
a. Hadits Shahih
Hadits shahih yaitu hadis yang (1) para perawinya berkesinambungan;
diterima dari dan oleh
perawi yang „adil dan dlabith. Adil artinya memiliki sifat adalah yaitu
muslim, dewasa, sehat
akal, dan tak pernah berbuat dosa. Dlabith yaitu kuat hafalan, cermat,
tepat tanggapan, dan tidak
pelupa. (2) tidak cacat dan (3) tidak bertentangan dengan riwayat lain
yang lebih kuat.
Berdasarkan jumlah perawi, hadis sahih ada tiga jenis, yaitu:

13
1) Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak
perawi dan dari banyak perawi
sampai waktu dituilskannya sehingga, karena banyaknya, tidak
memungkinkan mereka untuk
melakukan kebohongan.
2) Hadits Masyhur
Hadits masyhur yaitu hadis yang pada awalnya diriwayatkan secara
seorang-perseorang tetapi
pada tingkat akhirnya diriwayatkan oleh banyak perawi.
3) Hadits Ahad
Hadits ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang ke
seseorang hingga ditulisnya.
b. Hadits Hasan
Yaitu hadis yang sanadnya berkesinambungan, disampaikan oleh
perawi yang „adil tetapi kurang
kedhabitannya (kekuatan hafalannya), terbebas dari cacat dan tidak
bertentangan dengan riwayat
yang lebih kuat.
c. Hadits Dha’if
Yaitu hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis sahih dan hadis
hasan, baik dalam sanad, rawi,
atau mengandung catat dan bertentangan dengan riwayat yang
lebih kuat. Ada beberapa jenis
hadis dha‟if di antaranya:
1). Hadits Mursal: hadis yang tidak menyebut sahabat dalam
rangkaian perawinya.

2). Hadits Munqathi‟: hadis yang sanadnya terputus di tengah,


karena ada rawi yang hilang, atau
rawi yang identitasnya tidak dikenal.
3). Hadits Maqlub : hadis yang susunan rawinya terbalik dalam
sanadnya, misalnya seharusnya disebut belakangan disebutkan

14
lebih dahulu, atau terbalik antara sanad dan matannya.

4). Hadits Munkar: hadis yang matannya tidak dikenal, kecuali dari
seorang rawi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kekuatan
hafalannya.

5). Hadits Matruk : hadits yang riwayatkan oleh perawi yang


diketahui suka berbohong, atau
sering salah, atau fasik (berbuat dosa), atau teledor, sedangkan
haditsnya hanya didapat dari perawi ini saja.

2.3.2 Istilah-istilah dalam Hadits


Ada beberapa istilah pokok yang perlu diketahui dalam memahami
ilmu tentang hadits, yaitu lafadz-lafadz khusus yang disepakati maknanya
oleh para ahli hadis. Di antaranya sanad, matan,rawi, dan rijalul hadis.
1) Sanad
Sanad adalah rangkaian para periwayat yang menukilkan isi hadits
secara berkesinambungan dari yang satu kepada yang lain sehingga
sampai kepada periwayat (rawi) terakhir. Dalam contoh di atas
yang disebut sanad adalah rangkaian nama-nama dari Alhamidi
sampai Umar bin
Khathab ( sebanyak 6 orang ).
2) Matan
Matan adalah isi yang terdapat dalam hadits itu sendiri, baik
berupa perkataan, perbuatan, sifat Nabi, atau tindakan dan
perbuatan para sahabat yang dibiarkan oleh Nabi saw.
3) Rawi
Rawi adalah orang yang menerima suatu hadits dan
menyampaikanya kepada yang lain. Dalam satu hadits biasanya
terdapat beberapa orang rawi (disebut ruwat jamak dari rawi).
Dalam contoh di atas rawi-rawinya ada 6 orang yaitu al-Hamidi
Abdullah bin Zubair, Sufyan, Yahya bin Said, Muhammad bin
Ibrahim, Alqamah bin Waqash, dan Umar bin Khathab.

15
4) Rijalul Hadits
Rijalulhadis adalah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan
suatu hadits, yaitu para perawi
hadis itu sendiri. Sahih tidaknya suatu hadis banyak ditentukan
oleh rijalulhadits-nya dari segi
kecermatan dan ketelitianya (dhabit) dan keterpercayaanya. Untuk
menentukan apakah
para perawi itu berkwalitas atau tidak, ada ilmu yang khusus untuk
ini, disebut Ilmu Rijalul Hadits, yaitu ilmu yang mengkaji
biografi setiap orang yang terlibat dalam periwayatan hadis,
disebut juga Ilmu Tarikhur Ruwat (Ilmu Sejarah Hidup Para
Perawi).

2.4 Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits

2.4.1 Pengertian Ijtihad


Ijtihad memiliki arti kesungguhan, yaitu mengerjakan sesuatu
dengan segala kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah berarti menggunakan
seluruh potensi nalar secara maksimal dan optimal untuk meng-istinbath
suatu hukum agama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, pada waktu tertentu untuk
merumuskan kepastian hukum mengenai suatu perkara yang tidak ada
status hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan tetap berpedoman
pada dua sumber utama.
Dengan demikian, ijtihad bukan berarti penalaran bebas dalam
menggali hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh mujtahid, melainkan
tetap berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun ijtihad
diperbolehkan untuk dilakukan oleh mujtahid (orang yang berijtihad) yang
memenuhi syarat, namun tidak berarti bahwa ijtihad dapat dilakukan
dalam semua bidang. Ijtihad memiliki ruang lingkup tertentu.
Syaikh Muhammad Salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke
dalam dua bagian:
d. Permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya
dalam Al-Qur’an atau hadist Nabi.
e. Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak begitu jelas
maksudnya yang mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung
lebih dari satu sehingga perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk
mengetahui makna-makna yang sesungguhnya yang dimaksud.

16
2.4.2 Macam-macam Ijtihad
a. Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu
dalam pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus
yang terjadi di kalangan para mujtahid terhadap suatu masalah
sepeninggal Rasulullah SAW. Ahli ushul fikih mengemukakan
bahwa ijmak adalah kesepatan para mujtahid kaum muslimin
dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu
hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu
peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak
ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran dan
sunnah) maka para mujtahid mengemukakan pendapatnya
tentang hukum suatu peristiwa dan jika disetujui atau
disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan itulah yang
disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang
memiliki posisi kuat dalm menetapkan hukum dari suatu
peristiwa. Bahkan telah diakui luas sebagai sumber hukum
yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam. Sejumlah
ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis kekuatan
ijmak sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan
kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-
laki orang yang meninggal dunia yang dalam keadaan seperti
ini nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah (orang yang
meninggal) untuk menerima seperenam dari harta warisan atau
harta peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum
berdasarkan ijmak sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau
pemesanan barang yang baru akan dibuat yang seharusnya
tidak boleh,karena dinilai sama seperti halnya membeli barang
yang tidak ada, merupakan contoh hukum yang bersumber dari
hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61) Penggunaan ijmak
sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW.
Selama beliau hidup, setiap peristiwa yang muncul selalu
diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga tidak mungkin
terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang
memiliki kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan pada
sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-nisa’
yang didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri
setelah taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam
ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti
luas mencakup urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri,
legislative, dan lain-lain) dan pemegang urusan agama seperti
para mujtahid, mufti, dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri
telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka wajib
ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana mentaati,

17
mengikuti, dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-
Nya dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83 ):
‫ف أَذَاعُواْ ِب ِه َولَ ْو َو ِإذَا‬ ِ ‫سو ِل َو ِإلَى َجآ َء ُه ْم أ َ ْم ٌر ِ ِّمنَ االٌّ ْم ِن أ َ ِو ْالخ َْو‬ ُ ‫الر‬‫َردُّوهُ إِلَى ه‬
َ ٌّ ُ
ُ‫أ ْو ِلى اال ْم ِر ِم ْن ُه ْم لعَ ِل َمه‬
‫ض ُل ه‬
ِ‫َّللا‬ ْ َ‫طونَهُ ِم ْن ُه ْم َولَ ْوالَ ف‬ ُ ‫َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُهُ الهذِينَ َي ْست َ ْن ِب‬
‫طـنَ إِاله قَ ِليلا‬
َ ‫ش ْي‬ ُ ‫ه‬ َ
‫الت َب ْعت ُم ال ه‬
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja
(di antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran
kehujahan ijmak sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah
hadis Nabi SAW yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam
dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan separti hadis
Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah, yang mengatakan :
“umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” Hal ini
berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para
mujtahid memiliki kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum
dalam Islam dan wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
b. Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan.
Adapun menurut pengertian para ahli fikih, qiyas adalah
menetapkan hukum tentang sesuatu yang belum ada nash atau
dalilnya yang tegas, dengan sesuatu hukum yang sudah ada
nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara
keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya minuman bir yang
tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar yang ada
hukumnya di dalam Al-Quran. Menyamakan atau
menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan pada adanya
persamaan illat antara keduanya, yaitu memabukkan.
c. Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan
bagi orang banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam,
Al-mashlahat al-mursalah adalah sesuatu yang didalamnya
mengandung kebaikan bagi masyarakat, sehingga walaupun
pada masa lalu hal tersebut tidak diberlakukan, namun dalam
keadaan masyarakat yang sudah makin berkembang, keadaan
tersebut dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan Al-
quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang perlu
dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin
sedikit karena meninggal dunia, serta pertentangan dalam
membaca Al-Quran sering terjadi.

18
d. ‘Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah
dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf
adalah sesuatu yang berlaku dimasyarakat atau tradisi yang
mengandung nilai-nilai kebaikan bagi masyarakat. Contonya
kebiasaan merayakan hari raya yang pada zaman sebelum
Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka tetap
dilanjutkan.
e. Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang
baik. Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang
dipandang manusia pada umumnya sebagai hal yang baik, dan
tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Penggunaan
istihsan ini antara lain didasarkan pada sabda Rasulullah SAW
: Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum muslimin
sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah
dipandang sebagai hal yang baik.”
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian
umum, Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran,
dan perbuatan para sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan
sunnah. Penggunaan Qaul al-shahabat sebagai dasar hukum,
mengingat para sahabat selain sebagai orang yang dekat,
bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga
memang memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang
layak untuk dijadikan bahan renungan dan pertimbangan dalam
mengembangkan ajaran Islam pada masa selanjutnya.
g. Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam
pengertian yang lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang
terdapat didalam agama yang diturunkan Tuhan sebelum Islam
yang terdapat di dalam kitab Zabur, Taurat, Injil yang masih
asli yang tidak bertentangan dan masih sesuai dengan
kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang ditinggalkan
Nabi Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan,
larangan menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua,
memiliki kepedulian terhadap kerabat, orang miskin, ibnu sabil,
bersikap boros, membunuh anak, berbuat zina, memakan harta
anak yatim, mengurangi timbangan, menjadi saksi palsu, dan
larangan bersikap sombong. Ajaran yang dibawa Nabi Musa ini
terus dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana
terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat 23 sampai dengan ayat
37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman Nabi Musa itu,
masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena masih
dianggap cocok dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan
yang akan datang.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran
islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad. Al-qur’an sebagai
sumber hukum Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua
kehidupan yang ada di alam, perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang
murni, mengenai syari’at dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan
Hadits itu sebagai sumber ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan
kita untuk mempercayai dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul
untu dijadikan sebagai pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat
pertnyataan bahwa berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam
salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup
setelah Al-qur’an sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran
karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan
hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran
islam sangat penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita
melenceng dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang
fatal.

3.2 Saran
Alqur’an, Alhadits adalah sumber hukum Islam begitu juga dengan ijtihad,
Oleh karenanya diharapkan dan diharuskan agar semua umat Islam menjadikan
ketiganya sebagai pedoman hidup dan dasar hukum dalam Islam.

20
DAFTAR PUSTAKA

Afrozi,Agus Salim.2015. Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam. Tangerang: Prodi


Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Pamulang

Ahmad Maulidin dkk.2013. Makalah Sumber-sumber Ajaran Islam. Semarang:


Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Wali Songo

docs.google.com/document/d/15g-
FHTwQi9AVl13Inmn04z12vZYSyoruskn8mxrbh2o/preview?pli=1 [14 Desember
2015]

21

Anda mungkin juga menyukai