Anda di halaman 1dari 7

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi


berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak
dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang


berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto, 2007).

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala


yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi (Arif, 2000).

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi


dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas
muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik.

2.2. Etiologi

Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),


sering terjadi pada:

1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum

2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol

4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

5. Tumor Otak

6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama,


ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik
akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat
peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol,
ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi
dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan
yang buruk.

Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi


neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi
sebagai berikut:

Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12
bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit
neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang
adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali
itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya
bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan
ulang dalam waktu 6 bulan pertama.

Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada
bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan
pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi)
yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang.
Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan
(serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam
dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera
menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak
dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak
atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya
epilepsi.

2.3.Patofisiologi

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus


merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-
juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah
aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps.
Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik
di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan
menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan
listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang
mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak
yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan
hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga
sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx
natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane
sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami


pengaktifan.

2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan


menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).

4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau


elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang


sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan.
Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara
kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.

Penatalaksanaan

Manajemen Epilepsi :

a) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi

b) Melakukan terapi simtomatik


c) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:

- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.

- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat


yang normal.

- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.

Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya


adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan
gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.

Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan.


Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin),
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat
dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.

Cara menanggulangi kejang epilepsi :

1. Selama Kejang

a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu

b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan

c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.

d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk


mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.

e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara


giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien
melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan
sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau
yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan
aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan
anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.

g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka


berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.

2. Setelah Kejang

a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.

b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan
bahwa jalan napas paten.

c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal

d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang

e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan

f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama


kejang dan biarkan penderita beristirahat.

g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba


untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein
yang lembut

h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk


pemberian pengobatan oleh dokter.

Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan


medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah
bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi
penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita
epilepsi.

Anda mungkin juga menyukai