2.1. Definisi
2.2. Etiologi
5. Tumor Otak
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12
bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit
neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang
adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali
itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya
bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan
ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada
bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan
pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi)
yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang.
Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan
(serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam
dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera
menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak
dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak
atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya
epilepsi.
2.3.Patofisiologi
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga
sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx
natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane
sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan.
Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara
kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
1. Selama Kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
2. Setelah Kejang
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan
bahwa jalan napas paten.
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang