Anda di halaman 1dari 17

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Topik : ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)


Sub pokok bahasan : Perawatan ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)
Hari / Tanggal : Kamis 22 November 2018
Waktu : 30 Menit
Tempat : Ruang 27 (UNIT PENYAKIT DALAM) RSSA
Sasaran : Keluarga Pasien yang dirawat di 27 (UNIT PENYAKIT
DALAM) RSSA

A. ANALISA SITUASI
1. Peserta Penyuluhan
a. Pasien dan keluarga pasien
b. Jumlah peserta ± 15 peserta
c. Minat dan perhatian dalam menerima materi penyuluhan cukup baik
d. Interaksi antar penyuluh dan peserta cukup baik
2. Penyuluh
a. Mahasiswa Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Malang, Stikes
b. Mampu mengkomunikasikan materi penyuluhan
3. Tempat
a. Ruang 27 unit Penyakit Dalam
b. Cukup dan sesuai

B. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah diberikan penyuluhan diharapkan peserta penyuluhan dapat mengerti tentang
“ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)”.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan diharapkan :
a. Peserta dapat mengetahui tentang definisi ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases).
b. Peserta dapat mengetahui epidemologi ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases).
c. Peserta dapat mengetahui mekanisme resistensi pada bakteri ESBL (Extended
Spectrum Beta Lactamases).
d. Peserta dapat mengetahui faktor risiko infeksi bakteri ESBL (Extended
Spectrum Beta Lactamases).
e. Peserta dapat mengetahui cara menskoring ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases).
f. Peserta dapat mengetahui manajemen infeksi bakteri ESBL (Extended
Spectrum Beta Lactamases).

C. MATERI PENYULUHAN (Materi terlampir)


1. Definisi ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)
2. Epidemologi ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)
3. Mekanisme Resistensi Pada Bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)
4. Faktor Risiko Infeksi Bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)
5. Cara Menskoring ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)
6. Manajemen Infeksi Bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)

D. KEGIATAN PENYULUHAN

Tahap Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta Metode Waktu


Pembukaan 1. Memberi salam 1. Menjaw Ceramah & 3 menit
2. Memperkenalk ab salam Tanya
an diri 2. Menden jawab
3. Menanyakan garkan
keadaan peserta 3. Menjaw
4. Kontrak waktu ab pertanyaan
5. Menjelaskan 4. Mempe
tujuan pertemuan rhatikan dan
6. Apersepsi dan memberi respon
relevansi 5. Mempe
rhatikan dan
memberi respon
6. Mempe
rhatikan dan
memberi respon
Pelaksanaan Menyampaikan materi 1. Memperhatika Ceramah & 7 menit
penyuluhan, meliputi : n materi Tanya
1. Definisi ESBL penyuluhan jawab
(Extended 2. Memperhatika
Spectrum Beta n materi
Lactamases) penyuluhan
2. Epidemologi ESBL 3. Memperhatika
(Extended n materi
Spectrum Beta penyuluhan dan
Lactamases) memberi respon
3. Mekanisme Resistensi
Pada Bakteri ESBL
(Extended
Spectrum Beta
Lactamases)
4. Faktor Risiko Infeksi
Bakteri ESBL
(Extended
Spectrum Beta
Lactamases)
5. Cara Menskoring ESBL
(Extended
Spectrum Beta
Lactamases)
6. Manajemen Infeksi
Bakteri ESBL
(Extended
Spectrum Beta
Lactamases)
Penutup 1. Meberikan 1. Menjawab Tanya 5 menit
kesempatan pada pertanyaan jawab
peserta untuk pertanya 2. Memperhatika
tentang materi yang n dan memberikan
disampaikan respon
2. Mengevaluasi hasil 3. Memperhatika
penyuluhan yaitu n dan memberi
dengan menanyakan respon
materi yang sudah 4. Menjawab
disampaikan salam
3. Menarik
kesimpulan dari hasil
penyuluhan
4. Memberi salam
penutup

E. METODE
1. Ceramah.
2. Tanya Jawab.

F. SASARAN
Pasien dan Keluarga pasien

G. WAKTU
- Hari/Tanggal : Kamis, 22 November 2018
- Jam : 10.00 WIB - selesai

H. TEMPAT
Di ruang 27 unit penyakit dalam.

I. MEDIA DAN ALAT PENYULUHAN


1. Leaflet

E. EVALUASI / PERTANYAAN
1. Apakah definisi ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
2. Bagaimana epidemologi ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
3. Bagaimana mekanisme resistensi pada bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases)?
4. Apa saja faktor risiko infeksi bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
5. Bagaimana cara menskoring ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
6. Bagaimana Manajemen Infeksi Bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
MATERI
ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)

A. DEFINISI
Bebera&a dekade teraklir, penggunaan intensif sefalos&orin spektrum luas
(sefalosporin generasi ketiga, seperti seftriakson dan sefotaksim) telah mengakibatkan
munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotic, dengan meng!asilkan enzim
extended spektrum β laktaase (ESBL).
ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hamper seluruh
antibiotik β laktam termasuk penisilin, sefalosprorin dan monobaktam.
Enzim β lactamase yang pertama ditemukan dianamakan TEM-1. TEM ditandai dengan
adanya asam amino serine pada bagian aktifnya. Adanya mutase satu asam amino pada TEM-
1 mengakibatkan terbentuk enzim baru disebut TEM-2 namun tidak mengubah kemampuan
hidrolisisnya terhadap antibiotik β laktam. Setiap adanyamutasi akan menghasilkan suatu
enzim baru dengan kemampuan hidrolisis cincin betalaktam yang berbeda.
TEM-1 dan TEM-2 meng!idrolisis peninillin dan sefalosporin spektrum sempit, seperti
sefalotin atau sefazolin. Namun, tidak efektif terhadap sefalosporin generasi yang lebih tinggi
dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim, ceftazidime, seftriakson, atau sefepim.
Akibatnya, sefalosporin generasi ketiga mendapat tempat yang luas dalam menggunaan klinis
pada awal 1980an. TEM-3 dilaporkan pertama kali tahun 1989. TEM-3 inilah bakteri
penghasil enzim β laktamase pertaa yang masuk kedalam golongan bakteri ESBL dari variant
TEM. Sejak saat itu telah terdapat lebih dari 200 mutasi pada TEM. TEM paling banyak
dihasilkan oleh E.coli.
Adanya mutasi serine menjadi glisine pada posisi 238 enzim β laktamase
mengakibatkan terbentuknya enzim yang disebut SHV-1. ESBL ditemukan pertama kali tahun
1983 dan merupakan turunan dari SHV ini. SHV umumnya dijumpai pada Klebsiella spp.
Sama halnya dengan TEM, perubahan satu asam amino mengakibatkan terbentuknya enzim
baru. Sampai saat ini dikenal 140 turunan SHV.
Selain kedua enzim diatas dijumpai juga CTM-X yang lebih dominan resisten terhadap
cefotaxime. Banyak kejadian outbreak ESBL diakibatkan turunan CTM-X. Sampai saat ini
terdaat 130 turunan CTM-X. CTM-X merupakan ESBL yang paling sering dijumpai saat ini.
Antibotik β laktamase inhibitor asam clavulanat kurang efektif terpadat ESBL CTM-X ini.
Adapun enzim β laktamase yang lain dikenal dengan OXA beta laktamase
dapatmenghidrolisis oksasilin dan kurang efektif terhadap asam clavulanate. ESBL AXA
banyak dijumpai pada pseudomonas aeruginosa. Enzim beta lactamase yang lain, seperti
PER,VEB, dan GES telah dilaporkan tetapi sangat jarang dan terutama ditemukan pada
P.aeruginosa dan hanya didapati pada daerah geografis tertentu. Enzim ESBL lainnya, yang
juga cukup jarang, dan ditemukan di Enterobacteriaceae antara lain BES, SFO, dan TLA.
Bakteri yang dapat menghasilkan enzim ESBL umumnya balteri gram negative, seperti
Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca coli, Acinetobacter, Brukhlorderia, Citobacter,
Enterobacter, Margonella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp.
B. EPIDEMIOLOGI INFEKSI BAKTERI ESBL
Sejak ditemukannya bakteri ESBL tahun 1983, bakteri ini telah mengalami banyak
mutasi dan tersebar diberbagai daerah. Infeksi dapat terjadi baik di masyarakat (Community)
maupun di dapat dirumah sakit (hospital). Perbedaan kedua sumber infeksi ini seperti tertera
pada tabel berikut;
Tabel 2.1. Perbedaan onset infeksi ESBL

Dikutip dari : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012
Secara global kejadian prevalensi ESBL bervariasi diberbagai daerah. Dari hasil
Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial (TEST) tahun 2001 menunjukkan angka kejadian
tertinggi ESBL K.pneumoniae di Amerika Latin diikuti Asia, Eropa dan Amerika Utara yaitu
44%, 22,4%, 13,3% dan yang terakhir 7,5%.
Di Amerika berdasarkan National Nasocomial Infectius Surveilance System tahun 2004
diperoleh bahwa ESBL K.pneumonia meningkat 43% tahun 2003 dibandingkan dengan tahun
1998-2002, sedangkan ESBL E.coli tidak mengalami perubahan dan angka kejadian di ICU lebih
tinggi dibandingkan non-ICU. Dari hasil penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test
Information Collection (MYSTIC) tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadia ESBL
E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,4-4,4% sedangakan total kejadian ESBL secara
keseluruhan 5,6%. Di Eropa, banyak Negara di Eropa yang mengalami outbreak ESBL. Isolat
pertama ESBL dijumpai di Jerman, namun Outbreak pertama terjadi di Francis, dimana dari 50
pasien yang terkena ESBL di ICU, menyebarkan ke hampir seluruh ruang rawat lainnya.
Kejadian di Eropa bervariasi mulai dari 3% di Swedia sampai 34% di Portugal. Di Amerika
Selatan merupakan daerah tertinggi infeksi ESBL dengan predominan jenis CTX-M dengan
range kejadian 45-51% untuk ESBL K.pneumonia dan 8,5%-18% ESBL E.coli. Di Asia, Cina
merupakan daerah pertama yang dijumpai ESBL dengan angka kejadian ESBL E.Coli 13-15%.
Hasil penelitian Paterson et al memperoleh kejadian ESBL di Thailand, Taiwan, Philipina dan
Indonesia berkisar 12-24%. Laporan kesehatan Malaysia menyatakan prevalensi ESBL E.coli di
Malaysia dan singapura 5,6% dan Indoneisa 23% sedangkan ESBL K.pneumoniae di Malaysia
dan singapura 38% dan Indoneisa 33,3%.
Hasil penelitian di Medan diperoleh kejadian ESBL E.coli 18,7% dari 282 sampel urin
yang diperiksa. Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik medan dijumpai kejadian
infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian ESBL 16,9% (12% ESBL
K.pneumonia dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi 19,51% (12,24% ESBL K.pneumonia
dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahum 2013. Disamping itu, dari data tahun 2013 diketahui bahwa
67,81% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBK K.pneumonia dan 61,83% isolat
E.coli merupakan ESBL E.coli.
C. MEKANISME RESISTENSI PADA BAKTERI ESBL
Bakteri yang menghasilkan enzim untuk mengatasi kerja dari antibiotik betalaktam
disebut dengan enzim β Lactamase. Enzim β Lactamase dapat merusak cincin β laktam dari
penisilin dengan hidrolisis, dan tanpa cincin β laktam, penisilin menjadi tidak efektif melawan
bakteri (gambar 2.1). Enzim β Lactamase disekresikan ke rongga peri plasma oleh bakteri gram
negatif dan ke cairan ektra seluler pada bakteri gram positif. Variant enzim β Lactamase cukup
banyak, mulai dari TEM, SHV, CTM-X dan lainnya semua bakteri penghasil enzim ini disebut
bakteri ESBL. Sehingga bakteri tetap dapat membentuk dinding sel bahkan ketika diberikan
antibiotik betalaktam.
Enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi terhadap berbagai substrat β-
laktam. Enzim-enzim ini juga sensitif terhadap inhibitor-inibitor betalaktamase, seperti
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Enzim ESBL ini umumnya ditemukan pada bakteri gram
negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli. Tetapi dapat
juga ditemukan pada Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella,
Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp.

Gambar 2.1. Mekanisme resistensi terhadap betalaktam.


Dikutip dari: John Wiley & sons, Inc, Bacterial Drug Resistance, 2004

D. FAKTOR RESIKO INFEKSI BAKTERI ESBL


Banyak peneliti mencoba mencari faktor resiko terhadap kejadian ESBL sehingga dapat
menduga adanya infeksi ESBL pada seseorang. Penelitian oleh Rishi et la, memperoleh faktor
resiko kejadian ESBL yaitu adanya infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan antibiotik
sebelumnya, diabetes mellitus, penggunaan kateter ataupun alat lain di saluran kemih, jenis
kelamin wanita dan usia lebih dari 65 tahun. Ikeda et al mencoba mencari faktor resiko berupa
pemeriksaa labolatorium dasar seperti hemoglobin, leukosit, CRP dan lainnya diperoleh bahwa
albumin dan limfosit yang rendahlah berhubungan dengan kejadian ESBL pada pasien dengan
infeksi. Selain hal diatas ada beberapat faktor resiko lain seperti; usia tua, lamanya rawatan,
lamanya sakit, lama rawatan ICU, adanya tindakan invasif, penggunaan ventilator, penggunaan
kateter urin, penggunaan nagogastric tube, hemodialisis, status nutrisi yang buruk, penggunaan
antibiotik sebelumnya, penggunaan thermometer ataupun gel ultrasonografi yang terkontaminasi
pasien lain ataupun tangan pekerja kesehatan.
Beberapa Faktor- faktor risiko untuk terinfeksi bakteri yang menghasilkan ESBL dapat dilihat
tertera pada tabel berikut;
Tabel 2.2. Faktor resiko infeksi ESBL

E. ITALIAN SCORE
Tumbarello et al memperkenalkan suatu scoring system untuk menilai adanya infeksi
ESBL yang dikenal dengan Italian score. Score ini terdiri dari beberapa faktor resiko yang
menyebabkan terjadinya ESBL. Dengan adanya scoring ini diharapkan dapat memprediksi
kejadian Infeksi ESBL sehingga dapat langsung diberikan penanganan yang tepat yaitu dengan
antibiotik terhadap bakteri ESBL tersebut.
Tabel 2.3 Italian Score

Riwayat dirawat sebelumnya dalam 12 bulan terakhir 3


Pasien rujukan dari fasilitas kesehatan lain 3
Charlson Comorbidity Score ≥ 4 2
Penggunaan kateter urin dalam 30 hari terakhir 2
Usia ≥ 70 tahun 2

Dikutip dari : Tumbarello M et al, Antimicroba Agents Chemother 2011


Jika cutoff score digunakan 4, maka sensitivitas 90% dan NPV 95%, tetapi
menyebabkan spesifisitas yang rendah yaitu 62% dan PPV 44%. Penggunaan antibiotik empirik
untuk ESBL membutuhkan spesifisitas dan PPV yang tinggi. Dan dengan cutoff sama dengan
atau lebih dari 8, memiliki spesifisitas 96% dan PPV 80% dalam memprediksi adanya infeksi
ESBL.
F. MANAJEMEN INFEKSI BAKTERI ESBL
Pilihan antibiotik pada pasien dengan infeksi ESBL menjadi berkurang dengan adanya
kemampuan bakteri tersebut menghidrolisis beberapa antibiotik. Infeksi ESBL umumnya resisten
terhadap antibiotik β-lactam termasuk sefalosforin, aztreonam dan penisilin. Selain itu resistensi
terhadap antibiotik lain juga terjadi seperti trimetroprim-sulfametoxazole, aminogikosida
khususnya gentamisin.
Pilihan antibiotik idealnya adalah berdasarkan hasil kultur, tetapi seperti yang disebutkan
sebelumnya hasil kultur memerlukan waktu dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya.
Pada hasil kultur umumnya diperoleh beberapa jenis antibiotik yang sensitif terhadap bakteri
ESBL dan untuk membantu memilih antibiotik diantara beberapa antibiotik yang sensitif untuk
ESBL seperti tabel berikut;
Tabel 2.4 Rekomendasi pengobatan
Dikutip Dari : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012
Berikut ini dipaparkan kemampuan beberapa golongan antibiotik terhadap infeksi bakteri ESBL;
A. Karbapenem merupakan antibiotik pilihan pada infeksi ESBL, yang termasuk dalam
golongan karbapenem adalah imepenem, meropenem, erapenem, dan doripenem. Pemilihan
antara imipenem dan meropenem sukar dilakukan karena memiliki profil yang hampir sama.
Pada meningitis meropenem merupakan pilihannya. Ertapenem pada beberapa penelitian lebih
baik dari pada meropenem dan imipenem dan penggunaannya hanya sekali sehari. Doripenem
merupakan golongan karbapenem terbaru yang lebih poten dan dapat digunakan untuk infeksi
pseudomas aurigenosa. Penelitian yang membandingkan kombinasi karbapenem dengan antibitik
golongan lain dibandingkan karbapenem tunggal diperoleh hasil yang tidak berbeda. Penelitian
oleh Paterson, penggunaan karbapenem sebagai terapi inisial untuk ESBL selama 5 hari memiliki
angka mortalitas yang lebih rendah.
Dari penelitian oleh Muharrmi et al, diperoleh karbepenem (imipenem dan meropenem)
100% sensitif terhadap ESBL. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian oleh Kulkarni et al,
Aminzadeh et al, imepenem 100% sensitif terhadap ESBL. Chien Lye et al meneliti pada 47
pasien ESBL dengan sumber infeksinya saluran kemih, hepatobilier dan vascular acses yang
diterapi dengan ertapenem, memiliki respon yang baik pada 96% pasien. Penelitian Auer et al,
ertapenem 100% sensitif terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli.

Adapun dosis standart pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem
500 mg 4 kali sehari intravena, ertapenem 1 gr setiap 24 jam intravena. Resistensi terhadap
karbapenem mulai muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New
Delhi Metalo Beta Lactamase (NDM) sehingga penggunaanya haruslah rasional.
B. Β-lactamase inhibitor merupakan antibiotik yang ideal untuk ESBL karena memiliki
kemampuan menghambat enzim β laktamase, namun banyaknya mutasi yang terjadi pada enzim
β laktamase mengakibatkan berkurangnya efektivitas antibiotik β lactamase inhibitor ini. Oleh
karena itu, antibiotik Β-lactam/Β-lactamase inhibitor dapat digunakan untuk ESBL yang tidak
berat. Amoxicillin/Clavuanat efektif untuk infeksi saluran kemih komunitas akibat ESBL.
β Tazobaktam lebih efektif terhadap ESBL CTX-M dibandingkan β Lactam lainnya dan
sulbactam lebih baik terhadap SHV dan TEM, namun pada labolatorium sederhana pemeriksaan
fenotif ini sulit dilakukan. Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan amoxicillin/clavulanat
selama 5-7 hari pada indeksi saluran kemih tanpa komplikasi memiliki angka kesembuhan 84%.
Adapun dosis standart pada dewasa amoxicillin-clavulanat 625 mg/1,2 mg /8 jam baik oral
maupun intravena.
C. Piperasilin-tazobactam memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap ESBL. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh 64,4% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 43,6% terhadap ESBL
K.pneumonia. DiAmerika Serikat dari hasil MYSTIC Study diperoleh 72,5% sensitif ESBL E.coli
dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1%
terhadap ESBL K.pneumonia Kemampuan eradikasinya meningkat dengan
mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Piperasilin-
tazobactam dikombinasikan dengan amikasin 98,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 93,1 %
terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Piperasilin-tazobactam dengan gentamisin
73,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 61,4% terhadap ESBL K.pneumonia. Penelitian
Aminzadeh et al, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL. Adapun dosis standart
pada dewasa 4,5 gr setiap 8jam intravena.
D. Aminoglikosida yang sering digunakan untuk indeksi bakteri ESBL adalah gentamisin
dan amikasin. Gentamisin memiliki kerja bakterisidal yang cepat, namun penggunaan sebagai
monoterapi ESBL dihindari. Gentamisin memiliki kerentanan yang bervariasi. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh 38,3% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 37,6% terhadap ESBL
K.pneumonia. Penelitian Kulkarni et al, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL. Penelitian
Aminzadeh et al, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL. Adapun dosis standart pada dewasa
5 mg/KgBB perhari intravena. Amikasin memiliki kerentanan yang bervasriasi. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh kerentanan 94% terhadap ESBL (95,2% sensitif terhadap ESBL
E.coli dan 90,1% terhadap ESBL K.pneumonia). Penelitian Kulkarni et al, amikasin 70,4%
sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh et al, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL.
Adapun dosis standart pada dewasa 15 mg/KgBB perhari terbagi dalam dua dosis intravena.
E. Kuinolon B
Bakteri ESBL yang sensitif terhadap kuinolon dapat menggunakannya. Namun belakangan
semakin banyak dilaporkan adanya resistensi terhadap kuinolon pada bakteri ESBL dengan
penyebab yang belum sepenuhnya dipahami. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin bakteri
untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel.

Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Dari penelitian Muharrmi et
al, diperoleh hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL (24,9% E.Coli dan 39% K.Pneumonia).
MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8%
terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 20,2% sensitive ESBL E.coli dan 57,5%
ESBL K.pneumonia. Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya
dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Siprofloksasin dikombinasikan
dengan amikasin memiliki 96,7% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 91,1% terhadap ESBL
K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Siprofloksasin dengan gentamisin memiliki 41,2% sensitif
ESBL E.Coli dan 51,5% ESBL K.Pneumonia. Penelitian Kulkarni et al, siprofloksasin 30,2%
sensitif terhadap ESBL.
F. Sefalosporin
Secara umum sepalosporin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan ESBL. Antibiotik
golongan ini yang masi mungkin digunakan adalah cefepime, tetapi data klinis tidak mendukung
hal ini dengan angka kegagalan lebih tinggi dibandingkan dengan karbapenem. Penggunaan
sefalosporin generasi 3 untuk infeksi ESBL memberikan hasil yang buruk walaupun hasil kultur
masih sensitif, sehingga tidak direkomendasikan digunakan sebagai pilihan pertama. Penelitian
Kulkarni et al, cepefime hanya 17,2% sensitif terhadap ESBL.
G. Nitrofurantoin dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang tidak komplikasi.
Penelitian Kulkarni et al, Nitrofurantoin 75% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh et
al, Nitrofurantoin 71,3% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Auer et al, Nitrofurantoin 94%
sensitive terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. Adapun dosis standart pada dewasa 50 mg
setiap 6 jam oral.
H. Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat UDP N
Acetylglucosamine yang merupakan enzim pada proses pembentukan dinding bakteri. Falagas et
al melakukan suatu sistematik review dengan total sampel 4448 infeksi ESBL ditemukan bahwa
fosfomisin sensitive pada 90% kasus. Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan fosfomisin
pada indeksi saluran kemih bagian bawah memiliki angka kesembuhan 94,2%.
I. Tigecycline merupakan turunan dari minocycline, dan ini merupakan obat pertama
golongannya. Penelitian obat ini terhadap ESBL belum banyak, namun pada penelitian
pendahuluannya memberikan hasil yang memuaskan.

Anda mungkin juga menyukai