A. ANALISA SITUASI
1. Peserta Penyuluhan
a. Pasien dan keluarga pasien
b. Jumlah peserta ± 15 peserta
c. Minat dan perhatian dalam menerima materi penyuluhan cukup baik
d. Interaksi antar penyuluh dan peserta cukup baik
2. Penyuluh
a. Mahasiswa Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Malang, Stikes
b. Mampu mengkomunikasikan materi penyuluhan
3. Tempat
a. Ruang 27 unit Penyakit Dalam
b. Cukup dan sesuai
B. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah diberikan penyuluhan diharapkan peserta penyuluhan dapat mengerti tentang
“ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)”.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan diharapkan :
a. Peserta dapat mengetahui tentang definisi ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases).
b. Peserta dapat mengetahui epidemologi ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases).
c. Peserta dapat mengetahui mekanisme resistensi pada bakteri ESBL (Extended
Spectrum Beta Lactamases).
d. Peserta dapat mengetahui faktor risiko infeksi bakteri ESBL (Extended
Spectrum Beta Lactamases).
e. Peserta dapat mengetahui cara menskoring ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases).
f. Peserta dapat mengetahui manajemen infeksi bakteri ESBL (Extended
Spectrum Beta Lactamases).
D. KEGIATAN PENYULUHAN
E. METODE
1. Ceramah.
2. Tanya Jawab.
F. SASARAN
Pasien dan Keluarga pasien
G. WAKTU
- Hari/Tanggal : Kamis, 22 November 2018
- Jam : 10.00 WIB - selesai
H. TEMPAT
Di ruang 27 unit penyakit dalam.
E. EVALUASI / PERTANYAAN
1. Apakah definisi ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
2. Bagaimana epidemologi ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
3. Bagaimana mekanisme resistensi pada bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta
Lactamases)?
4. Apa saja faktor risiko infeksi bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
5. Bagaimana cara menskoring ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
6. Bagaimana Manajemen Infeksi Bakteri ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)?
MATERI
ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases)
A. DEFINISI
Bebera&a dekade teraklir, penggunaan intensif sefalos&orin spektrum luas
(sefalosporin generasi ketiga, seperti seftriakson dan sefotaksim) telah mengakibatkan
munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotic, dengan meng!asilkan enzim
extended spektrum β laktaase (ESBL).
ESBL adalah enzim yang dapat menyebabkan resistensi terhadap hamper seluruh
antibiotik β laktam termasuk penisilin, sefalosprorin dan monobaktam.
Enzim β lactamase yang pertama ditemukan dianamakan TEM-1. TEM ditandai dengan
adanya asam amino serine pada bagian aktifnya. Adanya mutase satu asam amino pada TEM-
1 mengakibatkan terbentuk enzim baru disebut TEM-2 namun tidak mengubah kemampuan
hidrolisisnya terhadap antibiotik β laktam. Setiap adanyamutasi akan menghasilkan suatu
enzim baru dengan kemampuan hidrolisis cincin betalaktam yang berbeda.
TEM-1 dan TEM-2 meng!idrolisis peninillin dan sefalosporin spektrum sempit, seperti
sefalotin atau sefazolin. Namun, tidak efektif terhadap sefalosporin generasi yang lebih tinggi
dengan rantai samping oxyimino, seperti sefotaksim, ceftazidime, seftriakson, atau sefepim.
Akibatnya, sefalosporin generasi ketiga mendapat tempat yang luas dalam menggunaan klinis
pada awal 1980an. TEM-3 dilaporkan pertama kali tahun 1989. TEM-3 inilah bakteri
penghasil enzim β laktamase pertaa yang masuk kedalam golongan bakteri ESBL dari variant
TEM. Sejak saat itu telah terdapat lebih dari 200 mutasi pada TEM. TEM paling banyak
dihasilkan oleh E.coli.
Adanya mutasi serine menjadi glisine pada posisi 238 enzim β laktamase
mengakibatkan terbentuknya enzim yang disebut SHV-1. ESBL ditemukan pertama kali tahun
1983 dan merupakan turunan dari SHV ini. SHV umumnya dijumpai pada Klebsiella spp.
Sama halnya dengan TEM, perubahan satu asam amino mengakibatkan terbentuknya enzim
baru. Sampai saat ini dikenal 140 turunan SHV.
Selain kedua enzim diatas dijumpai juga CTM-X yang lebih dominan resisten terhadap
cefotaxime. Banyak kejadian outbreak ESBL diakibatkan turunan CTM-X. Sampai saat ini
terdaat 130 turunan CTM-X. CTM-X merupakan ESBL yang paling sering dijumpai saat ini.
Antibotik β laktamase inhibitor asam clavulanat kurang efektif terpadat ESBL CTM-X ini.
Adapun enzim β laktamase yang lain dikenal dengan OXA beta laktamase
dapatmenghidrolisis oksasilin dan kurang efektif terhadap asam clavulanate. ESBL AXA
banyak dijumpai pada pseudomonas aeruginosa. Enzim beta lactamase yang lain, seperti
PER,VEB, dan GES telah dilaporkan tetapi sangat jarang dan terutama ditemukan pada
P.aeruginosa dan hanya didapati pada daerah geografis tertentu. Enzim ESBL lainnya, yang
juga cukup jarang, dan ditemukan di Enterobacteriaceae antara lain BES, SFO, dan TLA.
Bakteri yang dapat menghasilkan enzim ESBL umumnya balteri gram negative, seperti
Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca coli, Acinetobacter, Brukhlorderia, Citobacter,
Enterobacter, Margonella, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp.
B. EPIDEMIOLOGI INFEKSI BAKTERI ESBL
Sejak ditemukannya bakteri ESBL tahun 1983, bakteri ini telah mengalami banyak
mutasi dan tersebar diberbagai daerah. Infeksi dapat terjadi baik di masyarakat (Community)
maupun di dapat dirumah sakit (hospital). Perbedaan kedua sumber infeksi ini seperti tertera
pada tabel berikut;
Tabel 2.1. Perbedaan onset infeksi ESBL
Dikutip dari : Rishi et al, Critical Care Research and Practice, 2012
Secara global kejadian prevalensi ESBL bervariasi diberbagai daerah. Dari hasil
Tigecycline Evaluation and Surveillance Trial (TEST) tahun 2001 menunjukkan angka kejadian
tertinggi ESBL K.pneumoniae di Amerika Latin diikuti Asia, Eropa dan Amerika Utara yaitu
44%, 22,4%, 13,3% dan yang terakhir 7,5%.
Di Amerika berdasarkan National Nasocomial Infectius Surveilance System tahun 2004
diperoleh bahwa ESBL K.pneumonia meningkat 43% tahun 2003 dibandingkan dengan tahun
1998-2002, sedangkan ESBL E.coli tidak mengalami perubahan dan angka kejadian di ICU lebih
tinggi dibandingkan non-ICU. Dari hasil penelitian Meropenem Yearly Susceptibility Test
Information Collection (MYSTIC) tahun 2008 melibatkan 12 negara, diperoleh kejadia ESBL
E.coli 1,5% sedangkan ESBL K.pneumonia 2,4-4,4% sedangakan total kejadian ESBL secara
keseluruhan 5,6%. Di Eropa, banyak Negara di Eropa yang mengalami outbreak ESBL. Isolat
pertama ESBL dijumpai di Jerman, namun Outbreak pertama terjadi di Francis, dimana dari 50
pasien yang terkena ESBL di ICU, menyebarkan ke hampir seluruh ruang rawat lainnya.
Kejadian di Eropa bervariasi mulai dari 3% di Swedia sampai 34% di Portugal. Di Amerika
Selatan merupakan daerah tertinggi infeksi ESBL dengan predominan jenis CTX-M dengan
range kejadian 45-51% untuk ESBL K.pneumonia dan 8,5%-18% ESBL E.coli. Di Asia, Cina
merupakan daerah pertama yang dijumpai ESBL dengan angka kejadian ESBL E.Coli 13-15%.
Hasil penelitian Paterson et al memperoleh kejadian ESBL di Thailand, Taiwan, Philipina dan
Indonesia berkisar 12-24%. Laporan kesehatan Malaysia menyatakan prevalensi ESBL E.coli di
Malaysia dan singapura 5,6% dan Indoneisa 23% sedangkan ESBL K.pneumoniae di Malaysia
dan singapura 38% dan Indoneisa 33,3%.
Hasil penelitian di Medan diperoleh kejadian ESBL E.coli 18,7% dari 282 sampel urin
yang diperiksa. Dari data di bagian Mikrobiologi RS H Adam Malik medan dijumpai kejadian
infeksi ESBL yang cukup tinggi. Pada tahun 2012 kejadian ESBL 16,9% (12% ESBL
K.pneumonia dan 4,9% ESBL E.coli) meningkat menjadi 19,51% (12,24% ESBL K.pneumonia
dan 7,17% ESBL E.coli) pada tahum 2013. Disamping itu, dari data tahun 2013 diketahui bahwa
67,81% isolat K.pneumonia yang dijumpai merupakan ESBK K.pneumonia dan 61,83% isolat
E.coli merupakan ESBL E.coli.
C. MEKANISME RESISTENSI PADA BAKTERI ESBL
Bakteri yang menghasilkan enzim untuk mengatasi kerja dari antibiotik betalaktam
disebut dengan enzim β Lactamase. Enzim β Lactamase dapat merusak cincin β laktam dari
penisilin dengan hidrolisis, dan tanpa cincin β laktam, penisilin menjadi tidak efektif melawan
bakteri (gambar 2.1). Enzim β Lactamase disekresikan ke rongga peri plasma oleh bakteri gram
negatif dan ke cairan ektra seluler pada bakteri gram positif. Variant enzim β Lactamase cukup
banyak, mulai dari TEM, SHV, CTM-X dan lainnya semua bakteri penghasil enzim ini disebut
bakteri ESBL. Sehingga bakteri tetap dapat membentuk dinding sel bahkan ketika diberikan
antibiotik betalaktam.
Enzim ESBL mempunyai kemampuan yang bervariasi terhadap berbagai substrat β-
laktam. Enzim-enzim ini juga sensitif terhadap inhibitor-inibitor betalaktamase, seperti
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Enzim ESBL ini umumnya ditemukan pada bakteri gram
negatif, terutama Klebsiella pneumonia, Klebsiella oxytoca, dan Eschericia coli. Tetapi dapat
juga ditemukan pada Acinetobacter, Burkhlorderia, Citobacter, Enterobacter, Morganella,
Proteus, Pseudomonas, Salmonella, dan Seratia spp.
E. ITALIAN SCORE
Tumbarello et al memperkenalkan suatu scoring system untuk menilai adanya infeksi
ESBL yang dikenal dengan Italian score. Score ini terdiri dari beberapa faktor resiko yang
menyebabkan terjadinya ESBL. Dengan adanya scoring ini diharapkan dapat memprediksi
kejadian Infeksi ESBL sehingga dapat langsung diberikan penanganan yang tepat yaitu dengan
antibiotik terhadap bakteri ESBL tersebut.
Tabel 2.3 Italian Score
Adapun dosis standart pada dewasa meropenem 1 gram setiap 8 jam intravena, imipenem
500 mg 4 kali sehari intravena, ertapenem 1 gr setiap 24 jam intravena. Resistensi terhadap
karbapenem mulai muncul dengan nama Klebsiella Producing Carbapenemases (KPC) dan New
Delhi Metalo Beta Lactamase (NDM) sehingga penggunaanya haruslah rasional.
B. Β-lactamase inhibitor merupakan antibiotik yang ideal untuk ESBL karena memiliki
kemampuan menghambat enzim β laktamase, namun banyaknya mutasi yang terjadi pada enzim
β laktamase mengakibatkan berkurangnya efektivitas antibiotik β lactamase inhibitor ini. Oleh
karena itu, antibiotik Β-lactam/Β-lactamase inhibitor dapat digunakan untuk ESBL yang tidak
berat. Amoxicillin/Clavuanat efektif untuk infeksi saluran kemih komunitas akibat ESBL.
β Tazobaktam lebih efektif terhadap ESBL CTX-M dibandingkan β Lactam lainnya dan
sulbactam lebih baik terhadap SHV dan TEM, namun pada labolatorium sederhana pemeriksaan
fenotif ini sulit dilakukan. Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan amoxicillin/clavulanat
selama 5-7 hari pada indeksi saluran kemih tanpa komplikasi memiliki angka kesembuhan 84%.
Adapun dosis standart pada dewasa amoxicillin-clavulanat 625 mg/1,2 mg /8 jam baik oral
maupun intravena.
C. Piperasilin-tazobactam memiliki kerentanan yang bervariasi terhadap ESBL. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh 64,4% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 43,6% terhadap ESBL
K.pneumonia. DiAmerika Serikat dari hasil MYSTIC Study diperoleh 72,5% sensitif ESBL E.coli
dan 38,5% terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 80% ESBL E.coli dan 42,1%
terhadap ESBL K.pneumonia Kemampuan eradikasinya meningkat dengan
mengkombinasikannya dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Piperasilin-
tazobactam dikombinasikan dengan amikasin 98,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 93,1 %
terhadap ESBL K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Piperasilin-tazobactam dengan gentamisin
73,1% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 61,4% terhadap ESBL K.pneumonia. Penelitian
Aminzadeh et al, Piperasilin-tazobactam 100% sensitif terhadap ESBL. Adapun dosis standart
pada dewasa 4,5 gr setiap 8jam intravena.
D. Aminoglikosida yang sering digunakan untuk indeksi bakteri ESBL adalah gentamisin
dan amikasin. Gentamisin memiliki kerja bakterisidal yang cepat, namun penggunaan sebagai
monoterapi ESBL dihindari. Gentamisin memiliki kerentanan yang bervariasi. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh 38,3% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 37,6% terhadap ESBL
K.pneumonia. Penelitian Kulkarni et al, gentamisin 19,4% sensitif terhadap ESBL. Penelitian
Aminzadeh et al, gentamisin 85,2% resisten terhadap ESBL. Adapun dosis standart pada dewasa
5 mg/KgBB perhari intravena. Amikasin memiliki kerentanan yang bervasriasi. Penelitian
Muharrmi et al memperoleh kerentanan 94% terhadap ESBL (95,2% sensitif terhadap ESBL
E.coli dan 90,1% terhadap ESBL K.pneumonia). Penelitian Kulkarni et al, amikasin 70,4%
sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh et al, amikasin 81,1% sensitif terhadap ESBL.
Adapun dosis standart pada dewasa 15 mg/KgBB perhari terbagi dalam dua dosis intravena.
E. Kuinolon B
Bakteri ESBL yang sensitif terhadap kuinolon dapat menggunakannya. Namun belakangan
semakin banyak dilaporkan adanya resistensi terhadap kuinolon pada bakteri ESBL dengan
penyebab yang belum sepenuhnya dipahami. Resistensi ini diduga akibat hilangnya porin bakteri
untuk masuknya kuionolon dan aktifnya efluks kuinolon keluar sel.
Siprofloksasin memiliki kemampuan eradikasi ESBL yang rendah. Dari penelitian Muharrmi et
al, diperoleh hanya 29,6% sensitif terhadap ESBL (24,9% E.Coli dan 39% K.Pneumonia).
MYSTIC Study di Amerika Serikat Siprofloksasin 20% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 36,8%
terhadap ESBL K.pneumonia, sedangkan di Eropa 20,2% sensitive ESBL E.coli dan 57,5%
ESBL K.pneumonia. Kemampuan eradikasinya meningkat dengan mengkombinasikannya
dengan obat lain seperti dengan amikasin atau gentamisin. Siprofloksasin dikombinasikan
dengan amikasin memiliki 96,7% sensitif terhadap ESBL E.coli dan 91,1% terhadap ESBL
K.pneumonia. Sedangkan kombinasi Siprofloksasin dengan gentamisin memiliki 41,2% sensitif
ESBL E.Coli dan 51,5% ESBL K.Pneumonia. Penelitian Kulkarni et al, siprofloksasin 30,2%
sensitif terhadap ESBL.
F. Sefalosporin
Secara umum sepalosporin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan ESBL. Antibiotik
golongan ini yang masi mungkin digunakan adalah cefepime, tetapi data klinis tidak mendukung
hal ini dengan angka kegagalan lebih tinggi dibandingkan dengan karbapenem. Penggunaan
sefalosporin generasi 3 untuk infeksi ESBL memberikan hasil yang buruk walaupun hasil kultur
masih sensitif, sehingga tidak direkomendasikan digunakan sebagai pilihan pertama. Penelitian
Kulkarni et al, cepefime hanya 17,2% sensitif terhadap ESBL.
G. Nitrofurantoin dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih yang tidak komplikasi.
Penelitian Kulkarni et al, Nitrofurantoin 75% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Aminzadeh et
al, Nitrofurantoin 71,3% sensitif terhadap ESBL. Penelitian Auer et al, Nitrofurantoin 94%
sensitive terhadap infeksi saluran kemih ESBL E.coli. Adapun dosis standart pada dewasa 50 mg
setiap 6 jam oral.
H. Fosfomisin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat UDP N
Acetylglucosamine yang merupakan enzim pada proses pembentukan dinding bakteri. Falagas et
al melakukan suatu sistematik review dengan total sampel 4448 infeksi ESBL ditemukan bahwa
fosfomisin sensitive pada 90% kasus. Penelitian Rodriquez-Bano et al, penggunaan fosfomisin
pada indeksi saluran kemih bagian bawah memiliki angka kesembuhan 94,2%.
I. Tigecycline merupakan turunan dari minocycline, dan ini merupakan obat pertama
golongannya. Penelitian obat ini terhadap ESBL belum banyak, namun pada penelitian
pendahuluannya memberikan hasil yang memuaskan.