Anda di halaman 1dari 10

Nama : Waode Alfiani

NPP : 27.0627

Kelas : Manajemen Pemerintahan

Matakuliah : Manajemen Strategik

“Hubungan Pilkada Serentak dengan Manajemen Strategik”

Pilkada merupakan pesta demokrasi rakyat dalam memilih kepala daerah beserta
wakilnya yang berasal dari usulan partai politik tertentu, gabungan partai politik atau
secara independen dan yang telah memenuhi persyaratan.

Pasca reformasi, demokrasi Indonesia mengalami perkembangan yang sangat


pesat. Peningkatan partisipasi publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
disalurkan melalui pengaturan mekanisme yang semakin mencerminkan prinsip
keterbukaan dan persamaan bagi segenap warga Negara. Salah satu bentuknya adalah
pelaksanaan pemilihan kepala daerah ( pilkada ).

Dalam pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota sejak
Indonesia merdeka sebelum tahun 2005 hanya dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) setempat. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada
pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara


Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi
bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat
Pemilukada. Pemilihan umum kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan
undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan
umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini,
istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Dari mekanisme demokrasi yang telah dijalankan, pemilukada mendapat


perhatian luas dan masih mengundang pertanyaan. Ada yang mengusulkan perubahan
UUD 1945 dilakukan lagi, antara lain karena pelaksanaan pemilukada dinilai banyak
menimbulkan efek negatif.

Pada tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPR-
RI) mengangkat isu terkait pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Sidang
Paripurna DPR-RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan
Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD.
Putusan pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI
yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang,
dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang. Namun hal tersebut membuat banyak
kalangan kecewa bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD membuat demokrasi di
Indonesia ini menjadi hilang yang seharusnya pemimpin dipilih oleh rakyat untuk rakyat
menjadi kewenangan DPRD. Pada tanggal 17 Februari 2015 DPR mengesahkan UU No.
1 tahun 2015 tentang pilkada. Disahkannya UU Pilkada, maka rakyat Indonesia tetap
dapat memilih langsung kepala daerah masing-masing.

Pelaksanaan pilkada serentak merupakan bagian dari langkah mewujudkan


agenda demokrasi secara menyeluruh, atau salah satu perwujudan komitmen Negara
demokrasi sebagimana telah digariskan konstistusi. Pilkada serentak ini diharapkan dapat
mencerminkan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan sesungguhnya sebagaimana
yang tercantum dalam UUD tahun 1945.

Pemilihan umum bukan hanya memungkinkan demokrasi menjadi operasional di


akar rumput yakni memungkinkan rakyat memilih sesuai preferensi politiknya,
melainkan juga berjalannya kepemerintahan suatu negara secara legitimatif, meskipun
secara teoritis kontribusi pemilihan umum dalam penegakan demokrasi masih sebatas
dalam wilayah prosedural. Salah satunya syarat terpenuhinya demokrasi prosedural-
minimalis adalah jabatan politik diduduki melalui pemilihan, adanya pemilihan umum
yang jujur dan adil, serta rotasi kekuasaan secara damai melalui kebebasan dan kontestasi
publik yang fair, perlibatan subtansial setiap individu dalam penyelenggaraan kekuasaan
dan adanya jaminan memadai terhadap hak-hak sosial dan ekonomi rakyat.

Dalam sistem politik demokrasi, kehadiran pemilihan umum yang bebas dan adil
(free and fair) adalah suatu keniscayaan. Bahkan negara manapun sering menjadikan
pemilihan umum sebagai klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya. Di
negara-negara berkembang pemilihan umum seringkali tidak dapat dijadikan parameter
yang akurat dalam mengukur demokrasi atau tidaknya suatu sistem politik, karena dalam
praktiknya pemilu tidak dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi.

Sejarah mencatat bahwa keran keterbukaan dalam kemasan demokratisasi dan


kemerdekaan berekspresi, telah mendorong kebergairahan sebagian elemen masyarakat
dalam era ini, diantaranya dengan antusiasnya mendirikan parpol. Salah satu indikasi
yang tidak terbantahkan adalah data yang fantastis secara kuantitatif berupa parpol
sebagai badan hukum yang jumlahnya ratusan, dan kemudian diverifikasi oleh
penyelenggara pemilu menjadi parpol peserta pemilu selama kurun waktu era reformasi
yaitu 48 parpol (pemilu 1999), 24 (pemilu 2004), 38 (pemilu 2009) dan 12 (pemilu
2014).

Fakta ini tentu saja menorehkan catatan positif bagi Indonesia yang masih sedang
berkonsolidasi demokrasi. Namun demikian, hal ini patut pula diacungi pertanyaan
mendasar tentang bagaimana kontribusinya bagi kemaslahatan dan kepentingan bangsa
yang lebih besar. Merupakan suatu keniscayaan bahwa dalam sebuah negara yang
mengklaim diri sebagai demokrasi, keberadaan dan fungsionalisasi perannya akan
menjadi parameter kunci, apakah dirinya hanya sekedar asesoris atribut sistem politik
demokrasi atau benar-benar telah bermakna fungsional bagi kepentingan publik. Sejarah
negeri ini dalam berparpol yang telah lebih dari 70 tahun dengan segala riak dan
dinamikanya tentu bakal menjadi fenomena menarik untuk terus menerus dikaji.
Dalam konteks inilah, relevansi sosok dan kiprahnya bagi demokratisasi dan
pembangunan bangsa ke depan akan bersinggungan dengan kerangka pembangunan
politik yang sedang terus dipersiapkan. Hal inipun sekaligus akan menjadi fokus bahasan
yang selalu menarik, sekurang-kurangnya karena beberapa hal. Pertama, sebagai bangsa
merdeka dengan segudang pengalaman berparpol, tentu sudah seharusnya menjadi
catatan berharga untuk kepentingan penataan kehidupan politik hari ini dan di masa
depan. Apalagi bila diingat bahwa “tradisi” menjadikan parpol sebagai institusi modern
untuk mencapai tujuan dan cita-cita bangsa sebenarnya sudah tersemai sejak awal abad
ke 20, yaitu pada saat bangsa ini masih terjajah. Kedua, mencermati beberapa ketentuan
undang-undang dan praktik ke- negaraan selama ini, dapat dikatakan nyaris telah
mewujud dengan sempurna apa yang dinamakan partitokrasi. Dalam arti, demikian
sangat dominannya peran parpol dalam proses kenegaraan, diantaranya tampak dari
pembentukan hampir sebagian besar kelembagaan negara termasuk lembaga-lembaga
quasi negara (state auxiliary agencies) nyaris semuanya melibatkan kewenangan parpol
melalui kepanjangan tangannya yaitu para legislator yang berada di parlemen.

Perkembangan lingkungan strategis organisasi parpol saat ini tentu saja sangat jauh
berbeda bila dibandingkan dengan kondisi politik di awal reformasi. Dalam konteks ini,
segenap jajaran parpol, khususnya yang berada pada level top management dituntut
merancang dan menetapkan keputusan strategis sehingga sebagai organisasi benar-benar
dirinya dapat mencapai tujuan organisasi secara lebih efektif. Dari perspektif manajemen
strategik, bahkan tujuan akhirnya adalah agar organisasi dapat tampil dengan memiliki
keunggulan kompetitif (competitive advantage). Sebagai contoh, makin diminatinya jalur
perseorangan dalam pencalonan pilkada merupakan satu indikasi bahwa parpol sudah
harus segera berbenah diri dengan sangat serius kalau tidak ingin ditinggalkan
pemilihnya.

Dengan kata lain, saat ini yang menjadi pertanyaan sentralnya adalah strategi apa
yang telah ditetapkan dan harus diimplementasikan parpol sebagai wujud nyata
kontribusinya bagi konsolidasi demokrasi. Secara lebih khusus, apa yang telah dan harus
diperbuatnya bagi kepentingan rakyat banyak melalui fungsionalisasi peran-peran
instrumentalnya dalam konteks kepentingan publik yang luas. Karena itu, tulisan ini
mengelaborasi lebih jauh tantangan, permasalahan dan prospek penerapan manajemen
strategik pada parpol di era demokratisasi.

Pilkada serentak penting dan strategis bagi bangsa Indonesia untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang kompeten, kredibel dan berintegrasi. Paling tidak
terdapat tiga alasan penting mengapa pilkada serentak harus dilaksanakan, yakni
memperkuat efetivitas system pemerintahan, efesiensi pembiayaan penyelenggaraan
pilkada, dan penataan siklus penyelenggaraan pemilu secara nasional.

Banyak organisasi melakukan rapat resmi setiap setengah tahun untuk


mendiskusikan dan memutakhirkan misi perusahaan, peluang/ancaman, kekuatan/
kelemahan, strategi, sasaran, kebijakan dan prestasi. Komunikasi dan umpan balik yang
baik diperlukan dalam seluruh proses manajemen strategis. Untuk memperkecil dampak
ketidakpastian masa depan terkait dengan keputusan yang telah diambil, perlu
diperhatikan dan diperhitungkan berbagai dimensi keputusan stratejik, yaitu dimensi
keterlibatan manajemen puncak (top management), dimensi alokasi dana, sarana dan
prasarana, dimensi waktu keputusan stratejik, dimensi orientasi masa depan, dimensi isu
stratejik yang multifaset, dan dimensi lingkungan eksternal.

Menurut saya inilah yang dibutuhkan dalam pilkada serentak khususnya bagi partai
politik yang mengajukan kader-kadernya atau anggota partainya untuk menjabat dalam
suatu struktur pemerintahan yang dilakukan melalui pemilu, baik pemilu nasional
ataupun pemilu lokal. Bukan hanya modal mengajukan diri menjadi calon dalam pilkada
namun sebuah parpol harus merancang dengan baik apa yang akan dilakukan dalam
menghadapi pilkada.

Setiap parpol melaksanakan dua fungsi utama parpol dalam demokrasi perwakilam.
Pertama, parpol menyiapkan calon pemimpin dan menawarkan calon pemempinnya
kepada rakyat pada masa kampanye pemilu. Untuk fungsi ini, parpol melakukan
rekrutmen warga Negara menjadi anggota partai, melakukan kaderisasi secara terbuka,
partisipatif dan sistematis terhadap anggota, dan menominasikan kader menjadi calon
anggota DPR, DPRD, Presiden , Wakil Presidan, Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah pada pemilu. Rakyat berharap bahwa dari pengkaderisasian ini lahir pemimpin
yang berkarakter dan berintegritas yang nantinya akan diusungkan partai politik tersebut
bukan asal memilih calon berdasarkan adanya kekuasaan yang lebih.

Kemudian hal yang paling penting dalam pengkaderisasian anggota partai politik
yaitu partai politik dapat membangun kedewasaan dalam kompetisi politik dengan sikap
sportif, sikap siap dalam menghadapi kemenangan dan kekalahan dalam penyelenggaraan
pemilu, sehingga akan terciptanya keadaan kondisif pasca pilkada.

Dan fungsi kedua, menyiapkan rancangan kebijakan public dan menawarkannya


kepada rakyat pada masa kampanye pemilu. Untuk fungsi ini, parpol harus
mendengarkan dan merumuskan aspirasi konstituen, dan menjabarkan ideology parpol
menjadi pola dan arah kebijakan public dalam berbagai bidang berdasarkan aspirasi
konstituen. Sebaliknya apabila parpol lebih berorientasi pragmatis baik dalam wujud
“mencari dan mempertahankan kekuasaan” yang terlepas dari fungsi menyiapkan calon
pemimpin dan dalam wujud rente politik, maka pemilu nasional serentak yang terpisah
dari pemilu lokal serentak tidak akan dapat menciptakan sinergi pemerintahan.

Yang paling menentukan manajemen strategi dalam penyelenggaraan pilkada yang


demokratis berada pada pihak partai politik tersebut. Pasalnya partai politik harus
mengutamakan munculnya kader internal dalam proses pilkada. Kemudian partai politik
juga harus meningkatkan kualitas anggota dan perfoma partai melalui peningkatan
wawasan dan keterampilan tata kelola partai, menjaga soliditas partai, dan berupaya
menepati janji-janji sehingga rakyat tetap konsisten dalam memilih partai tersebut.

Seorang calon pemimpin yang diusung dari partai politik tertentu harus memikirkan
strategi apa yang akan digunakan dalam pilkada yang diikuti bukan hanya mengandalkan
kinerja dari partai politik yang diusung dengan hanya memberikan visi dan misi. Karena
menurut saya sekedar itu saja tanpa adanya manajemen strategi yang baik dalam
melaksanakan visi dan misi akan menjadi penghalang dalam penyelenggaraan pemilu.
Karena rakyat dimasa sekarang sudah sangat sadar akan pentingnya hak suara yang akan
dia buat, dia tidak akan memilih seseorang yang tidak memiliki strategi dalam
membantunya menepati visi dan misi. Begitupun sebaliknya.
Saya juga beranggapan bahwa seorang yang ingin mengikuti pilkada harus betul
mempersiapkan dengan seksama bukan hanya mengandalkan nama partai politik yang
mengusung. Ia betul-betul harus menunjukkan kepada rakyat bahwa ia memang memiliki
kompetensi dalam hal memimpin. Namun bukan juga memberikan harapan palsu ataupun
janji-janji partai yang kelak ia akan lupa, karena itu juga akan mempengaruhi citra partai
yang mengusung dan dirinyana sendiri. Sehingga apabila nantinya ia mencalonkan lagi,
rakyat akan berfikir bahwa ia tidak layak untuk kembali dipilih dan meninggalkan partai
atau calon tersebut.

Kemudian strategi yang biasa dan paling sering diambil sebuah partai politik dalam
menghadapi pilkada serentak yaitu dengan membuat koalisi antar partai. Setiap partai
akan berupaya menjajagi dan mencari partai politik menjadi mitra koalisi berdasarkan
kedekatan ideologik dan berdasarkan persamaan atau kedekatan kriteria pasangan calon.
Kemudian apabila sudah terbentuk maka agenda selanjutnya yaitu membuat materi
kampanye pemilu baik nasional (presiden-wapres) ataupun pemilu lokal.

Selanjutnya perlu adanya Evaluasi strategi. Dimana evaluasi strategi merupakan


tahap akhir dalam manajemen strategik. Sangat perlu mengetahui kapan strategi tertentu
tidak berfungsi dengan baik; evaluasi strategi terutama berarti usaha untuk memperoleh
informasi ini. Semua strategi dapat dimodifikasi di masa depan karena faktor-faktor
eksternal dan internal selalu berubah. Evaluasi atau penilaian didefinisikan sebagai upaya
yang dilakukan secara sadar dan sistematik untuk membandingkan hasil yang senyatanya
dicapai dengan hasil yang seharusnya dicapai dikaitkan dengan tujuan, sasaran, dan
rencana dalam hal ini termasuk strategi sebagai produk proses perencanaan setelah suatu
tahap tertentu dalam proses operasional dilalui.

Evaluasi strategi penting karena pemerintah menghadapi lingkungan yang dinamis


dengan faktor-faktor eksternal dan internal berubah dengan cepat dan dramatis. Sukses
saat ini tidak menjamin sukses esok hari. Sebuah partai politik seharusnya tidak boleh
puas terbuai dengan sukses yang ia dapatkan jika anggotanya dapat terpilih dalam pemilu
nasional ataupun pemilu lokal. Banyak partai politi yang menikmati kemakmuran dalam
satu masa jabatan harus berjuang keras untuk dapat bertahan di masa jabatan berikutnya.
Evaluasi strategi meningkatkan kemampuan partai politik ataupun pemerintah untuk
menyesuaikan diri dengan sukses pada keadaan yang berubah atau keadaan dimasa yang
akan datang.

Evaluasi strategi, termasuk di dalamnya pengawasan/pengendalian strategi, dalam


kehidupan keseharian organisasi parpol tampaknya belum juga menjadi bagian dari
aktivitas yang builtin dalam setiap setiap gerak langkah dan riak organisasi. Padahal
terdapat tuntutan publik untuk pembenahan yang integral komprehensif kepada segenap
anggota parpol di tengah fakta yang tak terbantahkan bahwa citranya saat ini di mata
publik tengah mengalami kemerosotan sampai ke titik yang sangat mengkhawatirkan. Ini
tidak terlepas dari makin maraknya aksi-aksi korupsi dengan segala bentuknya yang
dilakukan oleh sebagian anggota/kader parpol, baik yang berada di lembaga eksekutif
maupun legislatif, termasuk yang berada di berbagai daerah.

Kenyataannya, evaluasi yang dilakukan lebih banyak terfokus pada bagian akhir dari
proses ritual politik lima tahunan, seperti pemilu (pileg dan pilpres) dan pilkada yang
hanya berkutat pada deretan angka-angka raihan suara atau kursi/jabatan publik. Jarang
sekali dilakukan terhadap proses pengawasan/ pengendalian yang akurat pada saat
sumber-sumber daya organisasi dimobilisasi, misalnya, ketika pemilu/pilkada
berlangsung. Demikian pula perhelatan rutin parpol sebagai puncak aktivitas organisasi
(kongres, muktamar atau nama lainnya) tidak selalu menjadi momentum strategis untuk
mengoreksi secara total berbagai kesalahan atau kekurangan yang terjadi. Publik justru
acapkali disuguhkan pemandangan rebutan posisi-posisi strategis yang didalamnya
diwarnai berbagai intrik yang justru kontraproduktif bagi lahirnya postur parpol sebagai
organisasi modern. Padahal, aktivitas fact finding yang dilakukan pada tahap ini
merupakan entrypoint sangat penting bagi berjalannya tahap evaluasi strategi secara
tepat, sehingga benar-benar kontributif bagi lahirnya sosok parpol yang berkeunggulan
kompetitif.

Harapan munculnya sosok parpol yang kinerjanya benar-benar diorientasikan hanya


untuk kepentingan publik merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan lagi. Efektivitas
parpol sebagai organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya menjadi agenda besar dan
mendasar dalam penataan parpol sebagai bagian dari pembangunan politik saat ini.
Dengan kata lain, efektivitas organisasi merupakan faktor penting dalam terus
mendorong konsolidasi demokrasi saat ini. Untuk dapat tampil dengan sosok seperti yang
diharapkan tersebut, maka penerapan manajemen strategik merupakan suatu keniscayaan.

Seluruh anggota partai politik ditantang dan dituntut untuk dapat mewujudkan
penerapan manajemen strategik ini dalam setiap gerak langkahnya, melalui
operasionalisasi fungsi-fungsinya instrumentalnya sebagai pengusung aspirasi rakyat,
serta dengan komitmen dan kesungguhan untuk menjadikan parpol tempatnya bernaung
sebagai organisasi modern. Berbagai perangkat regulasi yang sedang berlaku dan yang
akan terbit terkait keberadaannya tak lebih hanyalah pemenuhan dimensi formal yuridis
bagi proses konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung. Faktor penentu yang paling
besar bagi penerapan manajemen strategik adalah innerwill yang ditunjukkan oleh
segenap manajer/ petinggi parpol di semua level organisasi tanpa kecuali. Prospek
konsolidasi demokrasi tampaknya masih mengandung optimisme terutama dengan
melihat kontrol publik yang selalu mengiringi setiap langkah institusi politik, termasuk
parpol. Dengan itu pula prospek penerapan manajemen strategik pada parpol di era
demokratisasi saat ini tampaknya masih mengandung secercah harapan.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran parpol dalam


berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting, karena hal ini
berkaitand engan upaya mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan ini,kemampuan
dirinya sangat dipertaruhkan dalam mengidentifikasi dan menganalisis perkembangan
perubahan lingkungan yang sangat cepat. Keberadaan strategi yang tepat sebagai respon
terhadap hal tersebut dipandang sangat menentukan bagi pelaksanaan fungsi-fungsinya
sebagai pilar demokrasi. Oleh karenanya, penerapan manajemen strategik pada dirinya
akan sangat mendorong lahirnya sosok parpol yang berkeunggulan kompetitif dalam
menghasilkan atau melahirkan calon pemimpin. Dalam kenyataannya, penerapan
manajemen strategik dalam setiap gerak langkah parpol masih dihadapkan kepada
berbagai tantangan dan permasalahan, baik internal maupun eksternal. Kemauan serius
segenap manajer/petinggi parpol pada semua level organisasi parpol tanpa kecuali untuk
berubah sesuai tuntutan publik akan memperkokoh eksistensinya. Dengan demikian, hal
ini akan memberi penguatan pada konsolidasi demokrasi yang saat initengah
berlangsung.
Hal yang direkomendasikan antara lain agar parpol selalu responsif dan adaptif
terhadap setiap gerak perkembangan lingkungan, khususnya tuntutan publik. Revisi
terhadap visi dan misi organisasi yang umumnya tergambar pada tujuan, fungsi atau
program serta aspek organisasi lainnya yang termuat dalam anggaran dasarnya perlu
terus dilakukan sejalan dengan dinamika organisasi. Peningkatan kualitas anggota atau
kader parpol, termasuk yang dipersiapkan menempati jabatan publik merupakan sesuatu
yang mutlak dilakukan. Evaluasi terhadap berbagai langkah organisasi dalam kerangka
manajemen strategik harus terus menerus dilakukan sehingga parpol mendapatkan
keunggulan kompetitif.

Anda mungkin juga menyukai