Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang


tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum-hukum seperti sholat, puasa, jual
beli dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah
arah dalam landasan agama. Untuk mengetahui hukum-hukum syari’at agama,
para ulama telah melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum yang belum ada
dalam Al-Qur’an dan hadist. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal-hal
yang pada zaman Rasul SAW tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimana
hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama yaitu ijma’.
Harus dikemukakan sejak awal bahwa ijma’ itu tidak terlepas dari penyandaran
terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, . Sebagai doktrin dan dalil syari’ah, ijma’
pada dasarnya ijma’ merupakan dalil rasional. Teori ijma’ juga jelas bahwa ia
merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak konsensus mutlak dan universal
sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun konsensus mutlak mengenai materi
ijma’ yang bersifat rasional sering kali sulit terjadi. Adalah wajar dan masuk
akal untuk hanya menerima ijma’ sebagai realitas dan konsep yang falid dalam
pengertian relative, tetapi bukti factual tidak cukup untuk menentukan
universalitas ijma’. Definisi klasik dan syarat esensial ijma’ sebagai mana
ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat jelas bahwa tak kurang dari
konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat dianggap sebagai ijma’ yang
meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun ruang bagi ketidak sepakatan,
atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’. Teori ijma’ juga tidak mau menerima
gagasan relatifitas atau meluasnya ketidaksepakatan dalam dirinya.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian Ijma’ ?
2. Bagaimana syarat-syarat Ijma’ ?
3. Apa saja macam-macam Ijma’ ?
4. Apa saja rukun-rukun Ijma’ ?
5. Bagaimana kehujjahannya Ijma’ ?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pegertian Ijma’
2. Untuk mengetahui syarat-syarat Ijma’
3. Untuk mengetahui macam-macam Ijma’
4. Untuk mengetahui rukun-rukun Ijma’
5. Untuk mengetahui kehujjahannya Ijma

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’

Secara etimologi ijma’ berasal dari kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang
artinya“bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat”dalam hal ini dapat di lihat
dalam Al-Qur’an Surat yusuf ayat 151.

‫ب ۚ َوأ َ ْو َح ْينَا إِلَ ْي ِه َلتُن َِبئَنَّ ُه ْم بِأ َ ْم ِر ِه ْم َٰ َهذَا َو ُه ْم َل‬


ِ ‫ت ْال ُج‬
ِ َ‫فَلَ َّما ذَ َهبُوا بِ ِه َوأَجْ َمعُوا أ َ ْن يَجْ عَلُوهُ فِي َغيَاب‬
َ‫يَ ْشعُ ُرون‬
Artinya : “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke
dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam
sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat
lagi”.
Menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu
masalah sesudah wafat rasulullah terhadap hukum syar’i, pada sesuatu
peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan
kepada semua mujtahid diwaktu terjadinya. Para mujtahid itu sepakat
memutuskan/menentukan hukumnya. Kesepakatan itulah yang dinamakan
ijmak oleh para mujtahid. Ijmak mereka itu adalah suatu I’tibar terhadap suatu
hukum. Menurut mereka hokum ini adalah adil terhadap suatu masalah.
Definisi ini adanya setelah wafatnya nabi saw. Karena selagi rasul masih hidup,
maka dia sendiri yang menjadi sumber tasyri’. Tidak ada pengambaran
perbedaan pendapat dalam syar’i, dan tidak ada kesepakatan. Kesepatan itu bru
ada apabila lebih dari seseorang2.

B. Syarat-Syarat Ijma’
1. Yang bersepakat adalah mujtahid
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid

1
http://syaeful-amru.blogspot.co.id/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.html
2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005)Hlm. 49

3
3. Para mujtahid harus umat Muhammad saw
4. Dilakukan setelah wafatnya nabi
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at3

C. Macam-Macam Ijma’
a. Ijma’ Sharih
Semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing
kemudian menyepakati salah satunya. Hal ini bisa terjadi bila semua
mujtahid berkumpul disuatu tempat, kemudian masing-masing
mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang igin diketahui ketetapan
hukumnya. Kemudian menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang
mereka keluarkan tersebut.
b. Ijma’ Sukuti

Pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para
mujtahid lainnya, tapi mereka diam tidak menyepakati ataupun menolak
pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila memenuhi
beberapa kriteria di bawah ini :

1. Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukkan adanya


kesepakatan atau penolakan.
2. Keadaan diamnya para mujtahid cukup lama, yang bisa dipakai untuk
memikirkan permasalahannya dan biasanya dipandang cukup untuk
mengemukakan pendapatnya.
3. Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah
permasalahan ijtihadi, yang bersumber kan dalil-dalil yang bersifat
zhanni4.

Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat
dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian
ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan

3
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2010)Hlm. 70-71
4
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2010)Hlm. 72

4
penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat
karena dianggap senior.
Hanafiyah menyatakan ijma’ sukuti sah jika digunakan sebagai landasan
hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika
mereka tidak setuju dan memandangnya keliru merka harus tegas
menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, artinya setuju5.

D. Rukun-rukun Ijma’

Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa kesepakatan para mujtahid dari
umat islam pada suatu masa atas hukum Syara ini dapat di ambil kesimpulan
bahwa rukun ijma’ itu ada empat, yaitu:

Pertama: adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu


peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar
kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendaapat sesuai
dengan pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat
sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama
sekali, atau hanya di temukan seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan
terjadi ijma’ pada waktu itu. Oleh karena itulah, maka tidak ada ijma’ pada
masa Rosululloh SAW , karena hanya beliau sendirilah mujtahid waktu itu.

Kedua: adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam


terhadap hukum Syara mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu
terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun
kelompok mereka. Maka kalau seandainya para mujtahid negeri makkah dan
madinah saja ataupun para mujtahid negeri irak saja, atau mujtahid negeri hijaz
saja, atau para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid
golongan Syi’ah sepakat atas hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka
dengan kesempatan khusus ini tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena ijma’
itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesempatan umum dari semua mujtahid
dunia islam pada masa suatu kejadian selain mujtahid tidak masuk penilaian.

5
http://megamakalah.blogspot.co.id/2015/08/2-ushul-fiqh-ijma.html

5
Ketiga: Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan
pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya
yang jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-
masing mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya Ia memberikan fatwa
mengenai peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan
suatu putusan mengenainya; baik masing-masing dari mereka mengemukakan
pendapatnya pendapat mereka, atau mereka menemukakan pendapat, mereka
secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia islam mengadakan suatu
konggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu
dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan,
maka mereka seluruhnya sepakat atau satu hukum mengenainya.

Keempat: bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau suatu hukum itu
terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan
yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid
yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat karena
sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan
kemungkinan benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya.
Oleh karena itu, maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah
Syar’iyah yang pasti dan meningkat6.

E. Kehujjaannya Ijma’

Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah


terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib
diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang
mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah
ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut para ahli ushul fiqh tidak boleh
lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang

6
http://syaeful-amru.blogspot.co.id/2012/05/makalah-ushul-fiqih-tentang-ijma.html

6
ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan menempati
urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah al-Qur’an dan Sunnah.

Alasan Jumhur Ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa ijma’ merupakan
hujjah yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah:

1. Firman Allah swt. Dalam surat al-Nisa’ ayat 59:


‫ش ْيء فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬ َ ‫سو َل َوأُو ِلي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم ِفي‬ َّ ‫ّللاَ َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا‬
‫يل‬ َ ْ‫اّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ َٰذَلِكَ َخيْر َوأَح‬
ً ‫سنُ ت َأ ْ ِو‬ ِ َّ ِ‫سو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ب‬
ُ ‫الر‬ َّ
َّ ‫ّللاِ َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, lafal uli al-amr dalam ayat itu bersifat
umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan
pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan
perangkatnya). Ibn ‘Abbas menafsirkan uli al-amr ini dengan para ulama.
Ayat lain yang dikemukakan Jumhur Ulama adalah surat al-Baqarah,ayat
143, Al-Imran ayat 110, dan al-Syura ayat 10. Imam Ghazali (450-505
H/1058-1111 M), mengemukakan ayat lain yang dijadikan Jumhur sebagai
alasan kehujjahan ijma’, yaitu firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 115,
ْ ُ‫س ِبي ِل ْال ُمؤْ ِمنِينَ نُ َو ِل ِه َما ت ََولَّى َون‬
‫ص ِل ِه َج َه َّن َم‬ َ ‫سو َل ِمن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَه ُ ْال ُهدَى َويَتَّ ِب ْع َغي َْر‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ِ ِ‫َو َمن يُشَاق‬
‫يرا‬ ً ‫ص‬ ِ ‫اءت َم‬ْ ‫س‬ َ ‫َو‬
“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ke dalam
jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Menurut al-Ghazali, ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan
orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam
sebagai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan menentang Allah
dan Rasul-Nya hukumnya haram.

7
2. Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda Rasulullah saw.:
َ ‫ا ُ َّمتِى َل تَجْ ت َِم ُع َعلَى ْال َخ‬
‫ط ِأ‬
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (H.R. al-
Tirmidzi)

Dalam lafaz lain disebutkan:


‫ضلَلَة‬ ُ
َ ‫إِ َّن أ َّمتِي لَ يَجْ ت َِم ُع َع‬
َ ‫لى‬
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan.

Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda:


‫اإلثْ َني ِْن أَ ْبعُد‬
ِ َ‫الوا ِح ِد َوه َُو ِمن‬ َّ ‫َعلَ ْي ُك ْم باِل َج َما َع ِة َوإيَّا ُك ْم َوالفُ ْرقَةَ فَإ ِ َّن ال‬
َ ‫ش ْي‬
َ ‫طانَ َم َع‬
Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai, karena syetan
bersama yang sendiri dan dengan dua orang lebih jauh. (HR At-Tirmidzi)

Lebih lanjut Rasulullah saw. bersabda:


َّ ‫سو َل‬
ِ‫ّللا‬ ُ ‫ يَا َر‬: ‫عنُ ِق ِه ِإل أ َ ْن يَ ْر ِج َع فَقَا َل َر ُجل‬
ُ ‫ْلم ِم ْن‬ ِ َ‫ارقَ ْال َج َما َعةَ قِيدَ ِشبْر فَقَدْ َخلَ َع ِر ْبقَة‬
ِ ‫اإلس‬ َ َ‫من ف‬
ْ
َ ‫صلَّى َو‬
‫صا َمم‬ َ ‫ َو ِإ ْن‬: ‫ام؟ قَا َل‬
َ ‫ص‬َ ‫ص َّلى َو‬ َ ‫َو ِإ ْن‬
Dari al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW bersabda:’Siapa yang
meninggalkan jamaah sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari
lehernya kecuali jika kembali. Seseorang bertanya,’ Wahai Rasulullah,
walaupun dia sudah mengerjakan shalat dan puasa?’. Maka Rasulullah
SAW menjawab:’Walaupun dia shalat dan puasa.’ (HR Ahmad dan at-
Turmudzi)
Seluruh hadits itu menurut Abdul Wahhab Khalaf, menunjukkan bahwa
suatu hukum yang disepakati seluruh mujtahid sebenarnya merupakan
hukum umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid mereka.
Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits-hadits di atas, tidak
mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan
hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid mereka
maka tidak ada alasan untuk menolaknya7.

7
http://habyb-mudzakir-08.blogspot.co.id/2013/09/makalah-ijma-dan-kehujjahannya.html

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ uamat Muhammad


SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hokum syara’. Syarat-
syarat ijma’ ada lima yaitu: Yang bersepakat adalah mujtahid, Yang bersepakat
adalah seluruh mujtahid, Para mujtahid harus umat Muhammad saw, Dilakukan
setelah wafatnya nabi, Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at.
Macam-macam ijma’ ada dua yaitu : ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Rukun-
rukun ijma’ ada empat yaitu: mujtahid jumlahnya lebih dari seseorang, sepakat
atas hukum syar’I tentang suatu peristiwa, ada kesepakatan itu dimulai,
menetapkan kesempatan dari semua mujtahid terhadap semua hukum. Jumhur
ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka
ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak
boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di
samping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’,
menurut para ahli ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama
generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan
hukum syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’
setelah al-Qur’an dan Sunnah.

B. Kritik Dan Saran

Demikian yang dapat kami paparkan, tentunya banyak kesalahan dan


kekeliruan dalam makalah ini. Kami mengharap kritik dan saran dari pembaca
yang bersifat membangun, agar kami bisa memperbaiki makalah ini menjadi
yang lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Amin

Anda mungkin juga menyukai