Gadar 2
Gadar 2
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Cedera Kepala Berat Cedera kepala berat adalah cedera otak karena tekanan
atau benturan keras pada kepala yang menyebabkan hilangnya fungsi neurology atau
menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2006).
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara
penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan
jalan raya ( Brunner& Suddarth, 2002 ).
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang
mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 2006).
1.2 Etiologi
Cedera Kepala Menurut Brunner & Suddart (2003), etiologi dari cedera kepala antara
lain:
1.3 Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan
derajat cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan :
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-
motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh
peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu
cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala.
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit
atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio
cerebral maupun hematoma.
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma
intracranial.
3. Morfologi Cedera
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih
tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
sering terjadi bersamaan.
1) Perdarahan Epidural
2) Perdarahan Subdural
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma.
Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus
dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus
( CAD).
1) Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon
temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media ( Sudiharto
1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas
gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran
progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology timbul
secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi
transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral,
jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah
ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung
2) Perdarahan subdural
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi
juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri
dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi
membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan
neurologist lebih lanjut.
4) Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu,
namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.
Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk
yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan
sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera.
Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible.
Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6
jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat
neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk
beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual,
amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma
pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal
Injuri,DAI) adalah dimana penderita mengalami coma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi.
Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktu, penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi
dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
Tanda dan Gejala Menurut Mansjoer (2007), gejala yang timbul antara lain:
2. Muntah proyektil
3. Pupil edema
6. Anisokor
10. Iritabel
11. Pucat
15. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
1.5 Komplikasi
Menurut Ester (2001), komplikasi yang akan terjadi pada pasien cedera kepala antara
lain:
1. Hemorhagic
2. Infeksi
3. Oedema
4. Herniasi
Menurut Brunner & Suddart (2003), pemeriksaan diagnosatik dari cedera kepala
antara lain: 1. CT-Scan
2. MRI
3. Cerebral Angiography
4. Serial EEG
5. X-Ray
6. BAER
7. PET
8. CSF
9. ABGs
a). CT Scan. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri;
1. Penanganan Pre Hospital Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena
kurang perawatan sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang
tersering adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip
penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan
manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti
leher, tulang punggung, dada, dan pelvis. Umumnya, pada menit-menit pertama
penderita mengalami semacam brain shock selama beberapa detik sampai
beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat,
napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-
kadang pupil medriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita
sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat
seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu
segera bantuan pernapasan
2. Penanganan di Rumah Sakit : Penatalaksanaan cedera kepala berat dilakukan di
unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk
kerusakan primer akibat cedera tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan
otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intra kranial yang
meningkat (Brunner & Suddarth, 2003).
1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya pasien dengan stupor atau
koma harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas.
2. Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan
hemodinamik (hipotensi atau hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan
dengan kateter arteri.
3. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS
(Glasgow Coma Scale) < 8, bila memungkinkan.
4. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (larutan RL) yang diberikan
kepada pasien dengan cedera kepala.
5. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50- 100% lebih tinggi dari normal. Pemberian
makanan enteral melalui pipa nasogastrik harus diberikan sesegera mungkin.
6. Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres.
7. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanik memiliki resiko
ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg
intravena setiap 8 jam.
8. CT Scan lanjutan: umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam
setelah cedera awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial untuk menilai
perdarahan yang progresif.