Anda di halaman 1dari 11

ESSAY

Multiple trauma (Trauma dada)

A. Latar Belakang

Multiple trauma adalah suatu sindrom dari cedera multipel dengan derajat
keparahan yang cukup tinggi (ISS >16) yang disertai dengan reaksi sistemik
aibat trauma yang kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau
kegagalan dari organ yang letaknya jauh (Trentz O L, 2000). Trauma adalah
kejadian yang bersifat holistik dan menyebabkan hilangnya produktivitas
seseorang.

Trauma toraks merupakan penyebab signifikan mortalitas dan morbiditas,


terutama pada populasi usia muda. Kecelakaan lalu lintas (KLL) merupakan
penyebab terbanyak trauma tumpul toraks dengan angka persentase
mencapai hingga 70% pada beberapa studi. Kesulitan dalam pengelolaan
pasien trauma tumpul toraks merupakan tantangan tersendiri dalam dunia
medis. Pasien trauma tumpul toraks sering datang ke Instalasi Gawat Darurat
(IGD) awalnya tanpa kesulitan pernapasan, tetapi dapat berkembang buruk
mendapat komplikasi pernapasan sekitar 48 sampai 72 jam kemudian. Untuk
itu diperlukan sebuah sistem penilaian yang dapat memrediksi komplikasi
pada pasien trauma toraks.

Trauma toraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus kecelakaan. 20-25%
dari kasus trauma yang diterima rumah sakit berkaitan dengan kematian. Di
Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi pada
kelompok umur 15-25 tahun, trauma merupakan penyebab kematian utama.
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul (90%).4 Secara garis besar, trauma toraks
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu trauma tumpul toraks dan trauma tembus
toraks. Trauma tumpul toraks biasanya disebabkan oleh karena kecelakaan
lalu lintas, sedangkan trauma tembus toraks disebabkan oleh karena trauma
tajam (tusukan benda tajam), trauma tembak (akibat tembakan), dan trauma
tumpul tembus dada (Pitojo, Tangkilisan dan Monoarfa, 2016).

Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu cedera
kepala, trauma thorax ( dada) dan fraktur ( patah tulang). Trauma pertama
yaitu trauma kepala, terutama jenis berat, merupakan trauma yang memiliki
prognosis (harapan hidup) yang buruk. Hal ini disebabkan oleh karena kepala
merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang
mengatur seluruh aktivitas manusia, mulai dari kesadaran, bernapas,
bergerak, melihat, mendengar, menciumbau, dan banyak lagi fungsinya. Jika
otak terganggu, maka sebagian atau seluruh fungsi tersebut akan
terganggu. Gangguan utama yang paling sering terlihat adalah
fungsi kesadaran. Itulah sebabnya, trauma kepala sering
diklasifikasikan berdasarkan derajat kesadaran, yaitu trauma kepala ringan,
sedang, dan berat. Makin rendah kesadaran seseorang makin berat derajat
trauma kepala. Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuah
kecelakaan adalah fraktur (patah tulang). Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka, yaitu jika
patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar,
dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan
dunia luar. Secara umum, fraktur terbuka bisa diketahui dengan melihat
adanya tulang yang menusuk kulit dari dalam, biasanya disertai
perdarahan. Adapun fraktur tertutup, bias diketahui dengan melihat
bagian yang dicurigai mengalami pembengkakan, terdapat kelainan bentuk
berupa sudut yang bisa mengarah ke samping, depan, atau belakang. Selain
itu, ditemukan nyeri gerak, nyeri tekan dan perpendekan tulang. Trauma yang
ketiga, yang sering terjadi pada kecelakaan adalah trauma dada atau toraks.
Tercatat, seperempat kematian akibat trauma disebabkan oleh
trauma toraks. Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi
kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat
pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah. Jika terjadi benturan
alias trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan
atau bahkan kerusakan.
Cedera akibat trauma tercatat sebanyak 180.000 kematian dan 9 juta
lainnya mengakibatkan kecacatan terjadi Amerika Serikat setiap tahun. Di
Asia memiliki angka kematian trauma tertinggi di seluruh dunia, berdasarkan
World Health Organization (WHO) angka kematian pada tahun 2008
mencapai 90% dari seluruh kematian di dunia disebabkan oleh trauma toraks.
Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pada beberapa studi, Kesulitan
dalam pengelolaan pasien trauma tumpul toraks merupakan tantangan
tersendiri dalam dunia medis. Pasien trauma tumpul toraks sering datang ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD) awalnya tanpa kesulitan pernapasan, tetapi
dapat berkembang buruk mendapat komplikasi pernapasan sekitar 48 sampai
72 jam kemudian. Untuk itu diperlukan sebuah sistem penilaian yang dapat
memrediksi komplikasi pada pasien trauma toraks (Soesanto, Tangkilisan dan
Lahunduitan, 2017).

Dilihat bahwa betapa besarnya kasus kecelakaan multiple trauma


khususnya trauma thoraks, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah
Multiple Trauma (Trauma Thoraks).

B. Literatur Review

Cedera toraks dapat meluas dari benjolan dan goresan yang relatif kecil
menjadi cedera yang dapat menghancurkan jaringan dan organ di bawahnya
atau terjadi trauma penetrasi. Cedera dapat berupa penetrasi atau tanpa
penetrasi (tumpul). Cedera toraks penetrasi mungkin disebabkan oleh luka
terbuka yang memberi kesempatan bagi udara atmosfir masuk ke permukaan
pleura dan menganggu mekanisme ventilasi normal. Cedera tersebut dapat
menyebabkan kerusakan serius bagi paru-paru, kavum pleura dan struktur
toraks lainnya sehingga 3 membatasi kemampuan jantung untuk memompa
darah atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan oksigen darah.

Trauma thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul. Pada trauma
tajam, terdapat luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih
mencapai jaringan otot ataupun lebih dalam lagi hingga melukai pleura
parietalis atau perikardium parietalis. Dapat juga menembus lebih dalam lagi,
sehingga merusak jaringan paru, menembus dinding jantung atau pembuluh
darah besar di mediastinum. Trauma tajam yang menembus pleura
parietalis akan menyebabkan kolaps paru, akibat masuknya udara
atmosfer luar kedalam rongga paru. Bila pleura viseralis pun
tertembus, kemungkinan trauma tajam terhadap jaringan paru sangat besar,
sehingga selain terjadi penurunan ventilasi akibat hubungan pendek bronkho
udara luar melalui luka tajam, mungkin terjadi pula Hemoptoe massif dengan
akibat – akibatnya.

Trauma tajam yang melukai perikardium parietalis dapat menimbulkan


tamponade jantung dengan tertimbunya darah dalam rongga pericardium,
yang akan mampu meredam aktivitas Diastolik jantung. Eksanguinasi akibat
tembusnya dinding jantung atau pembuluh darah besar di mediasternum,
mampu menimbulkan henti jantung dalam waktu 2 – 5 menit, tergantung
derajat perdarahannya. Satu jenis lain dari trauma tajam, yaitu trauma
tertembus peluru. Fatalitas akibat trauma peluru ini lebih besar dari jenis
trauma dari pleura, berakibat luka tembus keluar yang relatif lebih besar dari
luka tembus masuk. Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tajam
lainnya, karena faktor kerusakan jaringan yang lebih besar akibat rotasi
berkecepatan tinggi tidak cukup besar, hanya akan menimbulkan desakan
terhadap kerangka dada, yang karena kelenturannya akan mengambil bentuk
semula bila desakan hilang. Trauma tumpul demikian, secara tampak
dari luar mungkin tidak memberi gambaran kelainan fisik, namun
mampu menimbulkan kontusi terhadap otot kerangka dada, yang dapat
menyebabkan perdarahan in situ dan pembentukan hematoma inter atau intra
otot, yang kadang kala cukup luas, sehingga berakibat nyeri pada respirasi
dan pasien tampak seperti mengalami dispnea.

Trauma tumpul dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan


patah tulang iga, mungkin hanya satu iga, dapat pula beberapa iga sekaligus,
dapat hanya satu lokasi fraktur pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan
multiple, mungkin hanya melibatkan iga sisi unilateral, mungkin pula berakibat
bilateral. Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung,
kecuali bila terjadi trauma dengan kekuatan cukup besar dari arah depan,
misalnya : akibat dorongan kemudi atau setir mobil yang mendesak dada
akibat penghentian mendadak mobil berkecepatan sangat tinggi yang
menabrak kendaraan atau bangunan didepannya. Desakan setir mobil
tersebut mampu menimbulkan tamponade jantung, akibat perdarahan rongga
pericardium ataupun hematoma dinding jantung yang akan meredam gerakan
sistolik dan diastolik.

Meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur sederhana dan tertutup


dari iga dalam kedudukan baik, namun mampu menimbulkan
hematotoraks atau pneumotoraks, bahkan tidak tertutup kemungkinan
terjadi “Tension Pneumotorax”, karena terjadi keadaan dimana alveoli
terbuka, pleura viseralis dengan luka yang berfungsi “Pentil” dan luka pleura
parietalis yang menutup akibat desakan udara yang makin meningkat di
rongga pleura. Tension pneumotoraks selanjutnya akan mendesak
paru unilateral, sehingga terjadi penurunan ventilasi antara 15 – 20
%. Bila desakan berlanjut, terjadi penggeseran mediastinum kearah
kontralateral dan selanjutnya bahkan akan mendesak paru kontralateral yang
berakibat sangat menurunnya kapasitas ventilasi. Hemotoraks maupun
hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling sering
dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan
trauma toraks didapati adanya darah pada rongga pleura.

Berdasarkan data hasil penelitian, distribusi trauma tumpul toraks non


penetrans didapatkan mayoritas pasien trauma tumpul toraks non penetrans
berusia antara 21-30 tahun sebanyak 10 orang (28,5 %), yang diikuti dengan
pasien yang berusia antara 11-20 tahun sebanyak 9 orang (25,7%), kemudian
50 tahun ke atas sebanyak 7 orang (20%), kemudian antara 41-50 tahun
sebanyak 5 orang (14,2%), kemudian antara 31-40 tahun sebanyak 3 orang
(8,5%), dan antara 0-10 tahun sebanyak 1 orang (2,8%). Hal ini ditunjang
sesuai data kepustakaan yang menyatakan bahwa trauma dada merupakan
penyebab kematian utama pada kelompok usia dibawah 35 tahun. Di
Indonesia trauma menjadi penyebab kematian utama pada kelompok usia 15-
25 tahun.4 Dari data hasil penelitian, distribusi trauma tumpul toraks non
penetrans berdasarkan gender, dari total 35 pasien, pada laki-laki didapatkan
sebanyak 30 orang (85,7%) dan pada perempuan sebanyak 5 orang (14,2%).
Berdasarkan etiologi yang paling sering terjadi, laki-laki memiliki risiko lebih
tinggi mengalami KLL dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan mobilitas
jenis kelamin lakilaki lebih tinggi daripada jenis kelamin perempuan di jalan
raya dalam berkendara. Selain itu jumlah pengguna sepeda motor lebih tinggi
pada jenis kelamin laki-laki daripada perempuan.

Berdasarkan hasil peneltian yang didapatkan jumlah kasus trauma tumpul


toraks non penetrans sebanyak 35 pasien dari total 120 pasien dengan kasus
terbanyak terjadi pada tahun 2014 dan 2016 (37,1%), kelompok usia 21-30
tahun (28,5%), dan jenis kelamin laki-laki (85,7%). Penyebab tersering ialah
kecelakaan lalu lintas (74,2%) sedangkan penanganan yang paling banyak
dilakukan ialah penanganan konservatif (77,1%) (Pitojo dkk, 2016).

Pengelolaan pasien trauma tumpul toraks dengan kontusio paru menjadi


tantangan karena biasanya pada evaluasi awal pasien datang dengan kondisi
klinis yang masih baik dan tanpa hipoksemia tetapi memburuk pada 24-48
jam pasca trauma dan berkembang menjadi ARDS yaitu sekitar 15,5%.9-11
Pada penelitian yang dilakukan, dari kelompok hipoksemia sebanyak 5 pasien
(10%) saat pemeriksaan klinis awal, semuanya berkembang menjadi ARDS,
sedangkan dari kelompok nonhipoksemia sebanyak 45 pasien (90%), 7
pasien (15,55%) di antaranya mengalami ARDS. Populasi non-hipoksemia
(90%) ini yang merupakan risiko tinggi bagi klinisi untuk salah menilai dan
memperkirakan perburukan klinis dari pasien. Hal ini menyokong semakin
pentingnya skor trauma tumpul toraks sebagai alat diagnostik awal yang
handal untuk deteksi dini dalam memrediksi terjadinya ARDS. Dari data
penelitian yang didapatkan, skor TTSS dapat dikaitkan secara bermakna
dengan terjadinya ARDS. Dari 13 pasien dengan skor TTSS tinggi, terdapat
10 pasien yang terbukti ARDS. Sensitivitas dan spesifisitas TTSS dalam
memrediksi ARDS pada trauma tumpul toraks yang tinggi (sensitivitas 100%
dan spesifisitas 92%) pada TTSS sebesar 6, membuktikan bahwa TTSS
dapat dipakai sebagai salah satu alat diagnostik awal yang akurat pada kasus
trauma tumpul toraks. Mommsen et al.12 melakukan penelitian dengan
memakai TTSS untuk mendeteksi adanya komplikasi pernafasan pada pasien
multi trauma, namun dengan akurasi yang tidak terlalu baik, yaitu sensitivitas
63% dan spefisitas 74% pada cut-off point 8. Casas et al.4 menilai pemakaian
TTSS untuk mendeteksi komplikasi pernafasan pada trauma toraks tajam
maupun tumpul. Hasil akurasi yang diperoleh kurang memuaskan, yaitu
sensitivitas 63% dan spesifisitas 94% dengan cut-off point 8. Elbaih et al.6
menggunakan TTSS untuk mendeteksi mortalitas pada trauma tumpul toraks
dan mendapatkan akurasi yang tinggi yaitu sensitivitas 100% dan spesifitas
100% dengan cut-off point 7.

Dari hasil penelitian mendapatkan rentang usia pasien 18-73 tahun


dengan rerata 39,02 tahun. Terdapat 12 pasien (24%) dengan ARDS, 9
pasien (18%) dengan kontusio paru, 20 pasien (40%) dengan fraktur kosta,
25 pasien (50%) dengan hematotoraks, 6 pasien (12%) dengan
pneumotoraks, dan 5 pasien (10%) dengan hipoksemia. TTSS mendapatkan
nilai paling optimal dari sensitivitas (100%) dan spesifitas (92,1%) pada cut-off
point 6 (Soesanto dk, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan dari 85 kasus korban KLL


hanya 23 kasus yang dilakukan visum et repertum, dan terdapat 7 kasus yang
meninggal dengan cedera toraks. Usia korban berkisar 17 sampai dengan
>65 tahun, terbanyak pada usia 17-25 tahun serta jenis kelamin laki-laki
(71,43%). Pola luka yang tersering terjadi ialah luka terbuka dan luka lecet
(masing-masing 28,58%), diikuti oleh luka memar, dan patah tulang (masing-
masing 14,28%). Pola cedera pada toraks sebelah kiri dan kanan tidak
banyak berbeda. Peran korban terutama sebagai pengemudi (42,8%)
(Labora, Kristanto dan Siwu, 2014).

Trauma pada dada berpotensi berbahaya (menimbulkan bahaya maut)


dan penanganannya harus tepat. Pada patah tulang iga menyebabkan
pengembangan dinding dada yang tidak maksimal, menyebabkan robekan
pada lapisan pleura serta organ paru-paru sehingga dapat mengancam
transportasi oksigen ke jaringan, hal ini dapat terjadi dengan dua cara yaitu
melalui mekanisme hipovolemia akibat dari perdarahan hebat dan melalui
kerusakan dari paru-paru itu sendiri. Terjadinya hipoksia ini berbahaya bagi
tubuh, karena dapat menyebabkan juga terjadinya trauma pada otak. Tanda
dari terjadinya hipoksia dapat dilihat dari adanya respirasi paradoxal, dyspnea
dan cyanosis juga dapat terjadi akibat adanya hipoksia yang progresif.2,6
Trauma tumpul pada dada secara signifikan meningkatkan kebutuhan akan
penggunaangan ventilasi (ventilator) dan waktu tinggal ICU, bila dibandingkan
dengan trauma selain pada dada. Telah dibuktikan bahwa memar paru satu
sisi (contusion pulmonum unilateral) mempunyai tingkat mortalitas sebanyak
25%, dan tingkat mortalitasnya meningkat menjadi 38% jika terkena pada
kedua paru, dan apabila disertai dengan pneumothoraks maka tingkat
mortalitasnya mencapai 50%.4 Penatalaksanaan pada kasus ini adalah
dimulai dari ABC (airway, breathing, dan circulation). Pada airway (jalan
napas) dengan pemberian oksigen untuk mencegah hipoksia dan gangguan
pernapasan serta evaluasi jalan napas yang patent, pengembangan dinding
dada yang maksimal, dan pemasangan ventilator jika diperlukan, breathing
(pernapasan) dengan dekompresi yang kemudian dilanjutkan dengan
tindakan torakotomi, dan circulation (sirkulasi) dilakukan melalui perkiraan
volume kehilangan darah, dan penggantian cepat (resusitasi) cairan yang
hilang melalui cairan infus intravena. Tindakan torakotomi ini berfungsi untuk
eksplorasi luka tembus pada dada, apakah ada organ yang terkena serta
repair organ yang terkena.

Trauma pada dada dapat terjadi akibat dari kekerasan tumpul, seperti
jatuh atau kecelakaan lalu lintas, atau akibat dari trauma tembus (penetrasi),
seperti tertusuk atau luka tembak. Trauma tembus pada dada memberikan
kontribusi sekitar 25% dari trauma yang dapat menyebabkan kematian dan
menyumbang 50% kematian global akibat trauma (Putri dan Yudianto, 2017).

C. Pembahasan

Berdasarkan beberapa literatur review diatas, menjelaskan tentang hasil


penelitian serta banyaknya kecelakaan yang mengakibatkan multiple trauma
khususnya Trauma thoraks dalam hal ini menjadi sangat penting karena hal
ini dapat menekan tingginya angka kematian akibat Trauma Thoraks.

Sebagian besar sampel dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki


(90%). Rerata usia sampel ialah 39,02 tahun yang merupakan usia produktif
dimana sebagian besar orang memiliki mobilitas tinggi dengan kendaraan
bermotor. Hal ini sesuai dengan penyebab trauma tumpul toraks kebanyakan
disebabkan oleh KLL. Lakilaki sebagian besar beraktivitas di luar rumah
sehingga kemungkinan untuk mengalami kecelakaan lalu lintas juga lebih
tinggi.

Dari Penelitian yang didapat memiliki upaya yaitu Intervensi bedah


merupakan salah satu faktor bias yang tidak dapat dipungkiri. Tindakan
bedah sendiri dapat merupakan tindakan yang memperbaiki keadaan pasien,
namun dapat juga meningkatkan faktor-faktor proinflamasi yang nantinya
dapat memicu terjadinya ARDS. Diperlukan penilaian lanjutan yang dapat
memasukkan tindakan bedah dalam sistem skoring yang ada (Soesanto dkk,
2017).

Dilihat dari peneltian yang didapatkan upaya yang dilakukan adalah Perlu
disosialisasikan pengetahuan tentang peraturan rambu-rambu lalu lintas,
penggunaan helm standar yang benar, keharusan penggunaan sabuk
pengaman saat mengemudikan kendaraan, serta mengontrol kecepatan saat
mengemudi dan mengendara sepeda motor di jalan raya (Labora dkk, 2017).

D. Kesimpulan

Karena banyaknya kecelakan lalu lintas yang akhirnya menyebabkan


trauma thorak. Trauma pada dada berpotensi berbahaya (menimbulkan
bahaya maut) dan penanganannya harus tepat. Pada patah tulang iga
menyebabkan pengembangan dinding dada yang tidak maksimal,
menyebabkan robekan pada lapisan pleura serta organ paru-paru sehingga
dapat mengancam transportasi oksigen ke jaringan, hal ini dapat terjadi
dengan dua cara yaitu melalui mekanisme hipovolemia akibat dari
perdarahan hebat dan melalui kerusakan dari paru-paru itu sendiri (Putri dan
Yudianto, 2017).

Pada tahun 2000 Pape et al. mengembangkan suatu sistem skoring yaitu
thorax trauma severity score (TTSS) dengan menggabungkan usia pasien,
parameter fisiologik, dan penilaian radiologis toraks. Penelitian ini berujuan
untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas dari TTSS dan kemampuannya
untuk memrediksi kejadian acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada
pasien trauma tumpul totaks. Jadi sudah mulai berkembangnya sistem untk
menilai sensitivitas TTSS. Data kepustakaan yang menyatakan bahwa trauma
dada merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia dibawah 35
tahun. Di Indonesia trauma menjadi penyebab kematian utama pada
kelompok usia 15-25 tahun *data kepustakaan yang menyatakan bahwa
trauma dada merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia
dibawah 35 tahun. Di Indonesia trauma menjadi penyebab kematian utama
pada kelompok usia 15-25 tahun (Pitojo dkk, 2016).

E. Daftar Pustaka
Soesanto, Tangkilisan, Lahunduitan. 2017. Thorax Trauma Severity
Score sebagai Prediktor Acute Respiratory Distress Syndrome pada
Trauma Tumpul Toraks: Manado

Pitojo ,Tangkilisan, Monoarfa. 2016. Pola trauma tumpul toraks non


penetrans, penanganan, dan hasil akhir di Instalasi Rawat Darurat
Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

Labora, Kristanto, Siwu. 2014. Pola Cedera Toraks Pada Kecelakaan Lalu
Lintas Yang Menyebabkan Kematian di Bagian Forensik DAN
Medikolegal RSUP PROF. Dr. R.D. KANDOU: Manado

Putri, Yudianto. 2017. Pekerja Proyek Bangunan Dengan Trauma Tembus


Dada (Studi Kasus)

Anda mungkin juga menyukai