Anda di halaman 1dari 14

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................................. 2

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 2

1.2 Tujuan............................................................................................................................... 3

1.3 Manfaat............................................................................................................................. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 4

2.1 Definisi ............................................................................................................................. 4

2.2 Etiologi ............................................................................................................................. 4

2.3 Patofisiologi ..................................................................................................................... 4

2.4 Manifestasi Klinis ............................................................................................................ 6

2.5 Diagnosis .......................................................................................................................... 8

2.6 Tatalaksana ....................................................................................................................... 9

BAB 3 KESIMPULAN................................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 14

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifi kan

di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan

tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di

sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di negara berkembang, mortalitas tetanus

melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun,

sebagian besar pada neonatus.2,3 Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000

kematian per tahun. Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus

tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian

retrospektif tahun 2003Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan

mortalitas 47%. Data rekam medik Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Cipto

Mangunkusumo, Mencatat 99 kasus dalam 10 tahun terakhir, dengan kematian pada 8

pasien. Khusus pada tahun 2009 tercatat 9 kasus tetanus, dan pada tahun 2010 terdapat 6

kasus, tanpa ada kematian.

Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus global

telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak

berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka

yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan

menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang.

2
1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang Tetanus

mengenai definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan

penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan pemahaman

penulis maupun pembaca mengenai Tetanus beserta penangananannya yang merupakan

kompetensi 4A.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf disebabkan infeksi akut oleh eksotoksin

yaitu tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan

kekakuan umum dan kejangkejang otot rangka.

2.2 Etiologi

Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. bakteri

bersifat obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai

lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat

2.3 Patofisiologi

Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang.

Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk

minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak

ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren,

luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,

persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai

untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin

tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang

bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit

memiliki efek klinis.

4
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan

saraf pusat:

(1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi Tetanospasmin

menghambat neurotransmiter GABA dan glisin, sehingga tidak terjadi hambatan aktivitas

refleks otot. Spasme otot dapat terjadi lokal (disekitar infeksi), sefalik (mengenai otot-

otot cranial), atau umum atau generalisata (mengenai otot-otot kranial maupun anggota

gerak dan batang tubuh). Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang yang

mengakibatkan penutupan rahang (trismus atau lockjaw), serta melibatkan otot otot

ekstremitas dan batang tubuh melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat,

5
(2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas

mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat. Pada mekanisme pertama, toksin

yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf

motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan,

kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang

merupakan zinc dependent endopeptidase memecah vesicle associated membrane protein

II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting

untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu

transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan

glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor

neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refl eks motorik

sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus

dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini

merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya

pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi

toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom

menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan

peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan

membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi

penyakit ini.

2.4 Manifestasi Klinis

Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90% penderita,

gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak munculnya gejala pertama

6
sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset maupun periode

inkubasi secara signifi kan menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam

dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat penyakitnya.

Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus, sampai

kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:

1. Tetanus local

Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot

disekitar atau proksimal luka. Tetanus local dapat berkembang menjadi tetanus umum.

2. Tetanus sefalik

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang

disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa

trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang

terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.

3. Tetanus umum/generalisata

Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan,

kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta

kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan

sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.

4. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala

yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable,

diikuti oleh kekakuan dan spasme.

7
2.5 Diagnosis

Pemeriksaan Fisik

Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat.

a) Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap.

b) Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus

kranial.

c) Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher, kekakuan dada

dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang

umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan

sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.

d) Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi tubuh klasik:

trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat

dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi

pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,

ekstremitas bawa hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi

jari-jari kaki.

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.

Tingkat keparahan tetanus:

8
Kriteria Pattel Joag

a) Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang

b) Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat keparahan

c) Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari

d) Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam

e) Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF (> 400 C), atau aksila 99ºF(37,6 ºC).

Grading

a) Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada

kematian)

b) Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa

inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%)

c) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari

atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)

d) Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%)

e) Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum

(kematian 84%).

2.6 Tatalaksana

Non Farmakologi

a) Manajemen luka

Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C. tetani harus

mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka yang rentan mengalami

tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus dengan kriteria sebagai berikut:

9
Rekomendasi manajemen luka traumatic : Semua luka harus dibersihkan dan jika

perlu dilakukan debridemen. Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan.

TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat

imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih

dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan.

Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIg

b) Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi.

c) Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya-ruangan redup

dan tindakan terhadap penderita.

d) Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150 gr protein.

Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada

trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral.

e) Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.

f) Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis.

diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang dalam keadaan

kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan

10
dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti

pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari

diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang (tetanus

yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis

diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi

mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula

dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.

g) Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya diperlukan skin tes

untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit

dengan infus IV lambat. Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian

antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka.

h) Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain penisilin, 1,2

juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk pasien yang alergi penisilin

dapat diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari.

Pemberian antibiotik di atas dapat mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak

dapat mempengaruhi proses neurologisnya.

i) Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas dapat

dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat diberikan, terutama bila

penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis.

Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading

dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.

j) Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan

pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda.

11
Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml toksoid intramuskular diberikan

24 jam pertama.

k) Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

l) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

Konseling dan Edukasi

Peran keluarga pada pasien dengan risiko terjadinya tetanus adalah memotivasi untuk

dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS.

Rencana Tindak Lanjut

a) Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

Pengulangan dilakukan 8 minggu kemudian dengan dosis yang sama dengan dosis

inisial.

b) Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian.

c) Subsequent booster, diberikan 5 tahun berikutnya.

d) Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat.

12
BAB 3

KESIMPULAN

Tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang karena

akses program imunisasi yang buruk serta fasilitas intensive care unit (ICU) yang tidak selalu

tersedia. Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus: (1) membuang sumber tetanospasmin; (2)

netralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin

yang berikatan dengan jaringan habis dimetabolisme. Sebagian besar kasus membutuhkan 4-6

minggu pengobatan suportif di ICU. Keberhasilan terapi suportif akan menentukan outcome, di

samping faktor beratnya penyakit.

13
DAFTAR PUSTAKA

Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and Physical Agents on the Nervous System. In Darrof

RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis

and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1369-1370. (Aminoff & So,

2012)

Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam Infeksi pada sistem saraf. Perdossi. 2012.

(Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012)

WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian emergencies.

WHO Tech Note. [Internet]. 2010 [cited 2013 Oct 20]. Available at:

http://www.whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.

14

Anda mungkin juga menyukai