Anda di halaman 1dari 30

CASE REPORT

TRAUMATIC BRAIN INJURY


GRADE III DENGAN FRAKTUR OS
FRONTALIS DAN OCCIPITALIS
DEXTRA + EDEMA CEREBRI

Program Internship Dokter Indonesia Juni 2018-2019

Disusun oleh:

dr. Ary Titis Rio Pambudi

Pendamping:
dr.Nina SH
dr. Utami

RSUD BAYU ASIH


Purwakarta

1
Case Report
Traumatic Brain Injury Grade III Dengan Fraktur Os Frontalis dan Occipitalis Dextra
+ Edema Cerebri

Nama : An.DN

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Usia : 5 tahun

Tanggal Masuk : 22 Januari 2019

No RM : 336350

Jam Masuk : 12.07

Anamnesis

Seorang anak dibawa oleh keluarganya dengan keluhan tidak sadarkan diri setelah
terjatuh dari pohon jambu yang tingginya kurang lebih 2 meter sekitar 15 menit sebelum
masuk rumah sakit, os tidak sadar selama 15 menit dengan posisi kepala terlebih dahulu saat
terjatuh. Saat terbangun os merasa sakit kepala bagian depan dan terdapat darah keluar dari
kepala os. Keluarga menyangkal os mengalami muntah-muntah ataupun kejang-kejang.
Riwayat Penyakit Terdahulu:
Os tidak pernah mengalami penyakit serius seperti kejang-kejang.
Riwayat Penyakit Keluarga:
-
Riwayat Kebiasaan Pasien:
-

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran : Somnolent (GCS: 12)

2
Tekanan darah :-

Heart rate : 117x / menit

Respiratory rate : 24x / menit

Temperatur : 36.7˚C

Berat Badan : 17kg

Status Generalis
Kepala : Conjunctiva anemis -/-
Sclera icteric -/-
Tampak hematom diregio frontalis dextra
Leher : KGB :Tidak teraba
JVP : Tidak diperiksa
Kelenjar tiroid : Tidak diperiksa
Trachea : Ditengah
Thorax : Bentuk dan gerak simetris
Pulmo: VBS +/+ Ronki -/- wheezing -/-
Cor : Ukuran tidak membesar, SI SII murni regular.
Abdomen : Cembung, soepel. Bising usus (+)
Hepar/Lien: Ukuran normal.
Nyeri tekan epigastric dan paraumbilical (+)
Extremitas : Akral hangat, CRT <2 detik.

Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 22/1/2019:


Hb : 12.5


Ht : 38,3


Leu : 19,2x103


Eri : 5.14x106

3

Thr : 294x103


MCV : 75


MCH : 24.4


MCHC : 32.7


GDS : 93

Pemeriksaan Ct-Scan

 Tampak fraktur os frontalis dan occipital kanan

 Edema cerebri

Diagnosis

• Traumatic Brain Injury grade III dengan fraktur os Frontalis dan Occipitalis Dextra +
Edema Cerebri

Penatalaksanaan

UGD

- IVFD Asering 12 tpm

- Inj.Cefotaxime 2x600 IV

- Inj.Ranitidin 2x15 mg IV

- PCT infus 17cc IV

- Konsul dr.Murti, dengan advice :

 Terapi lanjutkan

 Pindah Ruang Teratai

4
Follow Up

23/1/2019 30/12/2018

S: Nyeri Kepala dan nyeri S: Bengkak dan nyeri


luka Scrotum

O: O:

Kesadaran : Kesadaran :

GCS 15 GCS 15

TD: - TD: 110/70

N: 90x/m N: 88x/m

R: 28 x/m R: 20 x/m

S: 36,5 S: 36,8

St Generalis: dalam batas St Generalis: scrotum


normal. tampak hiperemis dan
membesar, lain-lain dalam
A: TBI gr III dengan batas normal.
Fraktur Os Frontalis &

5
Occipitalis Dextra + A: CP dengan
Edema Cerebri Epydidimoorchitis

P: P: terapi lanjut

Ceftriaxone 2x600 mg IV
diganti Cefotaxim 2x600
IV

Prognosis

Quo ad Vitam : Ad Bonam

Quo ad Functionam : Ad Bonam

Quo ad Sanationam : Ad Bonam

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala
baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
6
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen.1

2.2 Epidemiologi

-Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan


mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan
(CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera
kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif
antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden
cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.7

Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah
sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi
sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal.

Tindakan operasi pada kasus CKB hanya dilakukan pada sebagian kecil
pasien (<5%) misalnya pada hematoma subdural dan hematoma epidural dengan
fungsi batang otak yang masih baik. 7

Lebih dari 2 juta pasien dengan cedera kepala setiap tahunnya di ruang gawat
darurat AS, dan merupakan 25% dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Hampir 10%
dari seluruh kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh cedera, dan sekitar separuh dari
kematian traumatis melibatkan otak. Di Amerika Serikat, cedera kepala terjadi setiap 7
detik dan kematian setiap 5 menit. Sekitar 200.000 orang tewas atau cacat permanen
setiap tahun sebagai akibatnya.1,2

Cedera kepala terjadi pada segala usia, tetapi puncak adalah pada orang
dewasa muda antara usia 15 dan 24. Cedera kepala adalah penyebab utama kematian di
antara orang di bawah usia 24 tahun. Pria tiga atau empat kali lebih sering dibanding

7
wanita. Penyebab utama dari cedera otak berbeda di berbagai bagian Amerika Serikat; di
semua daerah, kecelakaan kendaraan bermotor yang menonjol, dan di daerah
metropolitan kekerasan pribadi sering terjadi.1

Hubungan sebab-akibat antara mekanisme cedera


dan cedera kepala merupakan hal yang rumit Misalnya, orang tua yang memiliki kejadian
jatuh yang lebih tinggi dibandingkan usia lainnya. Mungkin faktor efek samping obat,
pendengaran dan penglihatan yang kurang, lambatnya respon terhadap suatu kejadian,
keseimbangan dan mobilitas menjadi pengaruh terjadinya cedera.3

Gambar 1.1
Persentase penyebab cedera kepala pertahun di AS 3

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan:


Patologi:
• Komosio serebri
• Kontusio serebri
• Laserasi serebri

8
Lokasi lesi
– Lesi diffus
– Lesi kerusakan vaskuler otak
– Lesi fokal
• Kontusio dan laserasi serebri
• Hematoma intrakranial
– Hematoma ekstradural (hematoma epidural)
– Hematoma subdural
– Hematoma intraparenkhimal
» Hematoma subarakhnoid
» Hematoma intraserebral
» Hematoma intraserebellar

2.4 Patofisiologi

• Fraktur kranii

Patah tulang tengkorak dapat dibagi menjadi jenis linier, depresi, atau
comminuted. Jika kulit kepala ikut robek, itu dianggap sebagai fraktur terbuka atau
majemuk. fraktur tengkorak merupakan penanda penting dari cedera serius, tapi
jarang berpotensi menimbulkan masalah dengan sendirinya, prognosis lebih
tergantung pada sifat dan tingkat keparahan cedera pada otak dari pada beratnya
cedera tengkorak.
Sekitar 80% patah tulang merupakan jenis linear. Paling banyak terjadi di wilayah
temporoparietal, di mana sisi tengkorak menipis. Deteksi patah linier sering
menimbulkan kecurigaan adanya cedera otak serius, tapi CT pada pasien sebagian
besar adalah dinyatakan normal. Patah tulang tengkorak linier pada umumnya tidak
memerlukan intervensi bedah dan dapat dikelola konservatif.
Dalam fraktur depresi dari tengkorak, satu atau lebih fragmen tulang yang tertekan ke
dalam, penekanan bagian utama otak. Dalam fraktur comminuted ada beberapa
fragmen tulang yang hancur yang mungkin atau tidak tertekan ke dalam. Dalam 85%
kasus, fraktur depresi terbuka dapat terinfeksi, atau terjadi kebocoran CSF. Pada
beberapa pasien, patah tulang tengkorak depresi berhubungan dengan robekan,
kompresi, atau trombosis dari vena dural sinus yang mendasarinya.
9
Patah tulang tengkorak basilar mungkin linear, depresi, atau comminuted yang sering
terlewatkan oleh X-ray tengkorak dan paling baik diidentifikasi oleh CT. Mungkin
ada saraf yang terkait dengan luka tengkorak atau vena dural yang dapat
mengakibatkan komplikasi meningitis jika bakteri memasuki ruang subarachnoid.
Tanda-tanda yang mengarahkan kita untuk mencurigai adanya fraktur bagian tulang
temporal termasuk hemotympanum atau timpani perforasi, gangguan pendengaran,
CSF otorrhea, kelemahan saraf wajah perifer, atau ecchymosis dari kulit kepala.
Keadaan kurangnya penciuman, ecchymosis periorbital bilateral, dan rhinorrhea CSF
kemungkinan patah tulang sphenoid, frontal, atau ethmoid.

 Diffuse Axonal Injury

Diffuse Axonal Injury adalah salah satu keadaan patologis umum dan penting
pada Traumatic Brain Injury (TBI). Kepekaan akson terhadap cedera mekanis
tampaknya karena sifat viskoelastik dan tekanan yang tinggi di dalam saluran white
matter. Walaupun dalam keadaan normal akson bersifat lentur tetapi akan menjadi
rapuh bila deformations langsung berhubungan dengan trauma otak. Dengan
demikian, perjalanan akson secara cepat dapat merusak sitoskeleton aksonal yang
dapat mengakibatkan hilangnya elastisitas dan penurunan nilai transportasi
aksoplasma. Selanjutnya pembengkakan akson terjadi dalam discrete bulb formations
atau dalam varicosities yang memanjang yang menyebabkan terjadinya penumpukan
protein. Kalsium yang masuk ke akson yang membengkak menyebabkan keadaan
kerusakan menjadi lebih lanjut akibat aktivasi protease. Pada akhirnya, akson yang
membengkak dapat menjadi putus dan berkontribusi terhadap perubahan
neuropathologic tambahan dalam jaringan otak. Diffuse Axonal Injury sebagian besar
mungkin merupakan manifestasi klinis dari trauma otak.

 Coup and Contracoup Injury

Coup Injury adalah kekerasan yang terjadi secara tiba-tiba yang menyebabkan
otak tertekan secara cepat ke depan dan menghantam sisi tengkorak. Contracoup
injury, terjadi di sisi lain ketika otak tertekan secara cepat ke depan dan menghantam
sisi tengkorak, dan kemudian memantul dari sisi lain tengkorak. Dalam kedua kasus,
otak rusak karena terjadi benturan pada bagian dalam tengkorak.

10
Luka memar pada coup injury akan timbul di lokasi benturan. Sedangkan
pada contracoup terjadi di sisi lain, memar akan tampak pada situs berlawanan dari
lokasi benturan. Sebuah otak yang mengalami benturan yang sangat keras dan tiba-
tiba dapat mengalami coup dan contracoup injury secara bersamaan.

 Komosio serebri

Apabila cedera kepala mengakibatkan gangguan fungsi serebral sementara


berupa penurunan kesadaran (pingsan/koma, manesia retrograd) tanpa adanya lesi
parenkim berdarah pada otak, digolongkan sebagai komosio serebri. Penemuan-
penemuan mutakhir menyebutkan koma kurang dari 20 menit, amnesia retrograde
singkat, cacat otak tidak ada, dan perawatan tumah sakit kurang dari 48 jam termasuk
pada golongan ini. Biasanya tidak memerlukan terapi khusus, asal tidak terdapat
penyulit seperti hematoma, edema serebri traumatic dsb. Penderita sangat perlu
istirahat mutlak, tenaga keseimbangan kardiovaskuler, respirasi, cairan elektrolit dan
kalori, serta terhindar dari infeksi paru-paru atau kandung kemih. Mobilisasi hampir
tidak menjadi persoalan.4

11
• Kontusio serebri

Apabila terjadi lesi parenkim berdarah, yang ditandai oleh kesadaran menurun
yang lebih lama. Defisit neurologis seperti hemiparese kelumpuhan saraf otak, refleks
abnormal, konvulsi,dan delirium.

Kontusio cerebri merupakan memar di jaringan otak akibat trauma. Seperti


memar pada jaringan lain, memar cerebral dapat dikaitkan dengan beberapa
microhemorrhages, terjadi akibat kebocoran PD kecil ke jaringan otak. Memar terjadi
pada 20-30% kasus dari cedera kepala berat. Cedera ini mirip dengan laserasi otak,
menurut definisi, dimana membran pia arachnoid yang robek di atas lokasi cedera
pada laserasi dan tidak memar. Cedera ini dapat menyebabkan penurunan fungsi
mental dalam jangka panjang dan dalam keadaan darurat dapat menyebabkan herniasi
otak , sebuah kondisi yang mengancam kehidupan dimana ada bagian dari otak yang
menekan ke bagian dari tulang kepala. Oleh karena itu pengobatan bertujuan untuk
mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang berbahaya.

Tanda dan Gejala

Gejala-gejala dari memar otak (memar pada otak) tergantung pada beratnya
cedera, mulai dari ringan sampai berat. Individu mungkin mengalami sakit kepala,
kebingungan, mengantuk, pusing, kehilangan kesadaran, mual dan muntah, kejang,
dan kesulitan dengan koordinasi dan gerakan. Mereka juga mungkin mengalami
kesulitan dengan memori, visi, ucapan, pendengaran, mengelola emosi, dan proses
berpikir. Tanda memar yang tergantung pada lokasi di otak. Kontusio cerebral sangat
sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian
otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam
waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan
intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut

Penyebab
12
Memar terjadi terutama di jaringan korteks, terutama di bawah lokasi dampak
atau di daerah-daerah otak yang terletak di bagian dalam tengkorak. Otak mungkin
Dipipis ketika bertabrakan dengan tonjolan tulang pada permukaan dalam tengkorak.
Tonjolan terletak di bagian dalam tengkorak di bawah frontal dan lobus temporal dan
pada atap orbit mata. Dengan demikian, ujung-ujung lobus frontal dan temporal
terletak di dekat pegunungan tulang di tengkorak adalah daerah dimana sering terjadi
luka memar dan yang paling parah. Untuk alasan ini, perhatian, emosi dan masalah
memori yang terkait dengan kerusakan frontal dan lobus temporal, jauh lebih umum
pada trauma kepala daripada sindrom terkait dengan kerusakan ke area lain dari otak.

Pengobatan

Sejak pembengkakan otak bahaya kepada pasien, pengobatan memar otak


bertujuan untuk mencegah pembengkakan. Tindakan untuk menghindari
pembengkakan mencakup pencegahan hipotensi (tekanan darah rendah), hiponatremia
dan hypercapnia (peningkatan karbon dioksida dalam darah). Karena bahaya tekanan
intrakranial meningkat, operasi mungkin diperlukan untuk mengurangi itu. Orang
dengan memar otak mungkin memerlukan perawatan intensif dan monitoring yang
ketat.

• Laserasi serebri

Bila terjadi robekan parenkim otak maka digolongkan kedalam laserasi


serebri.

1. Lokasi lesi

– Lesi diffus

– Lesi kerusakan vaskuler otak

– Lesi fokal

• Kontusio dan laserasi serebri

• Hematoma intrakranial

13
– Hematoma ekstradural (hematoma epidural)

Perdarahan ke dalam ruang epidural umumnya disebabkan oleh robeknya


dinding salah satu arteri meningeal, biasanya arteri meningeal tengah, tapi pada
15% dari pasien pendarahan berasal dari salah satu sinus dural. Tujuh puluh
lima persen berhubungan dengan fraktur tengkorak. dura dipisahkan dari tulang
tengkorak oleh extravasated darah, dan ukurannya meningkat sampai pembuluh
darah terkompresi atau tertutup oleh hematoma.2,3,5
Dalam kebanyakan kasus, hematoma bersifat ipsilateral.
epidural hematoma terutama pada orang muda; itu jarang terlihat pada orang
tua karena dura menjadi semakin melekat pada tengkorak dengan usia lanjut.

Tanda dan diagnostic klinik1:

- Lucid interval (+)

- Kesadaran makin menurun

- Late hemiparese kontralateral lesi

- Pupil anisokor

- Babinski (+) kontralateral lesi

- Fraktur didaerah temporal

Gejala dan tanda hematom epidural di fossa posterior:

- Lucid interval tidak jelas

- Fraktur kranii oksipital

- Kehilangan kesadaran cepat

- Gangguan serebellum, batang otak dan pernapasan

- Pupil isokor

14
– Hematoma subdural

Hematoma subdural biasanya dari vena, darah mengisi ruang antara membran
dural dan arakhnoid. Dalam kebanyakan kasus, pendarahan disebabkan oleh
pergerakan otak di dalam tengkorak yang dapat mengakibatkan peregangan dan
merobek pembuluh darah yang mengalir dari permukaan otak ke sinus dural.
Jarang terjadi sumber hematoma dari arteri kecil.
Kebanyakan hematoma subdural terletak di atas convexities otak lateral, tetapi
darah subdural juga dapat terkumpul di permukaan hemisfer, antara tentorium
dan lobus oksipital, antara lobus temporal dan pangkal tengkorak, atau di fosa
posterior. CT biasanya menunjukkan kepadatan tinggi, dan seperti gambaran
bulan sabit.1,2,3,6

Pasien usia lanjut atau pengguna alkohol dengan atrofi otak sangat rentan
terhadap perdarahan subdural; pada pasien ini, hematoma besar mungkin
terjadi karena trauma ringan atau bahkan cedera yang bejalan perlahan.
hematoma subdural akut, menurut definisi adalah gejala yang timbul dalam 72
jam setelah cedera, namun kebanyakan pasien memiliki gejala neurologis dari
saat trauma. Setengah dari semua pasien dengan hematoma subdural akut
kehilangan kesadaran pada saat cedera; 25% berada dalam keadaan koma
ketika mereka tiba di rumah sakit, dan setengahnya sadar, kehilangan
kesadaran untuk kedua kalinya atau lucid interval terjadi dalam beberapa menit
hingga beberapa jam. Hemiparesis dan kelainan pupil adalah tanda-tanda
neurologis fokal yang paling umum, terjadi dalam satu setengah sampai dua
pertiga pasien. Gambaran umum berupa pelebaran pupil ipsilateral dan
kontralateral hemiparesis. Namun, salah tanda umum dengan hematoma
subdural akut karena herniasi uncal dapat menyebabkan kompresi batang otak
kontralateral atau saraf kranial ketiga.

Hematoma subdural kronis menunjukkan gejala setelah 21 hari atau lebih.


Lebih cenderung terjadi pada pasien setelah usia 50 tahun. Dalam 25% sampai
50% kasus merupakan cedera kepala yang tidak disadari. Hampir setengah dari
pasien memiliki sejarah kecanduan alkohol atau epilepsi dan trauma yang
mungkin telah dilupakan. Faktor risiko lain untuk hematoma subdural kronis
termasuk overdrainage dari shunts ventriculoperitoneal dan gangguan
15
perdarahan, termasuk kondisi yang relevan dengan obat antikoagulan.
Dalam kebanyakan kasus hematoma subdural kronis, perdarahan dari trauma
ringan dengan kompresi otak sedikit atau tidak ada, karena bersama dengan
atrofi otak. Setelah 1 minggu, fibroblast pada permukaan bagian dalam dura
membentuk membran luar yang tebal; setelah 2 minggu membran tipis dalam
berkembang, menghasilkan bekuan enkapsulasi, yang mulai mencair.
Pembesaran hematoma kemudian dapat terjadi dari pendarahan yang berulang
(misalnya, hematoma subdural akut-on-kronis) atau karena efek osmotik yang
berkaitan dengan kandungan protein tinggi. CT biasanya menunjukkan massa
isodense atau hypodense, berbentuk bulan sabit di permukaan otak, dan
membran dapat meningkatkan dengan kontras intravena. Hematoma subdural
kronis akhirnya yang mencair membentuk hygromas, dan dalam beberapa
kasus mungkin berupa kalsifikasi.

Hematoma subdural akut dan kronis dengan efek massa yang signifikan harus
dievakuasi. Indikasi utama operasi adalah adanya efek massa gejala berupa
defisit neurologis fokal, atau kejang.

Pembedahan untuk evakuasi hematom tebal yang merupakan hematoma


subdural akut biasanya memerlukan craniotomy besar. Hasil setelah bedah
evakuasi tergantung pada tingkat keparahan awal, dan interval dari cedera ke
operasi. Liquefied hematoma subdural kronis sering dapat dievakuasi dengan
drainase. Reoperasi untuk hematoma subdural akut dan kronis yang dibutuhkan
dalam sekitar 15% dari kasus.2,3,4

Gambaran klinis berupa:

- Akut : interval lucid 0-5 hari

- Subakut : interval lucid 5 hari – beberapa minggu

- Kronik : interval lucid > 3 bulan

16
- Hematoma intraparenkhimal

» Perdarahan subarakhnoid

Dalam kebanyakan kasus, darah subarachnoid hanya terdeteksi oleh


pemeriksaan CSF, dan pemeriksaan klinis kecil. Dengan cedera yang lebih
serius, ketika vena besar yang melintasi subarahnoid robek, fokal atau
perdarahan subarachnoid luas dapat dideteksi oleh CT. Meskipun adanya
sejumlah besar darah di subarachnoid merupakan pertanda prognosis yang
buruk, komplikasi perdarahan subarachnoid aneurysmal, seperti hidrosefalus
dan iskemia dari vasospasm, tidak biasa terjadi setelah perdarahan
subarakhnoid traumatik.

Gejala dan tanda klinis berupa kaku kuduk, nyeri kepala, dapat terjadi
gangguan kesadaran.

» Hematoma intraserebral

17
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri
intraserebral mono atau multiple. Biasanya berhubungan dengan diffuse axonal
injury dengan gejala dan tanda klinis:
- Koma lama pasca traumatic
- Disfungsi saraf otonom
- Demam tinggi

2.5 Diagnosis

- Anamnesis

Keadaan kecelakaan dan kondisi klinis pasien sebelum masuk ke ruang darurat
harus dipastikan dari pasien (jika mungkin), dan saksi mata. Kekuatan dan lokasi
cedera kepala harus ditentukan setepat mungkin. Pertanyaan khusus juga harus dibuat
mengenai gegar otak; karena pasien amnestic selama gegar otak, hanya seorang saksi
mata secara akurat dapat mengukur durasi kehilangan kesadaran. Anamnesis
mencakup; trauma kapitis dengan /atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid, perdarahan/otorrhea/ rinorrhea serta amnesia traumatika.1,2

- Pemeriksaan Fisik  pemeriksaan klinis neurologis

Pemeriksaan fisik secara umum dari kepala hingga kaki. Dapat ditemukan
adanya kelainan sesuai dengan dampak cedera pada otak. Tengkorak harus teraba
untuk fraktur, hematoma, dan luka. Pasien harus secara menyeluruh diperiksa tanda-

18
tanda eksternal trauma leher, dada, punggung, perut, dan anggota badan. perdarahan
dari hidung atau telinga mungkin menunjukkan kebocoran CSF; CSF berdarah dapat
dibedakan dari darah melalui uji halo positif (yaitu, sebuah lingkaran CSF di bentuk
darah ketika jatuh di atas selembar kain putih). Jika tidak ada campuran darah, CSF
dapat dibedakan dari sekresi hidung karena konsentrasi glukosa CSF adalah 30 mg /
dL atau lebih, sedangkan sekresi lakrimal dan lendir hidung biasanya mengandung
kurang dari 5 mg / dL glukosa.

Setelah menentukan tingkat kesadaran. Perhatian khusus harus diberikan pada


kemampuan fokus, konsentrasi (misalnya, menghitung mundur dari 20 ke 1, atau
membaca secara terbalik), orientasi, dan memori. Gerakan mata, ukuran pupil dan
bentuk, dan reaksi terhadap cahaya harus dicatat. Pupil lamban reaktif atau melebar
menunjukkan herniasi transtentorial dengan kompresi saraf kranial ketiga.
Midposition pupil, kurang reaktif, tidak teratur dapat terjadi karena cedera pada inti
oculomotor di tegmentum otak tengah. Nystagmus sering terjadi gegar otak. Pada
pasien koma, refleks oculocephalic dan oculovestibular harus diuji.
Pemeriksaan motorik harus berfokus pada identifikasi kelemahan, asimetris atau
sikap. Gerakan spontan harus dinilai untuk menilai penggunaan khusus dari anggota
badan pada satu sisi. Jika pasien tidak sepenuhnya kooperatif, kelemahan dapat
dideteksi oleh penilaian dari asimetri dari tonus atau refleks tendon, atau dengan
adanya suatu pergeseran lengan, respon lokalisasi khusus dengan menggosok sternum,
atau ekstensor plantar refleks.

19
Jika kerusakan terjadi jika terjadi di lobus frontal maka akan mengalami
penurunan fungsi intelektual, personality, dan kelemahan otot. Pada lobus temporal
akan mengalami gangguan bicara, pendengaran dan memory. Jika di lobus parietal
mengalami gangguan maka pasien akan mengalami gangguan sensibilitas. Jika
kerusakan pada lobus occipital pasien akan mengeluh adanya gangguan penglihatan
dan Pada brain stem merupakan tempat untuk mengatur laju nadi, pernafasan dan
tekanan darah.

20
Dekortikasi menunjukkan cedera pada jalur corticospinal di tingkat
diencephalon atau otak tengah atas. Sikap decerebrasi berarti cedera pada jalur motor
di tingkat yang lebih rendah dari otak tengah, pons, atau medula.

- Pemeriksaan Penunjang trauma kepala secara umum

- Laboratorium

Pemerksaan laboratorium yang dilakukan pada saat pasien pertama kali masuk ke
RS serta saat pemantauan seperti pemeriksaan dara; Hb, leukosit, trombosit untuk
mengetahui factor pemberat yang menyertai perdrahan. Ureum, kreatinin untuk
mengetahui fungsi hati akibat perdarahan ataupun untuk interfensi obat-obatan
yang akan dieksresikan melalui ginjal. Gula darah sewaktu juga diperlukan untuk
mengetahui factor yang dapat memperberat dampak cedera atau adanya penykit
komorbid. Analisa Gas Darah dan elektrolit juga sebaiknya diperiksa untuk
menilai adanya asidosis atau alkalosis yang dapat terjadi akibat dampak dari
cedera, hipoventilasi misalny

- Radiologi

Foto polos kepala

Foto polos kepala dengan berbagai posisi seperti AP, lateral berguna untuk
melihat adanya fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan lunak di dalam
kepala.1,2

21
CT Scan dan MRI

CT adalah pencitraan darurat metode pilihan untuk cedera kepala. CT lebih


informatif daripada rontgen tengkorak standar dan memberikan sensitivitas untuk
mendeteksi darah intrakranial. Secara umum, semua pasien dengan cedera kepala
harus memiliki CT, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan sebagai risiko rendah
(misalnya, tanpa gegar otak, tanpa kelainan neurologis pada pemeriksaan, dan tanpa
bukti atau kecurigaan dari patah tengkorak, alkohol atau keracunan obat, atau
moderat-risiko kriteria lain). Kemungkinan mendeteksi intra serebral hemoragik oleh
CT pada pasien ini hanya 1 dalam 10.000. MRI lebih baik untuk mendeteksi cedera
halus otak, terutama untuk lesi fokal, tetapi pada umumnya tidak digunakan untuk
evaluasi darurat kecuali dengan cepat dan mudah tersedia.
gambar CT harus dinilai untuk bukti adanya hematoma epidural atau subdural,
subarachnoid atau intraventricular, memar parenkim dan perdarahan, edema otak, dan
memar berhubungan dengan diffuse axonal injury.1,2,3,4

Gambar 2.1. CT Scan Epidural Hematom Gambar 2.1. CT Scan Epidural Hematom

22
Gambar 2.1. CT Scan Arahnoid Hematom

2.6 Klasifikasi sesuai Glasgow Coma Scale (GCS)

Cedera Kepala Ringan:1,5

• GCS 13-15
• Pingsan < 10 menit
• Defisit neurologis (-)  hanya gangguan fungsional
• CT scan Normal

Cedera Kepala Sedang

• GCS 9-12
• Pingsan > 10 menit s/d < 6 jam
• Defisit neurologis (+)
• CT scan abnormal

Cedera Kepala Berat


• BCS 3-8
• Pingsan > 6 jam
• Defisit neurologis (+)
• CT scan abnormal
Glasgow Koma Scale

23
Mata: Motorik:

Nilai
6 Menurut perintah
5 Depat melokalisir nyeri Verbal:
4 Fleksi terhadap nyeri
3 Fleksi abnormal
Nilai
(dekortikasi) 5 Orientasi baik
2 Ekstensi (deserebrasi) 4 Disorientasi tidak baik
1 Tidak ada respon 3 Kata-kata tidak tepat,
hanya menangis
2 Mengerang
1 Tidak ada respon

2.7 Penatalaksanaan

Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang,

berat) berdasarkan urutan:

1. Survey Primer

a. Airway (jalan napas)

Bebaskan jalan napas dengan memeriksa mulut, bila terdapat secret atau benda

asing segera dikeluarkan dengan suction atau swab. Bila perlu dapat

digunakan intubasi untuk menjaga patenisasi jalan napas. Waspadai bila ada

fraktur servikal.

b. Breathing (Pernapasan)

24
Pastikan pernapasan adekuat, perhatikan frekwensi, pola napas dan

pernapasan dada atau perut dan kesetaraan pengembangan dada kanan dan

kiri. Bila ada gangguan pernapasan segera cari penyebab, gangguan terjadi

pada sentral atau perifer. Bila perlu, berika oksigen sesuai kebutuhan.

Pertahankan saturasi oksigen O2 > 92%

c. Circulation

Jika pasien menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik,

jalur IV harus segera terpasang. Karena autoregulasi aliran darah serebral

sering terganggu pada cedera kepala akut, harus terus dipantau untuk

menghindari hipotensi yang dapat menyebabkan iskemik otakatau hipertensi

yang dapat memperburuk edema serebral. Pertahankan TD sistolik > 90

mmHg, hindari pemakaian cairan hipotonis. Vasopresor kerja pendek

(misalnya, phenylephrine dan norepinephrine) dan agen antihipertensi

(misalnya, labetalol dan nicardipine) adalah lebih baik karena kemampuan

mereka untuk menstabilkan tekanan darah dalam kisaran terapeutik yang

sempit. Nitroprusside natrium harus dihindari karena dapat melebarkan

pembuluh cerebral dan meningkatkan ICP.1.2.

d. Disability (mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dan neurologis)

Observasi:

- Tanda vital: tekanan darah, nadi. Suhu, dan pernapasan

- GCS

- Pupil: ukuran, bentuk dan reflex cahaya

- Pemeriksaan neurologis cepat: hemiparese, reflex patologis

- Luka-luka

25
- Anamnesa: AMPLE (allergies, Medication, Past Illness, Last Meal,

event/Environtment related to the injury)

2. Survey Sekunder

Laboratorium

Darah: Hb, leukosit, trombosit, ureum kreatinin, Gula Darah Sewaktu , Analisa Gas

Darah dan elektrolit

Urin: perdarahan

Radiologi

Foto polos kepala

CT Scan otak

Foto lain sesuai indikasi

Managemen terapi

- Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi

- Siapkan ruangan intensif

- Penanganan luka-luka

- Pemberian obat sesuai kebutuhan

Penanganan Kasus Cedera Kepala Ringan

1. Pemeriksaan status umum dan neurologi

2. Perawatan luka-luka

3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam. Bila

selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut:

a. pasien cenderung mengantuk

b. sakit kepala yang semakin berat

26
c. muntah proyektil

Maka pasien harus segera dibawa kembali ke RS

4. pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut ini:

a. ada gangguan orientasi (waktu dan tempat)

b. sakit kepala dan muntah

c. tidak ada yang mengawasi di rumah

d. letak rumah jauh atau sulit untk kembali ke RS

Penanganan Kasus Cedera Kepala Sedang dan Berat

1. lanjutkan penanganan ABC

2. pantau tanda vital (suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah), pupil GCS, gerakan

ekstremitas, sampai pasien sadar

3. pantauan dilakukan tiap 4 jam

4. lama pemantauan hingga GCS 15.

Perhatian khusus ditujukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Data

Traumatic Coma Data Bank (TCDB) menunjukkan bahwa hipotensi pada pasien

dengan trauma kranoserebral berat akan meningkatkan angka kematian dari 27%

 50% (Wilkins, 1996). Tatalaksanan tradisional yang meliputi pembatasan

cairan dalam mengurangi terjadinya edema otak, kemungkinan akan

membahayakan pasien, terutama pada pasien yang telah mengaami banyak

kehilangan cairan.1

Hindari terjadi kondisi sebagai berikut:

– Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg

– Suhu > 38 derajat Celcius

– Frekuensi nafas > 20 x / menit

27
5. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial

– Posisi kepala ditinggikan 30°

– Bila perlu dapat diberikan Manitol 20% .Dosis awal 1 gr/kg BB, berikan

dalam waktu 1/2 - 1 jam, drip cepat. Lanjutkan pemberian dengan dosis 0,5

gr/kg BB drip cepat, 1/2 - 1 jam.

– Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek

– Atasi komplikasi seperti kejang dengan pemberian profilaksis OAE selama 7

hari untuk mencegah immediate dan early seizure

• Pada kasus risiko tinggi infeksi akibat fraktur basis kranii / fraktur

terbuka berikan profilaksis antibiotika, sesuai dosis infeksi intrakranial

selama 10-14 hari.

• Gastrointestinal – perdarahan lambung

• Demam

• DIC: pasien dengan trauma kapitis tertutup cenderung mengalami

koagulopati akut.

• Pemberian cairan dan nutrisi adekuat

• Roboransia, neuroprotektan (citicoline), nootropik sesuai indikasi

Indikasi Operasi

1. EDH (epidural hematoma)

– >40 cc + midline shifting pada temporal / frontal / parietal dgn fungsi batang
otak masih baik
28
– > 30 cc pada fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik

– EDH progresif

– EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

2. SDH (subdural hematoma)

– SDH luas (> 40 cc / > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak masih baik

– SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi

– SDH dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline shift dengan
fungsi batang otak masih baik

3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma

– Penurunan kesadaran progresif

– Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing reflex)

– Perburukan defisit neurologi fokal

4. Fraktur kranii dengan laserasi serebri

5. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)

6. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangan operasi
dekompresi

DAFTAR PUSTAKA

1. Soertidewi Lyna,dkk. Konsensus Nasional; Penanganan Trauma Kapitits dan Trauama


Spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta 2006, hlm:1 – 18.

2. Rowland, et all. Merritt's Neurology, 11th Edition. Nelson. Columbia University


College of Physicians and Surgeons, Neurological Institute, New York
29
Presbyterian Hospital, Columbia University Medical Center, New York. New York
2005, Pg.485-500.

3. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge


University Press. Cambridge.2009
4. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Yogyakarta.2008. hlm. 261-262.
5. Dewanto G, dkk. Diagnosisi dan Tatalaksana Penyakit Saraf. IKAPI. Jakarta. 2006.
Hlm.12 – 19.
6. Snell S Richard. Clinical Anatomy by System.Lippincont Williams and Wilkins. New
York. 2007. Pg.212-222.

7. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :

Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.

30

Anda mungkin juga menyukai