Anda di halaman 1dari 14

Tanaman Obat : Khasiat Tanaman Sambung Nyawa (Gynura

procumbens (Lour.) Merr.)


Secara in vitro, ekstrak etanol daun G. procumbens memiliki IC50 kurang dari 1000
ug/ml pada larva udang Artemia salina Leach (Meiyanto et al., 1997). Selain
menghambat karsinogenitas pada kanker paru, G. procumbens juga diketahui mampu
menghambat karsinogenitas kanker payudara
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:MmffgDbanAQJ:kiathidupsehat.com/category/pengobatan-
herbal/page/3/+temulawak+terhadap+aktivitas+larva+udang&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=
id

UJI TOKSISITAS EKSTRAK POLAR, SEMIPOLAR DAN NONPOLAR


DARI ALGA COKLAT Sargassum cristaefolium

Oleh : Muhammad Fahri, S.Pi. M.Pi Selasa, 05 Oktober2010

UJI TOKSISITAS EKSTRAK POLAR, SEMIPOLAR DAN

PENDAHULUAN

Uji Toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test)

Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan larva udang Artemia
salina Leach sebagai hewan uji merupakan salah satu metode yang banyak digunakan
untuk pencarian senyawa antikanker baru yang berasal dari tanaman. Hasil uji toksisitas
dengan metode ini telah terbukti memiliki korelasi dengan daya sitotoksis senyawa
antikanker. Selain itu, metode ini juga mudah dikerjakan, murah, cepat dan cukup akurat
(Meyer, 1982).

Carballo et al. (2002) meneliti kelayakan penggunaan metode BSLT untuk pengujian
aktivitas farmakologi produk bahan alam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya
korelasi positif antara BSLT dan uji sitotoksik (50 % spesies yang aktif dalam BSLT juga
aktif dalam uji sitotoksik). Menurut Mc Laughlin & Thompson (1998) dalam Widiastuti,
(2004), nilai LC50 untuk sitotoksik umumnya adalah sepersepuluh nilai LC50 yang
diperoleh dari BSLT.

Artemia salina Leach merupakan komponen dari invertebrata dari fauna pada ekosistem
perairan laut. Udang renik ini mempunyai peranan yang penting dalam aliran energi dan
rantai makanan. Spesies invertebrata ini umumnya digunakan sebagai organisme sentinel
sejati berdasarkan pada penyebaran, fasilitas sampling, dan luasnya karakteristik ekologi
dan sensifitasnya terhadap bahan kimia (Calleja dan Persoone, 1992).
Dalam waktu 24-36 jam setelah pemasukan telur, biasanya telur-telur itu sudah menetas
menjadi larva Artemia yang dinamakan nauplius (Mujiman, 1995). Tahapan proses
penetasan Artemia yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau
tahap pengeluaran. Untuk mengetahui tahap penetasan dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Tahapan penetasan Artemia salina Leach (Mujiman, 1995).

Pengujian Letalitas telah digunakan dengan sukses untuk isolasi biomonitor dari
cytotoxic (Siqueira, et. al., 1998), antimalaria (Perez, et.al., 1997), insektisida (Oberlies,
et.al., 1998), dan antifeedent (Labbe, et.al., 1993) campuran dari ektrak tumbuhan. Hasil
dari skrining dari air, hydroalcoholic dan ekstrak alkohol dari beberapa tumbuhan obat
penting yang digunakan dalam pengobatan tradisional untuk letalitas merujuk pada larva
Artemia salina yang diujikan.

Menurut Meyer dkk. (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan
dengan melihat harga LC50-nya. Suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai
LC50 di bawah 30 ppm, dianggap toksik bila memiliki nilai LC50 30-1000 ppm dan
dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut
memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil harga
LC50 semakin toksik suatu senyawa dan semakin berpotensi sebagai senyawa
antitumor.

METODELOGI PENELITIAN

Rancangan Uji Toksisitas

Uji toksisitas ekstrak senyawa menggunakan hewan uji larva A. salina L umur 48-72 jam
setelah penetasan telur untuk mengetahui daya toksisitas ekstrak senyawa dalam
menyebabkan kematian pada hewan uji. Uji toksisitas untuk mendapatkan nilai Lethal
Concentration 50 (LC50) dari senyawa tersebut. Ekstrak yang bersifat toksik dengan
diketahui dari nilai LC50 pada uji toksisitas.. Media kultur penetasan larva A. salina L
menggunakan botol plastik transparan ukuran volume 1500 ml dengan perlengkapan
aerasi kuat. Media penetasan berupa air laut buatan dengan melarutkan garam dapur
sebanyak 38 gram dalam 1000 ml air tawar sehingga salinitas air berkisar 32-35 ppm.

Uji toksisitas menggunakan rancangan eksperimental dengan perlakuan perbedaan


konsentrasi ekstrak S. cristaefolium terhadap kematian larva Artemia salina L.
Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 0 μg/ml (kontrol), 6,25 μg/ml, 12,5 μg/ml,
25 μg/ml, 50 μg/ml, 100 μg/ml dan masing-masing perlakuan dibuat ulangan 5 kali.
Penempatan perlakuan dilakukan secara acak. Parameter yang digunakan adalah jumlah
Artemia salina L yang mati dari total larva hewan uji. Kemudian dihitung nilai LC50
dengan menggunakan analisa probit (50% kematian larva hewan uji).

Prosedur Uji Toksisitas Ekstrak Metode BSLT

Wadah penetasan A. salina L menggunakan botol plastik transparan ukuran volume 1500
ml yang dimodifikasi dengan perlengkapan aerasi kuat. Media penetasan berupa air laut
buatan dengan melarutkan garam dapur sebanyak 38 gram dalam 1000 ml air tawar
sehingga salinitas air berkisar 32-35 ppm. Salinitas ini sesuai dengan salinitas habitat
hidup alami dari A. salina L. Media penetasan ini ditempatkan dengan pencahayaan yang
cukup.

Sebanyak 1 gram kista A. salina L dimasukan dalam media 1500 ml air laut buatan
dengan pemberian aerasi yang cukup. Suhu penetasan adalah ± 25-300C dan pH ± 6-7.
Telur akan menetas setelah 18-24 jam dan larvanya disebut nauplii. Nauplii siap untuk uji
BSLT setelah larva ini berumur 48 jam (Subyakto, 2003).

Botol vial disiapkan untuk pengujian, masing-masing sampel dibuat 5 konsentrasi


berbeda yaitu 6,25 μg/mL, 12,5 μg/mL, 25 μg/mL, 50 μg/mL, dan 100 μg/mL dan
masing-masing dengan kontrol (0 μg/mL). Ekstrak pekat kloroform, aseton dan metanol
ditimbang sebanyak 50 mg dan dilarutkan dengan menggunakan 5 ml pelarutnya masing-
masing. Selanjutnya, larutan dipipet masing-masing sebanyak 500 μL, 250 μL, 125 μL,
62,5 μL, dan 31,25 μL, kemudian dimasukkan ke dalam botol vial, pelarutnya diuapkan
selama 24 jam. Masing-masing vial dimasukkan 2 mL air laut, 10 μL dimetil sulfoksida
(DMSO) sebagai emulsigator, 10 ekor larva udang dan setetes larutan ragi roti,
kemudian ditambahkan air laut sampai volumenya menjadi 5 mL, sehingga konsentrasi
masing-masing menjadi 100, 50, 25, 12,5 dan 6,25 ppm.

Untuk kontrol, ke dalam botol vial dimasukkan 2 mL air laut, 10 μL dimetil sulfoksida,
10 ekor larva A. salina L dan setetes larutan ragi roti, kemudian ditambahkan air laut
sampai volumenya menjadi 5 mL. Pengamatan Uji Toksisitas ini untuk mengetahui nilai
Lethal Concentration 50 (LC50) dengan menghitung jumlah larva A. salina yang mati
setelah perlakuan dengan pemberian ekstrak senyawa dengan konsentrasi berbeda dari
S. cristaefolium setelah 24 jam dari perlakuan. Secara singkat prosedur uji BSLT
penentuan LC50 ditampilkan dalam Lampiran 2.

Analisis Hasil Uji Toksisitas

Efek toksisitas dianalisis dari pengamatan dengan persen kematian dengan rumus
perhitungan sebagai berikut ini :

Dengan mengetahui kematian larva A. salina, kemudian dicari angka probit melalui tabel
dan dibuat persamaan garis :

Dari persamaan tersebut kemudian dihitung LC50 dengan memasukkan nilai probit (50
% kematian). Apabila pada kontrol ada larva yang mati, maka % kematian ditentukan
dengan rumus Abbot (Meyer et al., 1982).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Uji Toksisitas Metode BSLT

Hasil pengamatan mortalitas A. salina dalam uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT) setelah 24 jam pada ekstrak kasar S. cristaefolium yang larut
dalam kloroform, aseton dan metanol disajikan dalam lampiran 3. Dari data hasil
pengamatan tersebut diperoleh persentase mortalitas hewan uji dari masing-masing
konsentrasi ekstrak yang diujikan. Berdasarkan data tersebut dilakukan perhitungan dan
analisa probit dengan program SPSS13 untuk mencari nilai LC50 dari masing-masing
ekstrak yang diujikan.

A. salina L mempunyai peranan yang penting dalam aliran energi dan rantai makanan.
Spesies invertebrata ini umumnya digunakan sebagai organisme sentinel sejati
berdasarkan pada penyebaran, fasilitas sampling, dan luasnya karakteristik ekologi dan
sensifitasnya terhadap bahan kimia (Calleja and Persoone, 1992).

Hasil perhitungan analisa probit ekstrak kloroform, aseton dan metanol dari S.
cristaefolium disajikan pada Tabel 5.2 sebagai berikut :

Tabel 5.2. Hasil perhitungan uji BSLT ekstrak kloroform, aseton dan metanol dari S.
cristaefolium

Persentase mortalitas hewan uji larva A. salina pada ekstrak kloroform berkisar antara
72-82 %. Pada konsentrasi 6,25 ppm persentase mortalitas sebesar 72 %, konsentrasi
12,5 ppm mortalitas sebesar 70 %, konsentrasi 25 ppm mortalitas sebesar 80 %,
konsentrasi 50 ppm mortalitas sebesar 82 % dan konsentrasi 100 ppm mortalitas
sebesar 80 %.

Dari data persentase mortalitas larva A. salina pada ekstrak kloroform tersebut, dapat
dibuat grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan
konsentrasi (dosis) ekstrak yang larut dalam kloroform seperti pada grafik Gambar 5.1
berikut ini.

Gambar 5.1. Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak kloroform dari
S cristaefolium.

Grafik diatas menujukkan bahwa konsentrasi dosis ekstrak kloroform pada 6,25 ppm
dimana mortalitas mencapai 72 persen. Pada konsentrasi dosis 12,5 ppm terjadi
penurunan mortalitas menjadi 70 persen tetapi kembali meningkat pada konsentrasi 25
ppm sebesar 80 persen. Sedangkan pada konsentrasi 50 ppm meningkat sebesar 82
persen dan kemudian menurun sebesar 80 persen pada konsentrasi 100 ppm. Penurunan
mortalitas dengan semakin meningkatnya konsentrasi ini diduga karena ekstrak kasar
masih banyak mengandung senyawa yang bekerja saling kontraproduktif satu sama
lainnya. Nilai LC50 ekstrak kloroform dari hasil analisa probit dengan selang
kepercayaan p = 0.00 adalah 1.88 ppm yang berarti mortalitas hewan uji mencapai 50%
pada saat konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 1.88 ppm. Nilai LC50 ini termasuk
dalam kategori sangat toksik karena nilai LC50-nya dibawah 30 ppm.

Untuk hasil persentase mortalitas larva A. salina pada ekstrak aseton berkisar antara 88-
96 %. Pada konsentrasi 6,25 ppm persentase mortalitas sebesar 90 %, konsentrasi 12,5
ppm mortalitas sebesar 88 %, konsentrasi 25 ppm mortalitas sebesar 92 %, konsentrasi
50 ppm mortalitas sebesar 90 % dan konsentrasi 100 ppm mortalitas sebesar 96 %.
Hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak aseton disajikan pada
Gambar 5.2 berikut ini.

Gambar 5.2. Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi dosis ekstrak aseton
dari S cristaefolium.

Berdasarkan nilai LC50 hasil analisa probit dengan selang kepercayaan p = 0.00 pada
ekstrak aseton yaitu sebesar 3,97 ppm menunjukkan bahwa angka mortalitas hewan uji
mencapai 50% pada saat konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 3,97 ppm. Berdasarkan
nilai LC50 maka ekstrak aseton termasuk dalam kategori sangat toksik karena berada
dibawah 30 ppm (Meyer et. al, 1982).

Hasil uji toksisitas ekstrak metanol, menunjukkan persentase mortalitas larva A. salina
berkisar antara 80-92 %. Secara berurutan, konsentrasi 6,25 ppm persentase mortalitas
sebesar 80 %, konsentrasi 12,5 ppm mortalitas sebesar 84 %, konsentrasi 25 ppm
mortalitas sebesar 92 %, konsentrasi 50 ppm mortalitas sebesar 90 % dan konsentrasi
100 ppm mortalitas sebesar 92 %. Grafik hubungan antara persentase kematian dengan
konsentrasi dosis ekstrak metanol disajikan pada Gambar 5.3 berikut ini.

Gambar 5.3. Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak metanol dari S.
cristaefolium.

Hasil analisa probit dengan selang kepercayaan p = 0.00 diperoleh nilai LC50 dari
ekstrak metanol yaitu sebesar 3.02 ppm. Ini berarti bahwa mortalitas hewan uji sebesar
50 persen dicapai pada saat konsentrasi dosis ekstrak metanol sebsar 3.02 ppm. Berdasar
pada nilai LC50 ini maka ekstrak metanol dikategorikan sebagai sangat toksik.

Dari hasil analisa data uji toksisitas ini, memperlihatkan bahwa semakin besar nilai
konsentrasi dosis ekstrak, maka mortalitas larva A. salina juga semakin besar. Hal ini
sejalan dengan Harbone (1994), bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka sifat
toksiknya juga semakin tinggi. Mortalitas pada perlakuan pemberian ekstrak disebabkan
oleh pengaruh sifat toksik dari ekstrak yang terlarut dalam media hidup larva tersebut.

Menurut Meyer et. al, (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan
dengan melihat harga LC50-nya. Suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai
LC50 di bawah 30 ppm, dianggap toksik bila memiliki nilai LC50 30-1000 ppm dan
dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan
memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil harga
LC50 semakin toksik suatu senyawa.

Lebih jauh, Meyer (1982) dan Anderson (1991) menjelaskan bahwa aktifitas ketoksikan
suatu ekstrak dalam BSLT jika ekstrak dapat menyebabkan kematian 50% larva uji pada
konsentrasi kurang dari 1000 ppm. Dengan demikian, berdasarkan nilai LC50 yang
diperoleh dari ketiga ekstrak yang diujikan maka dinyatakan bersifat sangat toksik.
Ekstrak kloroform mencapai nilai LC50 pada konsentrasi 1,88 ppm, ekstrak aseton pada
konsentrasi 3,97 ppm dan ekstrak metanol pada konsentrasi 3,02 ppm.

Ekstrak yang paling toksik dapat dilihat dari kemampuan menyebabkan kematian hewan
uji yang lebih besar dengan semakin kecilnya konsentrasi. Hal ini menunjukkan bahwa
secara berturut-turut ekstrak paling toksik berdasarkan nilai LC50 adalah ekstrak
kloroform dengan nilai 1,88 ppm, diikuti oleh ekstrak metanol dengan nilai 3,02 ppm dan
ekstrak aseton dengan nilai 3,97 ppm.

Berdasarkan data tersebut, ketiga fraksi ekstrak kasar yang diujikan dari alga coklat S.
cristaefolium ini memperlihatkan bahwa ketiga ekstrak dapat dikategorikan sangat toksik
karena memiliki nilai LC50 dibawah 30 ppm.

Senyawa bioaktif selalu selalu toksik pada dosis tinggi. Oleh karena itu, daya bunuh in
vivo dari senyawa dari organisme hewan dapat digunakan untuk menapis ekstrak
tumbuhan yang mempunyai bioaktifitas dan juga untuk memonitor fraksi bioaktif selama
fraksinasi dan pemurnian (Meyer. et al. 1982).

Persentase mortalitas A. salina oleh ekstrak kloroform memperlihatkan nilai LC50 yang
lebih toksik (1,88 ppm) disebabkan karena senyawa-senyawa non polar yang terlarut
dalam ekstrak kloroform tersebut memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga lebih mudah
untuk masuk dalam membran sel melalui proses difusi pada daerah ekor (tail) yang
bersifat hidropobik pada phospolipid bilayer. Hal ini mengakibatkan sel lebih cepat
mengalami kerusakan atau mati dalam proses difusi senyawa-senyawa non polar dari
ekstrak kloroform. Disisi lain, senyawa-senyawa polar tidak mudah berdifusi memasuki
dinding sel (membran) dimana senyawa polar ini berada pada posisi kepala (head) yang
bersifat hidropilik. Hal ini mengakibatkan senyawa polar lebih sulit untuk masuk dalam
dinding sel sehingga nilai ketoksikan senyawa polar lebih rendah daya rusaknya terhadap
sel.

Proses difusi pada sel terjadi akibat kecenderungan dari substansi yang bergerak dari
daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang rendah. Struktur
membran sel yang memiliki dua lapisan lipid (phospolipid bilayer) dimana molekul lipid
mempunyai satu bagian kepala bundar yang polar (globular head polar) yang
mengandung grup NH3 pada bagian luar dan daerah dua ekor yang mengandung asam
lemak non polar yang bersifat hidropobik pada permukaan bagian dalamnya
memudahkan molekul-molekul non polar berdifusi sedangkan molekul polar tidak bisa
berdifusi langsung.

Pelarut non polar hanya dapat melarutkan senyawa-senyawa non polar sehingga pelarut
polar tidak dapat bercampur dengan pelarut non polar didalam phospolipid bilayer.
Pelarut polar tidak dapat memasuki membran sel lipid tampa bantuan dari protein
pembawa (carrier). Tidak semua molekul dapat memasuki membran phospolipid
termasuk gradient elektrokimia dan ukurannya. Molekul yang lebih kecil dan non polar
dapat dengan mudah masuk ke dalam phospolipid bilayer lewat proses difusi karena
kesamaan polaritasnya. Sedangkan pelarut molekul polar tidak dapat masuk dalam
membran plasma hanya dengan proses difusi, melainkan dengan proses endocytosis,
difusi yang difasilitasi dan transport aktif (Prashant, et. al., 2009)

Salah satu organisme yang sangat sesuai dengan hewan uji tersebut adalah Brine Shrimp
(udang laut). Brine shrimp test sudah digunakan untuk berbagai sistem bioassay yaitu
untuk menganalisa residu pestisida, mikotoksin, polutan pada air sungai, ananstetik,
toksik dinoflagellata senyawa yang berupa morfin, tosksisitas pada dispersant minyak
dan kokarsinogenik ester phorbol. Dalam fraksinasi yang diarahkan dengan bioassay,
metode brine shrimp telah digunakan untuk memonitor fraksi aktif mikotoksin dan
antobiotik pada ekstrak jamur (Abdi, 2001 dalam Lenny, 2006)

Uji tahap lanjut untuk mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid yang terdapat
dalam ekstrak yang aktif dilakukan pada ekstrak metanol dari S. cristaefolium karena
ekstrak metanol merupakan ekstrak yang bersifat polar. Pelarut polar memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam melarutkan senyawa organik dari bahan alam
terutama senyawa fenol dan flavonoid. (Harbone, 1987)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian uji toksisitas ekstrak metanol alga coklat S. cristaefolium
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ekstrak kasar
senyawa dari S. cristaefolium diperoleh nilai LC50 dari masing-masing ekstrak yaitu
ekstrak kloroform sebesar 1, 88 ppm yang merupakan ekstrak paling toksik, diikuti oleh
ekstrak metanol dengan nilai sebesar 3,20 ppm dan ekstrak aseton sebesar 3,97 ppm.
2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga ekstrak senyawa dari S. cristaefolium
mempunyai prospek dapat dikembangkan sebagai sumber senyawa bioaktif dalam dunia
farmasi, misalnya sebagai antitumor atau antikanker.

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap masing-masing ekstrak (kloroform, aseton
dan metanol) dengan menggunakan konsentrasi (dosis) dibawah 6,25 ppm terkait
dengan potensi dan prospeknya sebagai sumber senyawa bioaktif bahan alam yang
memiliki peran dalam dunia farmasi mengingat sifatnya yang sangat toksik.

Selain itu, disarankan untuk melakukan kajian-kajian terhadap manfaat alga coklat S.
cristaefolium sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. S. cristaefolium pada saat ini
belum dimanfaatkan dengan optimal meskipun jumlahnya sangat melimpah diperairan
laut Indonesia. Pemanfaatan S. cristaefolium dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara luas.
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:YLcTErWUZfEJ:elfahrybima.blogspot.com/2010/10/uji-toksisitas-ekstrak-
polar-
semipolar.html+semakin+besar+konsentrasi+maka+larva+udang&cd=3&hl=id&ct=clnk
&gl=id

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza, Roxb.)


Januari 4, 2008 oleh plantus

Familia :Zingiberanceae

Temu lawak adalah tanaman obat-obatan yang tergolong dalam keluarga jahe-jahean
(zingiberaceae). Tanaman ini berasal dari Indonesia.

Tanaman temu lawak dapat tumbuh hingga setinggi 2 m, memiliki bunga berwarna
kuning. Akar temu lawak sering digunakan sebagai bahan obat-obatan tradisional.

Temulawak (curcuma xanthorrhiza) banyak ditemukan di hutan-hutan daerah tropis.


Temulawak juga berkembang biak di tanah tegalan sekitar pemukiman, terutaama pada
tanah gembur, sehingga buaah rimpangnya mudah berkembang menjadi besar.
Temulawak termasuk jenis tumbuh-tumbuhan herba yang batang pohonnya berbentuk
batang semu dan tingginya dapat mencapai 2 meter. Daunnya lebar dan pada setiap
helaian dihubungkan dengan pelapah dan tangkai daun yang agak panjang. Temulawak
mempunyai bunga yang berbentuk unik (bergerombol) dan berwarna kuning tua.
Rimpang temulawak sejak lama dikenal sebagai bahan ramuan obat. Aroma dan warna
khas dari rimpang temulawak adalah berbau tajam dan daging buahnya berwarna
kekuning-kuningan. Daerah tumbuhnya selain di dataran rendaah juga dapat tumbuh baik
sampai pada ketinggian tanah 1500 meter di atas permukaan laut.Nama Lokal :
Temulawak, Temu putih (Indonesia), Temulawak (Jawa); Koneng Gede (Sunda),
Temulabak (Madura);

Penyakit Yang Dapat Diobati :


Sakit limpa, Sakit ginjal, Sakit pinggang, Asma, Sakit kepala; Masuk angin, Maag,
Sakit perut, Produksi ASI, Nafsu makan; Sembelit, Sakit cangkrang, Cacar air,
Sariawan, Jerawat;

Pemanfaatan :

1. Sakit Limfa
Bahan: 2 rimpang temulawak, 1/2 rimpang lengkuas, 1 genggam
daun meniran.
Cara membuat: temulawak dan lengkuas diparut, kemudian semua
bahan tersebut direbus dengan 1 liter air sampai mendidih, dan
disaring.
Cara menggunakan: diminum 1 kali sehari 1 cangkir.

2. Sakit Ginjal
Bahan: 2 rimpang temulawak, 1 genggam daun kumis kucing, 1
genggam daun kacabeling.
Cara membuat : temulawak diiris tipis-tipis, kemudian direbus
bersama dengan bahan lainnya dengan 1 liter air, dan disaring.
Cara menggunakan: diminum selama 3 hari.

3. Sakit Pinggang
Bahan: 1 rimpang temulawak, 1 rimpang kunyit sebesar ibu jari, 1
genggam daun kumis kucing.
Cara membuat : semua bahan tersebut direbus dengan 1 liter air,
dan disaring.
Cara menggunakan: diminum 1 kali sehari 1 gelas.

4. Asma
Bahan: 1 1/2 rimpang temulawak, 1 potong gula aren.
Cara membuat: temulawak diiris tipis-tipis dan dikeringkan. Setelah
kering direbus dengan 5 gelas air ditambah 1 potong gula aren
sampai mendidih hingga tinggal 3 gelas, kemudian disaring.

5. Sakit Kepala dan masuk angin.


Bahan: beberapa rimpang temulawak.
Cara membuat: temulawak diiris tipis-tipis, dikeringkan dan ditumbuk
halus menjadi tepung. Kurang lebih 2 genggam tepung temulawak
direbus dengan 4-5 gelas air sampai mendidih hingga tinggal 3
gelas, kemudian disaring disaring.

6. Maag
Bahan: 1 rimpang temulawak.
Cara membuat: temulawak diiris tipis-tipis dan diangin-anginkan
sebentar, kemudian direbus dengan 5-7 gelas air sampai mendidih,
dan disaring.
Cara menggunakan: diminum 1 kali sehari 1 gelas.

7. Sakit perut, Sakit perut pada waktu haid


Bahan: 1 rimpang temulawak, 3 buah mata asam, 1 potong gula
kelapa, garam secukupnya.
Cara membuat: temulawak diparut, kemudian direbus bersama
bahan lainnya dengan 3-4 gelas air sampai mendidih hingga tinggal
2 gelas.
Cara menggunakan: diminum 2 kali sehari 1 cangkir, pagi dan sore.
8. Menghilangkan bau amis sewaktu haid :
Bahan: 1 rimpang temulawak, 5 buah mata asam, 1 potong gula
kelapa.
Cara membuat: temulawak diiris tipis-tipis dan diangin-anginkan,
kemudian bersama bahan lainnya ditaruh dalam waskom (rantang/
panci), diberi 2 gelas air panas dan ditutup rapat selama kurang lebih
15 menit, dan disaring.
Cara menggunakan : diminum 3 kali, 1 kali sehari.

9. Memperbanyak produksi ASI


Bahan: 1 1/2 rimpang temulawak, dan tepung saga secukupnya.
Cara membuat: temulawak diparut, kemudian kedua bahan tersebut
dicampur dan ditambah air panas secukupnya sehingga menjadi
bubur.
Cara menggunakan : dimakan biasa.

10. Memacu ASI yang macet


Bahan : 1 1/2 rimpang temulawak diparut, 1 potong gula kelapa,
2-3 sendok makan adonan sagu.
Cara membuat : temulawak diparut, kemudian bersama bahan
lainnya direbus dengan 1 liter air sampai mendidih dan disaring.
Cara menggunakan : diminum 2 kali sehari 1 cangkir secara teratur.

11. Kesulitan buang air besar/berak


Bahan: 1 rimpang temulawak, 3 buah mata asam, 1 potong gula
kelapa.
Cara membuat : temulawak diiris tipis-tipis dan diangin-anginkan
sampai kering, kemudian bersama bahan lainnya diseduh dengan air
panas secukupnya dan disaring.
Cara menggunakan: diminum biasa.

12. Sembelit
Bahan : 1 rimpang temulawak dan biji sawi secukupnya.
Cara membuat : kedua bahan tersebut ditumbuk sampai halus,
kemudian diseduh dengan air panas secukupnya dan disaring.
Cara menggunakan : diminum biasa.

13. Menambah nafsu makan


Bahan: 2 rimpang temulawak, 1/4 rimpang lengkuas, 1/2 genggam
daun meniran.
Cara membuat : semua bahan tersebut direbus dengan 3 gelas air
sampai mendidih hingga tinggal 2 gelas, kemudian disaring.
Cara menggunakan : diminum 2 kali sehari 1/2 gelas.

14. Sakit Cangkrang


Bahan: 2 rimpang tem
Komposisi :
KANDUNGAN KIMIA : Daging buah (rimpang) temulawak mempunyai beberapa
kandungan senyawa kimia antara lain berupa fellandrean dan turmerol atau yang sering
disebut minyak menguap. Kemudian minyak atsiri, kamfer, glukosida, foluymetik
karbinol. Dan kurkumin yang terdapat pada rimpang tumbuhan ini bermanfaat sebagai
acnevulgaris, disamping sebagai anti inflamasi (anti radang) dan anti hepototoksik (anti
keracunan empedu).

http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:N21UXG3jewYJ:anekaplanta.wordpress.com/2008/01/04/curcuma-
xanthorrhiza-roxb-curcuma-xanthorrhiza-roxb/
+temulawak+adalah&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id

TANAMAN JATI BELANDA (Guazauma Ulmifolia )

Merupakan tanaman obat yang berfungsi menguruskan badan


atau menurunkan berat badan. Jati Belanda ( Guazauma
Ulmifolia ) berasal dari Amerika. di Pulau jawa tumbuhan ini
tumbuh liar. Nama lain jati belanda adalah jati londo asing
guasima (Mexico),Bastard cedar (Inggris).

Kandungan dan Manfaat Jati Belanda adalah mengandung


kafein,sterol dan amsa fenolat. Tanin dan musilago yang
terdapat dalam jati belanda mengendapkan mukosa protein
yang ada di dalam permukaan usus halus. Sehingga
mengurangi penyerapan makanan. Obesitas dapat terhambat.

Menurut penelitian Jati Belanda berfunsi untuk menurunkan


kadar kolesterol ( Monica 2000, dalam suharmiati dan herti,
2003)

Daun jati belanda berkhasiat sebagai obat pelangsing tubuh


dan bijinya sebagai obat mencret,obat penyakit cacing,kaki
gajah, menciutkan urat darah. Pemakaian jati belanda dalam
jangka panjang tidak mempengaruhi fungsi lever atau hati.
Tanaman lain yang berfungsi menurunkan berat badan,
melarutkan lemak, anti diare.
Cara Penyajian :
Ambil segenggam daun jati belanda kemudian cuci, lalu
rebus dengan 2 gelas air sampai menyusut jadi 1 gelas,
Setelah dingin kemudian disaring. Minum 2 X 1hari.

http://www.mahkotadewa.net/kesehatan/teh_daun_jati_beland
a.html
Label: Daun Jati Belanda

Beranda
;;
Subscribe to: Entri (Atom)

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:egARHGD-
oXkJ:daunjaticina.blogspot.com/
+daun+jati+belanda+mengandung&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id

Title: Ekstrak Air Daun Jati Belanda (Guazuma Ulmifolia Lamk.) Berpotensi
Menurunkan Kadar Lipid Darah Pada Tikus Putih Strain Wistar Authors: Rachmadani
Issue Date: 2001 Publisher: IPB (Bogor Agricultural University) Abstract: Secara
tradisional rebusan air daun jati belanda telah lama digunakan sebagai obat penurun
kadar lipid darah. Hingga sekarang ini belum ada publikasi mengenai efek rebusan air
(ekstrak air) daun jati belanda pada kadar lipid darah. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan mengkaji secara ilmiah pengaruh ekstrak air daun jati belanda dalam
menurunkan kadar lipid darah hewan coba yang diinduksi menjadi hiperlipidelnia dengan
pakan kolesterol dan propil tiourasil (PTU) melalui pengukuran kadar trigliserida dan
kolesterol total darah pada tikus. Basil uji fitokimia daun jati belanda menunjukkan
bahwa dalam serbuk kering daun jati beland" terdapat tanin dan steroid, sedangkan
ekstrak air daun jati belanda mengandung tanin dan triterpenoid. Analisis proksimat
yang dilakukan menunjukkan bahwa serbuk daun jati belanda mengandung protein
13.35%, karbohidrat 3.87%, lemak 14.540/0, dan serat 32.88%. Ekstrak air daun jati
belanda mengandung protein 15.57%, karbohidrat 2.90%, lemak 23.11%, dan serat
11.02%. URI: http://hdl.handle.net/123456789/16917

http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:ptZK4NAyF0kJ:iirc.ipb.ac.id/jspui/handle/123456789/16917+daun+jati+beland
a+mengandung&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id
Temulawak mengandung xanthorrhizol untuk
anti kanker
Oleh Yogi "igoy_y" Yuliantono

Rate This

Dalam sebuah konferensi pers tentang Kampanye Nasional Gerakan Nasional Minum
Temulawak di Bandung, Sabtu (16/9), Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM) mengatakan bahwa temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb) merupakan
tanaman asli Indonesia yang mengandung kurkuminoid dan minyak atsiri yang
berkhasiat untuk menjaga kesehatan dari berbagai penyakit. Rimpang temulawak yang
di Jawa Barat, lebih dikenal sebagai “Koneng Gede” itu bahkan jauh lebih berkhasiat dari
ginseng. Acara ini juga dihadiri Drs. Ketut Ritiasa (Direktur Obaat Asli Indonersia Badan
POM), Prof. Dr. Sidik (Guru Besar Farmasi UNPAD), Prof. Dr. Yahya Krisyanto (Ketua
Perhiimpunan Kedokteran Alternatif dan Komplementer Indonesia) dan Dr. Nyoman
Kertia, Sp.P.D-KR.

“Khasiat temulawak lebih banyak dari ginseng. Temulawak memiliki lebih dari 100
komponen, sementara ginseng terbatas. Temulawak antara lain mengandung senyawa
aktif kurkuminoid dan beberapa komponen minyak atsiri,” ujar Prof. Sidik.

kurkuminoid antara lain berkhasiat sebagai antioksidan, antiinflamasi (antiperadangan),


antibakteri, antihepatotoksik (anti liver), antikolesterol, antikanker dan anti platelet
agregasi (pembekuan darah yang bisa menyebabkan stroke). Sementara salah satu
komponen minyak atsiri yang dikandungnya, yakni xanthorrhizol adalah anti kanker,
terutama kanker payudara.

Aktivitas imunomodulator dari kurkumin (salah satu kandungan dalam kurkuminoid)


juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. “Dibandingkan
ginseng, komponen dalam temulawak jauh lebih banyak. Hanya saja selama ini kita
kurang dapat mempromosikannya,” ujarnya.

Dr. Nyoman Kertia mengatakan, hasil penelitian membuktikan temulawak tidak


memiliki efek samping seperti obat anti inflamasi kimiawi yang harganya jauh lebih
mahal. Konsumsi temulawak secara rutin, juga dapat mengencerkan darah sehingga baik
untuk mencegah stroke.

“Saya sendiri setiap pagi dan sore meminum jus temulawak yang dibuat sendiri.
Hasilnya, kekebalan tubuh semakin meningkat,” tuturnya.
Untuk penggunaan langsung, temulawak dapat diminum dengan cara direbus atau
dibikin jus dengan ditambahkan madu, jeruk nipis atau asam. Dosis yang dianjurkan
adalah 2 gram temulawak, meskipun penggunaan hingga 6 gram masih dapat ditolerir.

Kampanye Gerakan Nasional minum temulawak dilakukan karena bahan alam ini telah
lama digunakan sebagian besar masyarakat Indonesia untuk menjaga dan meningkatkan
kesehatannya. Sebelumnya, kampanye serupa telah digelar di Yogyakarta.

“Apabila minum temulawak telah membudaya, maka penduduk akan lebih sehat
sehingga produktivitasnya meningkat, serta kesejahteraan petani temulawak juga akan
lebih baik karena permintaan semakin banyak,” kata Dr. Nyoman.

Selain itu, dibandingkan tanaman obat lainnya, penelitian mengenai manfaat temulawak
lebih banyak dilakukan. Adanya bukti-bukti ilmiah tersebut diharapkan dapat
meningkatkan akseptabilitas masyarakat terhadap obat tradisional ini.

Badan POM menggolongkan manfaat temulawak ke dalam tujuh bagian, yaitu


memperbaiki nafsu makan, memperbaiki fungsi pencernaan, memelihara kesehatan
fungsi hati, mengurangi nyeri sendi dan tulang, menurunkan lemak darah, antioksidan
dan membantu memelihara kesehatan serta menghambat penggumpalan darah. (A-
131)***

Sumber : http://abaherbal.com/?p=149(dikutip dari http://www.pikiran-


rakyat.com/cetak/2006/092006/18/0205.htm)

Tag: Kesehatan

Tulisan ini dikirim pada pada Februari 16, 2010 2:13 pm dan di isikan dibawah Info Kesehatan. Anda dapat
meneruskan melihat respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. r Anda dapat merespon, or trackback dari
website anda.

http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:PhwC1BB93nEJ:blognyayogi.wordpress.com/2010/02/16/temulawak-2-
manfaat-dan-khasiatnya/+temulawak+mengandung&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id

Anda mungkin juga menyukai