Anda di halaman 1dari 16

70

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berikut ini hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Wilayah Kerja

Puskesmas Karang Pule.

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule

yang terletak di jln Gajah Mada No.14 Jempong Baru. Puskesmas

karang pule menangani masalah kesehatan di masyarakat terdiri dari 5

kelurahan yaitu 3 kelurahan dari wilayah kecamatan mataram dan 2

kelurahan berasal dari wilayah kecamatan sekarbela dengan wilayah

kerja sebagai berikut :

a. Kelurahan Karang Pule

1) Sekarbela

2) Karang Pule

3) Undagi

4) Karang Seme

b. Kelurahan Pagutan

c. Kelurahan Pagutan Timur

d. Kelurahan Pagutan Barat

e. Kelurahan Jempong Baru.


71

5.1.2 Uraian Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

Hasil identifikasi karakteristik responden yang meliputi usia, jenis

kelamin, dan pekerjaan akan diuraikan dalam bentuk tabel sebagai

berikut :

a. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Usia
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Usia
Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas
Karang Pule Tahun 2018.
Usia Jumlah
N %
26-35 Tahun 5 29.4
36-45 Tahun 9 53
46-55 Tahun 3 17.6
Total 17 100
Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 5.1 diatas, dapat diketahui bahwa

distribusi usia responden pada kelompok usia yang paling

banyak adalah usia 36-45 dan 41-45 tahun, yaitu sebanyak 9

orang (53%).

b. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan


Jenis Kelamin
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja
Puskesmas Karang Pule Tahun 2018.
Jenis Kelamin Jumlah
N %
Perempuan 14 82.4
Laki-laki 3 17.6
Total 17 100
Sumber : Data Primer, 2018
72

Berdasarkan tabel 5.2 diatas, dapat diketahui bahwa

distribusi jenis kelamin responden yang paling banyak adalah

jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 14 orang (82,4%).

c. Identifikasi Rata-Rata Kualitas Tidur Sebelum Diberikan


Deep Breathing
Tabel 5.3 Identifikasi Rata-Rata Kualitas Tidur Sebelum
Diberikan Deep Breathing Penderita Hipertensi di
Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Tahun
2018.
Sebelum (Pre Test)
Kategori Jumlah Persentase Mean
(%)
KUALITAS Baik 2 11.8
TIDUR Buruk 15 88.2 7.8
Total 17 100
Sumber : Data Primer, 2018.

Berdasarakan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa kualitas tidur

kategori baik sebanyak 2 responden (11,8%) sedangkan untuk

kualitas tidur kategori buruk sebanyak 15 responden (88,2%)

dengan mean yaitu 7.8.

d. Identifikasi Rata-Rata Tekanan Darah Sebelum Diberikan


Deep Breathing
Tabel 5.4 Identifikasi Rata-Rata Tekanan Darah Sebelum
Diberikan Deep Breathing Penderita Hipertensi di
Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Tahun
2018.
Tekanan Darah Sebelum (Pretest)
Min Max Mean
Sistolik 137.6 157.3 148.0
Diastolik 85.8 96.0 91.4
Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa hasil tekanan

darah sistolik sebelum diberikan deep breathing diperoleh skor


73

minimum sebesar 137,6 mmHg dan skor maksimum 157,3

mmHg dengan Mean skor minimum 85,8 mmHg dan skor

maksimum 96 mmHg.

e. Identifikasi Rata-Rata Kualitas Tidur Sesudah Diberikan


Deep Breathing
Tabel 5.5 Identifikasi Rata-Rata Kualitas Tidur Sesudah
Diberikan Deep Breathing Penderita Hipertensi di
Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Tahun
2018.
Sesudah (Post Test)
Kategori Jumlah Persentase Mean
(%)
KUALITAS Baik 12 70.6
TIDUR Buruk 5 29.4 4.2
Total 17 100
Sumber : Data Primer, 2018.

Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa bahwa

kualitas tidur kategori baik sebanyak 12 responden (70,6%)

sedangkan untuk kualitas tidur kategori buruk sebanyak 5

responden (29,4%) dengan mean yaitu 4,2.

f. Identifikasi Rata-Rata Tekanan Darah Sesudah Diberikan


Deep Breathing
Tabel 5.6 Identifikasi Rata-Rata Tekanan Darah Sesudah
Diberikan Deep Breathing Penderita Hipertensi di
Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule Tahun
2018.
Tekanan Darah Sesudah (Postest)
Min Max Mean
Sistolik 133.33 156.5 144.5
Diastolik 83.00 94.8 89.1
Sumber : Data Primer, 2018.

Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa hasil

perhitungan tekanan darah sistolik sesudah diberikan deep


74

breathing diperoleh skor minimum sebesar 133,3 mmHg dan

skor maksimum sebesar 156,5 mmHg dengann Mean skor

minimum sebesar 83,00 mmHg dan skor maksimum sebesar 94,8

mmHg.

g. Pengaruh Kualitas Tidur dan Tekanan Darah Sebelum dan


Sesudah Diberikan Deep Breathing.
Tabel 5.7 Analisa Pengaruh Tekanan Darah dan Kualitas Tidur
Sebelum dan Sesudah Diberikan Deep Breathing
pada Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja
Puskesmas Karang Pule Tahun 2018.
Variable Kelompok Mean St.deviasi Sig.2
tailed
Tekanan Dare Sistolik Sebelum 3.56 3.24 0.000
Sesudah
Diastolik Sebelum 2.29 1.66 0.000
Sesudah
Kualitas Tidur Sebelum 6.08 2.05 0.000
Sesudah
Sumber : Data Primer, 2018.

Berdasarkan tabel 5.7, hasil uji paired t test kualitas tidur

dan tekanan darah dengan hasil statistik signifikan p=0,000

(p<0,05), artinya hasil analisis menunjukkan bahwa adanya

peningkatan kualitas tidur sesudah diberikan deep breathing dan

adanya terjadi perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik

sesudah diberikan deep breathing. Dapat disimpulkan bahwa H1

diterima, artinya ada perbedaan tekanan darah dan kualitas tidur

sesudah diberikan deep breathing pada penderita hipertensi di

Wilayah Kerja Puskesmas Karang Pule tahun 2018.


75

5.2 Pembahasan

5.2.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berasarkan Usia

Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa distribusi usia

responden pada kelompok usia yang paling banyak adalah usia 36-45

tahun, yaitu sebanyak 9 orang (53%). Peneliti berasumsi sebagian besar

pada usia 36-45 tahun yang artinya dalam usia tersebut rentan terkena

hipertensi karena pola hidup dan rentan mengalami kualitas tidur buruk.

Berdasarkan teori onset hipertensi primer terjadi di usia 30-50 tahun

(Smeltzer dan Bare, 2013). Hipertensi menyerang kaum laki-laki pada

usia diatas 31 tahun dan kaum perempuan terjadi setelah usia 45 tahun

atau setelah masa menopause (Dalimartha dkk, 2008).

Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi hipertensi pada umur

≥18 tahun di Indonesia yang didapat melalui jawaban pernah didiagnosis

tenaga kesehatan atau sedang minum obat hipertensi sebesar 9,5%.

Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan darah.

Umur berkaitan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi). Semakin tua

seseorang maka semakin besar resiko terserang hipertensi .Penelitian

Hasurungan dalam Rahajeng dan Tuminah (2009) menemukan bahwa

pada lansia dibanding umur 55-59 tahun dengan umur 60-64 tahun

terjadi peningkatan risiko hipertesi sebesar 2,18 kali, umur 65-69 tahun

2,45 kali dan umur >70 tahun 2,97 kali. Hal ini terjadi karena pada usia

tersebut arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku karena

itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh
76

darah yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan

darah (Sigarlaki, 2006 dalam novitaningsih, 2014).

5.2.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis

Kelamin

Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa distribusi jenis

kelamin responden yang paling banyak adalah jenis kelamin perempuan,

yaitu sebanyak 14 orang (82,41%). Hal ini sesuai dengan teori bahwa

jenis kelamin sangat erat kaitannya terhadap terjadinya hipertensi

dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi menderita penyakit

hipertensi pada laki-laki dari pada wanita lebih tinggi setelah umur 35

tahun (Triyanto, 2014).

Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi tekanan darah (Rosta, 2011).Berdasarkan hasil penelitian

Wahyuni dan Eksanoto (2013), perempuan cenderung menderita

hipertensi daripada laki-laki. Pada penelitian tersebut sebanyak 27,5%

perempuan mengalami hipertensi, sedangkan untuk laki-laki hanya

sebesar 5,8%. Perempuan akan mengalami peningkatan resiko tekanan

darah tinggi (hipertensi) setelah menopouse yaitu usia diatas 45 tahun.

Perempuan yang belum menopouse dilindungi oleh hormon estrogen

yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density

Lipoprotein(HDL). Kadar kolesterol HDL rendah dan tingginya

kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) mempengaruhi terjadinya


77

proses aterosklerosis dan mengakibatkan tekanan darah tinggi

(Anggraini dkk, 2009).

Peneliti berasumsi bahwa wanita memiliki resiko lebih besar untuk

terkena hipertensi setelah umur 35 tahun dibandingkan dengan laki-laki

karena gaya hidup dan dari faktor internal seperti keturunan dan

hormonal terutama hormon estrogen pada perempuan mempunyai resiko

tinggi dengan kejadian hipertensi.

5.2.3 Rata-Rata Kualitas Tidur Sebelum Dan Sesudah Diberikan Deep

Breathing.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa kualitas tidur

sebelum dilakukan deep breathing dengan sebagian besar kategori baik

sebanyak 2 responden (11,8%) sedangkan untuk kualitas tidur dalam

kategori buruk sebanyak 15 responden (88,2%) sehingga hasil

perhitungan kualitas tidur sebelum dilakukan deep breathing diperoleh

nilai mean yaitu 7,8. Sedangkan sesudah diberikan deep breathing

kualitas tidur dalam kategori baik sebanyak 12 responden (70,6%), dan

kategori buruk sebanyak 5 responden (29,4%) dengan mean 4,2. Hal

tersebut menunjukkan penurunan nilai rata-rata (Mean) sesudah

diberikan relaksasi napas dalam (deep breathing).

Berdasarkan hasil penelitian, hal ini sesuai dengan teori yang

menyatakan Kualitas tidur selain memberikan respon fisik juga

memberikan respon psikologis oleh sebab itu latihan deep breathing

merupakan tindakan yang secara tidak langsung dapat menurunkan asam


78

laktat dengan cara meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan

kebutuhan oksigen otak, sehingga diharapkan terjadi keseimbangan

oksigen otak. Deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk

mengatur pernapasan secara dalam dan lambat. Napas dalam dapat

menstimulasi respons saraf otonom melalui pengeluaran

neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan respons saraf

simpatis dan peningkatkan respons parasimpatis. Stimulasi saraf

simpatis meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis

lebih banyak menurunkan ativitas tubuh atau relaksasi sehingga dapat

menurukan aktivitas metabolik. Stimulasi saraf parasimpatis dan

penghambatan stimulasi saraf simpatis pada deep breathing juga

berdampak pada vasodilatasi pembuluh darah otak yang memungkinkan

suplai oksigen otak lebih banyak sehingga perfusi jaringan otak

diharapkan lebih adekuat sehingga kualitas tidur membaik dan mampu

mengurangi tanda gejala yang muncul dari kualitas tidur buruk

(Setyaningrum, 2015).

Hal ini juga sesuai dengan penelitian dari Cahyaningsih (2017)

menyatakan bahwa teknik terapi nafas dalam (deep breathing) dapat

meningkatkan konsentrasi pada diri, mempermudah mengatur

pernafasan, meningkatkan oksigen dalam darah dan memberikan rasa

tenang sehingga membuat diri menjadi rileks dan terhindar dari

gangguan tidur. Apabila teknik terapi nafas dalam dilakukan pada pasien

yang memiliki kualitas tidur yang buruk, mereka akan benar-benar


79

merasa rileks sehingga dapat membantu memasuki kondisi tidur, karena

dengan cara mengendurkan otot-otot secara sengaja akan membuat

suasana hati menjadi lebih tenang dan juga lebih santai. Suasana ini

sangat diperlukan untuk membantu mencapai kondisi gelombang alpha

yang merupakan suatu keadaan yang sangat diperlukan seseorang untuk

dapat memasuki fase tidur lebih awal. Dengan keadaan rileks dan otot-

otot yang kendur dapat memberikan kenyamanan sebelum tidur

sehingga lanjut usia dapat memulai tidur dengan mudah (Likah, 2008

dalam Cahyaningsih 2017).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian dari

(Setyaningrum, 2015) berpendapat bahwa ketika melakukan latihan

relaksasi otot progresif dan relaksasi nafas dalam dan lambat secara

bersamaan dengan keadaan tenang, rilek dan konsentrasi penuh dan

dilakukan secara terus menerus dengan durasi yang lebih lama daripada

dilakukan secara terpisah maka sekresi CRH (corticotropin releasing

hormone) dan ACTH (adrenocorticotrophic hormone) di hipotalamus

menurun. Penurunan sekresi kedua hormon ini menyebabkan aktifitas

kerja saraf simpatik menurun, sehingga pengeluaran adrenalin dan

noradrenalin berkurang. Penurunan adrenalin dan norepineprin

mengakibatkan terjadi penurunan denyut jantung, pembuluh darah

melebar, tahanan pembuluh darah berkurang dan penurunan pompa

jantung sehingga tekanan darah arterial jantung menurun.


80

5.2.4 Rata-Rata Tekanan Darah Sebelum Dan Sesudah Diberikan Deep

Breathing.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa hasil rata-rata

tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan deep breathing

menunjukkan penurunan rata-rata nilai skor tekanan darah sistolik dari

148.0 sebelum perlakuan menjadi 144.5 setelah perlakuan dan

penurunan rata-rata nilai skor tekanan darah diastolik dari 91.4 sebelum

perlakuan menjadi 89.1 setelah perlakuan.

Adanya penurunan tekanan darah sesudah diberikan latihan nafas

dalam deep breathing menjadikan bernapas dengan perlahan dan

menggunakan diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat

perlahan dan dada mengembang penuh dan menghembuskan napas

secara perlahan. Teknik relaksasi nafas dalam (Deep Breathing)

bertujuan untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien

serta untuk meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan

relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktivitas

otot- otot pernafasan yang tidak berguna, tidak terkoordinasi serta

mengurangi kerja bernafas maka dari itu deep breathing dapat

menurunkan tekanan darah (Smeltzer & Bare, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari

(Wardani, 2015) dengan pengaruh pemberian teknik relaksasi napas

dalam sebagai terapi tambahan terhadap penurunan tekanan darah pada

pasien hipertensi tingkat 1 di instalasi rawat jalan poli spesialis penyakit


81

dalam RSUD Tugurejo Semarang. Hasil penelitian diperoleh nilai p

perbedaan tekanan darah sistolik (pretest-posttest) dalam kelompok

eksperimen dan control dengan wilcoxon signed-rank test adalah 0,00

(p<0,05). Sedangkan nilai p dari tekanan darah diastolic dalam

kelompok ekperimen dan control dengan uji paired t test adalah 0,00

(p<0.05).

5.2.5 Pengaruh Rata-Rata Kualitas Tidur dan Tekanan Darah Sebelum

dan Sesudah Diberikan Deep Breathing di Wilayah Kerja

Puskesmas Karang Pule Tahun 2018.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa hasil analisa uji

paired t test kualitas tidur dan tekanan darah dengan hasil statistik

signifikan p=0,000 (p<0,05), artinya hasil analisis menunjukkan bahwa

adanya peningkatan kualitas tidur sesudah diberikan deep breathing dan

adanya terjadi perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik sesudah

diberikan deep breathing. Dapat disimpulkan bahwa H1 diterima,

artinya ada perbedaan tekanan darah dan kualitas tidur sesudah

diberikan deep breathing pada penderita hipertensi di Wilayah Kerja

Puskesmas Karang Pule tahun 2018.

Dari hasil observasi penelitian, terjadinya perubahan kualitas tidur

dan tekanan darah dalam penelitian ini sebagian besar disebabkan oleh

relaksasi napas dalam deep breathing yang dilakukan oleh responden

karena selama proses penelitian adanya pengaruh tekhnik deep

breathing dibuktikan dengan pernyataan responden dalam kuesioner


82

yang diberikan dan selama proses penelitian terjadinya perubahan

tekanan darah secara bertahap dari hari hari pertama di minggu pertama

sampai hari terakhir di minggu kedua. Dalam hal ini didukung dengan

pernyataan responden bahwa gejala seperti pusing, sakit dibagian

tengkung dan susah tidur berkurang.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat kesesuaian dengan

teori yang menyatakan bahwa relaksasi merupakan suatu teknik untuk

mengurangi stres dan ketegangan, mengatasi masalah-masalah yang

berhubungan dengan stress seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia,

mengurangi kecemasan dengan cara meregangkan seluruh tubuh agar

mencapai kondisi mental yang sehat (Idrus, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningsih (2016), Berdasarkan

hasil uji statistik diperoleh hasil bahwa nilai t = -2,825b dengan p =

0,005 maka ada perbedaan bermakna secara statistik. Nilai p = 0,005

kurang dari 0,05 (p<0,05) dapat diartikan terdapat pengaruh terapi

relaksasi nafas dalam terhadap kualitas tidur lansia.

Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh (Setyaningrum, 2015),

Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara

kelompok intervensi dengan kelompok kontrol 1 dan kelompok kontrol

2 terhadap penurunan tekanan darah sistol (p= 0,001), tekanan darah

diastol (p= 0,026), peningkatan kualitas tidur (p= 0,025) dan penurunan

tingkat stres (p= 0,009). Kesimpulan penelitian bahwa teknik

progressive muscle relaxation dan slow deep breathing yang dilakukan


83

secara bersamaan dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah,

progressive muscle relaxation secara terpisah untuk meningkatkan

kualitas tidur dan slow deep breathing secara terpisah untuk

menurunkan tingkat stres.

Dengan latihan yang benar dan didukung dengan teori bahwa

melakukan relaksasi napas dalam (deep breathing) selama 6x dalam 2

minggu secara teratur 10-15 menit mampu membantu responden pada

kondisi yang lebih rileks dan tenang sehingga dapat mempengaruhi

tingkat stress sehingga memicu aktivitas perangsangan sistem saraf

parasimpatis ke bagian-bagian miokardium lainnya mengakibatkan

penurunan kontraktilitas, volume sekuncup, curah jantung yang

menghasilkan suatu efek inotropik negative. Keadaan tersebut

mengakibatkan penurunan volume sekuncup, dan curah jantung. Pada

otot rangka beberapa serabut vasomotor mengeluarkan asetilkolin yang

menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Akibat dari penurunan curah

jantung, kontraksi serat-serat otot jantung, dan volume darah membuat

tekanan darah menjadi menurun (Suwardianto, 2011).

Kualitas tidur selain memberikan respon fisik juga memberikan

respon psikologis oleh sebab itu latihan deep breathing merupakan

tindakan yang secara tidak langsung dapat menurunkan asam laktat

dengan cara meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan kebutuhan

oksigen otak, sehingga diharapkan terjadi keseimbangan oksigen otak.

Deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk mengatur


84

pernapasan secara dalam dan lambat. Napas dalam dapat menstimulasi

respons saraf otonom melalui pengeluaran neurotransmitter endorphin

yang berefek pada penurunan respons saraf simpatis dan peningkatkan

respons parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis meningkatkan aktivitas

tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak menurunkan

ativitas tubuh atau relaksasi sehingga dapat menurukan aktivitas

metabolik. Stimulasi saraf parasimpatis dan penghambatan stimulasi

saraf simpatis pada deep breathing juga berdampak pada vasodilatasi

pembuluh darah otak yang memungkinkan suplai oksigen otak lebih

banyak sehingga perfusi jaringan otak diharapkan lebih adekuat

sehingga kualitas tidur membaik dan mampu mengurangi tanda gejala

yang muncul dari kualitas tidur buruk (Setyaningrum, 2015).

Dari uraian diatas, latihan fisik khususnya latihan relaksasi napas

dalam (deep breathing) penting dilakukan untuk menurunkan hipertensi,

karena dalam mengobati hipertensi tidak hanya pengobatan dengan

obat-obatan saja. Diperlukan juga perubahan gaya hidup yang lebih baik

salah satunya menjalankan latihan relaksasi deep breathing. Selain

menurunkan tekanan darah deep breathing juga penting dilakukan untuk

menurunkan gejala kualitas tidur yang buruk, karena dalam hal tersebut

yang paling utama adalah dengan relaksasi termasuk relaksasi deep

breathing. Diperlukan juga perubahan gaya hidup yang lebih baik dan

pola tidur yang lebih baik juga.


85

5.3 Keterbatasan Penelitian

1. Peneliti kesulitan untuk mendapatkan calon responden laki-laki yang tidak

merokok.

2. Peneliti kesulitan mengontrol untuk variabel kualitas tidur karena peneliti

meminta bantuan anggota keluarga dari responden untuk mengontrol

Anda mungkin juga menyukai