Oleh :
Putri Rizky Humaira
71160891794
Pembimbing :
dr. H. Muhammad Haidir, Sp.OG
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan
Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan judul :
“Kehamilan Abdominal Lanjut “. Penyelesaian paper ini banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada dr. H. Muhammad Haidir,
Sp.OG selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk,
nasehat dan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan tugas paper ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
fallopi yang normal, ovarium yang normal dan tidak adanya fistula pada tuba (
kehamilan abdominal primer). Tingkat mortalitas maternal yang disebabkan oleh
kehamilan abdominal pernah dilaporkan berkisar antara 0,5%-18%. Yang
berhubungan dengan morbiditas disebabkan oleh karena perdarahan, infeksi,
anemia,DIC, emboli paru, dan fistula gastrointestinal yang mucul akibat adanya
tulang janin. Morbiditas perinatal berkisar antara 40-95% walaupun jika
kehamilan diteruskan sampai dengan aterm, dan 20-40% dari janin disertai
dengan kelainan kongenital, kebanyakan karena disebabkan oleh
oligohidramnion. Kehamilan abdominal kebanyakan terjadi di negara
berkembang, hal ini mungkin disebabkan oleh karena tingginya insiden PID
dengan pengobatan yang suboptimal (Wantania.J, 2016).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Kehamilan abdominal adalah kehamilan ektopik yang terjadi di dalam
cavum peritoneum, Kehamilan abdominal lanjut merupakan salah satu bentuk
kehamilan ektopik yang berlanjut, dimana hasil konsepsi tumbuh di luar rongga
uterus, dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Kehamilan abdominal
primer terjadi bila ovum yang telah dibuahi dari awal mengadakan implantasi di
cavum peritoneum. Kehamilan abdominal sekunder berasal dari kehamilan tuba,
ovarium atau uterus yang mengalami ruptur dan embrio berkembang di cavum
peritoneum.
3
yang sekunder. Penegakan diagnosis kehamilan ektopik abdominal harus
memenuhi kriteria, tuba fallopi dan ovarium dalam keadaan normal, tidak adanya
fistula dari uterus yang ruptur, perlekatan hasil konsepsi hanya pada peritoneum.
4
Vaginal douche
Hubungan seks < 18 tahun
Penelitian yang dilakukan oleh Delke dkk., menunjukkan hasil 100% subjek (10
kasus) terjadi pada maternal dengan sosial ekonomi yang rendah.
5
2.3 Fisiologi dan Etiopatogenesis
A. Implantasi Normal
Implantasi blastokista normalnya terjadi di dalam endometrium corpus uteri,
dimana proses ini terjadi karena adanya komunikasi dua arah antara jaringan
embrional dan maternal semenjak transportasi dari tuba fallopii menuju cavum
uteri. Jaringan embrional berkomunikasi dengan jaringan maternal dengan
memproduksi dan mensekresi beberapa sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan
dalam perkembangannya. Pada saat terjadinya implantasi, terjadi peningkatan
kadar prostaglandin (terutama prostaglandin E2) dan peningkatan permeabilitas
stroma endometrium, pada saat ini pula aktivitas sekresi endometrium mencapai
puncaknya dan sel-sel kaya akan glikogen dan lipid. Rentang waktu penerimaan
blastokista oleh endometrium ini adalah antara 20-24 hari pada siklus 28 hari yang
normal dan teratur. Hormon progesteron menginduksi terbentuknya pinopoda
(permukaan sel epitel dengan tonjolan halus) pada permukaan endometrium.
Pinopoda mampu menyerap cairan didalam cavum uteri sehingga blastokista
dapat terbawa mendekati area permukaan pinopoda tersebut. Pinopoda ini muncul
hari ke 21 pada siklus yang normal dan bertahan selama beberapa hari.
Jika ovum tidak dibuahi dan blastokista tidak terbentuk, jaringan desidua
mensintesis insulin-like growth factor binding protein-1 (IGFBP-1), tissue
inhibitors of metalloproteinases (TIMPs). Dilain pihak, terbentuknya blastokista
akan mempromosikan sekresi faktor-faktor yang menangkal mekanisme
pertahanan maternal sehingga implantasi dapat terjadi. Faktor-faktor tersebut
adalah enzim matrix metalloproteinases (MMPs), leukaemia inhibitory factor
(LIF), epidermal growth factor (EGF), insulin like growth factor II (IGF II), dan
interleukins (IL). Penetrasi oleh trofoblas pada membran basal uterus dipengaruhi
oleh beberapa enzim proteolitik, enzim yang paling penting dalam proses
implantasi dan rekonstruksi stroma endometrium adalah enzim matrix
metalloproteinase (MMPs). Enzim ini bekerja dengan mendegradasi komponen
matriks ekstraseluler seperti kolagen, proteoglikan dan glikoprotein. Diantara
MMPs, MMP-2 dan MMP-9 tampaknya memainkan peran penting dalam
6
remodeling jaringan yang menyertai implantasi dan desidualisasi. MMP-2
terutama bekerja pada fase awal dari remodeling desidua serta neoangiogenesis,
sedangkan MMP-9 bekerja mengkoordinasi invasi oleh trofoblas dalam lapisan
endometrium. Perubahan dalam ekspresi dari kedua enzim ini selama proses
implantasi dapat terjadi tanpa sinyal langsung dari blastokista. Beberapa peneliti
menyebutkan ekspresi dari enzim MMPs ini mungkin disebabkan oleh beberapa
sitokin atau faktor pertumbuhan, seperti vascular endothelial growth factor
(VEGF), transdorming growth factor (TGF), epidermal growth factor (EGF) serta
TIMPs. Berikut ini adalah tabel mediator kimiawi yang terlibat dalam implantasi
embrional :
7
Gambar 3. Fertilisasi dan Perkembangan Minggu Pertama serta Implantasi
pada Endometrium.
8
B. Implantasi Abdominal
Segera setelah menembus zona pellucida, sel sperma menyentuh permukaan
oosit dan akan bertemu dengan membran plasma oosit, hal ini menyebabkan
perubahan permeabilitas pada zona pellucida sehingga impermeabel terhadap
sperma lain. Impermeabilitas zona pellucida disebabkan oleh kerja enzim lisosom
yang dikeluarkan oleh granul-granul korteks dekat membran plasma oosit. Zona
pellucida yang telah terbentuk sebenarnya tidak hanya berperan mencegah sperma
lain memasuki ovum, namun juga berperan menjamin pembelahan sel zigot yang
baru terbentuk agar tidak terganggu dan mencegah terjadinya implantasi zigot ke
tuba fallopii. Zona pellucida normalnya akan mengalami lisis pada saat mencapai
cavum uteri sebelum implantasi blastokista oleh kerja enzim proteolitik dari sel-
sel trofoblas. Selama proses pembelahan sel ini, embrio memperoleh nutrisi dari
sekresi pada lumen tuba.
Namun, oleh karena suatu sebab, transpotasi ovum yang telah dibuahi ini tidak
mencapai cavum uteri sehinggga implantasi tidak terjadi pada endometrium uteri.
Seperti Infeksi pelvis, salpingitis, endometriosis tuba, divertikel tuba kongenital,
bedah plastik tuba atau sterilisasi tuba yang tak sempurna dapat mengakibatkan
gangguan pada fungsi tuba. Disfungsi tuba ini dapat berupa mekanik dan
fungsional. Faktor lain yang ikut berperan adalah adanya massa tumor yang
menekan dinding tuba sehingga lumen menjadi sempit.
Disfungsi tuba selanjutnya menyebabkan ovum yang telah dibuahi menetap
dituba atau dapat keluar dari fimbria tuba menuju cavum peritoneum. Sementara
itu perkembangan embrional terus berlanjut menjadi blastokista yang
mengandung sel-sel trofoblas yang dapat melisis zona pellusida dan mendegradasi
jaringan permukaan yang berkontak dengannya. Implantasi primer abdominal
berarti blastokista mengadakan implantasi pertamanya dalam cavum peritoneum,
hal ini kemungkinan dapat terjadi karena :
1. Migrasi embrio melewati mikrofistula pada tuba fallopii memasuki cavum
peritoneum.
2. Embrio masuk kedalam cavum peritoneum melalui ostium tuba abdominale.
9
3. Setelah ovulasi, terjadi migrasi luar, yaitu ovum mengadakan perjalanan pada
tuba kontralateral, namun sebelum mencapai fimbria ovum telah dibuahi, atau
karena pertumbuhan ovum yang terlalu cepat sehingga terjadi implantasi
prematur yang belum memasuki fimbria.
10
dimana sel epitel membesar dengan inti hipertrofik, hiperkromatik, lobuler dan
berbentuk tak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan
kadang ditemukan mitosis. Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami
degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping atau pun dilepaskan
secara utuh. Perdarahan yang dijumpai berasal dari uterus dan disebabkan oleh
pelepasan desidua yang degeneratif.
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan 6-10 minggu.
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi
koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan embrio dari
dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini
dapat terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan
sela putnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke
arah ostium tuba abdominale. Pada saat ini dapat terjadi reimplantasi pada
jaringan di rongga peritoneum. Bukti adanya implantasi tuba setelah terjadinya
kehamilan abdominal adalah tampak adanya distorsi dan kerusakan pada tuba
yang berhubungan.
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya
pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis terjadi pada
kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah
penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma ringan. Darah dapat
mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominale. Bila ostium
tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang
telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Jika
ruptur mengarah ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila
robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.
Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan kerusakan yang diderita.
Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi seluruhnya, dan bila besar dapat
mengalami kalsifikasi dan diubah menjadi litopedion. Dapat pula terjadi
11
pernanahan sehingga kantong kehamilan menjadi abses dan dapat pecah melalui
dinding perut atau masuk kedalam usus atau kandung kemih, bersama keluarnya
nanah dapat pula ditemukan tulang, rambut dan potongan-potongan kulit. Selain
itu janin dapat berubah menjadi zat kuning seperti minyak kental (adipocere).
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan tumbuh terus dalam
rongga perut, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau kehamilan
abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta
dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya misalnya ke
sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus dan pada beberapa
kasus dapat pula terjadi pada omentum.
Pada kasus ini, penderita datang dengan keluhan nyeri pada abdomen, tetapi
tidak mengalami perdarahan pervaginam. Pada kehamilan abdominal sekunder
tanda yang harus kita curigai adalah nyeri perut yang berulang, mual muntah yang
12
terjadi pada trimester kedua dan ketiga, gerakan janin yang menimbulkan rasa
sakit pada ibu, bagian janin mudah diraba dan presentasi janin yang tidak normal.
13
5. Jika dilakukan pemeriksaan foto rontgen sering menunjukkan letak miring,
melintang atau sikap dan lokasi yang abnormal. Pada pemeriksaan ulangan
lokasi janin tetap sama.
6. Adanya sufel vaskular medial dari spina iliaka. Sufel ini diduga berasal dari
arteri ovarica ibu.
7. Serviks sering berpindah tempat ke anterior dan superior. Sering serviks
teraba lembek seperti pada kehamilan intrauterin. Palpasi forniks dapat
membedakan bagian-bagian janin atau kepala janin di luar uterus.
Kalau sudah ada his dapat terjadi pembukaan sebesar kurang lebih 1 jari dan
menjadi tidak lebih besar, dan tidak teraba bagian janin apapun pada saat jari
masuk kedalam cavum uteri.
14
USG transvaginal yang memiliki resolusi yang lebih tinggi sehingga
kehamilan intrauterin sudah dapat terlihat 24 hari pascaovulasi atau 38 hari
setelah menstruasi terakhir, dimana satu minggu lebih awal dari USG abdomen
Pada kasus ini hasil pemeriksaan USG abdomen menunjukkan tidak adanya
gestational sach didalam uterus, terlihat juga adanya massa kompleks yang
dicurigai sebagai bekuan darah, sehingga bermanfaat untuk membuat
diagnosis kerja secara cepat dan dapat dilakukan tindakan yang tepat.
- Pemeriksaan kadar serum progesteron
Pemeriksaan ini juga dapat membedakan kehamilan intrauterin normal dan
kehamilan yang abnormal, kadar serum progesteron yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah curiga adanya kehamilan ektopik. Dari sebuah studi yang
besar, kadar progesteron >25 ng/ml menyingkirkan diagnosis kehamilan
ektopik dengan sensitifitas 97,4%. Kadar progesteron ≤5 ng/ml
menyingkirkan kehamilan intrauterin normal dengan sensitivitas 100%.
Progesteron juga bermanfaat untuk menentukan prognosis, bila kadarnya <10
ng/ml dan kadar HCG <1500 IU/ml menandakan resolusi spontan dari
kehamilan ektopik. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan kadar HCG
dan progesteron kuantitatif hanya dilakukan pemeriksaan HCG kualitatif.
2.7 Penatalaksanaan
laparotomi
Jika janin masih hidup, harus segera dilakukan laparotomi karena risiko
terlepasnya plasenta dan terjadinya perdarahan yang hebat. Tapi bila usia
kehamilan di atas 24 minggu, keadaan ibu dan janin baik, operasi dapat ditunda
untuk memberi waktu bagi janin menjadi lebih matang, tetapi harus dilakukan
15
observasi yang ketat untuk mengantisipasi terjadinya perdarahan, yang dapat
mengancam jiwa penderita. Pada kasus ini dilakukan laparotomi, dengan
pertimbangan ibu yang sudah mengalami keluhan nyeri pada abdomen, hasil
laboratorium dengan nilai Hb dan Ht yang rendah menandakan adanya
perdarahan, hasil ultrasonography didapatkan massa kompleks di posterior
uterus dicurigai perdarahan. Tindakan tersebut dinilai tepat karena dapat
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut pada ibu. Bagaimana
tatalaksana Pelepasan plasenta sebagian dapat mengakibatkan perdarahan
yang hebat. Pengangkatan plasenta secara utuh dilakukan hanya bila pembuluh
darah yang mendarahi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan dilakukan
ligasi. Regresi total plasenta akan terjadi sempurna dalam waktu 4 bulan.
Pemberian Methotrexate
Pemberian methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak
dianjurkan karena degradasi jaringan plasenta secara cepat dapat menyebabkan
akumulasi dari jaringan nekrotik, dimana merupakan media yang ideal bagi
pertumbuhan bakteri dan terjadinya sepsis. Pada kasus ini masalah
penanganan plasenta tidak menjadi kendala karena usia kehamilan yang
masih sangat muda yaitu 33 hari berdasarkan perhitungan mens terakhir,
pada usia kehamilan tersebut plasenta belum terbentuk.
16
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Kehamilan abdominal adalah bentuk kehamilan yang jarang terjadi namun
memberi risiko yang sangat tinggi baik morbiditas dan mortalitas terhadap janin
maupun ibu. Keadaan ini merupakan salah satu bentuk yang paling serius dari
kehamilan ektopik. Kehamilan abdominal lanjut merupakan salah satu bentuk
kehamilan ektopik yang berlanjut, dimana hasil konsepsi tumbuh di luar rongga
uterus. Kehamilan abdominal dibedakan menjadi dua yaitu kehamilan abdominal
primer dan sekunder.
Kehamilan abdominal merupakan salah satu varian dari kehamilan ektopik
yang jarang dijumpai tetapi mengancam jiwa. Hal tersebut terjadi bila gestational
sach berimplantasi di luar uterus, ovarium, dan tuba fallopi. Kehamilan abdominal
dapat dibagi menjadi dua, yaitu kehamilan abdominal primer dan kehamilan
abdominal sekunder. Kehamilan abdominal primer lebih jarang terjadi dibanding
yang sekunder. Penegakan diagnosis kehamilan ektopik abdominal harus
memenuhi kriteria, tuba fallopi dan ovarium dalam keadaan normal, tidak adanya
fistula dari uterus yang ruptur, perlekatan hasil konsepsi hanya pada peritoneum.
17
DAFTAR PUSTAKA
18