Anda di halaman 1dari 23

TUGAS SEJARAH

ORDE LAMA

Nama : Dwi Oktavallyan Saputri


Kelas : XII IPA 3

DINAS PENDIDIKAN NASIONAL


SMA NEGERI 5 BENGKULU
TAHUN PELAJARAN 2008/2009
ERA ORDE LAMA
 Demokrasi terpimpin

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.

Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi
di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi
untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan
diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan "Kembali ke
UUD' 45". Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para
jendral militer ke posisi-posisi yang penting.

PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam)
dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.

Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam
bentuk bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di "Suara
Pemuda Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43
batalyon angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan.
Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS,
dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk
Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu
saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar
perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer
untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".

Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan
penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan
penduduk adat.

Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.

 Operasi TRIKORA

Latar belakang

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia


mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun
demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi

2
Kerajaan Belanda,[1] sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda kemudian
memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada
tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah
yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam
beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja
Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai
Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka
waktu satu tahun.[2]

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak
merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB.[3] Karena Indonesia mengklaim Papua
bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah
Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah
Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program
pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain
adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957.
Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat
dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya,
Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.[4]

Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh
pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur
menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk
mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun
tembaga.[5]

Karena usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi,
arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan pegawai
meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai 1961.[6] Selain
itu juga didakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam
pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16
di antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur
Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini
dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda, dan Selandia
Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak.

Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi
nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan ("Hai
Tanahkoe Papua"), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua
dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur
Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November
1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961.

Pada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapi pembentukan Dewan Papua ini dengan
menyatakan Trikora di Yogyakarta, yang isinya adalah:

1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.

3
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
tanah air bangsa.[4][7]

Persiapan

 Militer

Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya konflik
antara Indonesia dan Belanda. Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat,
namun gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960, Jendral A. H. Nasution pergi ke
Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan
pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran
jangka panjang. Setelah pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki
angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan.[8]

Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian barat ke Indonesia karena
Bureau of European Affairs di Washington, DC menganggap hal ini akan "menggantikan
penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat". Tapi pada bulan April
1961, Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB
memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu,
presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim Perang Dingin saat itu
dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak komunis Soviet bila
tidak mendapat dukungan AS.

Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4
(angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat
buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19 ,20 pesawat pemburu supersonik
MiG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas
Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari
jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14
pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi
dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel.
Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan
AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10
pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.[8] ~

 Diplomasi

Indonesia mendekati negara-negara seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru,


Thailand, Britania Raya, Jerman, dan Perancis agar mereka tidak memberi dukungan
kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia dan Belanda.[4] Dalam Sidang Umum
PBB tahun 1961, Sekjen PBB U Thant meminta Ellsworth Bunker, diplomat dari Amerika
Serikat, untuk mengajukan usul tentang penyelesaian masalah status Papua bagian barat.
Bunker mengusulkan agar Belanda menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia
melalui PBB dalam jangka waktu dua tahun.

4
 Ekonomi

Pada tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan UU nomor 86 tahun


1958 yang memerintahkan dinasionalisasikannya semua perusahaan Belanda di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi seperti:

1. Perusahaan Perkebunan
2. Netherlansche Handels Mattscapij
3. Perusahaan Listrik
4. Perusahaan Perminyakan
5. Rumah Sakit (CBZ) manjadi RSCM

Dan kebijakan-kebijakan lain seperti:

1. Memindahkan pesar pelelangan tembakau Indonesia ke Bremen (Jerman Barat)


2. Aksi mogok buruh perusahaan Belanda di Indonesia
3. Melarang KLM (maskapai penerbangan Belanda) melintas di wilayah Indonesia
4. Melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda

Konflik bersenjata

Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto sebagai Panglima


Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan
menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan
Indonesia. Belanda mengirimkan kapal induk Hr. Ms. Karel Doorman ke Papua bagian
barat. Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung pertahanan
di perairan Papua bagian barat, dan sampai tahun 1950, unsur-unsur pertahanan Papua
Barat terdiri dari:

Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda)

Korps Mariniers

Marine Luchtvaartdienst[7]

Keadaan ini berubah sejak tahun 1958, di mana kekuatan militer Belanda terus bertambah
dengan kesatuan dari Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda) dan Marine
Luchtvaartdienst. Selain itu, batalyon infantri 6 Angkatan Darat merupakan bagian dari
Resimen Infantri Oranje Gelderland yang terdiri dari 3 Batalyon yang ditempatkan di
Sorong, Fakfak, Merauke, Kaimana, dan Teminabuan.[7]

Operasi-operasi Indonesia

Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan sukarelawan ke Papua bagian barat.
Walaupun Trikora telah dikeluarkan, namun misi itu dilaksanakan sendiri-sendiri dalam
misi tertentu dan bukan dalam operasi bangunan.

Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap,
bahkan semua kekuatan udara masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun begitu, TNI Angkatan
Darat lebih dulu melakukan penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI

5
Angkatan Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai Papua bagian barat, dan juga
meminta bantuan TNI Angkatan Udara untuk mengirim 2 pesawat Hercules untuk
mengangkut pasukan menuju target yang ditentukan oleh TNI AL.

Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa petinggi di markas besar TNI AU
yang mengetahui tentang misi ini. Walaupun misi ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI AU
hanya bertugas untuk mengangkut pasukan dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak
menjadi tanggung jawab TNI AU.

Kepolisian Republik Indonesia juga menyiapkan pasukan Brigade Mobil yang tersusun
dalam beberapa resimen tim pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di
kepulauan Ambon sebagai persiapan menyerbu ke Papua bagian barat. Sementara itu
Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang dipimpin Inspektur Tingkat I Anton
Soedjarwo disiagakan di Pulau Gorom. Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke
Papua bagian barat melalui laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk
jauh ke pedalaman Papua bagian barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek
vital milik Belanda.

Pada tanggal 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Pesawat Hercules
kembali ke pangkalan. Namun, pada tanggal 18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain
melapor ke Soekarno bahwa karena tidak ada perlindungan dari TNI AU, sebuah operasi
menjadi gagal.[9]

Pertempuran laut Aru

Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal 15 Januari 1962, ketika 3 kapal milik Indonesia
yaitu KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul yang membawa Komodor Yos Sudarso, dan
KRI Harimau yang dinaiki Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo,
berpatroli pada posisi 04-49° LS dan 135-02° BT. Menjelang pukul 21.00, Kolonel
Mursyid melihat tanda di radar bahwa di depan lintasan 3 kapal itu, terdapat 2 kapal di
sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda itu tidak bergerak, dimana berarti kapal itu sedang
berhenti. 3 KRI melanjutkan laju mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang
sedang mendekat terdengar dan menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang
tergantung pada parasut.[9]

Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau.
Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, namun tidak
mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk mundur, namun kendali
KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan.[9] Kapal Belanda
mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung
menembaki KRI Macan Tutul. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah
menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".

6
Operasi penerjunan penerbang Indonesia

Pasukan Indonesia dibawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi infiltrasi udara
dengan menerjunkan penerbang menembus radar Belanda. Mereka diterjunkan di daerah
pedalaman Papua bagian barat. Penerjunan tersebut menggunakan pesawat angkut
Indonesia, namun, operasi ini hanya mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi ini
dilakukan pada malam hari. Penerjunan itu pada awalnya dilaksanakan dengan
menggunakan pesawat angkut ringan C-47 Dakota yang kapasitas 18 penerjun, namun
karena keterbatasan kemampuannya, penerjunan itu dapat dicegat oleh pesawat pemburu
Neptune Belanda.[8]

Pada tanggal 19 Mei 1962, sekitar 81 penerjun payung terbang dari Bandar Udara
Pattimura, Ambon, dengan menaiki pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota
Teminabuan untuk melakukan penerjunan. Saat persiapan keberangkatan, komandan
pasukan menyampaikan bahwa mereka akan diterjunkan di sebuah perkebunan teh, selain
itu juga disampaikan sandi-sandi panggilan, kode pengenal teman, dan lokasi titik kumpul,
lalu mengadakan pemeriksaan kelengkapan perlengkapan anggotanya sebelum masuk ke
pesawat Hercules. Pada pukul 03.30 WIT, pesawat Hercules yang dikemudikan Mayor
Udara T.Z. Abidin terbang menuju daerah Teminabuan.

Dalam waktu tidak lebih dari 1 menit, proses pendaratan 81 penerjun payung selesai dan
pesawat Hercules segera meninggalkan daerah Teminabuan. Keempat mesin Allison T56A-
15 C-130B Hercules terbang menanjak untuk mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai
oleh pesawat Neptune milik Belanda.[8]

TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi
amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia.[10] Lebih dari 100 kapal perang dan
16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.

Akhir dari konflik

Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konfik ini,
[4]
Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha
ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia
yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua juga mengubah pendiriannya dan
mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.[11][12]

Persetujuan New York

Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di
Markas Besar PBB di New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh
Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi
dari Persetujuan New York adalah:

 Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada United


Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris

7
Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada
Indonesia.
 Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
 Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara
Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
 UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara
Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.
 Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk
Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui
1. musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bagian barat
2. penetapan tanggal penentuan pendapat
3. perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak
penduduk Papua untuk
 tetap bergabung dengan Indonesia; atau
 memisahkan diri dari Indonesia
4. hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta
dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar
internasional
 Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.

Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada
Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru dan pada 5 September 1963, Papua bagian
barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan
Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang
oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka atau OPM pada
1965. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan
berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut
Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini.
OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.

Penentuan Pendapat Rakyat

Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh
Jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu
sebelum Pepera, angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua
dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih
penggabungan dengan Indonesia.[13][14]

Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah
200 suara (dari 1054) untuk integrasi. [15] Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan
Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka dan berbagai
pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak ingin
Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Papua
bagian barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.

8
Setelah penggabungan

Setelah Papua bagian barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya, Indonesia
mengambil posisi sebagai berikut:

1. Papua bagian barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945
namun masih dipegang oleh Belanda
2. Belanda berjanji menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia dalam
Konferensi Meja Bundar
3. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut
kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
4. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.

Hal ini diajarkan di sekolah dan ditulis dalam buku teks sejarah nasional.[4][7][8]

Setelah Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan
asing pertama yang diberi ijin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun
1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun 1972), dan kontrak ini
diperpanjang pada tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan tambang Grasberg
pada tahun 1988, tambang ini menjadi tambang emas terbesar di dunia. Penduduk setempat
dengan bantuan Organisasi Papua Merdeka memprotes berbagai tindakan pencemaran
lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Freeport dan
pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan
beberapa pegawai Freeport dari Eropa dan Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini
dua tawanan dibunuh dan sisanya dibebaskan.

Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang
dari pulau Jawa dan Sumatera dipindahkan ke provinsi Irian Jaya dalam jangka waktu 10
tahun. Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi provinsi
Irian Jaya dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat. [16][17][18] Pada tahun 2000,
presiden Abdurrahman Wahid memberi otonomi khusus kepada provinsi Papua untuk
meredam usaha separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi provinsi Papua dan
Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat) melalui instruksi Presiden Megawati Soekarnoputri
pada tahun 2001.

 Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Latar belakang

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di
Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni
Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian
dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan
koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.

9
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa
Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah
kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga
membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan
Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember


1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang
Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan
Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far
Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi,
dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.

Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila
mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi
oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia
melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut
campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang
dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran


“ menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang
negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana
Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda,
amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia[1] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan
gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia.

Perang

Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa
Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan
Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah
untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Pada 27 Juli,
Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus,
pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan
Indonesia.

Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan
diplomatik dengan Malaysia.

Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan
Singapura keluar di kemudian hari.

10
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para
kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut
kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen
Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.

Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia


dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.

Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan
Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan
Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia
mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya
sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan
unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke
Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah
Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS).
Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus
Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah
Angkasa Edisi 2006).

Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba
membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di
Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka
dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya
ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar,
Johor.

Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia
dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan
Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.

Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of


the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22
November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika,
Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah
menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen
Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas
ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan
Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi,
unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat
Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni,
mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan

11
berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed
Constabulary.

Akhir konfrontasi

Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah


berlangsungnya kudeta. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk
meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.

Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah
Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan
perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.

Akibat

Konfrontasi ini merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI,
menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok
(Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan
petinggi Angkatan Darat.[1]

 Gerakan 30 September 1965

Latar belakang

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni
Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya.
PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI
mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi
Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan
NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor

12
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan
untuk mempersenjatai 40 batalion tentara secara lengkap, penawaran ini gratis tanpa syarat
dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri
sendiri terlepas dari ABRI. Pandangan lain mengatakan bahwa PKI-lah yang mengusulkan
pembentukan Angkatan Kelima tersebut dan mempersenjatai mereka. Tetapi petinggi
Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai
antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-
bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI
mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit
mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964,
Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian"
kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk
membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para
tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI
mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan
terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain,
termasuk angkatan bersenjata.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani
berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan
partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno
disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya
(Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet
Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

13
Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia


berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari
antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".

Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi
mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim
militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan
bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya
memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer
yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi
pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.
Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk
menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong
ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat
dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya
Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung
Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan
tersebut.

Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja
diembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan
Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan
kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang

14
menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang
mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya
sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara
para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan
sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang
menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan
peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai
dalih oleh militer untuk membersihkannya.

Sementara itu di Jawa Timur juga terjadi keributan antara PKI dan NU. Kiai-kiai NU yang
kebanyakan tuan tanah menolak gerakan PKI untuk membagi-bagikan tanah kepada petani
yang tidak memiliki tanah.

Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan
Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa
Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa
tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal
30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana
kudeta 30 September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah
salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan
salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para
tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober),
dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para


“ demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno,
membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul
Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk
menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan
gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi
Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno
kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh
para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia
yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak
memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI
Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan
isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan
politik di Indonesia.

15
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin
mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno
yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat
memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal
Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan
sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang [3]. Hal ini juga dapat dilihat
dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat
mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan
berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia.
Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang
memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah
keinginannya meng"ganyang Malaysia".

Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-


“ batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai
dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka. ”
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang
mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan
itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno
tidak sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi
keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu
ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia,
khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh.
Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia
masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena
posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari
PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka
yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno
dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk
menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia
juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu
bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh
nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap
petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah

16
hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk
berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari
para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat
tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada
Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika
pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan
karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak
besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8
Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-
Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam
telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan
ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis
Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi
kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI
atau NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa
Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan
daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua
pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan
dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya
menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah
keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan
dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution
untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang
Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak
rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta
bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari
karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-
orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

17
Peristiwa

Pada 30 September 1965, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap
gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan
emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew
Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini,
yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara
Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh
pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama
anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat
mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John
Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan
basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data yang ia
kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu
menjabat sebagai Pangkostrad (pada jaman itu jabatan Panglima Komando Strategis
Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan
Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

 Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando


Operasi Tertinggi)
 Mayjen TNI R. Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

18
 Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
 Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
 Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang
Logistik)
 Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan
Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi target utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau,
Lettu CZI Pierre Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

 Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II
dr.J. Leimena)
 Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas)
 Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas)

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca kejadian

Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi
pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke
Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan


nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak
melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan


Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira
untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan
menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi


Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:

19
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan
“ Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu
Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada
Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi,
yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas
Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama
sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai


haluan negara Republik Indonesa. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini
adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung
tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita
berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah
revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam


kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan
kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita
dan beserta engkau! ”
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-
Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas
penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi
terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto.
Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan
"penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-
Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan
Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang
dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Asumsi Penangkapan dan pembunuhan

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka
yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan
ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini
terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan
Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua
sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban
dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi


muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan

20
pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-
laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung
PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-
kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang
didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan
melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga


pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara,
di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari
daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-
benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat
secara serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang
menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai
Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari
Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau
dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk
membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-
Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan
aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir
1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon
Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta
itu.

Semua hal tersebut hanyalah asumsi-asumsi yang dihembuskan pihak asing dan konco-
koco PKI setelah kejatuhan Suharto, hal tersebut bisa dikatakan asumsi karena sampai saat
ini tidak ada bukti nyata pembantaian-pembantaian tersebut. Bahkan sampai saat ini, bekas
anggota PKI masih banyak yang masih hidup dan tidak dipenjara atau dibunuh.

Asumsi-asumsi demikian sangat menghancurkan citra bangsa Indonesia di mata dunia


Internasional, perlu diluruskan bahwa semua asumsi-asumsi pembunuhan dan pembantaian
memiliki sumber yang tidak jelas dan tidak dapat dipercaya.

21
Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan
tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi
keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh
Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno
dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-
Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24
November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Peringatan

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30


September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada
masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga
ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30
September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di
Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam
para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu
sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk


mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai
pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati
40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri
para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko,
Sasmaja, dan Putmainah.

Peristiwa ini sampai sekarang masih diliputi banyak misteri. Banyak pertanyaan
yang tertinggal, misalnya dugaan bahwa pemberontakan ini mungkin sengaja diciptakan
Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno. Juga, ada teori bahwa Soekarno yang
melancarkan pembunuhan karena ingin agar kekuasaannya dapat terus berlangsung dan
tidak diancam oleh para jenderal angkatan darat.Tetapi,ada juga teori yang mengatakan
bahwa CIA berusaha menggulingkan PKI dan Sukarno karena dianggap memihak
komunis.CIA di bantu oleh Soeharto yang memiliki sejumlah "dendam" pada pemerintahan
Sukarno membuat G-30-S,menuding PKI sebagai dalang,dan menumpasnya.

Semua asumsi tersebut kemungkinan muncul karena dihembuskan oleh orang-orang


eks PKI, hal ini dimungkinkan karena PKI dikenal memiliki kemampuan untuk
memutarbalikan fakta.

22
23

Anda mungkin juga menyukai