Anda di halaman 1dari 13

Bronkiolitis

Waktu

Pencapaian kompetensi
Sesi di dalam kelas : 2x50 menit (classroom session)
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing : 3x50 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi : 4 minggu (facilitation and assessment)*
* Satuan waktu ini merupakan perkiraan untuk mencapai kompetensi dengan catatan bahwa
pelaksanaan modul dapat dilakukan bersamaan dengan modul lain secara komprehensif.

Tujuan umum

Setelah mengikuti modul ini peserta didik dipersiapkan untuk mempunyai keterampilan di dalam
mengelola bronkiolitis melalui pembelajaran pengalaman klinis, dengan didahului serangkaian
kegiatan berupa pre-asessment, diskusi, role play, dan berbagai penelusuran sumber pengetahuan.

Tujuan khusus

Setelah mengikuti modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan


1. Menjelaskan definisi dan batasan usia bronkiolitis
2. Menjelaskan etiologi penyebab bronkiolitis
3. Menjelaskan pathogenesis dan patofisiologi bronkiolitis
4. Mengenali tanda dan gejala bronkiolitis, membedakannya dengan penyakit saluran respirasi
bawah lainnya.
5. Menjelaskan indikasi pemeriksaan penunjang bronkiolitis
6. Menjelaskan prinsip penatalaksaan bronkiolitis

Strategi pembelajaran

Tujuan 1. Mengenali definisi, etiologi, manifestasi klinis bronkiolitis serta membedakannya


dengan penyakit infeksi saluran respirasi bawah lainnya.

Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran


● Interactive lecture
● Small group discussion (journal reading, studi kasus, kasus sulit, kasus kematian).
● Peer assisted learning (PAL).
● Computer-assisted learning
● Bedside teaching.
● Praktek mandiri dengan pasien rawat jalan dan rawat inap.

Must to know key points


● Definisi bronkiolitis
● Etiologi penyebab bronkiolitis yang sering dijumpai
● Gejala dan tanda yang sering dijumpai

1
Tujuan 2. Menjelaskan pathogenesis dan patofisiologi bronkiolitis
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran
● Interactive lecture
● Small group discussion (journal reading, studi kasus, kasus sulit, kasus kematian).
● Peer assisted learning (PAL).
● Video dan computer-assisted learning.

Must to know key points


● Patogenesis bronkiolitis mulai dari infeksi virus hingga penyempitan bronkiol
● Patofisiologi bronkiolitis dan respon imun yang terjadi

Tujuan 3. Menjelaskan indikasi, makna klinik pemeriksaan penunjang pada bronkiolitis

Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran


● Interactive lecture
● Small group discussion (journal reading, studi kasus, kasus sulit, kasus kematian).
● Peer assisted learning (PAL).
● Video dan computer-assisted learning.

Must to know key points


● Berbagai jenis pemeriksaan penunjang
● Berbagai jenis pemeriksaan lanjutan
● Menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang dengan keadaan klinis

Tujuan 4. Prinsip penatalaksanaan bronkiolitis

Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran


● Interactive lecture
● Small group discussion (journal reading, studi kasus, kasus sulit, kasus kematian).
● Peer assisted learning (PAL).
● Computer-assisted learning
● Bedside teaching.
● Praktek mandiri dengan pasien rawat jalan dan rawat inap.

Must to know key points


● Terapi suportif bronkiolitis
● Pemantauan klinis bronkiolitis

Tujuan 5. Mendemonstrasikan pendekatan awal untuk evaluasi anak dengan bronkiolitis

Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran


● Interactive lecture
● Small group discussion (journal reading, studi kasus, kasus sulit).
● Peer assisted learning (PAL).
● Computer-assisted learning
● Bedside teaching.
● Praktek mandiri dengan pasien rawat jalan dan rawat inap.

2
Must to know key points
● Anamnesis
● Pemeriksaan fisis
● Pemeriksaan penunjang

Persiapan Sesi
● Materi presentasi dalam program power point:
Topik : Bronkiolitis
● Sarana dan Alat Bantu Latih
o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): ruang rawat jalan, ruang rawat inap, ruang tindakan,
dan ruang penunjang diagnostik.

Kompetensi
Mengenali tanda dan gejala, menjelaskan penyebab dan prinsip penatalaksanaan bronkiolitis.

Definisi
Bronkiolitis virus akut adalah suatu kondisi klinis yang diakibatkan oleh infeksi saluran
respirasi bagian bawah dengan karakteristik berupa wheezing yang didahului oleh infeksi
saluran respirasi bagian atas. Bronkiolitis biasanya menyerang bayi-bayi di bawah usia 2 tahun
dengan gejala pilek, demam yang tidak begitu tinggi dan berkembang menjadi batuk, sesak
napas, hiperinflasi dada, retraksi dada, merintih, pernapasan cuping hidung, crackles, wheezing
atau kedua-duanya. Bronkiolitis sering disebabkan oleh infeksi virus-virus musiman terutama
Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan human metapneumovirus (HMPV). Pada bronkiolitis
dijumpai inflamasi, edema, nekrosis sel epitel bronkiol, peningkatan produksi mukus, dan
spasme bronkus.1, 2
Pada tahun 2006, American Academy of Pediatrics (AAP) dan European Respiratory
Society (ERS) menyepakati definisi bronkiolitis sebagai “kumpulan gejala-gejala dan tanda-
tanda klinis yang diawali dengan prodromal infeksi virus pada saluran respirasi atas, diikuti
dengan wheezing dan peningkatan usaha respirasi pada anak-anak kurang dari 2 tahun”.3

Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan salah satu infeksi saluran respirasi yang paling sering di seluruh dunia.
RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat
menimbulkan epidemi. Infeksi RSV menyerang anak berusia di bawah 2 tahun, dan sekitar 40-
50% menjadi infeksi saluran respirasi bawah serta 1–2% keadaanya buruk.1, 2
Bronkiolitis lebih sering terjadi pada bayi laki-laki, bayi yang tidak diberi air susu ibu (ASI),
dan bayi yang tinggal di pemukiman padat. Selain usia yang lebih muda, bayi dan anak dengan
penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis,
defisiensi imun, paparan asap rokok, usia ibu yang muda, pemberian ASI yang kurang, asma
pada ibu, faktor sosioekonomi yang rendah mempunyai resiko yang lebih besar untuk
terjadinya penyakit yang lebih berat.1,4

3
Insidensi
Secara global pada tahun 2015 1,4 juta anak dirawat di Rumah Sakit dan sekitar 27.300 pasien
meninggal karena infeksi RSV. Insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan, semakin muda umur
bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya.1, 5
Penelitian yang dilakukan di Amerika selama 30 tahun melaporkan kunjungan ke ruang
gawat darurat dan angka rawat inap karena bronchilitis meningkat setiap tahun, saat ini
mencapai angka 150.000 kunjungan dan menyebabkan kerugian finansial hingga 1,7 milyar
dolar. Sekitar 1-9 bayi akan terkena bronchiolitis pada tahun pertama kehidupan, sehingga
menyebabkan bronchilitis menjadi masalah kesehetan utama karena tingginya morbiditas. Di
Indonesia, Robertson dkk meneliti infeksi saluran respirasi bawah yang disebabkan oleh RSV
dengan perbandingan sebanyak 34/1000 pada anak <5 tahun dan 41/1000 pada anak <1 tahun
6-8

Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh RSV pada 60–80% kasus, dan selebihnya disebabkan
oleh virus parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, influenzae B, coronavirus, enterovirus, rhinovirus,
adenovirus tipe 1,2, dan 5, Mycoplasma pneumoniae dan human metapneumovirus (HMPV).9
HMPV menyebabkan 3%–19 % kasus bronkiolitis dan merupakan penyebab kedua terbanyak
setelah RSV.1,4 Masa inkubasi RSV adalah 2–5 hari. Infeksi RSV tidak menimbulkan imunitas
jangka panjang dan infeksi berulang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa.1 Bronkiolitis
juga dapat disebabkan oleh infeksi lebih dari satu macam virus seperti infeksi RSV dan HMPV
atau rhinovirus2

Patogenesis
Virus yang bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran respirasi atas ke
saluran respirasi bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran respirasi dan melalui
aspirasi sekresi nasofaring. Replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi
gambaran patologi berupa inflamasi yang ekstensif, nekrosis sel epitel silia dan kontriksi
bronkus. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan
pelepasan debris dan fibrin pada lumen bronkiolus.1, 2
Virus juga akan merusak epitel bersilia dan mengganggu gerakan mukosilier sehingga
mukus akan terkumpul di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas akan
mencetuskan reaksi inflamasi yang disertai dengan infiltrasi neutrofil, limfosit, makrofag,
eosinofil dan sel natural killer pada lapisan sub mukosa.1 Mediator yang terlibat dalam proses
inflamasi saluran respirasi bawah ini adalah interleukin 8 (IL-8), IL-6, IL-1, macrophage
inflammatory protein (MIP) 1α, regulated on activation, normal T cell expressed and secreted
(RANTES).2
Eosinofil yang berdegranulasi akan melepaskan protein kation eosinofil yang menyebabkan
reaksi sitotoksik pada sel epitel dan imunoglobulin E yang menyebabkan gejala wheezing.3
Peningkatan produksi mukus yang kental oleh sel goblet dan sel epitel yang lepas menyebabkan
obstruksi bronkiolus, air-trapping dan atelektasis. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena
kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta

4
spasme otot polos saluran napas.1,2,4 Hasil akhir kelainan yang terjadi pada saluran respirasi
bawah adalah ventilation-perfusion mismatch dan hipoksemia.1

Patofisiologi
Tidak semua bayi-bayi yang terinfeksi akan mengalami gejala infeksi saluran respirasi bawah.
Sistim pertahanan anatomi penjamu, sistim imun memainkan peranan penting dalam derajat
beratnya penyakit. Karena tahanan atau resistensi terhadap aliran udara di dalam saluran
berbanding terbalik dengan diameter saluran respirasi pangkat empat, maka penebalan yang
sedikit sekalipun pada dinding bronkhiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran udara.
Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar menyebabkan anak
yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus.
Obstruksi saluran respirasi tidak hanya dipengaruhi oleh diameter saluran respirasi namun juga
daya pengembangan paru-paru.2
Bayi memiliki dinding dada yang sangat lembut sehingga tekanan negatif yang dihasilkan
selama fase ekspirasi akan mengakibatkan dinding saluran respirasi kolaps. Bayi dengan
penyakit dasar yang disertai saluran respirasi yang lebih sempit dan fungsi paru yang berkurang
juga akan mengalami gejala klinis yang lebih berat. Penyempitan bronkiolus menyebabkan
tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan fase ekspirasi, namun
karena selama ekspirasi radius jalan nafas menjadi lebih kecil, maka hasilnya adalah obstruksi
respirasi katup bola yang menimbulkan perangkap udara awal dan overinflasi. Atelektasis
dapat terjadi ketika obstruksi menjadi total dan udara yang terperangkap di absorbsi.2
Proses patologis di atas mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi ventilasi
yang tidak sepadan menimbulkan hipoksemia, yang terjadi pada awal perjalanannya. Retensi
karbondioksida (hiperkapnea) biasanya tidak terjadi kecuali pada penderita yang mengalami
obstruksi berat dengan penurunan usaha respirasi.2

Manifestasi Kinis
Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang
menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan. Mula-mula bayi menderita gejala infeksi
saluran respirasi atas ringan berupa pilek dengan sekresi yang cair dan bersin. Bayi mengalami
demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi
hingga terjadinya demam yang tinggi. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang
disertai dengan nafsu makan berkurang.2
Gejala bronkiolitis kemudian disertai dengan timbulnya distres nafas yang ditandai oleh
batuk paroksismal, sesak napas dengan frekuensi nafas lebih dari 50–60 kali per menit, nadi
yang meningkat, respirasi cuping hidung, penggunaan otot bantu respirasi, retraksi dinding
dada dan kadang-kadang disertai dengan sianosis. Retraksi dinding dada yang terjadi biasanya
tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Respirasi
disertai dengan ekspirasi yang memanjang dan wheezing dapat terdengar dengan ataupun tanpa
stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien dapat teraba akibat pendorongan diafragma
karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.1,2

5
Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Apnoe dapat terjadi
lebih sering daripada wheezing pada perjalanan awal penyakit terutama pada bayi di bawah
usai 2 bulan dan bayi-bayi prematur.2

Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis didasarkan pada presentasi klinis. Gabungan tanda dan gejala klinis
yang khas pada bayi yang berusia di bawah 2 tahun dengan data epidemiologi RSV yang
berkembang di masyarakat mengarahkan kepada diagnosis bronkiolitis. Pemeriksaan
laboratorium dapat menunjang diagnosis namun hanya menambah sedikit manfaat dalam
penatalaksaan rutin. Tidak ada tes laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosa
bronkiolitis.1 Pemeriksaan laboratorium dan radiologis secara rutin tidak dianjurkan (Evidence
B).10
Gambaran radiologik dapat normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru
lebih mengembang (hyperinflated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar,
mungkin atelektasis atau bercak pada lapangan paru. Kadang-kadang terdapat bercak peri-
bronkial, konsolidasi, cairan pleura atau gambaran pneumonia dapat terlihat. Pada pemeriksaan
foto rontgen thoraks, dikatakan hiperinflasi apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang
menyempit, jantung terangkat,diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior
dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh darah paru tampak
tersebar.Rontgen thoraks sebaiknya dihindari, karena penampakan foto rontgen thoraks akan
menyerupai Peumonia sehingga akan menimbulkan peresepan antibiotik atau perawatan yang
tidak perlu. Panduan NICE (National Institute for Health and Care Excellence) menyarankan
pertimbangan rontgen bila suhu tubuh >39 C.1
Pemeriksaan darah rutin dan hitung jenis biasanya menunjukkan hasil yang normal.
Pemeriksaan virus penunjang dengan metode rapid immunofluoresescence, Polymerase Chain
reaction (PCR) atau kultur virus dapat membantu diagnosa pada kasus-kasus yang tertentu
yang tidak jelas atau berguna untuk data epidemiologi.2,4
Beberapa diagnosa banding yang harus dipertimbangkan pada kasus-kasus yang diduga
bronkiolitis yaitu obstruksi saluran respirasi atas seperti hipertrofi adenoid, abses retrofaring,
obstruksi laring seperti croup dan benda asing, asma bronkial, pneumonia, gangguan metabolik
yang menyerupai gangguan respirasi seperti diabetic ketoacidosis. Gagal jantung kongestif,
panyakit paru parenkim seperti penyakit paru kongenital dapat memberikan tanda klinis yang
hampir serupa atau diperburuk dengan bronkiolitis.1
Hingga saat ini belum ada sistem penilaan yang terstandar untuk menilai derajat keparahan
bronkiolitis. Bronkiolitis secara mudah dapat dibagi menjadi 3 kategori mulai dari ringan,
sedang dan berat menurut kriteria Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI),
variabel yang dinilai adalah karakteristik wheezing dan jenis retraksi nilai >15 dikategorikan
sebagai bronkiolitis berat. Destino dkk pada tahun 2012 melakukan penelitian untuk
membandingkan validitas dan kemampuan 2 sistem penilaian, yaitu RDAI dan Children’s
Hospital of Wisconsin Respiratory Score (CHWRS) untuk penyakit bronkiolitis, hasilnya
CHWRS terbukti lebih baik validitasnya dalam memprediksi kegawatan karena memiliki
parameter yang lebih lengkap dan dapat diandalkan untuk menilai kegawatan.11 Chin juga
melakukan penelitian serupa namun variabel yang dinilai adalah sistem penilaian Kristjansson

6
Respiratory Score (KRS) dan Wang Respiratory Score (WRS), Chin menilai skala KRS lebih
baik dalam menilai derajat keparahan bronkiolitis. Namun skala WRS lebih mudah digunakan
dalam praktek sehari-hari. 12

RDAI
Wheezing 0 1 2 3 4
Ekspirasi Tidak ada Akhir 1/2 3/4 Semua
Inspirasi Tidak ada sebagian semua
Lokasi Tidak ada Segmental <2 Diffuse >3 dari
dari 4 lobus 4 lobus
Retraksi
Supraclavicular Tidak ada Ringan Sedang Jelas
Intercostal Tidak ada Ringan Sedang Jelas
Subcostal Tidak ada Ringan Sedang Jelas
Respirasi*
Tabel 1. Respiratory Distress Assessment Instrument
*Peningkatan/ penurunan respirasi <5% dihitung 0, Peningkatan/ penurunan respirasi 6-15% dihitung 1,
Peningkatan/ penurunan respirasi 16-25% dihitung 2.
Sumber : Destino11

CHWRS
Parameter 0 1 2 3
Suara napas Tidak ada Crackles Wheezing Inspirasi Udara masuk sedikit
Wheesing exp Wheezing isprasi Wheezing jelas
Rhonchi dan ekspirasi
Ekspirasi
memanjang
Dyspnea Tidak ada Masih dapat makan Makan kadang Tidak bisa makan
terganggu
Mengucap kalimat Mengucap frase Mengucap kata
Retraksi minimal Retraksi sedang Retraksi berat
Retraksi Tidak ada Ringan Sedang Berat
RR <50 51–60 61–70 >71
HR <150 151–160 161–170 >171
Kebutuhan Udara kamar <2 lpm nasal kanul 2,5-4 LPM nasal >4,5 lpm nasal kanul
Oksigen kanul
Udara kamar 5-6 lpm simple mask >6,5 lpm simple Tidak dapat diberikan
mask
Udara kamar < 0,3 FiO2 0,31-0,5 FiO2 >0,51 FiO2
Aktifitas Anak tenang Agak rewel Rewel Sangat rewel
Bahagia, Masih dapat Agak sulit Sulit ditenangkan, tidak
interktif ditengankan ditenangkan, kurang interaktif
interaktif
Batuk/ sekret Batuk Batuk kuat produktif Batuk lemah Membutuhkan suction,
nonproduktif untuk stimulasi batuk/
mengeluarkan sekret
Minimal Sedang besar
Foto Rontgen/ Bersih Area hilar/ sentral Satu lobus Multipel lobus
suara paru-paru
Bronchial Bronchial di 1 lobus Penurun di 1 lobus Menurun di >1 llobus

7
Status operasi Tidak ada Ekstrimitas atau Operasi abdominal Bedah thoraks
operasi, bedah saraf dengan atau bedah saraf
cathlab, status neurologis dengan status
bronkoskopi normal neurologis abnormal
Tabel 2. Children’s Hospital of Wisconsin Respiratory Score
Sumber : Destino11

Wang Respiratory Score


Skor Respirasi Wheezing Retraksi Keadaan umum
0 <30 Tidak ada Tidak ada Normal
1 30-45 Ekpirasi akhir atau hanya interkostal
dengan stetoskop
2 46-60 Saat semua ekspirasi tau Suprasternal
terdengar saat ekspirasi
3 >60 Inspirasi and ekspirasi tanpa Pernapasan cuping Rewel/ letargis/
stetoskop hidung tidak bisa makan
Tabel 3. Skor Respirasi Wang
Sumber : Chin12

Skor Respirasi Kristjansson


Skor Respirasi Retraksi dada Suara napas Warna Kulit Keadaan Umum
0 <40 Tidak ada Vesikular Normal Tidak terpengaruh
1 40-60 Sedang Wheezing dengan/tanpa Pucat Terpengaruh
(Interkostal) ronchi/crackles
2 >60 Berat Wheezing dengan/tanpa Kebiruan Sangat terpengaruh
(Suprasternal) ronchi/crackles berat
Tabel 4. Skor Respirasi Kristjansson
Sumber : Chin 12

Tatalaksana
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif yaitu dengan pemberian
oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, dan kecukupan cairan, penyesuaian
suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, bantuan ventilasi bila perlu, dan nutrisi. Pada
kasus yang ringan dapat dirawat di rumah. Pada kasus yang sedang hingga berat yaitu sekitar
1–3% kasus memerlukan rawat inap di rumah sakit. Rawat inap diindikasikan pada anak
dengan respirasi melebihi 60–70 kali permenit atau saturasi oksigen di bawah 90%, adanya
riwayat apneu, bayi tampak letargis dan dehidrasi. Keadaan penyakit ko-morbiditas seperti
prematuritas, usia yang sangat muda, penyakit jantung bawaan, defisiensi imun, penyakit
neuromuskular dan faktor sosial mempengaruhi perlu tidaknya anak dengan bronkiolitis
dirawat inap.1
Terapi oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang
sangat ringan. AAP merekomendasikan penggunaan suplementasi oksigen bila saturasi
oksigen di bawah 90%, sedangkan rekomendasi NICE 92%. Saturasi oksigen menggambarkan
kejenuhan afinitas haemoglobin terhadap oksigen di dalam darah dan harus selalu dipantau
meskipun peningkatan saturasi oksigen dapat terjadi lebih lambat dibandingkan dengan
perbaikan klinis.2 Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse
oximetry (SpO2) pada suhu ruangan stabil diatas 90% di udara kamar pada anak dengan nafsu
makan yang baik dan distres nafas ringan.1

8
Terapi oksigen terbaru yaitu penggunan High low Nasal Canule (HFNC) yaitu pemberian
terapi oksigen yang udah dihangatkan dan dilembabkan membantu memberikan aliran udara
yang lebih besar sehingga memberikan efek yang sama dengan Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP). Terapi HFNC masih dilakukan penelitian lebih lanjut oleh institusi
penelitian PARIS (Paediatric Acute Respiratory Intervention Study). Terapi terbaru lainnya
yang dapat menjadi alternatif adalah pemberian CPAP yang dapar mencegah kolaps saluran
respirasi dan meningkatkan pertukaran gas dan membantu menurunkan usaha napas. Pasien
dengan bronchilotis akut yang berat dan memburuk dengan suplementasi oksigen standar dapat
dipertimbangkan untuk diberikan CPAP.13 Penggunaan CPAP masih memerlukan penelitan
lebih lanjut.14
Pemberian cairan dan hidrasi yang cukup merupakan kunci utama penatalaksaan anak
dengan bronkiolitis. Bila anak masih dapat menetek, maka ASI merupakan pilihan utama
karena ASI memiliki imunoglobulin A, G dan interferon alfa yang dapat menetralisir aktivitas
RSV. Pada anak dengan asupan cairan dan diet yang berkurang, pemberian cairan dapat
diberikan melalui diet sonde/nasogastric tube (NGT) bila respirasi >60 x/menit. Jumlah cairan
disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan
bila pasien sangat sesak dengan frekuensi respirasi melebihi 60–70 respirasi per menit untuk
mencegah terjadinya dehidrasi, muntah dan tidak dapat minum.1 Pedoman pemberian carian
yang diberikan sekurang-kurangnya 70-80% dari kebutuhan cairan harian untuk mencegah
dehidrasi dan tidak melebihi 100% untuk menghindari kelebihan cairan dan
ketidakseimbangan elektrolit.15 Studi pilot prospektif acak menunjukkan pemberian cairan
melalui NGT pada penderita dengan bronkiolitis sedang memiliki luaran klinis yang sebanding
dengan pemberian cairan secara intravena.16
Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan leukosit atau
pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka kultur darah diperiksa dan diberikan
antibiotika yang memiliki spektrum luas. Pemberian antibiotika secara rutin tidak
menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis.1 Ribavirin adalah purin nucleoside
turunan guanosin sintetik, bekerja mempengaruhi pengeluaran messenger RNA (mRNA).
Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka
pemberian ribavirin secara selektif dapat diberikan pada fase awal infeksi bronkiolitis akut
berat dengan penyakit penyerta penyakit jantung bawaan dan penyakit paru-paru kronis.1,3
Penggunaan ribavirin secara rutin pada bronkiolitis tidak menunjukkan manfaat yang
signifikan terhadapa fungsi paru dan kejadian wheezing berulang.17
Nebulisasi salin hipertonik NaCl 3% secara signifikan mengurangi angka dan lama rawat
inap pada penderita bronkiolitis. Penggunaan salin hipertonik harus dipertimbangkan pada
penatalaksanaan bronkiolitis akut pada anak (Evidence A).18 Beberapa penelitian terbaru dan
telaah sistematik juga menyarankan nebulisasi salin hipertonis dapat diberikan pada anak yang
dirawat.15, 19, 20 Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan.
Meskipun tidak berbasis bukti ilmiah yang kuat namun terapi farmakologis yang paling sering
diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah inhalasi bronkodilator dan kortikosteroid.
Penggunaan bronkodilator dapat menghasilkan perbaikan klinis awal yang sementara karena
efeknya pada mukosa bronkial namun manfaat klinisnya belum terbukti. Karenanya,
penggunaan epinephrine, b2 agonists and anticholinergics secara rutin tidak direkomendasikan

9
(Evidence B).21 Penelitian sistematik review dan metaanalsis pada tahun 2017 yang dilakukan
Kua dkk juga melaporkan terapi kombinasi epinefrin dan steroid tidak efektif dalam
menurunkan morbiditas masuk ke rumah sakit maupun lama rawat karena bronkiolitis
(Evidence B).22 AAP juga tidak merekomendasikan penggunaan rutin inhalasi bronkodilator.
Terapi inhalasi bronkodilator dapat dipertimbangkan bila memberikan manfaat klinis yang
nyata pada anak dengan hipereaktifitas bronkus.15 Penelitian Randomised Clinical Trial pada
tahun 2015 yang dilakukan Gonzales dkk melaporkan pemberian nebulisasi epinefrin dengan
larutan salin hipertonik 3% secara signifikan memperpendek lama rawat di Rumah Sakit pada
anak dengan bronkiolitis akut dibandingkan dengan laurtan NaCl 3% tunggal (Evidence B).23
Panduan dari Spanyol dan Itali mempertimbangkan pemberian beta agonis inhalasi pada awal
dari terapi terutama pada anak atau keluarganya memiliki riwayat atopi dan asthma. 13, 19
Bukti ilmiah yang ada tidak menunjukkan manfaat pengguanaan kortikosteroid inhalasi
maupun sistemik terhadap luaran tingkat dan lama rawat inap. Kortikosteroid tidak
direkomendasikan pada bayi-bayi dengan infeksi RSV yang sebelumnya sehat.24
Kortikosteroid tidak memiliki peranan dalam tatalaksana bronkiolitis pada anak yang
mempunyai gejala mengi pertama kali namun tanpa ada risiko atopi (Evidence B).25
Kortikosteroid inhalasi dapat dipertimbangkan pada anak yang memberi respons terhadap
steroid oral, dengan wheezing sedang hingga berat, atau dengan riwayat atopi termasuk alergi
makanan atau eksema.3 Penggunaan antibiotik rutin tidak diindikasikan pada bronkiolitis virus
akut (Evidence B).26 Penggunaan antibiotik hanya bila terdapat komplikasi infeksi bakteri
sekunder.3
Fisioterapi dada yang dilakukan dengan teknik konvensional, ekspirasi perlahan pasif atau
ekspirasi kuat tidak terbukti mengurangi derajat keparahan penyakit atau memperbaiki kondisi
pasien dan dapat menyebabkan efek samping yang serius, karenanya teknik fisioteapi dada ini
tidak dianjurkan sebagai standar terapi klinis untuk penderita bronkiolitis yang dirawat inap
(Evidence B).27
Terapi efektif serta mudah untuk penyakit bronkiolitis belum tersedia hingga saat ini.
Pemberian palivizumab pada kelompok spesifik yang bersisiko masih terbatas dan mahal
terutama untuk negara berkembang. Pencegahan penularan RSV merupakan prioritas utama
untuk menurunkan morbisitas dan mortalitas yang disebabkan infeksi RSV.

Prognosis
Bayi dengan bronkiolitis akut memiliki risiko terjadinya perburukan respirasi dalam 48–72 jam
setelah awitan gejala. Angka kematian <1% yang biasanya disebabkan oleh apnea, asidosis
respiratorik yang tidak terkompensasi atau dehidrasi berat. Median durasi gejala pada pasien
rawat jalan adalah 12 hari. Penderita dengan ko-morbiditas panyakit jantung bawaan,
bronchopulmonary dysplasia, dan defisiensi imun memiliki perjalanan penyakit yang berat
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.3
Terdapat peningkatan kejadian wheezing dan asma pada anak-anak yang pernah menderita
bronkiolitis yang tidak dapat dijelaskan begitu saja dengan riwayat keluarga ataupun riwayat
atopi.13 Masih belum jelas apakah bronkiolitis akan mencetuskan reaksi imun yang akan
menyebabkan asma di kemudian hari atau kecenderungan asma yang terjadi setelah infeksi
RSV. Sekitar 60% penderita yang mengalami wheezing akan berhenti.2

10
Pencegahan
Kebersihan tangan merupakan kunci utama untuk mengurangi penyebaran infeksi RSV.
Kebersihan tangan harus dilakukan dengan sabun antiseptik bila tangan terlihat kotor dan dapat
dilakukan dengan cairan antiseptik berbasis alkohol bila tangan terlihat bersih.1
Hingga saat ini tidak terdapat vaksin untuk mencegah terjadinya infeksi RSV yang
merupakan penyebab terbanyak bronkiolitis pada anak. Penggunaan imunisasi pasif dengan
imunoglobulin terhadap infeksi RSV atau Palivizumab diindikasikan pada anak-anak di bawah
usia 2 tahun dengan risiko terjadinya bronkiolitis berat seperti chronic lung disease, riwayat
prematuritas dan penyakit jantung bawaan.15 Namun harga yang sangat mahal membatasi
penggunaannya dalam praktek sehari-hari.1

Kesimpulan
Bronkiolitis adalah penyakit saluran respirasi bayi yang sering terjadi akibat dari obstruksi
radang saluran respirasi kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama, dengan
insidensi puncak pada sekitar umur 6 bulan. Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory
Syncitial Virus (RSV) dan selebihnya disebabkan oleh virus parainfluenzae tipe 1,2, dan 3,
influenzae B, adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. Diagnosis dapat ditegakkan secara
klinis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik didukung oleh data epidemiologi setempat.
Secara umum tatalaksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah suportif yaitu dengan
pemberian oksigenasi tambahan untuk memperbaiki hipoksia jaringan; pemantauan saturasi
oksigen dengan pulse oxymetri tidak rutin dilakukan. Bila ada tanda gagal nafas diberikan
bantuan ventilasi mekanik. Pemberian cairan dan kalori yang cukup harus disesuaikan dengan
berat badan, suhu tubuh dan status hidrasi. Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang
kurang baik atau dengan perburukan, curiga infeksi bakteri sekunder (pneumonia) atau pada
penyakit yang berat.

11
Daftar Pustaka

1. Kendig EL, Wilmott RW, Boat TF, Bush A, Chernick V. Kendig and Chernick's disorders of the
respiratory tract in children: Elsevier Health Sciences; 2012.
2. Kliegman R, Stanton B, Behrman RE, St. Geme JW, Schor NF, Nelson WE. Nelson textbook of
pediatrics2016.
3. Øymar K, Skjerven HO, Mikalsen IB. Acute bronchiolitis in infants, a review. Scand J Trauma
Resusc Emerg Med. 2014 04/03 10/30/received 03/28/accepted;22:23-.
4. Ravaglia C, Poletti V. Recent advances in the management of acute bronchiolitis. F1000Prime
Rep. 2014;6.
5. Zhang L, Mendoza-Sassi RA, Wainwright C, Klassen TP. Nebulised hypertonic saline solution
for acute bronchiolitis in infants. Cochrane Database Syst Rev. 2017(12).
6. Rivera-Sepulveda A, Garcia-Rivera EJ. Epidemiology of bronchiolitis: a description of
emergency department visits and hospitalizations in Puerto Rico, 2010–2014. Trop Med
Health. 2017 10/02 05/11/received 08/11/accepted;45:24.
7. Johnson LW, Robles J, Hudgins A, Osburn S, Martin D, Thompson A. Management of
bronchiolitis in the emergency department: impact of evidence-based guidelines? Pediatrics.
2013 Mar;131 Suppl 1:S103-9.
8. E Robertson S, Roca A, Alonso P, A.F. Simoes E, B Kartasasmita C, Olaleye D, et al. Respiratory
syncytial virus infection: Denominator-based studies in Indonesia, Mozambique, Nigeria and
South Africa2005.
9. Miller EK, Gebretsadik T, Carroll KN, Dupont WD, Mohamed YA, Morin L-L, et al. Viral
Etiologies of Infant Bronchiolitis, Croup, and Upper Respiratory Illness during Four
Consecutive Years. J Pediatr Infect Dis. 2013;32(9).
10. Nair H, Nokes DJ, Gessner BD, Dherani M, Madhi SA, Singleton RJ, et al. Global burden of acute
lower respiratory infections due to respiratory syncytial virus in young children: a
systematic review and meta-analysis. Lancet Child Adolesc Health. 2010;375(9725):1545-
55.
11. Destino L, Weisgerber MC, Soung P, Bakalarski D, Yan K, Rehborg R, et al. Validity of
respiratory scores in bronchiolitis. Hosp pediatr. 2012;2(4):202-9.
12. Chin HJ, Seng QB. Reliability and validity of the respiratory score in the assessment of acute
bronchiolitis. Malays J Med Sci. 2004;11(2):34.
13. Caballero MT, Polack FP, Stein RT. Viral bronchiolitis in young infants: new perspectives for
management and treatment. J Pediatr (Rio J). 2017;93:75-83.
14. McNaughten B, Hart C, Shields M. Management of bronchiolitis in infants: key clinical
questions. Int J Pediatr Child Health. 2017 2017/07/01/;27(7):324-7.
15. Ralston S, Lieberthal A, Meissner H. American Academy of Pediatrics Subcommittee on
Diagnosis and Management of Bronchiolitis. J Pediatr. 2014;134(5):e1474-e502.
16. Kugelman A, Raibin K, Dabbah H, Chistyakov I, Srugo I, Even L, et al. Intravenous fluids versus
gastric-tube feeding in hospitalized infants with viral bronchiolitis: a randomized,
prospective pilot study. BMJ Paediatr Open. 2013;162(3):640-2. e1.
17. Ventre K, Randolph A. Ribavirin for respiratory syncytial virus infection of the lower
respiratory tract in infants and young children. Cochrane Database Syst Rev. 2007;1.
18. Chen Y-J, Lee W-L, Wang C-M, Chou H-H. Nebulized hypertonic saline treatment reduces both
rate and duration of hospitalization for acute bronchiolitis in infants: an updated meta-
analysis. Pediatr Neonatol. 2014;55(6):431-8.
19. Baraldi E, Lanari M, Manzoni P, Rossi GA, Vandini S, Rimini A, et al. Inter-society consensus
document on treatment and prevention of bronchiolitis in newborns and infants. Ital J
Pediatr. 2014;40(1):65.
20. Tapiainen T, Aittoniemi J, Immonen J, Jylkkä H, Meinander T, Nuolivirta K, et al. Finnish
guidelines for the treatment of laryngitis, wheezing bronchitis and bronchiolitis in children.
Acta Paediatr. 2016;105(1):44-9.
12
21. Hartling L, Fernandes RM, Bialy L, Milne A, Johnson D, Plint A, et al. Steroids and
bronchodilators for acute bronchiolitis in the first two years of life: systematic review and
meta-analysis. BMJ Paediatr Open. 2011;342:d1714.
22. Kua KP, Lee SW. Systematic Review and Meta-Analysis of the Efficacy and Safety of Combined
Epinephrine and Corticosteroid Therapy for Acute Bronchiolitis in Infants. Front Pharmacol.
2017;8:396.
23. Flores-González JC, Matamala-Morillo MA, Rodríguez-Campoy P, Pérez-Guerrero JJ, Serrano-
Moyano B, Comino-Vazquez P, et al. Epinephrine improves the efficacy of nebulized
hypertonic saline in moderate bronchiolitis: a randomised clinical trial. PLoS One.
2015;10(11):e0142847.
24. Fernandes RM, Hartling L. Glucocorticoids for acute viral bronchiolitis in infants and young
children. JAMA Pediatr. 2014;311(1):87-8.
25. Bawazeer M, Aljeraisy M, Albanyan E, Abdullah A, Al Thaqafi W, Alenazi J. Effect of combined
dexamethasone therapy with nebulized r-epinephrine or salbutamol in infants with
bronchiolitis: A randomized, double-blind, controlled trial. Avicenna J Med. 2014;4(3):58.
26. Spurling G, Doust J, Del Mar CB, Eriksson L. Antibiotics for bronchiolitis in children. Cochrane
Database Syst Rev. 2011;6.
27. Roque i Figuls M, Giné‐Garriga M, Granados Rugeles C, Perrotta C, Vilaró J. Chest
physiotherapy for acute bronchiolitis in paediatric patients between 0 and 24 months old.
Cochrane Libr. 2016.

13

Anda mungkin juga menyukai