Anda di halaman 1dari 16

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Mola Hidatidosa merupakan salah satu penyakit trofoblas gestasional
(PTG) dimana kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna,
melainkan berkembang menjadi keadaan patologik. Kehamilan mola
secara histologis ditandai dengan kelainan vili khorionik yang terdiri dari
proliferasi trofoblas dengan derajat bervariasi dan edema stroma vilus.
Mola biasanya terletak di rongga uterus, tetapi kadang-kadang terletak di
tuba fallopi dan bahkan ovarium.1,2
Mola hidatidosa adalah rare mass atau pertumbuhan yang terbentuk
di dalam rahim pada permulaan kehamilan. Mola hidatidosa atau
kehamilan mola merupakan hasil dari produksi jaringan berlebihan yang
seharusnya berkembang menjadi plasenta.1,2

3.2. Epidemiologi
Frekuensi mola banyak ditemukan di negara-negara asia, Afrika dan
Amerika latin dari pada di negara-negara barat. Mola hidatidosa
merupakan penyakit wanita dalam masa reproduksi antara umur 15 tahun
sampai 45 tahun. Penderita dengan kehamilan mola mempunyai risiko
untuk terjadinya kehamilan mola juga pada kehamilan berikutnya. Insiden
mola hidatidosa ulangan tersebut dilaporkan sebesar 0,6-2,0% dari seluruh
kehamilan yang terjadi setelahnya di Amerika Utara dan Asia. Penderita
dengan kehamilan mola hidatidosa ulangan tersebut mempunyai risiko
yang meningkat menjadi penyakit trofoblas ganas yang persisten pada fase
penyakit mola berikutnya.3
Dalam penelitian terbaru disebutkan bahwa insidensi mola
hidatidosa bervariasi dari 0,57/1000 kehamilan hingga 2,0/1000
kehamilan. Insidensi tinggi berasal dari Asia Tenggara dan Jepang.
Sedangkan insidensi rendah berasal dari Amerika Utara, Australia,
Selandia Baru dan Eropa.4
Mola hidatidosa biasanya menyerang wanita pada usia reproduksi
ekstrim. Wanita pada masa remaja awal atau usia perimenopause adalah
yang paling berisiko. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki
peningkatan risiko 2 kali lipat dibandingkan dengan wanita yang lebih
muda. Jumlah paritas tidak mempengaruhi risiko.5

3.3. Klasifikasi
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kehamilan
mola parsial dan kehamilan mola komplit. Pada kehamilan mola parsial,
terdapat plasenta abnormal dan sedikit perkembangan fetus. Pada
kehamilan mola komplit terdapat plasenta abnormal tetapi tanpa adanya
fetus. Kedua bentuk mola tersebut disebabkan oleh masalah ketika
fertilisasi. Penyebab pasti dari masalah tersebut belum diketahui secara
pasti.5

3.4. Etiologi
Etiologi penyakit trofoblas sampai saat ini belum juga diketahui
dengan pasti. Namun ada beberapa teori yang mencoba menerangkan
terjadinya penyakit trofoblas yaitu teori desidua, teori telur, teori infeksi
dan teori hipofungsi ovarium.1
1. Teori desidua
Menurut teori ini terjadinya mola hidatidosa ialah akibat perubahan-
perubahan degeneratif sel-sel trofoblas dan stroma vili korialis.
Dasar teori ini adalah selalu ditemukan desidual endometritis, pada
binatang percobaan dapat terjadi mola hidatidosa bila pembuluh
darah uterus dirusak sehingga terjadi gangguan sirkulasi pada
desidua.
2. Teori telur
Menurut teori ini molahidatidosa dapat terjadi bila terdapat kelainan
pada telur, baik sebelum diovulasikan maupun setelah dibuahi.
3. Teori infeksi
Bagshawe melaporkan sejenis virus pada mola hidatidosa. Virus ini
kemudian ditransplantasikan pada selaput korioalantoin mudigah
ayam, ternyata kemudian terjadi perubahan-perubahan khas
menyerupai molahidatidosa, baik secara makroskopik maupun
mikroskopik. Selain itu molahidatidosa diduga disebabkan oleh
toksoplasmosis, teori ini dikemukakan oleh Bleier. Teori ini
didasarkan pada penemuan toksoplasmosis Gondii dalam jumlah
besar pada darah penderita molahidatidosa.
4. Teori hipofungsi ovarium
Teori ini dikemukakan oleh Hasegawa, berdasarkan penelitian
beberapa orang ahli yaitu Courrier dan Gros yang melakukan
kastrasi pada seekor kucing, 15-17 hari setelah pembuahan. Ternyata
kemudian pada plasentanya ditemukan perubahan-perubahan yang
menyerupai molahidatidosa. Karzafina melaporkan bahwa 60%
penderita molahidatidosa yang ditelitinya berumur 18–21 tahun,
disertai oleh hipofungsi ovarium. Smalbreak melaporkan bahwa dari
hasil penelitiannya ditemukan angka kejadian molahidatidosa yang
tinggi pada perempuan muda, dimana fungsi seksualnya masih
imatur. Menurut Hasegawa molahidatidosa diduga disebabkan oleh
teori defisiensi estrogen, yang didukung oleh data-data penelitian
yang melaporkan bahwa 60% penderita molahidatidosa berumur 18–
21 tahun dan disertai hipofungsi ovarium. Serta insidens
molahidatidosa yang tinggi pada perempuan muda dan pada
perempuan tua dimana fungsi ovarium telah menurun.

Walaupun etiologi mola hidatidosa masih belum jelas, terdapat faktor-


faktor yang meningkatkan risiko terjadinya mola hidatidosa. Faktor-faktor
tersebut antara lain:6
1. Usia
Kehamilan mola komplit sering terjadi pada wanita pada usia remaja
dan wanita berusia lebih dari 45 tahun. Usia memiliki sedikit atau
bahkan tidak ada pengaruh pada kehamilan mola parsial.
2. Kehamilan mola sebelumnya
Apabila terdapat riwayat kehamilan mola sebelumnya, penderita
memiliki kemungkinan 1-2% dibandingkan 0,167% orang pada
wanita yang tidak pernah mengalami kehamilan mola. Apabila
kehamilan mola terjadi dua kali atau lebih, maka kemungkinananya
meningkat menjadi 15-20%.
3. Ras
Kehamilan mola lebih sering terjadi di negara-negara Asia seperti
Taiwan, Filipina dan Jepang, serta beberapa Native American. Akan
tetapi, pada beberapa tahun terakhir, perbedaan insidensi pada
komunitas tersebut dan populasi secara umum telah menjadi lebih
sedikit.

3.5. Patologi
Secara mikroskopik pada mola komplit terlihat trias:1,12
1. Proliferasi dari trofoblast bersifat difus.
2. Degenerasi hidrofik dari stroma villi bersifat difus.
3. Hilangnya pembuluh darah dan stroma bersifat difus.

Sedangkan pada mola parsialis struktur histologisnya bersifat:1,7-9


1. Campuran dari sel villi besar dan kecil; jumlahnya tidak menentu.
Meningkatnya inklusi pseudovilli. Kemudian akan terlihat pembuluh
darah angioma melingkari villi avaskular lainnya. stroma villi
mempunyai struktur retikular, beberapa villi bersifat fibrotik.
2. Proliferasi trofoblastik Lebih sedikit bila dibandingkan dengan mola
hidatidosa komplit, biasanya fokal dan kadang-kadang tidak ada.
3. Perubahan hidropik bersifat fokal, membesar pada trimester kedua.
Pada trimester pertama biasanya kecil, ireguler dan mempunyai villi
fibrotik. Pada mola yang telah lama terdapat sisterna yang besar,
jarang terlihat pada aborsi hidropik.
4. Adanya fetus atau bagian janin yang nekrotik atau sel merah
bernukleus juga amnion.

3.6. Patogenesis
Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis
penyakit ini. Pertama, teori missed abortion. Kematian mudigah pada usia
kehamilan 3-5 minggu, saat di mana seharusnya sirkulasi fetomaternal
sudah terbentuk, menyebabkan gangguan peredaran darah. Sekresi dari
sel-sel yang mengalami hiperplasia dan menghasilkan substansi-substansi
yang berasal dari sirkulasi darah ibu, diakumulasikan ke dalam stroma villi
sehingga terjadi kista villi yang kecil-kecil. Cairan yang terdapat dalam
kista tersebut adalah cairan interstitial yang menyerupai cairan ascites atau
edema, tetapi kaya akan hCG.1
Kedua, adalah teori neoplasma dari Park, yang mengatakan bahwa
yang abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang mempunyai fungsi yang
abnormal pula, dimana terjadi resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam
villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan
peredaran darah dan kematian mudigah. Sebagian dari villi berubah
menjadi gelembung-gelembung berisi cairan jernih. Biasanya tidak ada
janin, hanya pada mola parsialis kadang-kadang ditemukan janin.
Gelembung-gelembung ini sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah
anggur. Gelembung ini dapat mengisi seluruh kavum uterus.1
Pada pemeriksaan kromosom didapat poliploidi dan hampir pada
semua kasus mola susunan kromatin seksnya adalah wanita (46xx). Secara
makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-
gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran
bervariasi dari beberapa millimeter sampai satu atau dua sentimeter.1

3.7. Manifestasi Klinis


Gejala yang timbul pada kehamilan mola adalah sebagai berikut.2
1. Pertumbuhan uterus abnormal, dimana ukuran uterus dapat lebih besar
ataupun lebih kecil daripada usia kehamilannya.
2. Mual dan muntah yang cukup berat sehingga memerlukan perawatan
di Rumah Sakit.
3. Perdarahan pervaginam pada 3 bulan pertama kehamilan.
4. Gejalan hipertiroidisme seperti intoleransi panas, BAB cair,
takikardia, gugup berlebihan, kulit yang hangat dan lembab, tremor
pada tangan, ataupun penurunan berat badan yang sulit dijelaskan.
5. Gejala yang mirip dengan preeklampsia yang terjadi pada trimester
pertama atau permulaan trimester kedua seperti terkanan darah tinggi,
pembengkakan pada kaki, pergelangan kaki dan tungkai bawah (yang
hampir selalu menjadi tanda mola hidatidosa karena pada
preeklampsia sangat jarang terjadi pada awal kehamilan).

3.8. Diagnosis
Anamnesis1,2,5
 Terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata
dari kehamilan biasa.
 Terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna
tengguli tua atau kecoklatan.
 Pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan
dengan usia kehamilan seharusnya.
 Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu
ada) yang merupakan diagnosa pasti.

Gejala Klinis1,2,5,6
1. Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala mola hidatidosa yang paling
umum ditemui. Mulai dari sekedar spotting hingga perdarahan masif.
Gejala perdarahan biasanya terjadi antara bulan pertama sampai bulan
ke tujuh dengan rata-rata minggu ke 12-14. Dapat dimulai sesaat
sebelum aborsi atau lebih sering dapat muncul secara intermiten,
sedikit-sedikit atau sekaligus banyak hingga menyebabkan syok atau
kematian. Sebagai akibat dari perdarahan tersebut gejala anemia
sering dijumpai terutama pada wanita malnutrisi. Efek dilusi dari
hipervolemia terjadi pada wanita dengan mola yang lebih besar.
Anemia defisiensi Fe sering ditemukan, demikian pula halnya dengan
kelainan eritropoiesis megaloblastik, diduga akibat asupan yang tidak
mencukupi karena adanya mual dan muntah disertai peningkatan
kebutuhan asam folat karena cepatnya proliferasi trofoblas.
Perdarahan juga sering disertai pengeluaran jaringan mola. Darah
yang keluar berwarna kecoklatan.
2. Ukuran uterus bisa lebih besar atau lebih kecil (tidak sesuai usia
kehamilan)
Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat
daripada kehamilan normal, hal ini ditemukan pada setengah dari
semua pasien mola. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil
atau sama besarnya dengan kehamilan normal, walaupun jaringannya
belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan trofoblas tidak
terlalu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya dying
mole. Uterus mungkin sulit untuk diidentifikasikan secara pasti
dengan palpasi, terutama pada wanita nullipara. Hal ini disebabkan
karena konsistensinya yang lembut di bawah dinding perut yang kaku.
Pembesaran uterus karena kista theca lutein multiple akan membuat
sulit perbedaaan dengan pembesaran uterus biasa.
3. Tidak adanya aktifitas janin
Walaupun pembesaran uterus mencapai bagian atas simfisis, tidak
ditemukan adanya denyut jantung janin. Meskipun jarang, mungkin
terdapat plasenta ganda dengan kehamilan mola komplet yang
bertumbuh bersamaan, sementara plasenta yang satu dan janin terlihat
normal. Juga walaupun jarang, mungkin terdapat mola inkomplet pada
plasenta yang disertai janin hidup.
4. Eklampsia dan preeklampsia
Preeklampsia pada kehamilan mola timbul pada trisemester ke 2.
Eklamsia atau preeklamsia pada kehamilan normal jarang terlihat
sebelum usia kehamilan 24 minggu. Oleh karenanya preeklamsia yang
terjadi sebelum waktunya harus dicurigai sebagai mola hidatidosa.
5. Hiperemesis
Mual dan muntah yang signifikan dapat timbul sebagai salah satu
gejala mola hidatidosa.
6. Tirotoksikosis
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering
meningkat, namun gejala hipertiroid jarang muncul. Menurut Curry
insidennya 1%, tetapi Marta adisoebrata menemukan angka lebih
tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa
berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin
besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola
dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka Martaadisoebrata
menganjurkan agar pada tiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda
tirotoksikosis secara aktif. Mola yang disertai tirotoksikosis
mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian
maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita
meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin
karena efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan
normal. Serum bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat
thyrotropin-like effect dari Chorionic Gonadotropin hormone.
Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi
hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 IU/L yang bersifat tirotoksis.

Mola hidatidosa komplit:


1. Perdarahan pervaginam : gejala umum dari mola komplit. Jaringan
mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus mungkin
membesar karena sejumlah besar darah dan cairan gelap masuk ke
dalam vagina. Gejala ini muncul pada 97% kasus.
2. Hiperemesis : karena peningkatan secara ekstrem kadar hCG
3. Hipertiroidisme : kira-kira 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan
kulit yang hangat.
Mola hidatidosa parsial
1. Pasien dengan mola hidatidosa parsial tidak memiliki gejala yang
sama dengan mola komplit. Pasien ini biasanya mempunyai gejala dan
tanda seperti abortus inkomplet atau missed abortion.
2. Perdarahan pervaginam
3. Adanya denyut jantung janin

Pemeriksaan Fisik1,5,6,7,9,12
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
1. Inspeksi
 Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-
kuningan yang disebut muka mola (mola face).
 Kalau gelembung mola keluar dapat dilihat jelas.
2. Palpasi
 Uterus membesar tidak sesuai dengan usianya, terasa lembek.
 Tidak teraba bagian-bagian janin, balotemen dan juga gerak janin.
 Adanya fenomena harmonika: darah dan gelembung mola keluar,
dan fundus uteri turun, lalu naik lagi karena terkumpulnya darah
baru.
3. Auskultasi
 Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin
 Terdengar bising dan bunyi khas
4. Pemeriksaan dalam
Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian
janin, terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan
vagina, serta evakuasi keadaan serviks.

Pemeriksaan Penunjang1,2,7,9,12
1. Pemeriksaan sonde
Dengan perasat Hanifa Winkjosastro, kita masukkan sonde uterus. Jika
sonde masuk ke dalam kavum uteri tanpa tahanan dan dapat diputar
360o dengan deviasi sonde kurang dari 10o, berarti merupakan
kehamilan mola.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pengukuran kadar β-hCG tidak lagi digunakan untuk menegakkan
diagnosis mola karena sudah digantikan oleh USG. Pemeriksaan serial
diperlukan untuk mendeteksi penyakit PTG yang persisten setelah
pengeluaran mola. Yang harus diperhatikan di sini adalah hormon β-
hCG, karena karakteristik yang terpenting dari penyakit ini adalah
kemampuannya dalam memproduksi hormon β-hCG, sehingga jumlah
hormon ini lebih meningkat bila dibandingkan dengan kehamilan
normal pada usia kehamilan tersebut. Hormon ini dapat dideteksi di
urin maupun dalam serum penderita. Namun pemeriksaan yang
dilakukan pada serum terpengaruh oleh lebih sedikit variabel daripada
yang di urin. Terdapat tiga jenis pemeriksaan β-hCG, yaitu:
 β-hCG kualitatif serum, yang dapat mendeteksi kadar hCG > 5 –
10 mIU/ml.
 β-hCG kualitatif urin, yang dapat mendeteksi kadar hCG > 25-50
mIU/ml.
 β-hCG kuantitatif urin, yang dapat mendeteksi kadar hCG > 5-2
juta mIU/ml.
Hasilnya harus dibandingkan dengan kadar β-hCG serum
kehamilan normal pada usia kehamilan yang sama. Bila kadar β-hCG
kuantitatif >100.000 mIU/L mengindikasikan pertumbuhan ukuran
yang berlebihan dari trofoblastik dan meningkatkan kecurigaan adanya
kehamilan mola namun kadang-kadang kehamilan mola dapat
memiliki nilai hCG normal. Biasanya tes β-hCG normal setelah 8
minggu post evakuasi mola.
Bila jauh lebih tinggi dari rentangan kadar normal pada tingkat
kehamilan tersebut, suatu persangkaan diagnosa mola hidatidosa
dibuat. Kadar hormon β-hCG sangat tinggi dalam serum, 100 hari atau
lebih setelah menstruasi terakhir. Pemantauan secara hati-hati dari
kadar β-hCG, penting untuk diagnosis, penatalaksanaan dan tindak
lanjut pada semua kasus penyakit trofoblastik. Jumlah hormon β-hCG
yang ditemukan pada serum atau urin berhubungan dengan jumlah sel-
sel tumor yang ada.
3. Ultrasonografi
Pada kehamilan mola, bentuk karakteristik yang ada berupa
gambaran seperti “badai salju” tanpa disertai kantong gestasi atau
janin. Pemeriksaan USG sebaiknya dilakukan pada setiap pasien yang
pernah mengalami perdarahan pada trisemester awal kehamilan dan
memiliki ukuran uterus yang lebih besar daripada usia kehamilannya.
USG dapat menjadi pemeriksaan yang spesifik untuk
membedakan antara kehamilan normal dengan mola hidatidosa.
Namun harus diingat bahwa beberapa struktur lainnya dapat
memperlihatkan gambaran yang serupa dengan mola hidatidosa
termasuk myoma uteri dengan kehamilan ini dan kehamilan janin > 1.
Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik
sehingga seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik,
missed abortion, abortus incomplitus atau mioma uteri. Pada
kehamilan trimester II gambaran mola hidatidosa umumnya lebih
spesifik, kavum uteri berisi massa ekogenik bercampur bagian-bagian
anekhoik vesikuler berdiameter antara 5-10 mm. Gambaran tersebut
dapat dibayangkan seperti gambaran sarang tawon (honey comb) atau
badai salju (snow storm).

Gambar 1. USG mola Hidatidosa


4. Amniografi
Dengan menggunakan bahan radioopague yang dimasukkan ke dalam
uterus secara transabdominal, akan memberikan gambaran radiografik
yang khas untuk mola hidatidosa. Kavum uterus ditembus dengan
jarum amniosentesis. Suntikan 20 ml hypague segera. Dibuat foto
anteroposterior 5-10 menit kemudian. Pola sinar X yang terjadi seperti
sarang tawon, yang ditimbulkan oleh bahan kontras yang mengelilingi
gelombang-gelombang korion. Amniografi ini sekarang sudah jarang
digunakan lagi semenjak adanya USG yang lebih mudah.

3.9. Penatalaksanaan1,7,8,9,12
Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu:
1. Perbaikan keadaan umum
Yang termasuk usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat
dan syok hipovolemik karena perdarahan. Atau menghilangkan
penyulit seperti preeklamsia dan tirotoksikosis. Preeklamsia diobati
seperti pada kehamilan biasa, sedangkan untuk tirotoksikosis diobati
sesuai protokol penyakit dalam.
2. Pengeluaran jaringan mola
Ada dua cara evakuasi, yaitu: a) kuret hisap, b) histerektomi
 Kuret hisap
Kuret hisap merupakan tindakan pilihan untuk mengevakuasi
jaringan mola, dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan
infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan
kecepatan 40-60 tetes/menit. Oksitosin diberikan untuk
menimbulkan kontraksi uterus mengingat isinya akan dikeluarkan
Tindakan ini dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi
dan dengan terjadinya retraksi miometrium, dinding uterus akan
menebal dan dengan demikian resiko perforasi dapat dikurangi.
Bila sudah terjadi abortus maka kanalis servikalis sudah terbuka.
Bila belum terjadi abortus, kanalis servikalis belum terbuka
sehingga perlu dipasang laminaria atau servikalis dilator (setelah 10
jam baru terbuka 2-5 cm). Setelah jaringan mola dikeluarkan secara
aspirasi dan miometrium memperlihatkan kontraksi dan retraksi,
biasanya dilakukan kuretase yang teliti dan hati-hati dengan
menggunakan alat kuret yang tajam dan besar. Jaringan yang
diperoleh diberi label dan dikirim untuk pemeriksaan. Kuretase
kedua dilakukan apabila kehamilan seusia lebih dari 20 minggu,
atau tidak diyakini bersih. Kuret ke-2 dilakukan kira-kira 10-14
hari setelah kuret pertama. Pada waktu itu uterus sudah mengecil
sehingga lebih besar kemungkinan bahwa kuret betul-betul
menghasilkan uterus yang bersih. Jika terdapat mola hidatidosa
yang besar (ukuran uterus >12 minggu, dan dievakuasi dengan
kuret hisap, laparatomi harus dipersiapkan, atau mungkin
diperlukan ligasi arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan
atau perforasi. Sebelum kuret sebaiknya disediakan persediaan
darah untuk menjaga kemungkinan terjadi perdarahan masif selama
kuretase berlangsung.
 Histerektomi
Sebelum kuret hisap digunakan, histerektomi sering dipakai untuk
pasien dengan ukuran uterus di luar 12-14 minggu. Namun
histerektomi tetap merupakan pilihan pada wanita yang telah cukup
umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan
histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi karena hal
tersebut merupakan predisposisi timbulnya keganasan. Batasan
yang dipakai ialah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak
jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan
pemeriksaan histopatologi sudah tampak adanya tanda-tanda mola
invasif. Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran
jaringan dilakukan melalui histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu
populer dan sudah ditinggalkan. Walau histerektomi tidak dapat
mengeliminasi sel-sel tumor trofoblastik, namun mampu untuk
mengurangi kekambuhan penyakit ini.
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya
keganasan di bawah pengawasan dokter. Misalnya umur tua dan
paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi, atau kasus
dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan
Methotrexate atau Actinomycin D. Tidak semua ahli setuju dengan
cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola yang menjadi ganas tidak
banyak dan sitostatika merupakan obat yang berbahaya. Goldstein
berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat
menghindarkan keganasan metastasis, serta mengurangi terjadinya
koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali. Kadar hCG >100.000 IU/L
praevakuasi dianggap sebagai resiko tinggi untuk perubahan ke arah
keganasan, pertimbangan untuk memberikan Methotrexate (MTX) 3-5
mg/kgBB atau 25 mg IM dosis tunggal. Metastasis yang hanya ke
paru dapat diobati dengan agen kemoterapi tunggal sedangkan
metastasis lainnya memerlukan 3 agen kemoterapi.
4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up)
Tujuan utama follow up untuk mendeteksi adanya perubahan yang
mengarah keganasan. Metode umum follow up adalah sebagai berikut.
 Mencegah kehamilan selama periode follow up, minimal 1 tahun,
mematuhi jadwal kontrol selama 2-3 tahun (1x pada triwulan
pertama, tiap 2 minggu pada triwulan kedua, tiap bulan pada 6
bulan berikutnya, tiap 2 bulan pada tahun berikutnya, selanjutnya
tiap 3 bulan.
 Pengukuran kadar serum B-hCG setiap 2 minggu.
 Mempertahankan terapi selama kadar serum menurun. Peningkatan
atau pendataran kadar membutuhkan evaluasi dan terapi lanjut.
 Jika kadar normal (mencapai batas rendah dari pengukuran,
dilakukan pengukuran setiap bulan sekali selama 6 bulan dan tiap 2
bulan selama 1 tahun
 Follow up dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan 1 tahun
kemudian.
Setiap periksa ulang penting diperhatikan:
 Gejala klinik: keadaan umum, perdarahan, dan lain-lain
 Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan inspekulo: tentang
keadaan serviks, uterus cepat bertambah kecil atau tidak, dan lain-
lain
 Reaksi biologis atau imunologis air seni, 1x seminggu sampai hasil
negatif, 1x 2 minggu selama triwulan selanjutnya, 1x sebulan
dalam 6 bulan selanjutnya, 1x 3 bulan selama tahun berikutnya.
Kalau reaksi titer tetap (+) maka harus dicurigai adanya keganasan.
Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca terkenanya
mola hidatidosa. Menurut Harahap tumor timbul 34,5% dalam 6
minggu, 62,1% dalam 12 minggu, dan 79,4% dalam 24 minggu
serta 97,2% dalam 1 tahun setelah mola keluar.

Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat


kemungkinan terjadi keganasan setelah mola hidatidosa (20%).
Gejala-gejala choriocarsinoma yang harus diwaspadai setelah
dilakukan kuretase mola: perdarahan yang terus menerus, involusi
rahim tidak terjadi, kadang-kadang malahan nampak metastasis di
vagina berupa tumor-tumor yang biru ungu, rapuh dan mudah
berdarah. Selama pengawasan, secara berkala dilakukan ginekologis,
kadar -hCG dan ultrasonografi. Cara yang paling peka saat ini adalah
dengan pemeriksaan -hCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika
masih meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif.
Cara yang umum dipakai sekarang ini adalah dengan
radioimmunoassay terhadap -hCG sub-unit. Pemeriksaan kadar -
hCG diselenggarakan setiap minggu sampai kadar menjadi negatif
selama 3 minggu dan selanjutnya setiap bulan selama 6 bulan.
Mungkin juga timbul metastasis di paru-paru yang menimbulkan
batuk dan haemoptoe, oleh karena itu bila ada gejala-gejala yang
mencurigakan harus dibuat foto rontgen paru.

3.10. Diagnosis Banding1,2,7,12


 Kehamilan normal
 Kehamilan dengan mioma uteri
 Abortus
 Kehamilan ektopik terganggu

3.11. Komplikasi1,12
 Perforasi uterus selama kuret hisap sering muncul karena uterus yang
membesar. Jika hal ini terjadi prosedur penanganannya harus dalam
bimbingan laparaskopi.
 Perdarahan sering pada evakuasi mola, karenanya oksitosin IV harus
diberikan sebelum prosedur dimulai. Methergin atau Hemabase dapat
juga diberikan.
 Penyakit trofoblastik ganas terjadi pada 20 % kehamilan mola,
karenanya pemeriksaan kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1
tahun post evakuasi sampai hasilnya negatif.
 DIC, karena jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat
fibrinolitik. Semua pasien harus diperiksa kemungkinan adanya
koagulopati.
 Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut.
Faktor resiko terbesar ialah pada ukuran uterus yang lebih besar dari
yang diharapkan pada usia kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat
berakhir fatal.
 Kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Kista lutein dapat
menyebabkan pembesaran pada satu atau kedua ovarium dengan
ukuran yang beragam, dari diameter mikroskopik sampai ukuran 10
cm atau lebih. Hal ini terjadi pada 25-60% penderita mola. Kista teka
lutein multiple pada 15-30% penderita mola menyebabkan
pembesaran satu atau kedua ovarium dan menjadi sumber rasa nyeri.
Ruptur, perdarahan atau infeksi mudah terjadi.
 Anemia, karena perdarahan yang berulang-ulang
 Perdarahan dan syok. Penyebab perdarahan ini mungkin disebabkan
oleh pelepasan jaringan mola tersebut dengan lapisan desidua,
perforasi uterus oleh karena keganasan, atonia uteri atau perlukaan
pada uterus karena evakuasi jaringan mola.
 Infeksi sekunder
DAFTAR PUSTAKA

1. Winkjosastro H. Mola Hidatidosa. Dalam: Ilmu Kebidanan. Edisi ke-3.


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1999.
2. White CD. Hydatidiform mole. 2014. Tersedia dari: https://www.nlm.nih.gov/
medlineplus/ency/article/000909.htm [diakses pada 15 Oktober 2015].
3. Igwegbe AO dan Eleje GU. Hydatidiform mole: A Review of Management
Outcomes in a Tertiary Hospital in South-East Nigeria. Ann Med Health Sci
Res. 2013; 3(2): 210-4.
4. Heidarpour M dan Khanahmadi M. Diagnostic value of P63 in differentiating
normal gestation from molar pregnancy. J Res Med Sci. 2013; 18(6): 462-6.
5. Moore LE dan Hernandez E. Hydatidiform Mole. 2014. Tersedia dari: http://
emedicine.medscape.com/article/254657-overview#showall [diakses pada 22
Agustus 2018].
6. NHS. Molar pregnancy. 2014. Tersedia dari: http://www.nhs.uk/conditions/
Molar-pregnancy/Pages/Introduction.aspx [diakses pada 22 Agustus 2018].
7. Bagian Obstetri Ginekologi FK UNPAD. Penyakit Trofoblas Gestasional;
Obstetri Patologi; 1983; 28-33.
8. Berek AS, Adashi EY, Hillard PA. Novak’s Gynecology. 20th ed, Wiliams &
Wilkins, Baltimore, 1996.
9. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Gestational Trophoblastic
Disease: Williams Obstetrics.21th ed. Conneticut, Appleton & Lange, 2001;
835-43.
10. Martaadisoebrata. D, & Sumapraja, S. Penyakit Serta Kelainan Plasenta &
Selaput Janin. ILMU KEBIDANAN. Yayasan Bina pustaka SARWONO
PRAWIROHARDJO. Jakarta. 2002. Hal 341-8.
11. Rustam Muchtar. Penyakit Trofoblas: Sinopsis Obstetri. Edisi 2, Jilid 1.
Penerbit buku Kedokteran. EGC. Hal. 238-43.
12. Sastrawinata, S.R. Mola Hidatidosa. OBSETETRI PATOLOGIK. Bagian
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
ELSTAR OFFSET. Bandung. 1981. Hal 38-42.

Anda mungkin juga menyukai