Anda di halaman 1dari 5

BAB II

ANALISA KASUS

Dari kasus didapatkan seorang pasien laki-laki berusia 67 tahun datang dengan keluhan
pingsan 2x sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan pingsan dirasakan selama ± 5
menit. Sebelum pingsan pasien mengeluh pandangan kabur dan nggliyer. Pingsan disertai dada
terasa penuh. Dada terasa penuh dirasakan menembus ke punggung dan menjalar ke leher,
memberat sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit. Dada ampeg disertai dengan keringat dingin
(+), sesak (-), mual (+), dan muntah (+) 3 kali. Keluhan batuk dan demam disangkal. Keluhan
pada BAK dan BAB disangkal. Pasien lalu dibawa ke RS. Hermina, dirawat selama 1 hari.
Pasien diberi terapi Inf. RL, Inj. Dopamin 7,4 mg/jam, Ranitidin 2x50mg, Ondansentron
2x4mg, Inj. Citicolin 2x500mg, Inj. Metamizole 3x1gram.
Berdasarkan anamnesis, pasien memiliki riwayat merokok (+) sejak 20 tahun yang lalu,
1 bungkus rokok habis dalam 3 hari, sedangkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
jantung, stroke, dan merokok disangkal. Saat datang ke IGD RSDM, pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran umum compos mentis, tampak sakit sedang, tekanan darah 90/50 mmHg,
laju napas 18x/menit, detak jantung 65x/menit, frekuensi nadi 65x/menit, saturasi O2 98%
dengan room air, serta GDS menunjukkan hasil 116 mg/dL. Pada pemeriksaan leher,
didapatkan JVP 5+2cmH2O, Pada pemeriksaan jantung, saat inspeksi ictus cordis tidak tampak,
saat palpasi ictus cordis teraba tidak kuat angkat, saat inspeksi didapatkan ictus cordis tidak
tampak, saat palpasi didapatkan ictus cordis tidak kuat angkat, saat perkusi didapatkan batas
jantung kesan tidak melebar, dan saat auskultasi terdengar bunyi jantung I dan II intensitas
normal, reguler, bising (-). Pada pemeriksaan pulmo, didapatkan SDV (+/+), RBH (-/-), RBK
(+/+). Pada pemeriksaan EKG didapatkan hasil AV blok derajat 1, HR 75x, normoaxis, ST
elevasi pada lead III, aVF, V3R, dan V5R. AV blok derajat 2 tipe 1, HR 60x, normoaxis, ST
depresi pada lead V1-V6, ST elevasi pada lead III, aVF, V3R, dan V5R.
Anamnesis
Diagnosis adanya suatu sindrom koronari akut (SKA) harus ditegakkan secara cepat dan
tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG
(elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung.
Nyeri dada yang dialami pasien merupakan salah satu presentasi klinis yang khas dari
Acute Coronary Syndrome (ACS) dimana pasien tiba-tiba merasakan nyeri dada prekordial
atau sesak nafas yang digambarkan sebagai sensasi dihimpit, diremas, ditusuk atau ditekan, di
retrosternal dengan atau tanpa penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri dan lengan kiri. Nyeri
biasanya cukup hebat sehingga terjadi aktivasi simpatis berupa mual, muntah, dan keringat
dingin. Sindroma coroner akut dapat menyebabkan pasien mengalami penurunan kesadaran
(deficit neurologis). Selain itu, didapatkan faktor risiko yang dapat mendukung terjadinya ACS
pada pasien ini yakni, pasien laki-laki berusia lebih dari 45 tahun, dan memiliki riwayat
kebiasaan merokok.
Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan
kondisi lain sebagai konsekuensi dari SKA. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki
dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada pasien ini saat masuk IGD RSDM
didapatkan pasien dengan kesadaran kompos mentis, mengeluh sudah pingsan 2x dan didahului
nyeri dada. Tekanan darah 90/50 mmHg, laju napas 18x/menit, detak jantung 65x/menit,
frekuensi nadi 65x/menit, saturasi O2 98% dengan room air, serta GDS menunjukkan hasil
116 mg/dL.
Pada pemeriksaan leher, didapatkan JVP 5+2cmH2O, Pada pemeriksaan jantung, saat
inspeksi ictus cordis tidak tampak, saat palpasi ictus cordis teraba tidak kuat angkat, saat
inspeksi didapatkan ictus cordis tidak tampak, saat palpasi didapatkan ictus cordis tidak kuat
angkat, saat perkusi didapatkan batas jantung kesan tidak melebar, dan saat auskultasi
terdengar bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-). Pada pemeriksaan pulmo,
didapatkan SDV (+/+), RBH (-/-), RBK (+/+).
Elektrokardiografi
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Untuk menentukan diagnosis
pasti, maka dilakukan pemeriksaan EKG pada pasien. Pada pemeriksaan EKG didapatkan hasil
AV blok derajat 1, HR 75x, normoaxis, ST elevasi pada lead III, aVF, V3R, dan V5R. AV blok
derajat 2 tipe 1, HR 60x, normoaxis, ST depresi pada lead V1-V6, ST elevasi pada lead III,
aVF, V3R, dan V5R. Kesimpulan dari bacaan EKG mengarah ke AV block derajat 1 dan
STEMI inferoposterior.
Penanda Biokimia Jantung
Penanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai
prognostik yang lebih baik dari pada CK-MB. Troponin T juga didapatkan selama jejas otot,
pada penyakit otot (misal polimiositis), regenerasi otot, gagal ginjal kronik. Hal ini dapat
mengurangi spesifisitas troponin T terhadap jejas otot jantung. Sehingga pada keadaan-
keadadan tersebut, troponin T tidak lagi dapat digunakan sebagai penanda biokimia. Troponin
C, TnI dan TnT berkaitan dengan kontraksi dari sel miokard. Susunan asam amino dari
Troponin C sama antara sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda.
Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan
kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari adalah sama. Kadar serum creatinine kinase (CK)
dengan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari
kedua penanda tersebut adalah relatif rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam)
setelah onset serangan.
Kesimpulan
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien yakni
adanya nyeri dada yang khas, pemeriksaan EKG, dengan adanya peningkatan Troponin I dan
CKMB mengarahkan diagnosis pada STEMI inferior dan posterior. Maka pada pasien
diberikan tatalaksana sesuai dengan tatalaksana STEMI.
Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah koroner dengan
trombolitik/ PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi
luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung. Pasien yang telah ditetapkan
sebagai penderita STEMI harus istirahat di ICVCU dengan pemantauan EKG kontinyu untuk
mendeteksi iskemia dan aritmia. Ketika sampai di RSUD dr. Moewardi, pasien diberikan
oksigen sebesar 3 lpm dengan menggunakan nasal kanul. Pemberian oksigen berfungsi untuk
mengoptimalkan oksigenasi ke jaringan, dalam hal ini ke otot jantung karena nyeri dada yang
dirasakan pasien dengan SKA disebabkan karena hipoksia pada otot jantung. Perlu dilakukan
pemasangan oksimetri jari (finger pulse oximetry) atau evaluasi gas darah berkala untuk
menetapkan apakah oksigenisasi kurang (SpO2 <90%).
Pasien SKA harus diberikan antiplatelet. Aspilet dengan aspirin sebagai bahan aktif
termasuk salah satu antiplatelet yang dianjurkan pada pasien SKA dan dikombinasikan dengan
Clopidogrel sebagai penghambat reseptor ADP. Aspirin dan copidogrel menghambat sintesis
tromboxan A2 (TXA2) di dalam trombosit dan protasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan
menghambat secara ireversibel enzim siklooksigenase (akan tetapi sikoloogsigenase dapat di
bentuk kembali oleh sel endotel). Aspirin diberikan dengan initial dose 160-320 mg (2-4 tablet
dengan sediaan 80 mg per tablet). Serta clopidogrel diberikan dengan initial dose 75-300 mg
(1-4 tablet dengan sediaan 75 mg per tablet). Pada pasien ini di IGD RSUD Dr Moewardi
diberikan aspilet 80 mg.
Menurut PERKI 2015, penting diberikan terapi reperfusi baik IKP (intervensi kutan
primer) atau dengan farmakologis (trombolitik) karena pada kondisi penyumbatan pembuluh
darah tersebut merupakan kondisi kegawatan yang dapat menyebabkan kematian otot jantung.
Kondisi sumbatan akut itu harus dihilangkan secepatnya untuk menyelamatkan jaringan otot
jantung yang belum mati dan menghentikan progresifitas kematian jaringan. Fibrinolisis
merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempattempat yang tidak dapat
melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa
indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam
120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak
awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90
menit.
Pasien ini rencana diberikan injeksi streptokinase 1,5 juta unit dalam 100 cc NaCl 0,9%
yang diberikan selama 30-60 menit pada saat di ICVCU dikarenakan diperlukan pengawasan
selama pemberian fibrinolitik ini. Terapi ini digunakan sebagai fibrinolitik pada SKA dengan
onset < 12 jam agar memberikan efek yang optimal dan mengurangi risiko perdarahan.
Streptase juga merupakan trombolitik yang dapat menghambat perluasan infark, menurunkan
mortalitas, dan memperbaiki fungsi ventrikel kiri. Idealnya diberikan sebelum 6 jam pasca
serangan. Hasil ISIS-2 trial menunjukkan bahwa pemberian streptokinase walaupun lebih dari
6 jam setelah nyeri dada akibat infark namun belum melampaui 12 jam masih dapat
memperbaiki keadaan. Tidak dianjurkan trombolitik pada infark yang lebih dari 12 jam karena
meningkatkan mortalitas.
Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat
(<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark
ventrikel kanan. Sehingga pada pasien ini tidak diberikan terapi nitrat.
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien yang telah
pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya
dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan prognosis
pasien. Dalam penanganan jangka panjang peran dokter umum lebih besar, namun ada baiknya
intervensi ini ditanamkan dari saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan
mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum pasien dipulangkan.
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok, dengan ketat
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti.
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan setelah
STEMI
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak dating.
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial.
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior.
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan.
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hyperkalemia.

Anda mungkin juga menyukai