Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemic)
di Indonesia, mulai usia balita sampai orang dewasa. Prevalensi demam typhoid paling tinggi
pada usia 3 -1 9 tahun karena pada usia tersebut orang-orang cenderung memiliki aktivitas fisik
yang banyak, atau dapat dikatakan sibuk dengan pekerjaan dan kemudian kurang
memperhatikan pola makannya, akibatnya mereka cenderung lebih memilih makan di luar
rumah, atau jajan di tempat lain, khususnya pada anak usia sekolah, yang mungkin tingkat
kebersihannya masih kurang dimana bakteri Salmonella thypii banyak berkembang biak
khususnya dalam makanan sehingga mereka tertular demam typhoid.
Pada usia anak sekolah, mereka cenderung kurang memperhatikan kebersihan/hygiene
perseorangannya yang mungkin diakibatkan karena ketidaktahuannya bahwa dengan jajan
makanan sembarang dapat menyebabkan tertular penyakit demam typhoid.
Demam Typhoid masih merupakan masalah kesehatan yg penting di berbagai negara
sedang berkembang. Besarnya angka pasti demam typhoid di dunia ini sangat sukar ditentukan,
sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spectrum klinisnya sangat luas. Health
Organization (WHO) tahun 2003 : sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di
seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun.
Angka kematian dari penyakit ini mencapai 20%. Kematian umumnya disebabkan oleh
komplikasi typhoid antara lain radang paru- paru, perdarahan usus, dan kebocoran usus.
Dengan antibiotika yang tepat, angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 1 sampai 2%.
Kasus demam typoid banyak dijumpai di kalangan masyarakat, terutama pada anak-anak dan
masyarakat kurang tahu tentang penyebab, pencegahan, dan pengobatannya. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya kasus penyakit typoid yang berawal dari buruknya perilaku masyarakat
tentang hidup bersih.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. L
Usia : 13 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kadipaten
Pekerjaan : Pelajar
Suku : Sunda
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
No Rekam Medis : 002745xx
Tanggal Masusk IGD : 12 April 2018
Tanggal Pemeriksaan :
B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Demam sejak 8 hari SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Os Demam sejak 8 hari SMRS, demam naik urun terutama saat sore menjelang
malam hari, demam turun dengan obat penurun panas, os juga merasakan sakit kepala,
mual dan juga muntah 1 hari SMRS sebanyak 6 kali, muntah berupa cairan kekuningan,
± 5 sendok teh setiap muntah. Nyeri pada ulu hati dan BAB cair tidak ada, tetapi sudah
4 hari ini Os sulit BAB. Os masih bisa makan dan minum tetapi nafsu makan berkurang
dan terlihat lemas, keluhan mulut terasa pahit tidak ada.
Keluhan gusi berdarah, mimisan tidak ada, timbul bercak kemerahan dikulit
tidak ada. Batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sesak tidak ada. Kemerahan pada mata tidak
ada, keluar cairan dari telinga tidak ada, nyeri BAK tidak ada.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat Tuberkulosis
atau KP, asma disangkal pasien.
d. Riwayat Penyakit Kelurga
Riwayat penyakit yang sama dikeluarga disangkal. Riwayat tuberkulosis atau
KP, asma disangkal.

2
e. Riwayat Kelahiran
Menurut Ibu pasien, Os lahir di Rumah Sakit ditolong oleh dokter kebidanan,
cukup bulan, spontan, tidak ada penyulit saat kelahiran. Berat Badan Lahir 3600
gram, PB 50 cm, Lingkar Kepala 33 cm, langsung menangis.
f. Riwayat Perkembangan
Tengkurap usia 3 bulan, duduk usia 9 bulan, berdiri sia 11 bulan, mengoceh
uia 11 bulan, berjalan usia 24 bulan, membaca dan menulis usia 6 tahun.
Pertumbuhan gigi I usia 8 bulan
Kesan : Riwayat pertumbuhan & Perkembangan baik

3
g. Riwayat Imunisasi

Kesan : Riwayat imunisasi dasar lengkap


h. Riwayat Pengobatan
Sebelum ke RS Os diberi obat penurun panas yang dibeli sendiri diapotek
tetapi belum reda, 1 hari SMRS Ibu Os membawa ke klinik kemudian dilakukan cek
darah dan disarankan untuk ke Rumah Sakit
i. Riwayat Psikososial
Os sering jajan makanan yang dijual dipinggir sekolahnya, Os juga suka
mengonsumsi makanan yang pedas dan asam.
j. Riwayat Alergi
Alergi obat-obatan, makanan, cuaca dan debu disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 BB : 65 Kg
 TB : 160 cm
 Status Gizi (CDC) : BB/U = 65/45 x 100% = 144%
TB/U = 160/155 x 100% = 103%
BB/TB = 65/50 x 100% = 130%
Kesan : Obesity

4
b. Tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 62x/m
 Respiratory Rate : 20x/m
 Suhu : 38,2 C
Kepala
 Bentuk kepala : bulat, simetris, normocephal.
 Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor,
reflek cahaya +/+.
 Telinga : sekret -, pendengaran dalam batas normal
 Hidung : sekret -, perdarahan -, tidak ada septum deviasi
 Mulut : sianosis -, sariawan -, perdarahan gusi -, rose spot –
 Lidah : kotor +
Leher
 Inspeksi : simetris, tidak tampak pembesaran KGB leher
 Palpasi : pembesaran KGB -, pembesaran kelenjar tiroid -.
 Kaku kuduk : tidak ada
Thoraks
 Paru
- Inspeksi : normochest, simetris, retraksi intercostal (-)
- Palpasi : vocal fremitus teraba sama pada kedua lapang paru
- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), whezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : Batas atas pada ICS II PSL dextra
Batas kanan pada ICS IV PSL dextra
Batas kiri pada ICS V MCL sinistra
- Auskultasi : Suara jantung I dan II normal, Gallop (-), murmur (-)

Abdomen
 Inspeksi : datar, tidak terlihat massa.
 Auskultasi : bising usus (+) 12x/menit

5
 Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, terdapat nyeri tekan
epigastrium, supel, turgor kulit normal, undulasi (-).
 Perkusi : timpani di keempat kuadran abdomen
Ekstrimitas
 Superior : akral hangat +/+, edema -/-,petekie (-), CTR < 2 detik
 Inferior : akral hangat +/+, edema -/-,petekie (-), CTR < 2 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Tanggal 11 Mei 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Hemaglobin 12,0 10-15 g/dL
Eritrosit 4,8 x 106 3,6 – 4,8 x 106 /mm3
Hematokrit 37 32-44 %
Leukosit 8.400 5.000-10.000 /mm3
Trombosit 304.000 150.000-450.000 /mm3
Kimia Darah
O 1/80
S. Typhi Negatif
H 1/320
O 1/80
S. Paratyphi A Negatif
H Neg
O 1/80
S. Paratyphi B Negatif
H 1/80
O Neg
S. Paratyphi C Negatif
H 1/320

Tanggal 12 Mei 2018


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Hemaglobin 10,4 10-15 g/dL
Eritrosit 4,14 x 106 3,6 – 4,8 x 106 /mm3

6
Hematokrit 36,5 32-44 %
Leukosit 9.000 5.000-10.000 /mm3
Trombosit 353.000 150.000-450.000 /mm3
MCV 78,1 69-93 fL
MCH 28,7 22-34 Pg
MCHC 58,2 32-36 %
Basofil 0 0,5-1 %
Eosionofil 0 1-4 %
Neutrofil Batang 0 3-6 %
Netrofil Segmen 75 55-70 %
Limfosit 18 20-40 %
Monosit 8 2-8 %
Kimia Darah
O 1/320
S. Typhi Negatif
H 1/160
O 1/320
S. Paratyphi A Negatif
H Neg
O 1/160
S. Paratyphi B Negatif
H 1/320
O 1/640
S. Paratyphi C Negatif
H Neg

E. RESUME
An. M, 13 tahun, dengan obesitas . Demam sejak 8 hari SMRS, naik trun terutama
sore menjelang malam, Sakit kepala, mual, muntah 6 kali sejak 1 hari SMRS, isi cairan
kekuningan, nafsu makan menurun, lemas, sulit BAB sejak 4 hari SMRS. Os suka jajan
dipinggir sekolah, suka jajan yang pedas dan asam.
Suhu 38,2 C, Nadi 62x/m, Lidah Kotor, Nyeri epigastrium +, Widal test : S. Thyphi
O 1/320, H 1/160. S. Parathyphi A O 1/320, H Neg. S. Parathyphi B O 1/160, H 1/320. S.
Parathyphi C O 1/640, H Neg.
F. DIAGNOSIS
Obs. Febris H-8 ec Typhoid Fever

7
G. TATALAKSANA
Non-medikamentosa
- Observasi tanda klinis
Medikamentosa
- IVFD D5 ½ NS 2000 cc/24 jam
- Inj. Paracetamol 4 x 500 mg (IV)
- Inj. Ceftriaxone 2x2 gram (IV) H-1
- Inj. Dexamethason 3x5 mg (IV)
- Inj. Ondansentron 3x8 mg (IV)
- Diet Lunak Rendah Serat
H. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
I. FOLLOW UP
Tanggal Follow Up Tatalaksana
Minggu, 13 Mei 2018 S : Demam -, nyeri perut -, P :
sakit kepala –, muntah -, BAB - IVFD D5 ½ NS 2000 cc/24
+ jam
O : Kes : CM - Inj. Paracetamol 4 x 500 mg
N : 72x/m (IV)
S : 36, 5 C - Inj. Ceftriaxone 2x2 gram
RR : 20 x/m (IV) H-2
Abdomen : supel, nyeri tekan - Inj. Dexamethason 3x5 mg
-, bising usus normal (IV)
A : Demam Tifoid - Inj. Ondansentron 3x8 mg
(IV)
- Diet Lunak Rendah Serat
Senin, 14 Mei 2018 S : Demam -, ceftriaxon hari P : Rawat jalan
ke 3, muntah -, BAB 1x, Cefixime 2x200 mg selama 7
intake baik peroral hari
O : Kes : CM, TTV Stabil Paracetamol 3x500 mg

8
Mata : tidak anemis, tidak
ikterik
Jantung/paru : dalam batas
normal
Abdomen : datar, supel, bising
usus normal
A : Demam Tifoid

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Demam tifoid merupakan penyakit demam sistemik akut dan menyeluruh yang
disebabkan oleh Salmonella enterica subspesies enterica serotipe Typhi. Penyakit ini
awalnya diberi nama demam tifoid karena secara klinis mirip dengan penyakit tifus
meskipun secara patologis dapat dibedakan dengan jelas karena dihubungkan dengan
pembesaran plak Peyeri dan nodus limfa mesentrikus. Demam tifoid masih merupakan
masalah kesehatan yang penting terutama di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Gejala klinis penyakit ini bervariasi dari sakit ringan dengan demam yang tidak
tinggi, badan terasa tidak enak dan batuk kering hingga gejala klinis yang berat dengan
rasa tidak nyaman (nyeri) pada bagian abdomen dan berbagai komplikasi lainnya (WHO,
2003).
B. ETIOLOGI
Salmonella, yang termasuk anggota dari famili Enterobacteriaciae, merupakan
bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-3 ± 0,4 - 0,6
μm, bergerak dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang berarti bakteri ini dapat
tumbuh dalam kondisi ada dan tidak adanya oksigen. Salmonella tidak membentuk spora,
tidak memiliki kapsul dan tidak memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini
memproduksi H2S (yang dapat digunakan sebagai identifikasi bakteri tersebut di
laboratorium). Salmonella, seperti Enterobacteriaceae lain, memproduksi asam pada
fermentasi glukosa, mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom oksidase.
Anggota dari subspesies Salmonella diklasifikasikan ke dalam >2400 serotipe
berdasarkan antigen somatik O (komponen dinding sel lipopolisakarida (LPS)), antigen
permukaan Vi (yang hanya dimiliki S. Typhidan S. Paratyphi C) dan antigen flagela H.
Ketiga antigen ini penting untuk tujuan taksonomi dan epidemiologi dari Salmonellayang
masing-masing akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:
a. Antigen Somatik ( O )
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida dari dinding sel luar bakteri yang
tahan terhadap pendidihan, alkohol dan asam. Salmonella dibagi menjadi kelompok A-
I berdasarkan antigen somatik ini. Aglutinasi untuk antigen O di dalam tubuh
berlangsung lebih lambat dan bersifat kurang imunogenik namun mempunyai nilai

10
diagnosis yang tinggi. Titer antibodi yang timbul oleh antigen O ini selalu lebih rendah
dan titer antibodi H.
b. Antigen Flagel ( H )
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini rusak
dengan pendidihan dan alkohol tetapi tidak rusak oleh formaldehid. Terdapat dua
bentuk antigen H, fase 1 dan fase 2. Hanya salah satu dari kedua protein H ini yang
disintesis pada satu waktu. Hal ini tergantung dari rangkaian gen mana yang
ditranskripsikan menjadi mRNA.
c. Antigen Vi
Antigen Vi (polisakarida kapsul) adalah antifagosit dan faktor virulensi yang penting
untuk S. typhi. Antigen ini merupakan antigen permukaan dan bersifat termolabil.
Antigen ini digunakan untuk serotipe S. typhi di laboratorium klinis. Antibodi yang
terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi petunjuk bahwa individu
tersebut merupakan karier atau pembawa kuman. Selain S. typhi, antigen ini juga
terdapat pada S. paratyphi C dan S. dublin.
C. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global untuk Salmonella typhi.
Sulit untuk memperkirakan besar penyakit demam tifoid di dunia karena gambaran klinis
yang tidak khas dengan banyak infeksi demam lainnya, dan penyakit ini diremehkan
karena kurangnya sumber daya laboratorium di sebagian besar wilayah di negara
berkembang. Akibatnya, banyak kasus tetap kurang terdiagnosis. Di kedua daerah
endemik dan wabah besar, kebanyakan kasus demam tifoid terlihat pada mereka yang
berusia 3-19 tahun.
Manusia adalah satu-satunya tuan rumah dan reservoir alami. Infeksi ditularkan
melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi fekal. Insiden tertinggi terjadi
ketika pasokan air yang melayani populasi besar terkontaminasi fekali. Masa inkubasi
biasanya 8-14 hari, tetapi bisa berkisar dari 3 hari hingga 2 bulan. Sekitar 2–5% dari orang
yang terinfeksi menjadi pembawa kronis yang membawa S. typhi di kandung empedu.
Pembawa kronis sangat terlibat dalam penyebaran penyakit. Banyak infeksi ringan dan
atipikal terjadi dan relaps sering terjadi. Pasien yang terinfeksi HIV berada pada
peningkatan risiko penyakit parah karena S. typhi dan S. paratyphi
D. PATOFISIOLOGI
Semua infeksi Salmonella dimulai dengan masuknya bakteri tersebut melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dosis yang dapat menginfeksi yakni 103-

11
106colony-forming units. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung dan sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka Salmonella akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria, mikroorganisme
ini akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Salmonella dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa
ke plak Peyeri ileum distal. Salmonella memiliki fimbrae yang terspesialisasi yang
menempel ke epitelium jaringan limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat utama dimana
makrofag lewat dari usus ke sistem limfatik. Bakteri ini kemudian dibawa ke kelenjar
getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus,bakteri yang terdapat didalam makrofag ini
masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Pasien
biasanya relatif tidak memiliki atau hanya sedikit gejala pada masa inkubasi awal ini. Di
organ-organ retikuloendotelial, Salmonella meninggalkan sel fagosit dan kemudian
berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai dengan tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.
Didalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan
koagulasi.
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah disekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi.

12
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neruopsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan
gangguan organ lainnya.
E. MANIFESTASI KLINIS
- Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi
- Anak sering mengiga (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut,
diare aau kontipasi, muntah, perut kembung
- Pada keadaan berat disertai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus
- Pada pemeriksaan fisik, ditemukan suhu febris, kesadaran menurun, delirium, sebagian
besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu dibagian tengah kotor dan dibagian pinggir
hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai dari pada splenomegali,
kadang terdengar ronkhi pada pemeriksaan paru
Pada Kasus ditemukan gejala berupa :
- Demam sejak 8 hari SMRS, yang meningkat terutama sore menjelang malam
- Mual, muntah, dan nafsu mkan yang menurun
- Nyeri pada perut, dan sulit BAB
- Suhu febris 38,2 C, dengan Nadi 62x/m  Bradikardi relatif
- Nyeri tekan pada epigastrium
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik,
leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel polimorfonuklear.
Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal, walaupun jumlah tersebut
rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam. Leukopenia (<2000 sel per mikroliter)
dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik,
leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin
pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan keempat. Kultur Salmonella typhi
dari darah pada minggu pertama positif pada 90% penderita, sedangkan pada akhir
minggu ketiga positif pada 50% penderita. Terkadang pembiakan tetap positif
sehingga ia menjadi pembawa kuman. Pembawa kuman lebih banyak pada orang
dewasa daripada anak dan pria lebih banyak daripada wanita.
Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil usus.
Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti peritonitis

13
terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B. fragilis). Titer aglutinin O
dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik demam dan memuncak pada
minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena ada imunitas silang dengan kuman
salmonela lain atau karena titer yang tetap meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H
dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya
yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian antibodi empat kali lipat pada
sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien
yang sakit akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba
yang dini. Semakin dini sediaan awal diambil, maka semakin mungkin ditemukan
peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian, setelah 3
sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada diagnosis dini infeksi.

1. Leukosit.
Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena kebanyakan
pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas normal. Pada
demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-kadang dapat
ditemukan leukositosis.
2. SGOT dan SGPT.
SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah demam
tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.
3. Biakan darah.
Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah () tidak
menyingkirkan demam tifoid.
4. Uji Widal.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen yang
bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum pasien
yang disangka menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal
adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Widal dinyatakan positif jika titer O 1/200 atau terjadi peningkatan titer O sebanyak
4 kali lipat.
5. Kultur Gall (Gall Culture).
6. Tubex Tf
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk

14
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi antibodi IgM
dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Pada kasus tidak ditemukannya penurunan jumlah Hb, eukopeni, trombositopeni,
untuk pemeriksaan Biakan tidak dilakukan. Pada pemeriksaan widal ditemukan
peningkatan sebanyak 4 kali lipat titer O S. Typhi pada pemeriksaan pertama dan
kedua, yakni:
- Titer S. Typhi tgl 11 Mei 2018  O 1/80 menjadi 1/320
G. DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan WHO 2011 adalah :

Pada kasus didiagnosis sebagai probable case  ditemukan demam > 3 hari
dengan suhu > 38 C dan widal yang positif, karena pemeriksaan biakan baik darah,
feses, urin, dan bone marrow tidak dapa dilakukan
H. PENATALAKSANAAN
a. Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
b. Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Dosis airan parenteral adalah sesuai dengan

15
kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi, dosis cairan disesuaikan
dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
c. Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi
sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Diet harus mengandung kalori dan protein
yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah komplikasi,
perdarahan dan perforasi. Diet cair, bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila keadaan
penderita baik. Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur
atau diet cair selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat
kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral
melalui pipa lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila ada tanda-tanda
komplikasi perdarahan dan atau perforasi.
d. Medikamentosa
- Antipiretik
Dapat diberikan parasetamol dengan dosis 10-15 mg/KgBB/kali
- Obat Simptomatis
- Antibiotik
Pilihan Antibiotik
Oral Parenteral
Kloramfenikol 50-75 mg/KgBB/hr
Kloramfenikol 75
selama 14-21 hr
mg/KgBB/hr selama 14-21
Amooksisilin 75-100 mg/KgBB/hr
Tanpa Komplikasi hr
slama 14 hr
Ampisilin 75-100
TMP-SMX 8/40 mg/KgBB/hr
mg/KgBB/hr selama 14 hr
selama 14 hr
Sefixim (MDR) 15-20
Terapi Alternatif mg/KgBB/hr selama 7-14 hr
Tanpa Komplikasi Azitromisin (quinolon reistance) 8-
10 mg/KgBB/hr selama 7 hr
Kloramfenikol 100
Dengan Kompikasi mg/KgBB/hr selama 14-21
hr

16
Ampisilin 100 mg/KgBB/hr
selama 14 hr
Seftriakson 75 mg/KgBB/hr
atau Sefotaksim 80
mg/KgBB/hr selama 10-14
hr
Penatalaksanaan pada kasus sudah tepat, yakni :
- Pemberian cairan  kristaloid (D5 ½ NS) 2000 cc/24 jam
- Diet yang tepat  lunak dan rendah serat
- Pemberian obat smptomatis  antipiretik, Paracetamol 4x500 mg, Ondansentron 3x8
mg IV (mual, muntah)
- Pemberian antibiotik juga sudah tepat baik pilihan obat dan dosisnya, secara teori bisa
diberikan seftriakson 75 mg/KgBB/hr  75x65 = 4.875 mg/hari ~ pada pasien
diberikan sebanyak 2x2 gram IV atau 4.000 mg/hari
I. KOMPLIKASI
Intestinal • Perdarahan usus, perforasi, ileus paralitik, pankreatitis
Ekstra- • Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
intestinal • Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis.
• Paru: pneumonia, empiema, pleuritis.
• Hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
• Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
• Tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.
• Neuropsikiatrik/tifoid toksik.

17
DAFTAR PUSTAKA

 Herry G, Heda. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Ed-4, Hal 351-
354. Dep. Ilmu Kesehatan Anak, FK Univ Padjajaran. Bandung. 2012
 Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman elayanan Medis, Hal 47-50. 2009
 WHO. Guidelines for the Management of Thyphoid Fever. Juli. 2011
 WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Ryah Sakit, Hal 167. Jakarta : 2009

18

Anda mungkin juga menyukai