2.ASEAN
Tujuan OKI
1. Memelihara dan meningkatkan solidaritas diantara negara-negara
anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan
politik dan pertahanan keamanan.
2. Mengkoordinasikan usaha-usaha untuk melindungi tempat-tempat
suci.
3. Membantu dan bekerjasama dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat
Palestina.
4. Berupaya melenyapkan perbedaan rasial, diskriminasi, kolonialisme
dalam segala bentuk.
5. Memperkuat perjuangan umat Islam dalam melindungi martabat umat,
dan hak masing-masing negara Islam.
6. Menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis, saling pengertian
antar negara OKI dan Negara-negara lain.
Struktur organisasi OKI
Struktur organisasi terdiri dari :
1. Badan utama meliputi :
• KTT para raja dan Kepala negara/pemerintahan
• Sekretaris Jenderal sebagai badan eksekutif
• Konferensi para Menteri luar negeri
• Mahkamah Islam Internasional sebagai badan Yudikatif
• Komite-komite khusus, meliputi :
• komite Al-Quds
2. komite social, ekonomi dan budaya
3. Badan-badan subsider meliputi:
a). Bidang Ekonomi terdiri dari:
1. Pusat Riset dan latihan sosial ekonomi berpusat di Ankara
(Turki).
2. Pusat Riset dan latihan teknik berpusat di Dhakka (Bangladesh)
3. Kamar Dagang Islam berpusat di Casablanca (Maroko).
4. Dewan Penerbangan Islam berpusat di Tunis (Tunisia).
5. Bank Pembangunan Islam berpusat di Jeddah (Arab Saudi).
b). Bidang Sosial Budaya terdiri dari:
1. Dana Solidaritas Islam berpusat di Jeddah (Arab Saudi)
2. Pusat Riset Sejarah dan Budaya Islam berpusat di Istambul
(Turki).
3. Dana Ilmu, teknologi dan Pembangunan berpusat di Jeddah (Arab
Saudi).
4. Komisi Bulan Sabit Islam berpusat di Bengasi (Libya)
5. Komisi Warisan Budaya Islam berpusat di Istambul (Turki).
6. Kantor Berita Islam Internasional berpusat di Jeddah (Arab
Saudi).
Kegiatan OKI
Adapun kegiatan yang dilakukan OKI selalu dalam rangka
memperjuangkan kepentingan umat Islam, negara-negara anggota,
memelihara perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan dunia,
memperjuangkan kemerdekaan Palestina, baik dalam kegiatan politk,
ekonomi dan sosial budaya. Adapun tantangan yang dialami OKI sampai
sekarang antara lain:
1. Meminimalisasi perbedaan orientasi politik diantara negara
anggota OKI
2. Mengubah dan menghapuskan salah penafsiran dunia Barat terhadap
Islam yang selalu negatif, seperti mengaikkan Islam, dengan kegiatan
Fundamentalis, Terorisme, dan kekerasan lainya.
3. Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan serta Solidaritas antar
Anggota OKI.
4. Meningkatkan Kerjasama dalam berbagai bidang untuk kemajuan dan
kesejahteraan rakyat seluruh negara anggota OKI.
5. Mengupayakan terus-menerus agar kemerdekaan dan kedaulatan rakyat
Pelestina.
4.Sejarah APEC
Dinamika ekonomi politik Asia Pasifik pada akhir tahun 1993 tampak
memasuki babak baru, terutama dalam bentuk pengorganisasian kerja sama
perdagangan dan investasi regional. Dalam hal ini, negara-negara Asia
Pasifik berbeda dengan negara-negara di Eropa Barat. Negara-negara di
Eropa Barat memulainya dengan membentuk wadah kerja sama regional.
Dengan organisasi itu, ekonomi di setiap negara saling berhubungan
dan menghasilkan ekonomi Eropa yang lebih kuat daripada sebelum Perang
Dunia II. Sebaliknya, negara-negara Asia Pasifik, terutama sejak tahun
1970-an, saling berhubungan secara intensif dan menimbulkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi walaupun tanpa kerangka kerja sama
formal seperti yang ada di Eropa. Bahkan, berbagai transaksi ekonomi
terjadi antarnegara yang kadang-kadang tidak memiliki hubungan
diplomatik. Taiwan adalah contoh negara yang tidak diakui eksistensi
politiknya, tetapi menjadi rekanan aktif sebagian besar negara Asia
Pasifik dalam kegiatan ekonomi. Sekarang dinamika ekonomi itu dianggap
memerlukan wadah organisasi yang lebih formal.
Dunia usaha lebih dahulu merasakan adanya kebutuhan akan organisasi
itu, seperti tercermin dalam pembentukan Pacific Basin Economic
Council (PBEC) tahun 1969. Organisasi ini beranggotakan pebisnis dari
semua negara Asia Pasifik, kecuali Korea Utara dan Kampuchea.
Organisasi PBEC aktif mendorong perdagangan dan investasi di wilayah
Asia Pasifik, tetapi hanya melibatkan sektor swasta.
Pada tahun 1980 muncul Pacific Economic Cooperation Council (PECC).
Organisasi yang lahir di Canberra, Australia ini menciptakan kelompok
kerja untuk mengidentifikasi kepentingan ekonomi regional, terutama
perdagangan, sumber daya manusia, alih teknologi, energi, dan
telekomunikasi. Walaupun masih bersifat informal, PECC melibatkan para
pejabat pemerintah, pelaku bisnis, dan akademis. Salah satu hasil
kegiatan PECC adalah terbentuknya Asia Pasific Economic Cooperation
(APEC) sebagai wadah kerja sama bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik
di bidang ekonomi yang secara resmi terbentuk bulan November 1989 di
Canberra, Australia. Pembentukan APEC atas usulan Perdana Menteri
Australia, Bob Hawke. Suatu hal yang melatarbelakangi terbentuknya
APEC adalah perkembangan situasi politik dan ekonomi dunia pada waktu
itu yang berubah secara cepat dengan munculnya kelompok-kelompok
perdagangan seperti MEE, NAFTA. Selain itu perubahan besar terjadi di
bidang politik dan ekonomi yang terjadi di Uni Soviet dan Eropa Timur.
Hal ini diikuti dengan kekhawatiran gagalnya perundingan Putaran
Uruguay (perdagangan bebas). Apabila masalah perdagangan bebas gagal
disepakati, diduga akan memicu sikap proteksi dari setiap negara dan
sangat menghambat perdagangan bebas. Oleh karena itu, APEC dianggap
bisa menjadi langkah efektif untuk mengamankan kepentingan perdagangan
negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
2. Dewan Gubernur
Dewan Gubernur Terdiri Dari Gubernur Yang Dipilih Oleh Masing-
Masing Anggota OPEC Untuk Duduk Dalam Dewan Yang Bersidang Sedikitnya
Dua Kali Dalam Setahun. Pertemuan Extraordinary Dari Dewan Dapat
Berlangsung Atas Permintaan Ketua Dewan Sekretaris Jenderal Atau 2/3
Dari Anggota Dewan ( Pasal 17 Dan 18 ).
Tugas Dewan Adalah Melaksanakan Keputusan
Konferensi Mempertimbangkan Dan Memutuskan Laporan – Laporan Yang
Disampaikan Oleh Sekretaris Jenderal Memberikan Rekomendasi Dan
Laporan Kepada Pertemuan Konferensi OPEC Membuat Anggaran Keuangan
Organisasi Dan Menyerahkannya Kepada Sidang Konferensi Setiap Tahun
Mempertimbangkan Semua Laporan Keuangan Dan Menunjuk Seorang Auditor
Untuk Masa Tugas Selama Satu (1) Tahun Menyetujui Penunjukan Direktur
– Direktur Divisi, Kepala Bagian Yang Diusulkan Negara Anggota
Menyelenggarakan Pertemuan Extraordinary Konferensi OPEC Dan
Mempersiapkan Agenda Sidang ( Pasal 20 ) Dewan Gubernur Dipimpin Oleh
Seorang Ketua Dan Wakil Ketua Yang Berasal Dari Para Gubernur OPEC
Negara – Negara Anggota Dan Yang Disetujui Oleh Pertemuan Konferensi
OPEC Untuk Masa Jabatan Selama 1 Tahun ( Pasal 21 ).
3. Sekretariat
Adalah Pelaksana Eksekutif Organisasi Sesuai Dengan Statuta Dan
Pengarahan Dari Dewan Gubernur. Sekretaris Jenderal Adalah Wakil Resmi
Dari Organisasi Yang Dipilih Untuk Periode Tiga (3) Tahun Dan Dapat
Diperpanjang Satu Kali Untuk Periode Yang Sama. Sekretaris Jenderal
Harus Berasal Dari Salah Satu Negara Anggota. Dalam Melaksanakan
Tugasnya Sekjen Bertanggung Jawab Kepada Dewan Gubernur Dan Mendapat
Bantuan Dari Para Kepala Divisi Dan Bagian.
D. Peranan Indonesia Sebagai Anggota OPEC
Sejak Menjadi Anggota OPEC Tahun 1962, Indonesia Ikut Berperan
Aktif Dalam Penentuan Arah Dan Kebijakan OPEC Khususnya Dalam Rangka
Menstabilisasi Jumlah Produksi Dan Harga Minyak Di Pasar
Internasional.
Sejak Berdirinya Sekretariat OPEC Di Wina Tahun 1965, KBRI / PTRI
Wina Terlibat Aktif Dalam Kegiatan Pemantauan Harga Minyak Dan
Penanganan Masalah Substansi Serta Diplomasi Di Berbagai Persidangan
Yang Diselenggarakan Oleh OPEC. Pentingnya Peran Yang Dimainkan Oleh
Indonesia Di OPEC Telah Membawa Indonesia Pernah Ditunjuk Sebagai
Sekjen OPEC Dan Presiden Konferensi OPEC.
Pada Tahun 2004, Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral ( MESDM )
Indonesia Terpilih Menjadi Presiden Dan Sekjen Sementara OPEC. Namun
Akhir – Akhir Ini, Status Keanggotaan Indonesia Di OPEC Telah Menjadi
Wacana Perdebatan Berbagai Pihak Di Dalam Negeri, Karena Indonesia
Saat Ini Dianggap Telah Menjadi Negara Pengimpor Minyak ( Net –
Importer ). Dalam Kaitan Ini, Indonesia Sedang Mengkaji Mengenai
Keanggotaanya Di Dalam OPEC Dan Telah Membentuk Tim Untuk Membahas
Masalah Tersebut Dari Sisi Ekonomi Dan Politik.
Hambatan Dan Peluang Secara Ekonomi, Keanggotaan Indonesia Di
OPEC Membawa Implikasi Kewajiban Untuk Tetap Membayar Iuran
Keanggotaan Sebesar US$ Dua (2) Juta Setiap Tahunnya, Disamping Biaya
Untuk Sidang – Sidang OPEC Yang Diikuti Oleh Delegasi RI.
OPEC Melihat Bahwa Penurunan Tingkat Ekspor Di Beberapa Negara
AnggotaOPEC, Termasuk Indonesia, Disebabkan Karena Kurangnya
Investasi Baru Di Sektor Perminyakan. Apabila Kondisi Tersebut Terus
Berlangsung, Maka Diperkirakan Indonesia Akan Mengalami Hambatan
Dalam Meningkatkan Tingkat Produksinya Dan Tetap Menjadi Pengimpor
Minyak Di Masa Mendatang.
Disamping Hambatan – Hambatan Tersebut Di Atas, Keanggotaan
Indonesia Di OPEC Akan Memberikan Berbagai Keuntungan Politis, Yaitu
Meningkatkan Posisi Indonesia Dalam Proses Tawar – Menawar
Dalam Hubungan Internasional. Kedudukan Menteri ESDM Dalam
Kapasitasnya Sebagai Presiden Konferensi OPEC Sekaligus Acting Sekjen
OPEC Pada Tahun 2004, Telah Memberikan Posisi Tawar Yang Sangat Tinggi
Dan Strategik Serta Kontak Yang Lebih Luas Dengan Negara – Negara
Produsen Minyak Utama Lainnya.
Peningkatan Citra RI Di Luar Negeri. Pemberitaan Mengenai
Persidangan Dan Kegiatan OPEC Lainnya Yang Sangat Luas Secara Otomatis
Dapat Mengangkat Citra Negara Anggota. Perhatian Media Massa Lebih
Terfokus Ketika Pejabat RI ( Menteri ESDM ) Memegang Jabatan Sebagai
Presiden Konferensi OPEC.
Peningkatan Solidaritas Antar Negara Berkembang. Di Dalam Forum
– Forum OPEC, Semua Negara Anggota Memiliki Visi Dan Misi Yang Sama
Di Bidang Energi Serta Menjadikan OPEC Sebagai Wahana Bersama Untuk
Meningkatkan Rasa Persaudaraan Sesama Negara Anggota Dan Negara
Berkembang Lainnya. Opec Fund ( Lembaga Keuangan OPEC ) Telah
Memberikan Bantuan Dana Darurat Sebesar 1,2 Juta Euro, Dimana
Separuhnya Diperuntukkan Bagi Indonesia, Untuk Rehabilitasi Dan
Rekonstruksi Aceh Dan Sumatera Utara Yang Dilanda Gempa Bumi Dan
Tsunami Pada Akhir Tahun 2004.
Akses Terhadap Informasi. Sebagai Anggota OPEC, Indonesia
Mendapatkan Akses Terhadap Informasi, Baik Yang Bersifat Terbuka Dari
Sekretariat OPEC Maupun Informasi Rahasia Mengenai Dinamika Pasar
Minyak Bumi.
Disamping Itu, Indonesia Memiliki Kesempatan Untuk Menempatkan
Sumber Daya ManusiaNya Untuk Bekerja Di Sekretariat OPEC. Hal Ini
Merupakan Investasi Jangka Panjang Karena Akan Dapat Menjadi Network
Bagi Indonesia Di Masa Datang.
Prakiraan Perkembangan Keadaan, Menurut Kajian Yang Dilakukan
OPEC, Peranan OPEC Dalam Menentukan Stabilitas Produksi Dan Harga
Minyak Dunia Akan Tetap Penting, Setidaknya Hingga Tahun 2025, Karena
Pangsa Pasar Negara – Negara OPEC Masih Lebih Besar Dari Negara –
Negara Non – OPEC.
Pentingnya Peran OPEC Dapat Dilihat Dengan Jelas Selama Tahun
2004, Ketika Harga Minyak Mentah Dunia Melambung Tinggi, OPEC Ikut
Berperan Menstabilkan Harga Antara Lain Dengan Menjaga Pasokan Minyak
Dunia. Keanggotaan Indonesia Masih Diperlukan Oleh Negara – Negara
Anggota Lainnya Karena Indonesia Dipandang Sebagai Negara Yang Selalu
Menjaga Solidaritas OPEC Dan Selalu Berusaha Membangun Dialog
Konstruktif Serta Konsensus Di Dalam OPEC.
OPEC Tetap Membutuhkan Indonesia Sebagai Faktor Penyeimbang Dalam
Komposisi Keanggotaannya. Indonesia Merupakan Satu-Satunya Negara
Asia Yang Menjadi Anggota OPEC. Keanggotaan OPEC Yang Didominasi Oleh
Negara – Negara Timur Tengah Tidak Akan Menguntungkan Dalam Sudut
Pandang Citra OPEC Di Dunia Internasional. Citra Indonesia Sebagai
Negara Demokratis Dan Berpenduduk Muslim Terbesar Dan Moderat Di Dunia
Dapat Membantu Perbaikan Citra OPEC.
Dalam OPEC Sendiri Belum Ada Tuntutan Agar Indonesia Mengkaji
Keanggotaannya Karena Turunnya Tingkat Produksi Minyak Bumi Indonesia
Serta Mulainya Indonesia Menjadi Negara Importir Minyak. OPEC
Menyadari Bahwa Kemungkinan Penurunan Ekspor Minyak Negara – Negara
Anggota Adalah Salah Satu Akibat Dari Kurangnya Investasi Di Sektor
Perminyakan Negara Tersebut.
A. Sejarah GATT.
GATT dibentuk sebagai wadah yang sifatnya sementara setelah Perang
Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan
perlunya suatu lembaga multilateral disamping Bank Dunia dan IMF.
Kebutuhan akan adanya suatu lembaga multilateral yang khusus ini pada
waktu masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata
sepakat mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai pembatasan
kuantitatif serta diskriminasi perdagangan. Hal ini dilakukan untuk
mencegah terulangnya praktek proteksionalisme yang berlangsung pada
tahun 1930 – an yang sangat memukul perekonomian dunia.
Negara-negara yang pertama kali bergabung menjadi anggota adalah
23 (dua puluh tiga) negara. Negara-negara ini membuat dan merancang
piagam organisasi perdagangan internasional (International Trade
Organization) yang pada waktu direncanakan sebagai suatu badan khusus
PBB. Dimana, isi piagam tersebut memuat aturan-aturan dalam
perdagangan dunia, ketenagakerjaan, praktek–praktek restriktif
(pembatasan perdagangan), penanaman modal internasional dan jasa.
Pertemuan penting diselenggarakan di Jenewa, Swiss dari bulan
April sampai November 1947. membuat rancangan piagam ITO. Perundingan–
perundingan bilateral berlangsung antara negara–negara komisi antara
lain: Brazil, Ceylon, Pakistan dan Rhodesia Selatan. Kemudian
pertemuan penting di Havana pada tanggal 21 November 1947 – 24 Maret
1948) bertambah menjadi 66 (enam puluh enam) negara bergabung untuk
membahas piagam ITO. Pertemuan berhasil mengesahkan piagam Havana.
Namun, pertengahan tahun 1950, negara–negara peserta menemui kesulitan
dalam meratifikasinya. Hal ini disebabkan karena Amerika Serikat,
pelaku utama dalam perdagangan dunia, pada tahun 1958, menyatakan
bahwa negaranya tidak akan meratifikasi piagam tersebut. Sejak itu
pulalah ITO secara efektif tidak berfungsi sama sekali. Sehingga GATT
juga tidak berlaku.
Para perunding GATT mengeluarkan perjanjian internasional baru,
yaitu The Protocol of Provisional Application. Sejak dikeluarkan
protokol ini GATT tetap berlaku. Pada tahun 1954 – 1955, teks GATT
mengalami perubahan penting yang terjadi pertama, dikeluarkannya
Protokol yang mengubah bagian 1 dan pasal XXIX dan XXX dan Protokol
yang mengubah Preambule dan bagian 2 dan 3. Pada tahun 1965, GATT
mendapat tambahan bagian baru, yaitu bagian ke empat. Bagian ini
berlaku secara de facto tanggal 8 Februari 1965 dan mulai berlaku
efektif tanggal 27 Juni 1965. Bagian ini khusus mengatur kepentingan
perluasan ekspor negara–negara kurang maju (pasal XXXVI –
XXXVIII).[1][4]
B. Keanggotaan GATT.
Negara anggota GATT adalah anggota WTO. Perlu dikemukan disini
bahwa istilah anggota pada GATT bukan “member”, tetapi “Contracting
Party”. Hal ini merupakan konsekuensi dari status GATT yang sifatnya,
dengan meninjau sejarah berdirinya, “organisasi”.[2][5]
Cara menjadi anggota GATT diatur dalam Pasal XXXIII GATT. Cara
pertama, berlangsung dengan proses pengujian dan perundingan yang
panjang oleh Dewan GATT pada saat menerima permohonan aksesi. Badan
ini membuat putusan suatu kelompok kerja(working party) yang bertugas
menganalisa kebijakan perdagangan dan kemungkinan kebijakan
perdagangan negara pemohon di masa datang. Hasil dari perundingan
tersebut dilaporkan oleh kelompok kerja kepada Dewan. Persyaratan-
persyaratan yang disahkan Dewan kemudian menjadi bahan pemungutan
suara yang mana 2/3 dari semua anggota harus menyetujuinya. Pada tahap
ini negara baru tersebut dapat menanda tangani protokolnya dan untuk
diratifikasi oleh perundang-undangan nasionalnya.
Cara kedua lebih sederhana menjadi anggota GATT diatur dalam Pasal
XXVI, yaitu terhadap negara–negara yang menjadi negara merdeka dari
penjajahan dan yang telah menunjukkan kemandiriannya dalam
melaksanakan hubungan–hubungan komersial eksternalnya (luar
negerinya).[3][6]
E. Prinsip-Prinsip GATT.
Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada lima
prinsip utama, yaitu
a. Prinsip Most Favoured-Nation.
Prinsip ini merupakan kebijakan yang menyatakan bahwa perdagangan
dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Semua anggota terikat untuk
memberikan perlakuan yang sama terhadap negara-negara lain dalam
pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta hal-hal yang
menyangkut biaya-biaya lainnya.
Pendek kata, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama
dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijakan
perdagangan. Namun demikian, prinsip ini mendapat pengecualian,
khususnya dalam kepentingan negara yang sedang berkembang, seperti
pemberian preferensi-preferensi tarif dari negara-negara maju kepada
produk impor dari negara sedang berkembang atau negara-negara miskin
dengan pemberian fasilitas sistem preferensi umum (Generalised System
of Preferences).
b. Prinsip National Treatment.
Produk dari satu negara anggota yang diimpor ke dalam suatu negara
lainnya harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri,
baik dari segi pajak ataupun dari segi pungutan-pungutan lainnya. Ia
berlaku pula terhadap pengaturan perundang-undangan yang mempengaruhi
penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi, atau penggunaan
produk-produk di pasar dalam negeri.
c. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif.
Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk
apapun, misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi
penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan, pembayaran produk-
produk impor atau ekspor, pada umumnya dilarang sesuai dengan pasal
IX GATT. Hal ini disebabkan karena praktek demikian bisa mengganggu
praktek perdagangan normal.
d. Prinsip Perlindungan melalui Tarif.
Pada prinsipnya, GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi
terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea
masuk) dan tidak melakukan upaya-upaya perdagangan lainnya (non tariff
commercial measures).
e. Prinsip Resiprositas.
Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip
ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-
perundingan tarif yang didasarkan kepada timbal balik dan saling
menguntungkan kedua belah pihak.
8.WTO
Tujuan Organisasi Perdagangan Sedunia (World Trade
Organization/WTO) yang didirikan pada tahun 1995 ini adalah:
1. Mengatur pelaksanaan perjanjian mengenai perdagangan
internasional yang ada.
2. Menjadi forum bagi perundingan mengenai liberalisasi
perdagangan global.
3. Dalam perundingan mengenai liberalisasi perdagangan
global, Jerman menjadi pendukung kuat peningkatan integrasi
negara2 berkembang ke dalam perdagangan sedunia.
1. Kerugian
Kemiskinan di Meksiko
Meskipun banyak keutungan yang dijanjikan NAFTA, rata-rata warga
Meksiko tidak merasakan manfaatnya sejak dilaksanakannya perjanjian
ini. Pada dua bulan pertama tahun 1995 stok pasar jatuh 24%, ratusan
perusahaan tutup, dan lebih dari 250000 warga Meksiko kehilangan
pekerjaan. Pekerja Amerika juga tidak melihat manfaatnya dari
perjanjian perdagangan ini. Satu setengah tahun pertama
dilaksanakannya NAFTA terlihat perdagangan Amerika menjadi defisit
hampir 80000 pekerja Amerika kehilangan pekerjaannya. Para pekerja
dari utara juga tidak mendapat kebaikan: upah di Meksiko menurun
sekitar 40%-50%. Sementara biaya hidup meningkat 80% pendapatan
hanya meningkat 30%. Tingkat inflasi tahun 1996 meningkat lebih dari
51% dan 20000 usaha bisnis kecil dan sedang mulai bangkrut dengen
meningkatnya persaingan dari perusahaan-perusahaan multinasional.
Sampai dengan tahun 1996 lebih dari 2.3 juta warga Meksiko
kehilangan pekerjaanya sejak dilaksanakannya NAFTA. Harga kebutuhan
dasar seperti bahan bakar dan listrik meningkat pada tingkatan yang
tidak terduga. Setahun setelah jatuhnya mata uang peso, tiga
perempat keluarga Meksiko tidak mampu mendapatkan makanan dasar dan
pelayanan dibutuhan agar menjaganya tetap di atas garis kemiskinan.
Begitu menyedihkan nasib rakyat ini karena perdagangan yang tidak
merata keuntungannya ini.
Kerugian dari NAFTA ini ternyata banyak dialami oleh Meksiko berbeda
ahlnya dengan yang disakan oleh Amerika Serikat yang menikmati
banyak keuntungan. Dari kasus tersebut telihat jelas bahwa NAFTA dan
bentuk perjanjian perdagangan bebas lainnya tidak memberikan
kesejahteraan secara merata namun hanya, sebelah pihak. Seperti
kasus yang terjadi di Meksiko karena adanya pasar bebas, maka
produk-produk dan perusahaan-perusahaan kesil di Meksiko menjadi
bangkrut dan tutup. Sedangkan pihak yang menjadi untung adalah
Amerika yang perekonomiannya menjadi defisit. Dengan kerugian yang
dialami oleh Meksiko ini, akan sangat mempengaruhi masyarakat
khususnya bagi masyarakat miskin seperti para petani. Bagi sebuah
negara berkembang aspek pertanian merupakan hal sangat penting dan
mempengaruhi kelangsungan hidup suatu negara. Dan ini merupakan
tanggung jawab pemerintah. Namun, setelah masuknya NAFTA kebijakan-
kebijakan dalam aspek pertananian tersebut juga disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku di NAFTA.
a. Sejarah CAFTA
CAFTA (China-ASEAN Free Trade Agreement) adalah sebuah perjanjian
perdagangan bebas antara Cina dan negara-negara ASEAN.
Sebelum dideklarasikannya CAFTA, pada tahun 2002 negara-negara di
ASEAN telah membuat sebuah perjanjian perdagangan yang disebut AFTA
(ASEAN Free Trade Agreement) yang beranggotakan 10 negara-negara di
Asean.
Pada tahun 2006 China bersama negara-negara ASEAN menandatangani
perjanjian yang disebut CAFTA. CAFTA berlaku mulai tahun 2010 untuk
6 negara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura,
Thailand dan Filipina) dan tahun 2015 untuk Kamboja, Myanmar, Laos
dan Vietnam.
Perjanjian ini dimaksudkan untuk mendongkrak perekonomian di negara-
negara ASEAN dan China dengan meluasnya perdangangan ke seluruh
ASEAN dan China dengan tarif pajak yang sangat kecil.
b. Pro Kontra CAFTA
Pihak yang pro menyatakan CAFTA tidak hanya berarti ancaman serbuan
produk-produk Cina ke Idonesia, tetapi juga peluang Indonesia untuk
meningkatkan ekspor ke Cina dan negara-negara ASEAN. Menteri
Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan bahwa free trade agreement
(FTA) memberikan banyak manfaat bagi ekspor dan penanaman modal di
Indonesia (Kompas, 5/1/2010).
c. Dampak CAFTA
Berlakunya CAFTA di Indonesia memiliki dampak positif dan negatif.
Dampak positifnya antara lain:
1. Dengan diberlakukannya CAFTA bisa diprediksikan bahwa
sejumlah produk barang dan jasa buatan Indonesia akan lebih mudah
memasuki pasaran domestik Cina. Produk-produk hasil perkebunan
seperti kakao, minyak kelapa sawit dan lain-lain misalnya akan lebih
mudah diterima dan dibeli konsumen Cina sebab lebih kompetitif.
2. Bisa dijadikan motivasi Indonesia untuk lebih membangun
masyarakat yang lebih produktif dan kreatif serta mandiri secara
ekonomi.
Dampak negatif dari CAFTA antara lain:
1. Meningkatnya PHK dan pengangguran.
Perusahaan akan menahan biaya produksi melalui penghematan
penggunaan tenaga kerja tetap. Sehingga job security tenaga kerja
menjadi rapuh dan angka pengangguran meningkat. Padahal, industri
merupakan sektor kedua terbesar setelah pertanian dalam menyerap
tenaga kerja.
2. CAFTA akan mematikan banyak industri di Indonesia. Hal
ini menyebabkan melonjaknya ketiadaan lapangan usaha di kalangan
rakyat jelata.
3. Mematikan pedagang kecil dan UKM (Usaha Kecil
Menengah).
4. CAFTA membuat ketergantungan Indonesia kepada Cina
sangat besar
5. Akibat barang impor lebih murah, volume impor barang
konsumsi pun naik, sehingga menghabiskan devisa negara dan membuat
nilai tukar rupiah menjadi melemah.
6. Melemahnya industri manufaktur nasional.
Indonesia dalam perdagangan bebas itu hanya unggul sebatas pada
perdagangan komoditas primer seperti minyak sawit mentah (CPO) dan
bahan energi. sedangkan industri dasar tidak berkembang.
a. Perkembangan PBB
PBB didirikan di San Francisco pada tanggal 24 Oktober 1945. Pendirian
PBB dilakukan setelah Konferensi Dumbarton Oaks di Washington. Sidang
umum PBB pertama berlangsung pada tanggal 10 Januari 1946 di Church
House, London. Sidang ini dihadiri wakil dari 51 negara. Pada tahun
1919–1946 terdapat sebuah organisasi yang mirip PBB. Organisasi ini
bernama Liga Bangsa-Bangsa dan dianggap sebagai pendahulu PBB. Sejak
berdiri pada tahun 1945–2007 jumlah anggota PBB mencapai 192 negara.
Sekretaris Jenderal PBB sekarang bernama Ban Ki-Moon, berasal dari
Korea Selatan. Ia menjabat sebagai sekretaris jenderal PBB sejak
tanggal 1 Januari 2007. PBB memiliki enam organ utama sebagai berikut:
1) Sidang Umum PBB.
2) Dewan Keamanan PBB.
3) Dewan Ekonomi dan Sosial PBB.
4) Dewan Perwalian PBB.
5) Sekretariat PBB.
6) Mahkamah Internasional.
b. Peran Indonesia dalam PBB
Indonesia memiliki peran besar dalam PBB. Indonesia terdaftar dalam
beberapa lembaga di bawah naungan PBB. Misalnya, ECOSOC (Dewan Ekonomi
dan Sosial), ILO (Organisasi Buruh Internasional), maupun FAO
(Organisasi Pangan dan Pertanian). Indonesia juga terlibat langsung
dalam pasukan perdamaian PBB. Dalam hal ini Indonesia mengirimkan
Pasukan Garuda untuk mengemban misi perdamaian PBB di berbagai negara
yang mengalami konflik. Indonesia terpilih sebagai anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB untuk masa bakti 2007–2009. Proses pemilihan
dilakukan Majelis Umum PBB melalui pemungutan suara. Pada proses
pemungutan suara, Indonesia memperoleh 158 suara dukungan dari
keseluruhan 192 negara anggota yang memiliki hak pilih. Pemilihan ini
merupakan kali ketiga Indonesia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB
setelah periode 1974–1975 dan 1995–1996.