Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang
bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik.
Masalah-masalah psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan
yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan
sosial dan atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan
gangguan jiwa, salah satunya adalah masalah psikososial pada anak jalanan
dan gelandangan.
Fenomena merebaknya anak jalanan dan gelandangan di Indonesia
merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan dan
gelandangan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena
mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan
mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga,
masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan dan
gelandangan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka
adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi,
dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa
yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Pemerintah nampaknya harus bekerja lebih keras, mengingat dalam UUD
1945 pasal 34 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara”. Artinya sesungguhnya mereka yang hidup terlantar (termasuk anak
jalanan) juga harus menjadi perhatian negara. Ironisnya pemerintah seolah
angkat tangan dalam menangani anak jalanan. Malah terkadang pemerintah
melakukan razia baik untuk gepeng (gelandangan dan pengemis) ataupun
anak jalanan. Padahal sebenarnya hal itu bukanlah solusi, karena akar dari
permasalahan anak jalanan itu sendiri adalah kemiskinan. Jadi kalau ingin
tidak ada anak jalanan ataupun gepeng pemerintah harusnya memikirkan cara
mengentaskan mereka dari kemiskinan. Mengentaskan kemiskinan adalah hal

1
yang sulit, alternatif lain dengan cara meningkatkan pendidikan pada anak
jalanan, karena mereka juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain.
Konsep diri anak jalanan berbeda dengan konsep diri anak pada
umumnya. Hal ini disebabkan karena anak jalanan memiliki latar belakang
sosial ekonomi yang berbeda dengan anak-anak yang lain. Menurut penelitian
yang telah dilakukan oleh Yunda Pramuchtia dan Nurmala KP, sebanyak 90%
anak jalanan memiliki konsep diri yang cenderung positif yang ditandai
dengan adanya anggapan bahwadirinya adalah seorang yang pekerja keras,
mandiri, kreatif dan tegar (Pramuchtia, 2010). Lain halnya Penelitian yang
dilakukan oleh Yudit Oktaria K. P pada tahun 2007 menunjukkan bahwa
secara umum konsep diri yang terbentuk pada anak jalanan adalah konsep diri
yang negatif. Anak jalanan merasa tidak diurus oleh keluarganya sehingga
memilih untuk tinggal dijalan. Selama mereka beraktivitas dijalan, mereka
pernah dikejar-kejar oleh tantib sehingga mereka merasa bahwa mereka
adalah seseorang yang tidak dekehendaki (Yudit Oktaria. K. P, 2007).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep anak jalanan?
2. Bagaimana konsep gelandangan?
3. Bagaimana analisis jurnal asuhan keperawatan pada anak jalanan dan
gelandangan?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak jalanan dan gelandangan?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk memahami mengenai asuhan keperawatan pada anak jalanan
dan gelandangan.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa/i dapat memahami konsep anak jalanan.
b. Mahasiswa/i dapat memahami konsep gelandangan.

2
c. Mahasiswa/i dapat memahami analisis jurnal asuhan keperawatan
pada anak jalanan dan gelandangan.
d. Mahasiswa/i dapat melakukan pengkajian keperawatan anak jalanan
dan gelandangan.
e. Mahasiswa/i dapat mengidentifikasi diagnosis keperawatan anak
jalanan dan gelandangan.
f. Mahasiswa/i dapat mengidentifikasi perencanaan keperawatan anak
jalanan dan gelandangan.
g. Mahasiswa/i dapat melakukan pelaksanaan keperawatan anak
jalanan dan gelandangan.
h. Mahasiswa/i dapat mengevaluasi pelaksanaan keperawatan yang
sudah dilakukan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Anak Jalanan


1. Pengertian Anak Jalanan
Menurut Kementerian Sosial Republik Indonesia (2017) anak
jalanan adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan sebagian besar
waktunya untuk melakukan kegiatan sehari-hari di jalanan termasuk di
lingkungan pasar, pertokoan, dan pusat-pusat keramaian lainnya.
Anak jalanan adalah mereka yang berumur sekitar atau kurang dari
21 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalan
dengan bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi atau hanya
untuk hidup dijalan (Permadie, 1999).

2. Pembagian Anak Jalanan menurut United Nations Children's Fund


(UNICEF)
a. Street Living Children.
Anak-anak yang pergi dari rumah dan meninggalkan orang
tuanya. Anak tersebut hidup sendirian dan memutuskan untuk tidak
berhubungan lagi dengan keluarganya. Biasanya anak-anak ini
sering disebut dengan gelandangan ataupun gembel. Mereka
biasanya tidak mempunyai tempat tinggal maupun pekerjaan tetap.
b. Street Working Children.
Disebut juga sebagai pekerja anak di jalan. Mereka
menghabiskan sebagian besar waktu mereka di jalanan untuk bekerja
baik di jalan ataupun di tempat-tempat umum untuk membantu
keluarganya. Sehingga anak-anak ini masih memiliki rumah dan
tinggal dengan orang tua mereka.
c. Children from Street Families.
Anak-anak yang hidup di jalanan beserta dengan keluarga
mereka (Ernawati, 2012).

4
3. Penyebab
Akibat kesulitan ekonomi; banyaknya orang tua yang urbanisasi dan
jadi pengemis di ibukota; kekacauan dalam kehidupan keluarga
khususnya perlakuan keras dan penelantaran; untuk menghindar dari
penganiayaan dan kemiskinan.

4. Pengenalan
Komunitas ini sangat mudah ditemui, bergerombol di perapatan
lampu, pusat pertokoan, terminal bus dan tempat keramaian yang
memungkinkan mereka mendapatkan uang.
Berdasarkan latar belakang kehidupan dan motivasi, mereka
dibedakan atas:
a. Golongan anak jalanan pekerja perkotaan, yakni mereka yang
keberadaannya di jalanan terutama untuk mencari nafkah bagi
dirinya maupun keluarganya.
b. Golongan anak jalanan “murni”, yakni yang menjalani seluruh aspek
kehidupannya di jalanan. Mereka umumnya adalah pelarian dari
keluarga bermasalah. Kehidupan jalanan membentuk subkultur
tersendiri yang disebut budaya jalanan dengan nilai moralitas yang
longgar, nilai perjuangan untuk bertahan hidup, penuh kekerasan,
penonjolan kekuatan, ketiadaan figur orangtua, peranan kelompok
sebaya yang besar.

5. Dimensi Anak Jalanan


Diskursus Anak Jalanan (Bradley, 1996; dalam Abdullah, 2010)
mengemukakan ekspresi kebudayaan jalanan dapat dilihat pada tiga
dimensinya yaitu:
a. Dimensi Simbolik.
Dimensi simbolik menjadi suatu tanda dari adanya nilai yang
menunjukkan sifat-sifat jalanan. Seperti, pakaian, tempat tinggal,

5
makanan atau musik dan berbagai simbol yang digunakan oleh kaum
jalanan atau diekspreksikan di jalan-jalan dan praktek sosial.
b. Dimensi Evaluatif.
Terdapat pada serangkaian nilai dan norma dan berlaku dalam
suatu kelompok yang disebut kelompok jalanan. Nilai dan norma ini
menjadi tanda dari adanya identitas kelompok yang berbeda dengan
yang lain dan diperkuat dengan membangun sistem nilai dan norma
yang berbeda dengan sistem nilai dengan norma yang berlaku.
c. Dimensi Kognitif.
Dapat dilihat pada sistem pengetahuan dan cara pandang
kelompok atau ide-ide yang berlaku menjadi berbeda. Orang-orang
yang berada di dalamnya dapat melakukan sesuatu yang tidak lazim
menjadi bagian kelaziman tersendiri dalam kehidupan, misalnnya
jalanan.

6. Keputusan Anak jalanan Turun ke Jalan


a. Dorongan Ekonomi.
Berawal dari susahnya pemenuhan kebutuhan hidup menjadikan
mereka terpaksa mencari rejeki di jalanan. Kebanyakan mereka
mencari rejeki dengan cara mengamen dan mengemis di titik-titik
tertentu. Dengan berbekal gitar kecil dan modal suara pas-pasan
mereka mulai berkeliling keluar rumah dari pagi sampai malam hari.
Mereka bekerja secara individu ataupun berkelompok. Atau bersama
dengan orang tua mereka. Setelah mendapatkan cukup uang mereka
kembali ke rumah masing-masing. Tetapi, ada beberapa yang
sengaja baru pulang setelah beberapa hari kemudian atau beberapa
bulan atau bahkan sampai beberapa tahun. Uang hasil mengamen
atau mengemis mereka kumpulkan untuk menambah uang saku guna
membeli pakaian atau sekedar hanya untuk membeli jajan dan juga
beberapa hasil mengamen atau mengemis diberikan pada orang tua
mereka.

6
b. Keluarga.
Anak menjadi anak jalanan juga tidak lepas dari latar belakang
keluarga. Kebanyakan dari mereka mempunyai keluarga yang
kurang mendapatkan kasih sayang. Ada dari mereka yang sudah
tidak lengkap kedua orang tuanya. Hanya mempunyai ibu saja. Atau
dari mereka tinggal bersama nenek atau kakek saja karena ditinggal
oleh kedua orang tua mereka. Keluarga yang mereka alami tidak
seharmonis keluarga lainnya. Tidak adanya intensitas untuk
berinteraksi dengan ayah atau ibu mereka. Mereka mempunyai orang
tua lengkap namun disisi lain orang tua mereka menjadi sibuk atas
pekerjaan dan urusan masing-masing. Terkadang berangkat untuk
bekerja saat pagi hari dan pulang larut malam. Banyak dari mereka
yang tidak memperhatikan kondisi anak mereka. Sehingga keluarga
seperti menelantarkan dan membiarkan anak atas dasar keinginan
mereka. Padahal anak membutuhkan peran dari kedua orang tua.
Orang tua terkadang secara tidak sadar juga lupa cara mendidik dan
membesarkan mereka dengan kekerasan. Sehingga mereka tidak
merasa nyaman berada di rumah. Dan anak terjerumus dalam
pergaulan yang kurang sehat dan mereka terpengaruh untuk berada
di jalanan.
c. Pengaruh Teman.
Misalkan saja informan A bermula menjadi pengamen jalanan
karena ia di ajak oleh teman-teman yang sudah mengamen. Ia
merasa nyaman bergaul dengan anak jalanan lainnya dan sampai
sekarang masih menjadi pengamen cilik. Walaupun orang tua A
sudah melarang A agar berhenti mengamen, namun karena tidak
betah berada di rumah akhirnya ia tetap melanjutkan menjadi
pengamen.
d. Keluar Rumah.
Pada dasarnya keluarga mejadi tempat berkumpul paling
nyaman, tempat harmonis untuk menciptakan keintiman dalam

7
berkomunikasi. Dengan adanya peran keluarga maka kedua orang
tua dapat membina dan mendidik anak agar mereka tidak ragu dan
merasa bingung akan nasib dan kehidupan selanjutnya yang akan
mereka jalani. Jika tidak ada peran orang tua di dalamnya maka anak
akan merasa gelisah menjalani kehidupan yang selanjutnya dalam
lingkungan masyarakat. Mereka tidak merasa betah di rumah. Dan
akhirnya mereka pergi dari rumah untuk menemukan sisi lain dari
kenyamanan mereka. Anak lari dari rumah dan menciptakan
kenyamanan dengan teman-teman mereka dan menjadi anak jalanan.
Mereka membentuk kelompok, mereka berkumpul di satu tempat ke
tempat lainnya. Kadang mereka pulang dalam beberapa hari atau
beberapa minggu setelahnya. Kemudian kembali ke jalanan. Rata-
rata dari mereka kebanyakan berprofesi sebagai pengamen. Mereka
menjajaki perempatan perkotaan, dari satu bus ke bus lainnya,
menjajaki pertokoan dan sebagainya.
e. Pendidikan.
Anak jalanan rata-rata dari mereka memutuskan menjadi anak
jalanan karena mereka merasa tidak nyaman berada di sekolah.
Mereka menjadi malas-malasan pergi untuk menuntut ilmu. Bermula
dari masuk sekolah seperti biasa. Teman-teman S tidak mengetahui
jika ia mengamen sedari kecil. Setelah teman-teman S mengetahui ia
sekolah dan kerja sambilan dengan mengamen, ia sering sekali
diolok dan ditertawakan oleh teman-temannya. Kemudian ia merasa
malu dan keluar dari sekolah saat bangku Sekolah Dasar. Ia lebih
memilih mengamen, dari pada kembali ke sekolah. Ia tidak ingin
menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Namun, saat ini S sudah
mendapatkan kejar paket A. Berbeda cerita dengan kondisi A. Ia
keluar saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ia
memang merasa di sekolah menjadi tidak nyaman karena beberapa
guru yang dianggap tidak asik untuk mengajar dan ia mempunyai
guru yang cukup galak. Ia juga merasa sekolah sangat melelahkan

8
karena harus dikejar nilai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) yang cukup tingi. Dan ia juga menjadi terpengaruh oleh
teman-temannya untuk keluar dari sekolah dan menjadi pengamen
jalanan. Dan kemudian, ia saat ini tidak meneruskan sekolah dan
menjadi pengamen jalanan.
f. Lingkungan dan Sosialisasi.
Anak akan belajar dari lingkungan ia tinggal. Misalnya saja ia
dan keluarganya mempunyai lingkungan yang semuanya berprofesi
sebagai pengemis. Rata-rata lingkungan masyarakat yang di sekitar
memang dari kalangan miskin pun ikut dengan ibunya mengemis
setiap harinya sepulang dari sekolah. Ia dari kecil sudah dibawa
ibunya mengemis di jalanan. Ketika besar pun ia masih bersama
ibunya untuk mengemis di jalanan. Sama halnya dengan S, ia
mengamen di jalan juga dipicu oleh daerah yang ia tinggali hampir
keseluruhan masyarakatnya berprofesi sebagai pedagang, pengamen,
dan lain-lain. Dan ia harus tinggal di daerah yang memang
mempunyai tempat tinggal kumuh dan tidak layak huni. Anak-anak
di daerah S rata-rata menjadi pengamen dan orang tua mereka
membiarkan mereka menjadi pengamen

7. Alasan Anak Jalanan Bertahan Hidup di Jalanan


a. Pertemanan.
Anak jalanan ketika mereka sudah berada di jalanan rata-rata
dari mereka selalu berkelompok. Dengan membentuk sebuah
kelompok dengan beberapa orang dengan begitu, rata-rata mereka
akan mampu bertahan hidup di jalanan yang penuh berbagai macam
ancaman di jalan dan kerasnya hidup di jalanan kota. Ternyata dari
kelompok yang dibentuk dari anak jalanan jumlah laki-laki lebih
mendominasi dari pada anak perempuan. Misalnya, dari
perkumpulan si A menyebutkan hanya ada perempuan berjumlah
tiga, dan laki-lakinya lebih dari tiga. Berbeda dengan S, hampir

9
semua adalah laki-laki. Dari kedua informan rata-rata mereka
berumur 14 tahun sampai 20 tahun. Bahkan menurut penuturan
informan A teman-teman satu kelompok mereka memang ada yang
lebih lama dari pada A. Ada yang mengamen dari kecil sampai
sekarang sudah dewasa. Ada yang baru beberapa tahun menjadi
pengamen atau masih baru seperti A. Rata-rata dari mereka hanya
lulusan Sekolah Dasar dan putus sekolah. Jalanan adalah tempat
rawan di mana banyaknya kekerasan dan ancaman lainnya
berkumpul. Ancaman yang kemudian datang dari pihak luar atau
dari lingkungan sesama anak jalanan. Perlindungan yang masih
minim dari orang dewasa maupun dari hukum membuat anak jalanan
sangat rentan akan kekerasan. Anak jalanan menjadi sasaran akan
berbagai macam bentuk ancaman seperti dimintai uang secara paksa,
diperkosa, dipukuli, atau razia dan dijebloskan ke dalam jeruji besi.
Bahkan tak bisa dielakkan anak jalanan itu sendiri yang menjadi
pelaku tindak kekerasan maupun tindak kriminal kepada yang lebih
lemah dan lebih kecil. Namun, walaupun begitu dengan banyaknya
perlakuan tindak kekerasan ataupun bahaya didekatnya yang
seharusnya tidak pantas dilakukan pada atau sesama anak jalanan
tidak memungkiri bahwa mereka akan tetap bekerja dan hidup di
jalanan.
b. Keadaan Ekonomi Rendah.
Artinya banyak dari mereka, anak jalanan yang dominan bekerja
karena mereka ingin membantu keluarga. Mereka mengumpulkan
uang dari hasil bekerja. Kemudian ketika sudah mencukupi
kemudian sebagian hasil bekerja diberikan kepada keluarga mereka.
Kemudian, sebagian lagi digunakan untuk keperluan yang lain.
Terpaksa maupun karena keinginan pribadi bekerja di jalanan karena
atas dasar tuntutan ekonomi sehingga mereka akan melakukan apa
saja untuk mendapatkan uang.

10
c. Biaya Sekolah.
Sebagai contoh, menurut informan Ibu FP dengan bantuan
sekolah yang memperbolehkan mengangsur uang sekolah mereka
dapat mengenyam pendidikan. Ibu FP hanya tinggal di sepetak
rumah yang masih mengontrak karena menurut Ibu FP harga rumah
tersebut paling dapat dijangkau dan Ibu FP belum mampu membeli
rumah. Menurut Ibu FP, ia dan anaknya masih betah mengemis
karena tuntutan ekonomi dan kebutuhan sekolah. Menurutnya kalau
ia dan anaknya tidak mengemis maka segala kebutuhan tidak akan
didapatkan.
d. Lingkungan yang Mendukung.
Adanya lingkungan yang mayoritas bekerja sebagai pengemis
maka peluang mereka untuk bertahan di jalanan menjadi sangat
minim. Dan mereka memutuskan akan tetap bekerja di jalanan
karena untuk kebutuhan ekonomi.
e. Mengandalkan Bantuan orang Lain.
Bertahan hidup di jalan tentu saja mereka melakukan berbagai
cara. Antara lain mereka kerap kali mendapatkan bantuan berupa
uang, pakaian, ataupun berupa makanan. Bantuan diberikan biasanya
dari pemerintah ataupun masyarakat sekitar atau kadang mereka
mendapatkan bantuan dari penumpang bus yang dinaiki. Seperti
bantuan uang biasanya didapat setiap tahun. Memang sedikit tidak
sampai satu juta namun uang tersebut sangat berguna untuk
mencukupi kebutuhan mereka.
f. Tidak Adanya Pilihan Lain.
Anak jalanan saat di jalan tentunya harus siap dengan berbagai
keadaan. Mereka juga mengaku sebenarnya mereka ingin berhenti
dari kehidupan jalanan. Tetapi karena keadaan ekonomi, keluarga,
dan faktor lainnya tidak mendukung untuk mereka berhenti dari
jalanan. Bagaimanapun juga jalanan akan membuat mereka
kepanasan dan kehujanan, dan kerap mendapatkan razia dari satpol

11
PP. Tidak hanya itu, ketika mereka tidak bekerja atau sulit mencari
uang, mereka akan miskin penghasilan atau tidak mempunyai uang
sama sekali, bahkan mereka kelaparan, kepanasan, dan jika sakit
tidak ada tempat untuk bernaung.
g. Peran Keluarga Tidak Ada.
Keluarga juga menjadi penentu anak betah berada di jalanan.
Ketika tidak adanya peran dari orang tua maka anak akan sekali
jarang pulang ke rumah masing-masing. Anak akan lebih sering
berada di jalanan.

8. Penatalaksanaan
Melaksanakan Keppres Nomor 36/1990, yang menyatakan bahwa
anak mempunyai hak bagi kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya
yang optimal, serta memperoleh perlindungan dari berbagai bentuk
eksplotasi, diskriminasi, kesewenang-wengan dan kelalaian.
Peran serta LSM dan Kelompok Profesi yang menggeluti masalah
tumbuh kembang anak (pediatri, psikiatri, psikologi, pedagogi) dalam
memberikan perhatian terhadap kelangsungan hidup anak jalanan.

9. Pencegahan
a. Sosialisasi dan pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Anak
yang baru.
b. DPRD dapat membuat PERDA Khusus yang mengatur perlindungan
terhadap anak termasuk perlindungan dari sasaran penertiban aparat.

B. Konsep Gelandangan Psikotik


1. Pengertian Gelandangan Psikotik
Kata Gelandangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki
artian orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal yang
tetap. Mereka hidup di bawah kolong jembatan dan mereka makan dari
hasil mengemis atau mengais dari sisa-sisa sampah yang bisa untuk

12
dimakan. Sedangkan kata psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai
dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi dalam
artian seseorang tersebut sudah tidak bisa membedakan antara kenyataan
dan hayalan.
Gelandangan Psikotik dapat memiliki arti seseorang yang hidup
dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak
dalam masyarakat, mempunyai tingkah laku yang aneh, suka berpindah-
pindah dan menyimpang dari norma-norma yang ada atau seseorang
bekas penderita penyakit jiwa yang telah mendapatkan pelayanan medis
atau sedang mendapatkan pelayanan. Gelandangan Psikotik adalah
penderita gangguan jiwa kronis yang keluyuran di jalan-jalan umum,
dapat mengganggu ketertiban umum dan merusak keindahan lingkungan.
Jadi kesimpulannya Gelandangan Psikotik adalah mereka yang hidup
di jalan karena suatu sebab mengalami gangguan kejiwaan yakni mental
dan sosial, sehingga mereka hidup mengembara, berkeliaran, atau
menggelandang di jalanan. Dalam gelandangan psikotik ini mereka sudah
tidak memiliki pola pikir yang jelas dan mereka sudah tidak lagi
mementingkan mengenai norma dan kebiasaan yang ada dalam
masyarakat, selain itu juga mereka sudah tidak memiliki rasa malu dan
memiliki amarah yang tidak bisa di kontrol jika sedang marah.

2. Ciri-Ciri Gelandangan Psikotik


a. Tubuh kotor sekali.
b. Rambut seperti sapu ijuk.
c. Pakaian compang camping.
d. Membawa bungkusan besar dan berisi macam-macam barang.
e. Bertingkah laku aneh seperti tertawa sendiri dan sukar diajak
berkomunikasi dan bermusuhan.
f. Tingkah laku dengan relasi sosialnya selalu asosial, eksentrik
(kegilaan-gilaan dan kronis patologis). Kurang memiliki kesadaran

13
sosial dan intelegensi sosial, fanatik dan sangat individualistis selalu
bertentangan dengan lingkungan dan norma.
g. Sikapnya masih sering berbuat kasar, kurang ajar dan ganas, marah
tanpa ada sebabnya.
h. Pribadinya tidak stabil, responnya kurang tepat dan tidak dapat untuk
dipercaya.
i. Tidak memiliki kelompok.

3. Kriteria Psikotik
a. Psikotik Organik, yaitu psikotik yang faktor penyebabnya adalah
gangguan pada pusat susunan syaraf dan psikotik yang disebabkan
oleh kondisi fisik, gangguan endoktrin, gangguan metabolisme,
intoksikasi obat setelah pembedahan atau setelah melakukan
pengobatan.
b. Psikotik Fungsional (Psikogenik), yaitu psikotik yang disebabkan
oleh adanya gangguan pada kepribadian seseorang yang bersifat
psikogenitik yaitu skizofrenia (perpecahan kepribadian), atau seperti
psikotik paranoid atau selalu curiga pada orang lain.

4. Faktor-Faktor Penyebab
a. Tekanan- tekanan kehidupan (emosional).
b. Kekecewaan (frustasi) yang tidak pernah mendapat penyelesaian.
c. Adanya hambatan yang terjadi pada masa tumbuh dan kembang
seorang individu.
d. Kecelakaan yang menimbulkan kerusakan pada gangguan otak.
e. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan ataupun
masyarakat sekitar (sosio budaya).

5. Layanan yang Dibutuhkan Oleh Gelandangan Psikotik


a. Kebutuhan fisik, meliputi kebutuhan makan, pakaian, perumahan
dan kesehatan.

14
b. Kebutuhan layanan psikis meliputi terapi medis psikiatris dan
psikologis.
c. Kebutuhan sosial meliputi rekreasi, kesenian dan olahraga.
d. Layanan kebutuhan ekonomi yang meliputi keterampilan usaha,
keterampilan kerja dan penempatan dalam masyarakat.
e. Kebutuhan rokhani (keimanan dan ketaqwaan) di dalamnya terdapat
pelajaran dan bimbingan keagamaan dan kebutuhan konseling
kerohanian.

6. Sejarah Penanganan Penderita Psikotik


Dalam sejarahnya orang gila atau psikotik memiliki pengertian yang
berbeda-beda sesuai dengan zamannya masing-masing, seperti yang
diungkapkan oleh Michel Foucault dalam bukunya “Kegilaan dan
Peradaban”. Dalam buku ini penulis mendeskripsikan di mana kategori
orang gila selalu mengikuti perkembangan zaman ataupun sesuai dengan
peradabanya. Seperti pada abad ke-12 orang yang memiliki penyakit
lepra pada abad ini dianggap sebagai orang-orang gila yang dikucilkan
dari masyarakat dan dimasukkan ke rumah sakit dan ditempatkan di
ruang-ruang yang terpisah, dan berakhir pada abad ke-15.
Kemudian berlanjut pada masa ‘Renaissance’ di mana orang gila
tersebut diberikan kebebasan oleh pemerintah walaupun statusnya
sebagai tahanan dan di masa ini pula merupakan “fase ambang”.
Sedangkan menurut Foucault dalam periode ini orang-orang gila
adalah orang-orang yang dikaruniai hikmat. Orang gila, orang bodoh
inilah yang justru memiliki eksistensi penting sebagai penjaga moral dan
kebenaran. Orang gila macam ini dibiarkan berkeliaran. Ia menjadi
lambang/simbol kebijaksanaan, atau semacam kebodohan yang melawan
dan berdialog dengan supremasi kepintaran rasio.
Selanjutnya pada abad ke-17 pandangan dari masa renaissance ini
mulai berubah dan pandangan terhadap orang gila pun telah berubah, dan
orang gila dimasukan kedalam hospital generale dan diberikan hukuman

15
yang sangat berat oleh raja, pengadilan, dan polisi dengan dibawa ke
kapal lalu ditenggelamkan. Memasuki abad 19, orang-orang gila
dikelompokkan dan dikategorisasikan ke dalam mereka yang mengalami
gangguan mental, stres, neurosis, melankolis, atau schizoprenia
dimasukkan dalam rumah-rumah sakit jiwa. Mereka menjalani proses
“penyembuhan”. Mereka tidak lagi mengalami represi fisik (diikat pada
rantai atau dicambuk seperti seabad sebelumnya), juga mereka tidak
menjadi tanggung jawab masyarakat bersama, melainkan kegilaan itu
ditangani oleh seorang dokter, seorang terapist atau seorang psikiater
untuk disembuhkan bak suatu penyakit. Mereka dimasukkan dalam
sebuah panti rehabilitasi sosial.
Penyakit jiwa sudah ada sejak zaman dahulu, dan pengertian dari
penyakit jiwa ini memiliki berbagai macam mengikuti perkembangan
zamannya masing-masing. Begitupula dengan proses untuk
menyembuhakan dan memperbaiki kondisi dari orang sakit jiwa tersebut,
mulai dari di kucilkan dari masyarakat luas hingga dibunuh dengan cara
dilemparkan ke laut. Hingga pada akhirnya pemerintah menyadari
bahwasannya mereka tidak perlu untuk diperlakukan seperti itu, mereka
hanya perlu penanganan yang lebih serius untuk menyembuhkan
penyakit yang dideritanya dengan dibentuknya panti-panti rehabilitasi
sosial.

7. Prinsip-Prinsip Penanganan Bagi Gelandangan Psikotik


Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan didasarkan pada
prinsip umum dan khusus untuk menjamin berlangsungnya pelayanan
secara profesional dan tidak melanggar hak azasi mereka sebagai
manusia, prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Prinsip-prinsip umum:
Pelayanan rehabilitasi bagi gelandangan pada prinsipnya:

16
1) Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, di mana
setiap warga binaan bisa diterima dan dihargai sebagai pribadi
yang utuh dalam artian memanusiakan manusia.
2) Memberikan penghidupan dan pelayanan yang layak terhadap
warga binaan.
3) Pemberian kesempatan seluas-luasnya bagi para warga binaan
tersebut unuk lebih mengembangkan dirinya dan diikutsertakan
dalam kegiatan yang ada didalam panti rehabilitasi tersebut.
4) Menanamkan sifat tanggung jawab sosial yang melekat pada
setiap warga binaan yang dilayani dan direhabilitasi.
b. Prinsip-prinsip khusus:
Prinsip-prinsip khusus dalam rehabilitasi sosial adalah:
1) Prinsip peneriamaan warga binaan secara apa adanya.
2) Tidak menghakimi (Non judgement) warga binaan.
3) Prinsip individualisasi, setiap warga binaan tidak diperlakukan
sama rata, tetapi harus dipahami secara khusus sesuai dengan
problemnya masing-masing.
4) Prinsip kerahasiaan, setiap informasi yang diperoleh mengenai
gelandangan tersebut dapat dijaga kerahasiaannya sebaik dan
sekuat mungkin, terkecuali informasi tersebut digunakan untuk
kepentingan pelayanan dan rehabilitasi sosial klien tersebut.
5) Prinsip partisipasi, setiap warga binaan dan orang-orang
terdekatnya ikut berpartisipasi dalam proses penyembuhan dan
rehabilitasinya dalam upaya unuk mengembalikan kesadaran
individu tersebut.
6) Prinsip komunikasi, dalam hal ini diusahakan agar kualitas dan
intensitas komunikasi antara warga binaan dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya dapat ditingkatkan seoptimal mungkin
sehingga dapat berdampak positif terhadap upaya rehabilitasi
warga binaan.

17
7) Prinsip kesadaran diri, di mana para pelaksana pelayanan sosial
secara sadar wajib menjaga kualitas hubungan profesionalnya
dengan warga binaan, sehingga tidak jatuh dalam hubungan
emosional yang menyulitkan dan menghambat proses
rehabilitasi

8. Penatalaksanaan
Dirawat sampai sembuh di Rumah Sakit Jiwa atau Panti Laras
(Dinas Sosial).

9. Pencegahan
Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE); obat injeksi long acting;
penciptaan lapangan pekerjaan di desa.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Jalanan dan Gelandangan


Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan psikososial menurut
Tarwoto (2003) adalah sebagai berikut:
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada klien dengan gangguan psikososial adalah:
a. Status Emosional.
1) Apakah emosi sesuai perilaku?
2) Apakah klien dapat mengendalikan emosi?
3) Bagaimana perasaan klien yang tampil seperti biasanya?
4) Apakah perasaan hati sekarang merupakan ciri khas klien?
5) Apa yang klien lakukan jika marah atau sedih?
b. Konsep Diri.
1) Bagaimana klien menilai dirinya sebagai manusia?
2) Bagaimana orang lain menilai diri klien?
3) Apakan klien suka akan dirinya?
c. Cara Komunikasi.
1) Apakah klien mudah merespon?

18
2) Apakah spontanitas atau hanya jika ditanya?
3) Bagaimana perilaku non verbal klien dalam berkomunikasi?
4) Apakah klien menolak untuk memberi respons?
d. Pola Interaksi.
1) Kepada siapa klien mau berinterkasi?
2) Siapa yang paling penting atau berpengaruh bagi klien?
3) Bagaimana sifat asli klien: mendominasi atau positif?
e. Pendidikan dan Pekerjaan.
1) Pendidikan terakhir.
2) Keterampilan yang mampu dilakukan.
3) Pekerjaan klien.
4) Status keuangan.
f. Hubungan Sosial.
1) Teman dekat klien.
2) Bagaimana klien menggunakan waktu luang?
3) Apakah klien berkecimpung dalam kelompok masyarakat?
g. Faktor Kultur Sosial.
1) Apakah agama dan kebudayaan klien?
2) Bagaimana tingkat pemahaman klien tentang agama?
3) Apakah bahasa klien memadai untuk berkomunikasi dengan
orang lain?
h. Pola Hidup.
1) Di mana tempat tinggal klien?
2) Bagaimana tempat tinggal klien?
3) Dengan siapa klien tinggal?
4) Apa yang klien lakukan untuk meyenangkan diri?
i. Keluarga.
1) Apakah klien sudah menikah?
2) Apakah klien sudah mempunyai anak?
3) Bagaimana status kesehatan klien dan keluarga?
4) Masalah apa yang terutama dalam keluarga?

19
5) Bagaimana tingkat kecemasaan klien?

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Tarwoto (2003) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah b.d Kesehatan.
b. Gangguan konsep diri: Body Image b.d Hilangnya Bagian Tubuh.
c. Gangguan konsep diri: Perubahan Peran b.d Kesehatan.
d. Gangguan konsep diri: Identitas Diri b.d Kesehatan.

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan menurut Tarwoto (2003) adalah:
a. Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah b.d Kesehatan.
Tujuan: Klien menunjukkan harga diri yang positif.
Kriteria Hasil:
1) Klien tidak merasa malu dengan kondisinya.
2) Klien merasa percaya diri.
3) Klien mau berinteraksi dengan orang lain.
Intervensi:
1) Bina hubungan saling percaya dan menjelaskan semua prosedur
dan tujuan dengan singkat dan jelas.
2) Kaji penyebab gangguan harga diri rendah.
3) Berikan dukungan emosi untuk klien/orang terdekat selama tes
diagnostik.
4) Sampaikan hal-hal positif secara mutlak.
5) Gunakan sentuhan tangan jika diterima.
6) Libatkan keluarga dan orang terdekat untuk memberikan
support.
7) Berikan reinforcement yang positif.
b. Gangguan Konsep Diri: Body Image b.d Hilangnya Bagian Tubuh.
Tujuan: Gambaran diri klien positif.
Kriteria Hasil:

20
1) Klien menyukai anggota tubuhnya.
2) Klien tidak merasa malu.
3) Klien mau berinteraksi dengan orang lain.
Intervensi:
1) Binalah hubungan saling percaya.
2) Kajilah penyebab gangguan body image.
3) Kajilah kemampuan yang dimiliki klien.
4) Eksplorasi aktivitas baru yang dapat dilakukan.
5) Berikan dukungan yang positif dan dukungan emosi.
6) Gunakan sentuhan tangan jika diterima.
c. Gangguan Konsep Diri: Perubahan Peran b.d Kesehatan.
Tujuan: Klien dapat melakukan perannya.
Kriteria Hasil:
1) Klien tidak merasa malu dengan kondisinya.
2) Klien merasa percaya diri.
3) Klien mau berinteraksi dengan orang lain.
Intervensi:
1) Bina hubungan saling percaya dan menjelaskan semua prosedur
dan tujuan dengan singkat dan jelas.
2) Kaji penyebab perubahan peran.
3) Berikan dukungan emosi untuk klien/orang terdekat selama tes
diagnostik.
4) Sampaikan hal-hal positif secara mutlak.
5) Gunakan sentuhan tangan jika diterima.
6) Libatkan keluarga dan orang terdekat untuk memberikan
support.
7) Berikan reinforcement yang positif.
d. Gangguan Konsep Diri: Identitas Diri b.d Kesehatan.
Tujuan: Klien dapat mengidentifikasi identitasnya yang positif.
Kriteria Hasil:
1) Klien tidak merasa malu dengan kondisinya.

21
2) Klien merasa percaya diri.
3) Klien mau berinteraksi dengan orang lain.
Intervensi:
1) Bina hubungan saling percaya dan menjelaskan semua prosedur
dan tujuan dengan singkat dan jelas.
2) Kaji penyebab gangguan identitas diri klien.
3) Berikan dukungan emosi untuk klien/orang terdekat selama tes
diagnostik.
4) Sampaikan hal-hal positif secara mutlak.
5) Gunakan sentuhan tangan jika diterima.
6) Libatkan keluarga dan orang terdekat untuk memberikan
support.
7) Berikan reinforcement yang positif.

4. Implementasi Keperawatan
Melakukan tindakan keperawatan berdasarkan intervensi/rencana yang
telah dibuat dan sesuai dengan kondisi klien.

5. Evaluasi Keperawatan
a. Klien menunjukkan harga diri yang positif.
b. Gambaran diri klien positif.
c. Klien dapat melakukan perannya.
d. Klien dapat mengidentifikasi identitasnya yang positif.

22
BAB III
ANALISIS JURNAL

REKONSTRUKSI MODEL PENANGANAN ANAK JALANAN MELALUI


PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS, SUATU INTERVENSI BERBASIS
KOMUNITAS

Festa Yumpi
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah, Jember

A. INTRODUCTION:
Berdasarkan pengamatan peneliti diperoleh gambaran bahwa lingkungan
strategis yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan anak jalanan adalah:
(1) orangtua atau keluarga asal anak jalanan, (2) lingkungan pergaulan sehari-
hari anak di jalanan, dalam hal ini adalah: komunitas sebaya anak jalanan (3)
masyarakat pemakai jalan yang menjadi konsumen anak jalanan, 4) aparat
yang terkait dengan keberadaan setting kehidupan anak jalanan di jalan-jalan
(seperti: polisi, dinas sosial, dan aparat penertiban), 5) organisasi sosial yang
memiliki kepedulian terhadap anak jalanan.
Temuan empirik menunjukkan bahwa karakteristik anak jalanan dapat
dikategorikan,: (1) anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan
ekonomi dalam keluarga, sehingga orang tua menyuruh anaknya untuk turun
ke jalan guna mencari tambahan ekonomi keluarga, (2) rendahnya pendidikan
orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui fungsi dan perannya
sebagai orang tua, disamping tidak mengetahui hak-hak yang dimiliki oleh
anaknya, (3) orangtua tidak memiliki kemampuan dalam pola asuh yang tepat
bagi anak sehingga anak tidak memiliki kecakapan dalam menghadapi
tekanan (4) peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat
rendah, (5) masih ditemukan pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari
kehidupan anak jalanan, (6) lembaga-lembaga, organisasi sosial belum

23
berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat menangani masalah anak
jalanan, (7) belum ada payung kebijakan mengenai pencegahan anak agar
tidak turun ke jalan atau penanganan menyeluruh yang mencakup aspek
sosial, psikologis dan spiritual.
Berdasarkan permasalahan di atas, pengentasan anak jalanan secara
terpadu sesuai dengan latar belakang sosial dan psikologis harus memperoleh
perhatian. Dalam konteks pemikiran itu, maka peneliti melakukan studi
mengenai intervensi berbasis komunitas dalam upaya melakukan rekonstruksi
model penanganan anak jalanan melalui pendampingan psikologis.
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi bentuk dan model penanganan
anak jalanan.

B. METHODE
Desain penelitian ini merupakan desain penelitian kasus yang
menggunakan pendekatan kualitatif sebagai basis analisis dan interpretasi
data. Penentuan unit analisis penelitian ini diarahkan pada kegiatan
penanganan anak punk jalanan di Madrasah Aliyah Modern Al Islam
Yayasan Tribungan Bercahaya Wirowongso Kecamatan Ajung Jember.
Lima responden dipilih berdasarkan purposive. Metode pengumpulan
data yang digunakan meliputi wawancara, observasi, dan diskusi kelompok
terfokus (focus group). Data-data yang dikumpulkan dianalisis dengan model
interaktif dan alir.

C. RESULT
Hasil Penelian meliputi:
1. Model Pendampingan dan Kegiatan
a. Outreach: bentuk kegiatan aktif dengan cara menjangkau anak ke
lapangan berdasarkan rujukan berbagai pihak yang tidak datang
langsung ke lembaga.
b. Home visit: bertujuan untuk melakukan edukasi pada keluarga.
kenyataan yang dihadapi adalah bahwa keluarga menganggap anak

24
adalah aset, sehingga anak didukung untuk bekerja dan tidak
menempatkan pendidikan sebagai prioritas.
c. Kegiatan Spritual: dalam bentuk pengajian rutin, yaitu pengajian
bulanan dengan mengundang tokoh-tokoh masyrakat atau ulama.
d. Program pendidikan formal: Yayasan Tribungan Bercahaya
memiliki SMP terbuka yang bekerja sama dengan SMP Negeri
Jenggawa dan Madrasah Aliyah Modern Al Islam Madrasah Aliyah
Al Islam yang bekerjasama dengan Madrasah Aliyah Negeri Jember.
e. Okupasi: Kegiatan pengembangan ketrampilan yang sudah
dilakukan adalah kursus singkat pengolahan hasil pertanian dan
menjahit.
f. Rumah Aman (shelter): memberikan wadah sementara bagi anak
jalanan yang memerlukan tempat berlindung agar terhindar dari
berbagai kemungkinan yang fatal berupa gangguan, ancaman, dan
tekanan-tekanan lainnya.
g. Kelompok Bersama: Ada support group orangtua dan support
group bagi anak. Dalam support group juga dibicarakan upaya
mengajak teman-teman yang masih hidup dijalanan dan ada potensi
diajak bergabung dalam program lembaga. Support group bagi
orangtua jarang dilakukan karena kesulitan jadwal yang sesuai antara
orangtua satu dengan yang lain.
h. Kerjasama dengan masyarakat sekitar

2. Paradigma Intervesi Berbasis Komunitas


Pengaruh sosiokultural dan historis memengaruhi proses keluarga,
selanjutnya keluarga memengaruhi perkembangan anak. Paradigma
inilah yang digunakan sebagai upaya metodologis dalam intervensi
berbasis komunitas.
Pendekatan berbasis komunitas adalah pendekatan pencegahan dan
penanganan. Hal ini merupakan usaha mengatasi masalah yang tidak

25
hanya difokuskan pada anak, melainkan juga melakukan penguatan pada
keluarga dan masyarakat.
Model penanganan dalam bentuk pendampingan psikologis ini
merupakan intervensi berbasis komunitas. Hal ini melibatkan sumber
daya manusia dalam bentuk lembaga yang memiliki nilai-nilai sosial dan
religius.

D. DISCUSSION
Selama peneliti mengobservasi pendekatan yang dilakukan para staf
Yayasan Tribungan Bercahaya dan mendalaminya lebih jauh, paradigma yang
digunakan adalah pendekatan humanistik terutama Client Centered Therapy
dari Carl R. Rogers (Non-direktif konseling). Sikap yang paling dominan
muncul dari pendamping, yaitu penerimaan positif, penerimaan secara penuh
terhadap diri anak jalanan dan keluarga tanpa prasyarat apapun
(unconditional positive regard). Selama berkomunikasi, pendamping
mengambil peran bukan sebagai figur yang otoritatif dan selalu mengarahkan,
namun ia lebih mengambil posisi sebagai pendengar yang aktif dan menjadi
teman berkeluh-kesah bagi anak jalanan.
Gambaran model penanganan anak jalanan melalui pendampingan
psikologis. Secara garis besar proses dan siklus pendampingan psikologis
meliputi daur
1. Asesmen, yaitu tahap awal yang ditujukan untuk mengenal anak jalanan,
dalam asesmen ini anak jalanan dan keluarganya atau significant others
lainnya (untuk istilah lembaga, pihak terkait yang memberi rujukan)
mendapat informasi tentang lembaga/panti. Data awal yang dikumpulkan
diantaranya; keluarga, lingkungan, pendidikan, pekerjaan, katagori
lamanya menjadi anak jalanan.
2. Intervensi psikologis, sebagai langkah awal, anak jalanan yang masuk ke
dalam lingkungan lembaga akan diperkenalkan mengenai; tujuan, norma,
nilai, kegiatan, dan kebiasaaan yang dirancang secara umum dan khusus
untuk memulihkan anak jalanan agar dapat kembali ke masyarakat umum

26
(keluarga sebagai basis utama) dengan peran dan fungsi sesuai
kemampuan dan keterbatasannya. Program positif parenting skill, yaitu
pihak keluarga anak jalanan diberikan pemahaman mengenai pola asah,
asih dan asuh. Tujuannya, memberikan pemahaman keluarga tentang
berbagai aspek bahaya jika anak terus menerus berada di jalan, juga
membentuk jaringan hubungan antar sesama orang tua agar dapat saling
mendukung dalam menghadapi masalah yang dialaminya.
Beberapa komponen penting dalam tahap ini, yaitu: (1) cara mengenali
dan mengatasi masalah anak, upaya membangun karakter anak berbasis
cerdas emosi dan spiritual. (2) cara mengelola marah (anger
management), (Yumpi, 2008).
a. Spiritual comitment, yaitu anak jalanan diperkenalkan upaya menuju
pilihan hidup yang bermakna (ikhlas, sabar dan syukur),
menumbuhkan nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan (kejujuran,
pemaafan, tanggungjawab, disiplin, kerjasama, peduli)
b. Berpikir positif dan perasaan positif, yaitu anak jalanan
diperkenalkan kecakapan dalam merespon masalah secara tepat,
antara lain berpikir positif, regulasi emosi dan ketrampilan sosial.
c. Okupasi yaitu anak punk jalanan diperkenalkan cara mengenali
bakat dan minat, kemudian mempraktekannya melalui latihan kerja.
3. Penguatan, bertujuan untuk memperkuat kondisi stabil yang telah dicapai
pada tahap intervensi psikologis. Pada tahap ini anak jalanan dan
keluarganya dimotivasi untuk menerapkan kecakapan yang telah
diperoleh pada tahap dua. Penerapan ini membutuhkan penguatan karena
pengalaman stres pada situasi yang sebenarnya masih bisa terjadi, oleh
karena itu dibutuhkan program-program sebagai berikut:
a. Monitoring, yaitu layanan dalam bentuk kunjungan ke rumah pada
keluarga anak jalanan.
b. Konseling kelompok, yaitu memberikan konseling secara kelompok
pada anak jalanan mengenai: belajar untuk berfungsi dalam

27
komunitas, belajar menghadapi tekanan dan rasa frustrasi, belajar
merespon secara tepat ketika mengalami tekanan teman sebaya.
c. Tekanan positif teman sebaya, adalah bentuk partisipasi anak jalanan
yang telah mencapai penyesuaian diri dan anak jalanan yang masih
di jalanan. Anak-anak yang memiliki kemampuan penyesuaian diri
tersebut memberikan dorongan pada anak jalanan yang masih rentan
terhadap tekanan luar yang negatif. Tekanan positif teman sebaya ini
merupakan penerapan dinamika kelompok, didalam kelompok yang
memiliki tujuan, individu akan belajar tentang berbagai ketrampilan
yang dibutuhkan, misalnya ketrampilan interaksi sosial, pemecahan
masalah. Anggota kelompok juga dapat mengungkapkan idenya
tentang masalah yang dihadapi anggota lain dan mendengarkan
pendapat anggota lain tentang dirinya (Jacobs, Harvill, Masson,
1988).
4. Evaluasi perilaku adaptif, model ini menunjukkan bahwa bila anak
jalanan memiliki perilaku adaptif, maka anak jalanan dapat terjun ke
masyarakat atau kembali pada keluarga. Anak jalanan yang masih
menunjukkan perilaku maladaptif, maka dilakukan asesmen kembali
untuk diketahui kebutuhannya secara spesifik. Anak jalanan menjalani
program intervensi psikologis, penguatan dan evaluasi, demikian siklus
ini seterusnya.

E. CONCLUSION
Berdasarkan temuan dan interpretasi hasil penelitian, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan berikut ini: 1) bentuk-bentuk pemberdayaan anak
jalanan dilakukan dalam berbagai variasi yang saling melengkapi, yaitu
intervensi langsung pada anak jalanan dan keluarga. antara lain outreach,
shelter home, kelompok bersama (support group), home visit (kunjungan
rumah), pemberdayaan keluarga dan program okupasi. 2) pendampingan yang
dilakukan menggunakan prinsip menerima anak jalanan apa adanya,
pemberdayaan dilakukan mencakup aspek sosial, psikologis dan spiritual. 3)

28
Program intervensi berbasis komunitas ini dilakukan oleh lembaga yang
memiliki nilai-nilai religius dan komitmen spiritual.

29
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak jalanan adalah mereka yang berumur sekitar atau kurang dari 21
tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalan dengan
bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi atau hanya untuk hidup
dijalan.
Gelandangan Psikotik adalah mereka yang hidup di jalan karena suatu
sebab mengalami gangguan kejiwaan yakni mental dan sosial, sehingga
mereka hidup mengembara, berkeliaran, atau menggelandang di jalanan.
Diagnosa keperawatan yang ditemukan dengan masalah psikososial
antara lain: Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah b.d Kesehatan;
Gangguan konsep diri: Body Image b.d Hilangnya Bagian Tubuh; Gangguan
konsep diri: Perubahan Peran b.d Kesehatan; Gangguan konsep diri: Identitas
Diri b.d Kesehatan.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapakan mahasiswa/i mengerti dan
memahami asuhan keperawatan anak jalanan dan gelandangan. Diperlukan
juga adanya semacam kampanye kepada masyarakat luas untuk peduli dan
meningkatkan kesadaran terhadap anak jalanan dan gelandangan yang ada di
Indonesia melalui poster, iklan layanan dan sebagainya.

30

Anda mungkin juga menyukai