Anda di halaman 1dari 20

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Status Epileptikus


A. Definisi
Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA)
mendefinisikan SE sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30
menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di
antaranya.3 Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun beberapa ahli
mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat merupakan suatu SE.
Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus lebih
dari 5 menit.9

B. Klasifikasi
Saat ini, ada beberapa versi pengklasifikasian SE sebagai berikut (Treiman):10
1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu
pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu
kepada aktivitas motorik suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada
respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE
seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara
definisi subtle SE merupakan nonconvulsive, namun harus dibedakan dari
NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati, dan
mempunyai prognosis yang buruk.
3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial
SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan
prognosis; focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.

15
4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada
area korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda
dengan convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas
dan morbiditas yang tinggi.
Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan
nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifikasi ILAE
(International League Against Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah
nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang beragam seperti
kejang fokal pada limbic SE ataupun generalized seperti absence SE. Di samping
itu, keadaan convulsive, khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada
nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau perioral.11
Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas kejang yang terus-
menerus dan mengklasifi kasikan SE menjadi dua kategori, yaitu generalized dan
focal SE. Laporan ILAE Core Group (2006) mengklasifi kasikan bermacam-
macam tipe SE, serta berusaha menghindari istilah generalized dan focal.11

C. Epidemiologi
Angka kejadian SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu
setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000 untuk
usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman mendapatkan insidens 17,1 per
100.000 per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian
Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa
26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas hingga 38%. Mortalitas
tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi. Pasien stroke dan
anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien dengan etiologi
penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah,
mempunyai mortalitas relatif rendah.3,5 Insiden SE pada lanjut usia setidaknya dua
kali pada populasi umum. SE pada lansia menjadi perhatian besar karena kondisi
medis bersamaan sering ada yang cenderung mempersulit terapi dan
memperburuk prognosis.4

16
D. Etiologi
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf
pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat
antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus.
Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di Negara maju,
sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf
pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas.3,9
Hampir seperempat dari orang yang mengalami SE memiliki epilepsi yang
sudah ada sebelumnya. Penurunan dramatis dalam tingkat serum AED karena
ketidakpatuhan atau alasan lain adalah mekanisme yang paling umum dari SE
dalam kasus tersebut. Pada banyak pasien dengan gangguan kejang sebelumnya,
tidak ada faktor pencetus yang jelas dapat diidentifikasi untuk terjadinya SE. SE
lebih sering terjadi pada pasien dengan epilepsy umum sekunder dibandingkan
pada pasien dengan epilepsy umum idiopatik.4

Tabel 1. Etiologi status epileptikus3,4,9

 Alkohol
 Anoksia
 Antikonvulsan-withdrawal
 Penyakit cerebrovaskular
 Epilepsi kronik
 Infeksi SSP
 Toksisitas obat-obatan
 Metabolik
 Trauma
 Tumor

E. PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang

17
berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.12
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut: 12
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun,
apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktifitas
kejang. 12
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin
dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat
mengikat dan menyingkirkan asetilkolin. 12

18
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status
epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut.
Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari
kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat
secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak efektif. Obat standar
yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam
pertama berlangsungnya status. 13
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik
seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat
mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah,
dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan
mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis,
hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot
spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda
dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi,
leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai. 13
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja
nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah
otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak
efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan
microglia yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate
(NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit
saja yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-
radical. Aktivasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan
glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang
dimediasi oleh glutamate-glutamic-mediated excitotoxicity khususnya di
hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-
neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan
keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak
yang terjadi pun akan semakin besar. 14

19
F. Manifestasi Klinis15
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized
Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain
dapat juga terjadi.
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-
klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik
umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang
tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan
peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-
putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi
CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia
mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi
yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan
metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus
yang tidak tertangani.

20
2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik
dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

4. Status Epileptikus Mioklonik.


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia
berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan
toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang
lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam
waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau
kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz

21
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap
status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,
cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG
menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike
wave discharges dari status absens.
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-
jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau
frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit

22
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-
konvulsif pada beberapa kasus.

G. Diagnosis dan pemeriksaan penunjang2,3,10


Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 – 10 menit. Hal yang
pertama kita lakukan adalah:
1. Anamnesis
riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang,
sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara
kejang, riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga,
demam, riwayat persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang
diderita.
2. Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema
akibat peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem
motorik yaitu parestesia, hipestesia, anestesia.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal
dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan
kultur darah
b. imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di
otak
c. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat
mungkin jika pasien mengalami gangguan mental
d. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau
perdarahan subarachnoid.
H. Diagnosis banding
1. Reaksi konversi
2. Syncope

23
I. Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan
penanganan segera. Mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU).
Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan
konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang
paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan
Midazolam (Versed).2,3,10
Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid
(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat. Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570
pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat
kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat
terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen. 2,3,10
Tabel 2. Obat-obat OAE2,3,10

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase

1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %
4. Fenitoin 18 44 %
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan
Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat
larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit
setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari
konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan
kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama. 2,3,10
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung
(2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida

24
dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan
NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove
syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin,
karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.2,3,10
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60
menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut
dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi,
hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. 2,3,10
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan
psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus
refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini
pertama. Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan
menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang
lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam,
Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada
kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan
dosis awal. 2,3,10
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus2,3,10
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila
perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar
glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar
antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

25
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan
Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg)
intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5
sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18
mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan
tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan
Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12
jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.
Pada: 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan
kecepatan 100 mg per menit
Pada: 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian
bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus
Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam
untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10
mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis
pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.

26
J. Prognosis
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang
mendasari status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan
antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi
komplikasi.4

27
3.2 Lupus Cerebral
A. Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi
karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan
dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ
tubuh,seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal,
hati, otak, dan syaraf dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan
jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Berdasarkan sumber lain,
sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang disebabkan
oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune kompleks. Terdapat spektrum
manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi. Respons imun
patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta adanya gen tertentu
yang rentan.16,17
Termasuk dalam Sistemik Lupus Eritematosus yang manifestasi kliniknya
tidak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh namun secara khusus targetnya
adalah otak, di samping ke seluruh tubuh.16,17

B. Epidemiologi
Lupus serebral terjadi pada 24% -50% dari semua pasien di Amerika Serikat
pada beberapa waktu selama perjalanan penyakit pasien. Ini merupakan salah satu
manifestasi yang paling sulit untuk didiagnosa sebagai lupus serebral. Kemajuan
dalam pencitraan dan analisis laboratorium telah memberikan kontribusi untuk
diagnosis awal dan lebih spesifik bagi lupus serebral. Meskipun peningkatan
dalam kemampuan untuk mengobati lupus, pengelolaannya tetap tidak
memuaskan.7

C. Etiologi16,17
1. Autoimun ( kegagalan toleransi diri)
2. Cahaya matahari ( UV)
3. Stress
4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus,
Klebsiella)

28
5. Obat – obatan: Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine,
Isoniazid
6. Zat kimia: merkuri dan silikon
7. Perubahan hormon

D. Patofisiologi
Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor
lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon
tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula,
dengan aktivasi poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel tersebut.
Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu,
mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah produksi
autoantibodi dan pembentukan imun kompleks. Subset patogen autoantibodi dan
deposit imun kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang ditimbulkannya
merupakan karakteristik SLE.17
Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai
keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa
antigen tubuh tidak dikenal(self antigen) contoh: nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A.
Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B.
Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada reseptornya
sehingga menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang
dibentuk peptida ini dan antibodi yang terbentuk oleh antigen external akan
merusak target organ (glomerulus, sel endotel, trombosit). Di sisi lain antibodi
juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks yang
merusak berbagai organ bila mengendap.17
Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan
protein RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa
autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat
berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada
sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan
eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.17

29
Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada Lupus serebral dan ini
menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks ini
menyebabkan respon inflamasi serta gangguan blood brain barrier. Vaskulitis
hanya ditemukan pada sekitar 10% dari pasien dengan lupus serebral.17
Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun
kompleks yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen, PMN dan berbagai
mediator inflamasi. Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine (interferon alfa
dan interleukin-6) pada penderita lupus serebral adalah ketidakseimbangan jumlah
dari jenis-jenis cytokine. Sitokin dapat memicu terjadinya edema, penebalan
endotel, dan infiltrasi neutrofil dalam jaringan otak.17

E. Manifestasi Klinis
Lupus cerebral dapat hadir dengan kejang, psikosis, myelopathy, atau stroke
pada pasien dengan SLE. Dalam definisi yang paling luas, itu adalah respon
inflamasi dari SSP sekunder untuk SLE. Sebuah gangguan neurologis pada SLE
dapat terjadi sebagai kejadian yang terisolasi atau dalam hubungannya dengan
tanda-tanda sistemik lain dari SLE atau bahkan mendahului timbulnya penyakit
sistemik. linis, autopsi, atau laporan anekdot pasien diikuti selama periode waktu
variabel.6,18,19
Cerebritis Lupus dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Durasi
keterlibatan SSP mungkin bervariasi, seperti pada migren klasik atau transient
ischemic attack (TIA), ataupun demensia. Defisit neurologis yang dihasilkan
mungkin bersifat sementara atau permanen, kadang-kadang mengakibatkan
kematian. 6,18,19
Tanda-tanda neurologis dikategorikan menjadi fokus, spesifik, dan neuropsikiatri:
1. Manifestasi Fokal
Tanda-tanda neurologis fokal termasuk stroke,transverse myelitis, palsi saraf
kranial, neuropati perifer, dan chorea, serebelum ataksia. Infark pembuluh darah
besar cenderung terjadi dalam isolasi dari peristiwa neurologis lainnya. Insiden
stroke adalah 3% -20% pada pasien dengan lupus serebral. Hal ini tertinggi dalam
5 tahun pertama penyakit ini dan tingkat kekambuhan stroke dilaporkan dalam
literatur berkisar antara 13% -69%.6,18,19

30
Transvere Myelitis terjadi dari demielinasi atau vasculopathy; biasanya pada
arteri kecil yang sering terkena. Ada laporan dalam literatur infark sumsum tulang
belakang dan hematoma subdural, mengakibatkan paraplegia, disfungsi sfingter,
dan kehilangan sensori. Palsi saraf kranial terjadi pada 10% -15% pasien Lupus
serebral. Serebral laring, kehilangan penglihatan, ptosis, dan kelemahan wajah
adalah manifestasi lebih umum. 6,18,19
Neuropati perifer terjadi di lebih dari 20% dari populasi pasien Lupus
serebral. Hal ini dapat terjadi sebagai carpal tunnel syndrome, mati rasa /
kesemutan, nyeri wajah, dan telinga berdenging. Gangguan gerak, seperti ataksia
cerebellar dan chorea, terlihat dalam waktu kurang dari 5% pasien Lupus
serebral.6,18,19
2. Manifestasi spesifik
Tanda-tanda neurologis spesifik terjadi pada sekitar 40% -70% pasien Lupus
serebral. Ini termasuk sakit kepala, kejang, dan sindrom otak organik. Sebuah
"lupus headache" adalah manifestasi yang paling sering terjadi. Jika sakit kepala
berlanjut, trombosis vena serebral harus dipertimbangkan. Meskipun 40% -70%
dari pasien lupus mengeluh sakit kepala, hubungan langsung dengan lupus dan
keparahan penyakit ini tidak selalu jelas. Kejang terjadi pada 20% pasien.
Berbagai jenis dilaporkan; tonik-klonik yang paling umum. Kejang ini disebabkan
oleh infark mikro atau subarachnoid hemorrhage. Tantangan terbesar dalam
menghadapi kejang dan lupus adalah bahwa begitu banyak obat yang digunakan
untuk mengobati lupus juga dapat menyebabkan kejang (misalnya, steroid,
antimalaria, dan beberapa sitotoksik). Juga, obat kejang dapat merugikan.
Valproate, pada kenyataannya, sebenarnya dapat memicu timbulnya atau
eksaserbasi dari lupus pada beberapa pasien (Barr & Merchut). Sindrom otak
organik terjadi pada sekitar 30% pasien Lupus serebral karena untuk multi-infarct
demensia. 6,18,19
3. Manifestasi neuropsikiatri
Gejala sisa neuropsikiatri terlihat pada pasien Lupus serebral berkisar dari
gangguan afektif terhadap perilaku dan kognitif. Sekitar 20% dari semua pasien
lupus awalnya hadir dengan gangguan neuropsikiatri. Pasien dengan kali
terdiagnosis lupus cerebritis banyak muncul di klinik psikiatri atau neurologi.

31
Gejala Afektif termasuk gangguan kepribadian, mudah tersinggung, marah,
kecemasan, depresi, kesedihan, dan perasaan putus asa. 6,18,19
Perilaku pada pasien Lupus serebral memiliki episode kewajiban emosional
seperti menangis dan apatis, kontak mata yang buruk, dan kurangnya inisiatif.
Defisit kognitif terlihat pada 20% -40% pasien SLE. Gejala termasuk kesulitan
dalam berpikir, berkonsentrasi, dan berbicara, dengan tingkat fluktuasi kesadaran.
Banyak pasien menyebutnya sebagai "kabut otak." 6,18,19
Psikosis dapat terjadi pada Lupus serebral. Namun, penyebab psikosis adalah
kontroversial seperti keterlibatan SSP baik dari pengobatan dan steroid dapat
terjadi. Karena steroid adalah pengobatan andalan untuk Lupus, mungkin sulit
untuk membedakan antara psikosis steroid atau aktual keterlibatan SSP. Barat
(1994) menyarankan bahwa cara terbaik untuk membedakan antara keduanya
adalah untuk mengurangi dosis steroid untuk menentukan apakah tanda-tanda dan
gejala berkurang. Jika gejala psikotik penurunan, keracunan steroid harus
dipertimbangkan. 6,18,19

F. Diagnosis dan pemeriksaan penunjang


Diagnosis yang tepat lupus serebral sangat sulit. Tidak ada standar emas
tunggal diagnostik. Hanly merekomendasikan bahwa diagnosis harus didasarkan
pada kedua penilaian klinis serta adanya antibodi dalam serum dan CSF Sebuah
diagnosis Lupus serebral tidak dapat dibuat dari temuan radiologis saja, karena
yang benar adalah vaskulitis serebral jarang terlihat radiologis atau bahkan pada
otopsi. 6,18,19
1. Computed tomography.
Computed tomography (CT) scan dapat menunjukkan otak yang normal atau
atrofi serebral, kalsifikasi, infark, perdarahan intrakranial dan cairan subdural.
Beberapa temuan ini mungkin disebabkan penggunaan steroid kronis pada pasien
Lupus. 6,18,19
2. Electroencephalography.
Electroencephalography (EEG) juga dapat digunakan untuk menentukan daerah-
daerah tertentu kerusakan dari infark mikro. Kelainan EEG terlihat pada 50% -
90% pasien Lupus serebral, termasuk theta dan delta. 6,18,19

32
G. Prognosis
Prognois bervariasi, tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.
Perjalanan SLE kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi
yang lama. Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat
baik.6,18,19

33

Anda mungkin juga menyukai