Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/290899548

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) sebagai Tindakan Pencegahan pada
Kegagalan Pengujian

Conference Paper · October 2015

CITATIONS READS

0 4,465

1 author:

Tri Widianti
Indonesian Institute of Sciences
24 PUBLICATIONS   30 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

P2SMTP View project

All content following this page was uploaded by Tri Widianti on 18 January 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


AMTeQ 2015

Annual
Meeting
on Testing
and Quality
2015
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS (FMEA) SEBAGAI TINDAKAN


PENCEGAHAN PADA KEGAGALAN PENGUJIAN

Himma Firdaus1,*, Tri Widianti1


1
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Kawasan Puspiptek Gedung 417, Tangerang Selatan 15314 Banten
korespondensi: himma.firdaus@gmail.com*

INTISARI

Analisis resiko merupakan salah satu tindakan pencegahan terhadap ketidaksesuaian yang dapat
diterapkan dalam proses pengujian. Pada proses pengujian lemari es, laboratorium belum memiliki
analisis resiko yang dibutuhkan untuk mengendalikan resiko kegagalan yang mungkin terjadi. FMEA
merupakan metode yang dapat digunakan untuk menganalisis resiko kegagalan. Metode ini dapat
menentukan peringkat resiko yang direpresentasikan dengan nilai RPN (Risk Priority Number). Nilai
RPN diperoleh dari perkalian tiga indikator yaitu S (severity), O (occurrence), dan D (detection). Hasil
analisis menunjukkan bahwa nilai RPN tertinggi yaitu 85 (pada komponen termokopel dengan mode
kegagalan: ketidaktepatan suhu terukur). Kemudian secara berturut-turut empat nilai RPN yang tinggi
tinggi adalah, 75 (pada komponen termokopel dengan mode kegagalan: suhu tidak terukur), 69 (pada
komponen walk-in chamber dengan mode kegagalan: chiller tidak bekerja), 63 (pada komponen power
source dengan mode kegagalan: tegangan tidak keluar), dan 57 (pada komponen RCL meter dengan
mode kegagalan: resistansi tidak terukur). Hasil analisis menunjukkan bahwa prioritas perawatan atau
pencegahan terhadap mode kegagalan yang perlu diperhatikan adalah komponen termokopel, RCL
meter, walk-in chamber, dan power source karena komponen tersebut memiliki nilai RPN yang tinggi.

Kata Kunci: FMEA, pengujian, lemari es, suhu, termokopel, wakl-in chamber, RLC meter

ABSTRACT

A risk analysis is a precaution toward nonconformity which can be applied in the testing process. In the
refrigerator testing, the laboratory had not had a risk analysis that is needed to control the risk of failure
that may occur. FMEA is a method that can be used to analyze a failure risk. This method could
determine a risk rating which is represented by the value of the RPN (Risk Priority Number). The RPN
value had been obtained by multiplying the three indicators, that is S (Severity), O (Occurrence), and D
(Detection). Analysis result showed that the highest RPN skor is 85 (thermocouple component with failure
mode: inaccuracy measured temperature). Then consecutively the four high values high RPN are 75
(thermocouple component with failure mode: the temperature was not measurable), 69 (walk-in chamber
component with failure mode: chiller did not work), 63 (power source component with failure mode: no
voltage output), and 57 (RCL meter component with failure mode: the resistance was not measurable).
The analysis result showed that maintenance and preventive priority toward failure mode which to be
considered was thermocouple, RCL meter, walk-in chamber, and power source since these components
had a high RPN value.

Keywords: FMEA, testing, temperature, refrigerator, thermocoupel, wakl-in chamber, RLC meter

1. PENDAHULUAN

Pada tahun 2013 Kementerian Perindustrian Republik Indonesia mengeluarkan


peraturan terkait pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib salah
satunya adalah terhadap lemari pendingin [1]. Laboratorium pengujian sebagai lembaga
131
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

penilai kesesuaian memiliki peran menjamin kesesuaian terhadap spesifikasi atau


metode uji yang disyaratkan dalam SNI [2]. Sehingga dalam menjalankan perannya,
laboratorium pengujian penting memperhatikan metode yang digunakan dalam proses
pengujian [3]. Jaminan ini juga diberikan sebagai pemenuhan terhadap SNI ISO/IEC
17025:2008 klausul 5.4 (metode pengujian), 5.5 (peralatan) dan klausul 5.9 (jaminan
mutu hasil pengujian).

Pada proses pengujian tentunya resiko kegagalan yang dapat muncul kapan saja.
Beberapa contoh kasus terjadinya kegagalan pengujian yang pernah terjadi di
laboratorium uji antara lain disebabkan oleh hal-hal yang ditunjukkan poleh Tabel 1.

Tabel 1. Data penyebab kegagalan pengujian

Frekuensi Kejadian
Penyebab Kegagalan Uji
Chamber suhu yang tiba-tiba mati 2
Kerusakan power source saat pengujian 4
Terlepasnya termokopel dari badan komponen elektronik 6
Pengukuran suhu oleh hybrid recorder menunjukkan anomali 3
RCL meter mati 1

Kegagalan ini dapat berpengaruh terhadap mutu hasil pengujian [3]. Hal ini tentunya
tidak diinginkan dalam proses pengujian, sehingga tindakan pencegahan menjadi
penting. Tindakan pencegahan terhadap kegagalan dapat dilakukan dengan melakukan
analisis resiko [3]. Laboratorium belum memiliki analisis resiko pada pengujian lemari
es. Padahal jika melihat pemaparan di atas penting metode pengujian yang dilakukan
memiliki tindakan pencegahan untuk menghindari resiko kegagalan. Hal ini menjadi
dasar pemikiran peneliti untuk melakukan analisis resiko dengan studi kasus pengujian
lemari es pada klausul pengujian suhu. Klausul suhu diambil karena merupakan klausul
pengujian yang cukup kompleks dalam pengujian lemari es. Diharapkan dengan
dibangunnya pola analisis resiko dalam klausul ini dapat menjadi acuan analisis resiko
pada keseluruhan klausul dan metode pengujian yang lain.

Salah satu metode analisis resiko yang dapat digunakan adalah FMEA (Failure Mode
and Effect Analysis) [4]. Metode ini sudah banyak digunakan di bidang konstruksi,
otomotif, kesehatan, penerbangan, dan sebagainya. Namun menarik, berdasarkan hasil
penelusuran yang dilakukan peneliti, dalam beberapa database jurnal besar seperti
Emeraldinsight, Sciencedirect, Googlescholar, EBSCO, Springerlink, dan Proquest,
metode in belum pernah digunakan dalam konteks laboratorium pengujian. Sehingga
penerapan dalam bidang pengujian merupakan hal yang baru. Penerapan FMEA di
bidang pengujian ini diharapkan dapat memperkecil resiko terjadinya kegagalan
pengujian atau diperolehnya data yang tidak valid dengan cara mempersiapkan sistem
uji dengan baik dan memberikan perhatian lebih besar pada hal-hal yang dapat
berpotensi menyebabkan kegagalan pengujian.

2. DASAR TEORI

2.1. Sistem Pengukuran Suhu pada Pengujian Lemari Es


Pengujian kenaikan suhu lemari es dilakukan dengan kondisi lemari es dioperasikan
secara normal yaitu pada suhu 43 oC. Selama dioperasikan, suhu pada lemari es dan

132
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

sekitarnya dipantau secara bersamaan dengan menggunakan termokopel. Pengkondisian


normal dan perlakuan pengukuran pada lemari es ini mengacu pada standar SNI IEC
60335-2-24: 2009. Standar SNI IEC 60335-2-24: ini menjelaskan bahwa pengukuran
suhu lemari es dikondisikan pada pengaturan suhu lemari es yang maksimum agar
memberikan pengaruh pemanasan paling tinggi [5-6]. Sistem pengukuran suhu pada
lemari es ini dijelaskan pada Gambar 1 di bawah ini:
Chamber
Stopwatch

UUT

RCL Meter

Power Meter

Power Source

Gambar 1. Sistem pengukuran suhu lilitan

2.2. Penempatan sampel uji lemari es


Proses penempatan sampel uji lemari es dilakukan dengan cara meletakkan sampe uji
pada sudut uji yang terbuat dari kayu-lapis hitam dengan ketebalan kira-kira 20 mm dan
dilengkapi dengan kepingan tembaga berwarna hitam [5]. Pemasangan kayu lapis hitam
ini memiliki tujuan agar sampel uji tersebut berada dalam simulasi kondisi nyata
pemakaian lemari es. Selain itu, agar dapat diketahui besar dan pengaruh panas yang
dipancarkan oleh lemari es terhadap kondisi sekitar. Sampel uji dipasang dalam kondisi
tertutup dan tidak diberi beban. Posisi penempatan badan lemari es terhadap dinding
kayu hitam dapat sedekat mungkin (tidak ada ketentuan khusus dari standar), namun
jika terdapat persyaratan khusus mengenai jarak penempatan lemari es pada buku
panduan yang dikeluarkan oleh pabrikannya maka jarak itulah yang digunakan saat
pengujian.

2.3. Pemberian tegangan/daya masukan


Lemari es dioperasikan pada suhu operasi normal yaitu 43 oC. Komponen ini diberikan
dua kondisi tegangan yang paling tidak menguntungkan yaitu pada 0,94 kali dan 1,06
kali dari tegangan pengenal. Tegangan tersebut dinamakan sebagai tegangan kritis yaitu
tegangan yang menyebabkan peranti membangkitkan panas lebih besar atau
mengalirkan arus paling besar [7]. Nilai tegangan kritis dapat diperoleh dengan
melakukan pengukuran arus pada batas-batas tegangan uji 0,94 atau 1,06 kali tegangan
pengenal [5]. Tegangan kritis biasanya diperoleh pada kondisi 1,06 tegangan pengenal
namun pada kasus lain tegangan kritis diperoleh pada pengukuran 0,94 kali tegangan
pengenal, hal ini dapat terjadi karena ada beberapa tipe kompresor yang jika diberikan
tegangan rendah tidak beroperasi dengan baik yang menimbulkan suhu kompresor
tersebut lebih panas dibandingkan ketika diopeasikan pada tegangan 1.06 tegangan
pengenal [6]. Pengujian suhu lemari es dilakukan pada tegangan kritis karena pada saat
itu lemari es dengan dalam kondisi kinerja maksimum dan menghasilkan panas paling
tinggi. Hal ini dilakukan karena hasil pengujian ini akan dibandingkan dengan batas
tertinggi yang tercantum pada standar SNI IEC 60335-1-24:2009.
133
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

2.4. Durasi pengujian


Jangka waktu pengujian suhu lemari es ditentukan berdasarkan waktu tercapainya
kondisi suhu lemari es yang stabil saat diterapkan padanya kondisi yang paling tidak
menguntungkan [5-6]. Kondisi yang paling tidak menguntungkan didefinisikan sebagai
kondisi yang menyebabkan lemari es akan membangkitkan panas lebih tinggi [7].
Kondisi tersebut dapat diperoleh dengan mengoperasikan lemari es pada kondisi
lingkungan 43 oC dengan pengaturan suhu lemari es pada kondisi pengaturan terdingin
yang dimiliki lemari es [6]. Lama siklus pengoperasian lemari es untuk memperoleh
kondisi yang diinginkan berbeda satu lemari es dengan lainnya, hal ini tergantung pada
spesifikasi teknis yang dimiliki lemari pendingin yang diuji . Berdasarkan pemaparan di
atas jangka waktu pengujian bisa berbeda berdasarkan karakteristik lemari es yang diuji.
Sehingga, jangka waktu uji dapat lebih dari satu siklus operasi defrost. Bahkan untuk
beberapa kasus, diperlukan pengulangan siklus operasi defrost hingga panas yang
dibangkitkan pada lemari es mencapai kondisi ajeg. Jika lemari es tidak memiliki sistem
defrost maka yang menjadi acuan durasi pengujian adalah tercapainya suhu ajeg pada
lemari es.

2.5. Pengukuran suhu


Pengukuran suhu lemari es dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pengukuran termokopel yang digunakan untuk mengukur suhu komponen selain
kumparan dan pengukuran resistansi dengan menggunakan RCL meter untuk
pengukuran suhu komponen yang berbentuk kumparan. Pada pengukuran suhu dengan
termokopel prinsip yang digunakan adalah pengukuran suhu dengan menggunakan
perbedaan tegangan pada dua logam yang berbeda [8]. Sedangkan pengukuran suhu
dengan RCL meter menggunakan prinsip perbedaan resistansi [9]. Berikut ini
penjelasan metode pengukuran suhu yang dapat digunakan pada pengujian suhu lemari
es:

a) Metode Termokopel
Kenaikan suhu pada lemari es dan lingkungan sekitarnya diukur dengan menggunakan
termokopel. Pada pengujian ini, kawat termokopel yang digunakan memiliki diameter
tidak melebihi 0.3 mm. Bagian-bagian pada lemari es yang perlu diukur suhunya
menggunakan termokopel yaitu: pin jalur masuk peranti, terminal, daerah sekitar
sakelar, thermostat dan pembatas suhu, bahan insulasi karet atau polivinil klorida baik
pada pengkawatan dalam dan luar termasuk senur suplai maupun untuk isolasi tegangan
lainnya. Selain itu, titik insulasi terluar senur, fiting lampu, PCB, kayu, termasuk sudut
uji dan penopang datar, permukaan kapasitor, selungkup luar, bagian pegangan dan
tombol, serta bagian yang bersentuhan dengan minyak yang memiliki titik nyala
tertentu, juga harus dilakukan pengukuran suhunya.

Pemasangan termokopel dilakukan dengan pemasangan ujung termokopel pada titik-


titik yang ditentukan dengan menggunakan perekat cair maupun perekat isolasi.
Termokopel yang digunakan untuk menentukan kenaikan suhu pada permukaan
dinding, langit-langit dan lantai lemari es ditempelkan pada lempengan tipis berwarna
hitam (blackened disk) dari bahan tembaga atau kuningan, dengan diameter 15 mm dan
tebal 1 mm [5]. Hal ini dilakukan agar pemanasan pada bagian kayu dapat diukur
dengan baik. Permukaan lempengan dibuat sama rata dengan permukaan papan.
Termokopel dipasang sedemikan sehingga dapat mendeteksi suhu tertinggi. Semua

134
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

termokopel yang digunakan untuk pengukuran dihubungkan ke hybrid recorder agar


data pembacaan suhu dapat dipantau dan direkam secara simultan.
b) Metode resistansi
Pengukuran suhu komponen kumparan dilakukan dengan metode resistansi. Jika
kumparan sangat kecil yang menyebabkan kesulitan untuk melakukan sambungan yang
diperlukan, maka pengukuran kenaikan suhu ditentukan dengan menggunakan
termokopel. Kenaikan suhu kumparan dapat diketahui dengan cara mengukur resistansi
awal kumparan sebelum dioperasikan dan resistansi akhir saat lemari es dioperasikan
hingga mencapai kondisi tunak. Kedua nilai resistansi tersebut digunakan untuk

∆ = C E (F + 1 ) − ( > − 1 )
B DB
menghitung kenaikan suhu menggunakan Persamaan 1 di bawah ini:
BE
(1)
keterangan: ∆t : kenaikan suhu kumparan
R1 : resistansi pada permulaan uji
R2 : resistansi pada akhir uji
K : konstanta 234,5 tembaga dan 255 untuk kumparan aluminium
t1 : adalah suhu kamar pada permulaan uji
t2 : adalah suhu kamar pada akhir uji

2.6. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)


Salah satu teknik analisis kegagalan yang sudah diterapkan diberbagai bidang adalah
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) [10-22]. Pendekatan hardware-oriented atau
bottom-up ditekankan pada analisis FMEA yang ditandai dengan proses analisis
dilakukan dimulai dari peralatan atau proses dan meneruskannya ke sistem yang
merupakan tingkat yang lebih tinggi [23]. McDermott dkk, [4] mendefiniskan FMEA
sebagai “a systematic method of identifying and preventing product and process
problems before they occur”. Berdasarkan definisi yang diberikan dapat dipahami
bahwa FMEA memiliki tujuan mencermati proses maupun produk untuk mengetahui
kemungkinan kegagalan yang terjadi dengan mengidentifikasi potensi kegagalan, akibat
serta kemungkinan munculnya [4].

FMEA dapat dipakai baik untuk menganalisis mode kegagalan pada proses maupun
produk [4]. Pada penelitian ini, FMEA yang digunakan adalah FMEA proses. Evaluasi
kegagalan FMEA proses pengujian suhu dilakukan dengan menggunakan tiga indikator
yaitu severity (S), occurrence (O) serta detection (D) [4]. Untuk menentukan nilai
prioritas mode kegagalan, ketiga indikator tersebut dikalikan dan menghasilkan RPN
(Risk Priority Number). RPN ini menunjukkan tingkat prioritas sebuah mode kegagalan
yang diperoleh dari hasil analisis pada proses yang dianalisis [24]. Semakin tinggi nilai
RPN maka urutan prioritas perbaikannya semakin tinggi [4]. Nilai RPN dihitung dengan
rumus di bawah ini:
RPN = S x O x D (2)

Nilai S atau severity merupakan sebuah penilaian pada tingkat keseriusan suatu efek
atau akibat dari potensi kegagalan pada proses yang dianalisis. Skala 1 sampai 10
digunakan untuk menentukan nilai severity [4]. Penjelasan skala severity dapat dilihat
pada Tabel 2. Nilai O pada analisis mencerminkan probabilitas atau peluang terjadinya
kegagalan yang terjadi sedangkan nilai D adalah peluang terjadinya kegagalan yang
dapat terdeteksi sebelum terjadi [4]. Skala penilaian nilai O, D sama dengan skala nilai
S yaitu dari 1 sampai 10, yang membedakan adalah deskripsi pada masing-masing skala
(lihat Tabel 1).
135
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Menurut [4] ketika menerapkan FMEA pada sebuah proses, yang perlu diperhatikan
adalah elemen-elemen analisis dalam proses. Sehingga langkah pertama yang harus
dilakukan adalah melakukan identifikasi proses serta elemen-elemennya. Kemudian
baru dapat dibuat tabel rentang penilaian nilai S, O, dan D yang dapat dilihat pada
Tabel 2, 3, dan 4 di bawah ini

Tabel 2. Severity [4]

Ranking Severity Deskripsi


10 Berbahaya tanpa Kegagalan sistem yang menghasil kan efek sangat
peringatan berbahaya
9 Berbahaya dengan Kegagalan sistem yang menghasilkan efek berbahaya
peringatan
8 Sangat tinggi Sistem tidak beroperasi
7 Tinggi Sistem beroperasi tetapi tidak dapat dijalankan secara
penuh
6 Sedang Sistem beroperasi dan aman tetapi mengalami penurunan
performa sehingga mempenga ruhi output
5 Rendah Mengalami penurunan kinerja secara bertahap
4 Sangat Rendah Efek yang kecil pada performa sistem
3 Kecil Sedikit berpengaruh pada kinerja sistem
2 Sangat Kecil Efek yang diabaikan pada kinerja sistem
1 Tidak ada efek Tidak ada efek

Tabel 3. Skala occurrence [4]

Rangking Occurrence Deskripsi


10 Sangat tinggi Sering gagal
9
8
Tinggi Kegagalan yang berulang
7
6
5 Sedang Jarang terjadi kegagalan
4
3
Rendah Sangat kecil terjadi kegagalan
2
1 Tidak ada efek Hampir tidak ada kegagalan

Tabel 4. Skala detection [4]

Rangking Detection Deskripsi


10 Tidak pasti Pengecekan akan selalu tidak mampu untuk mendeteksi
penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan mode
kegagalan.
9 Sangat kecil Pengecekan memiliki kemungkinan “very remote” untuk
mampu mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme
kegagalan dan mode kegagalan.
8 Kecil Pengecekan memiliki kemungkinan “remote” untuk mampu
mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan.
7 Sangat rendah Pengecekan memiliki kemungkinan sangat rendah untuk
mampu mendateksi penyebab potensial kegagalan dan mode
kegagalan.

136
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

6 Rendah Pengecekan memiliki kemungkinan rendah untuk mampu


mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan.
5 Sedang Pengecekan memiliki kemungkinan “moderate” untuk
mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan.
4 Menengah Pengecekan memiliki kemungkinan “moderately High” untuk
keatas mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan.
3 Tinggi Pengecekan memiliki kemungkinan tinggi untuk mendeteksi
penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan mode
kegagalan.
2 Sangat tinggi Penngecekan memiliki kemungkinan sangat tinggi untuk
mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan.
1 Hampir pasti Pengecekan akan selalu mendeteksi penyebab potensial atau
mekanisme kegagalan dan mode kegagalan.

3. METODOLOGI

Langkah analisis resiko dengan FMEA pada klausul uji suhu pada pengujian lemari es
dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:
Tinjauan Proses

Brainstorming potensi
kegagalan

Mendaftar dampak potensial


dari tiap mode kegagalan

Pemeringkatan severity setiap


dampak

Pemeringkatan occurrence
tiap mode kegagalan

Pemeringkatan nilai detection


untuk setiap dampak

Perhitungan nilai RPN

Prioritisasi mode kegagalan


untuk penentuan tindakan

Pengambilan tindakan penghilangan/


penurunan mode kegagalan resiko tinggi

Perhitungan nilai RPN setelah


tindakan perbaikan

Gambar 2. Flowchart Penelitian

Langkah pelaksanaan analisis FMEA di awali dengan melakukan tinjauan terhadap


proses yang akan dianalisis dan mendefinisikan batasan prosesnya, kemudian
melakukan identifikasi mode kegagalan yang dilakukan melalui proses brainstorming
tim pelaksana pengujian. Metode brainstorming dipilih untuk menggali seluruh aspek
yang berpengaruh pada pengujian berdasarkan sudut pandang orang yang berkompeten
dibidangnya dan didukung dengan pengalaman yang terjadi pada saat melakukan
137
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

pengujian. Berdasarkan hasil brainstorming dibuat kuesioner pengukuran potensi


kegagalan yang akan dinilai oleh tim pelaksana pengujian. Tim pelaksana pengujian
terdiri dari satu penyelia pengujian dan dua orang pelaksana pengujian. Hasil penilaian
(skor S, O, dan D) yang diperoleh dari tim penguji kemudian diolah dengan
menggunakan rataan geometri untuk memperoleh nilai rataan penilaian. Rataan
geometri dipilih karena angka penilaian dalam FMEA merupakan rentang dan memiliki
sifat yang berbeda [25] rumus rataan geometri dapat dilihat pada Persamaan 3.
Kemudian nilai yang diperoleh dari hasil rataan geometri tersebut dikalikan untuk
memperoleh nilai RPN. Nilai RPN yang diperoleh menentukan urutan prioritas resiko
pada proses pelaksanaan pengujian lemari es klausul suhu. Prioritas tinggi ke rendah
menunjukkan prioritas resiko yang akan menjadi dasar tindakan pencegahan yang harus
dilakukan untuk menangani resiko tersebut.
2

G = HI J8 (3)
K

891

keterangan: G = rata-rata ukur geomterik


n = jumlah sampel
Π = Perkalian nilai sampel ke –i
Xi = Nilai sampel ke i

4. PEMBAHASAN

Hasil penilaian terhadap mode kegagalan pada klausul suhu pengujian lemari es dapat
dilihat pada Tabel 5. Hasil pada Tabel 5 menunjukkan nilai S merupakan rataan
geometri hasi penilaian severity oleh responden (tim pelaksana pengujian). Nilai O
rataan geometri occurrence dan D adalah nilai rataan geometri detection. Dari tabel di
atas diperoleh nilai RPN (Risk Priority Number) yang merupakan hasil perkalian dari
rataan geometri nilai S, O, dan D. Nilai RPN tertinggi terdapat pada item termokopel
pada mode kegagalan suhu terukur tidak tepat yaitu 85. Pada mode kegagalan ini yang
menjadi penyebab adalah lepasnya perekat termokopel pada saat proses pengukuran
yang mengakibatkan proses pengujiam harus diulang. Prioritas nilai RPN ke dua adalah
pada item termokopel dengan mode kegagalan suhu tidak terukur dengan nilai 75. Mode
kegagalan ini disebabkan oleh terbukanya ujung termokopel dan putusnya sambungan
termokopel dengan dampak yang diakibatkan adalah pengujian harus diulang.

Prioritas ketiga nilai RPN adalah pada item walk in chamber dengan mode kegagalan
pendingin (chiller) tidak bekerja yang mengakibatkan tidak dapat dilakukan pengujian.
Berdasarkan hasil analisa ditunjukkan yang menjadi penyebabnya adalah pasokan air
mampet dan saringan tertutup kotoran. Gejala ini diketahui dengan adanya peringatan
pada layar kendali MCB chamber trip. Nilai RPN pada mode ini adalah 69. Urutan
keempat nilai RPN adalah 63 yang diperoleh dari item power source. Efek yang
ditimbulkan dari item ini adalah dihentikannya proses pengujian dan pengukuran
diulang. Berdasarkan analisis penyebabnya adalah overload pada tegangan input.
Prioritas kelima ditempati oleh mode kegagalan pada RCL meter dengan nilai RPN 57.
Penyebab kegagalan ini adalah putusnya probe RCL meter yang mengakibatkan
penguijantidakdapatdilanjutkan

138
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tabel 5. Hasil analisis resiko

Potensi Mode
ID Item Pengaruh Kegagalan S Penyebab Kegagalan O Metode Deteksi Kegagalan D RPN
Kegagalan
1 RCL meter Resistansi tidak Pengujian tidak dapat Tidak ada nilai yang ditampilkan saat
8.00 Kabel probe putus 3.11 2.29 57
terukur dilakukan digunakan untuk pengukuran
Meter tidak dapat dinyalakan.
Meter tidak Pengujian harus
4.58 Sekering putus 3.91 Sekering diperiksa menggunakan ohm 2.29 41
beroperasi diulang
meter
Nilai terukur tidak Ketika probe dihubungkan indikator
Hasil uji tidak valid 3.48 Tidak dilakukan zeroing 4.72 2.29 38
terkoreksi tidak nol
Yang terukur bukan Tidak dilakukan
Hasil uji tidak valid 4.38 3.04 Dikenali pada tampilan alat 2.29 30
resistansi DC pengesetan awal
2 Walk-in- Chiller tidak Pengujian tidak dapat Suplai air mampet, Muncul peringatan pada layar
8.00 5.43 1.59 69
chamber bekerja dilakukan saringan tertutup kotoran kendali, MCB Chamber trip
Suhu dapat dipantau di layar kendali,
Suhu target tidak Pengujian tidak dapat
6.84 Heater rusak 4.31 Muncul peringatan pada layar 1.59 47
tercapai dilakukan
kendali,
3 Stopwatch Waktu start Stopwatch tidak merespon saat tombol
Pengujian diulang 3.63 Tombol rusak 4.16 1.59 24
tertunda start ditekan
Layar tidak
Pengujian diulang 4.58 Batere kehabisan muatan 4.76 Tidak ada indikasi angka pada layar 1.59 35
menyala
Penunjukan waktu Derating komponen Koreksi alat besar berdasarkan
Hasil uji tidak valid 5.94 3.42 2.52 51
tidak akurat sertifikat kalibrasi.
4 Termokopel Suhu terukur tidak Diketahui saat pembongkaran, suhu
Pengujian diulang 5.01 Perekat lepas 5.43 3.11 85
tepat tidak berubah secara normal
Ujung termokopel
terbuka, Kawat Warning Open TC pada hybrid 1.82 75
Suhu tidak terukur Pengujian diulang 7.65 5.43
termokopel putus di recorder
dalam
Pemasangan kawat
termokopel pada hybrid
Suhu terukur recorder terbalik,
Pengujian ditunda 2.00 62
mengalami 5.01 penyambungan 6.21 Suhu terukur berkebalikan dengan
sejenak
anomaly termokopel suhu sebenarnya
pada hybrid recorder
tidak ketat
139
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

5 Hybrid Kabel control tidak


Gagal remote 1.59 36
recorder Pengujian tertunda 4.38 terpasang, Memory card 5.19 Muncul peringatan pada PC
access ke PC
error.
Software tidak Memory card penuh,
dapat di-run untuk Pengujian tertunda 3.48 Modul termokopel lepas, 4.00 Muncul peringatan pada PC 2.29 32
memonitor suhu IP belum disetup
6 Perekam video Kamera mati di
Pengujian diulang 3.63 Muatan batere habis, 4.93 Layar camera mati 1.59 28
tengah pengukuran
Perekaman berhenti
Pengujian diulang 4.58 memory card penuh 4.82 Muncul peringatan di layar camera 1.59 35
saat pengukuran
Diketahui saat pemutaran ulang hasil
Gambar tidak jelas Pengujian diulang 4.58 Kamera tidak focus 4.58 1.59 33
rekaman
Data rekaman tidak Memory card penuh atau Diketahui saat mentransfer data dari
Pengujian diulang 4.58 4.16 1.59 30
dapat di simpan rusak kamera ke PC
Perekaman tertunda Hasil uji tidak akurat 3.48 Salah setting kamera 3.30 Diketahu saat memulai merekam 1.59 18
7 Power Source Tegangan tidak pengukuran tidak dapat Alat belum diset, fuse
5.77 5.24 Diketahui saat menghidupkan alat 1.26 38
keluar dilakukan putus
Power source tiba-
Pengukuran Overload, Tegangan input
tiba shut-down saat 7.96 6.32 Alat shut-down 1.26 63
diulang/dihentikan melebihi batas
pengujian

140
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis resiko terhadap klausul suhu pada pengujian lemari maka
dapat maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Nilai RPN tertinggi yaitu 85 (pada mode kegagalan suhu terukur tidak tepat pada
komponen termokopel). Kemudian secara berturut-turut nilai RPN tertinggi 75
(mode suhu tidak terukur pada termokopel), 69 (mode pendingin tidak bekerja
pada walk-in chamber), 63 (mode tegangan tidak keluar pada power source), dan
57 (mode resistansi tidak terukur pada RCL meter).
2) Berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis pengujian dengan metode FMEA,
prioritas perawatan atau pencegahan terhadap mode kegagalan yang perlu
diperhatikan dalam proses pengukuran suhu pada pengujian lemari es adalah
komponen termokopel, RCL meter, walk-in chamber, dan power source karena
komponen tersebut memiliki nilai RPN yang tinggi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim pengujian lemari yaitu
Nanang Kusnandar, Bayu Utomo, Suyut dan Heri atas kerjasama, dukungan dan
bantuannya dalam proses penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Menteri Perindustrian No. 34/M-


IND/7/2013 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pendingin
Ruangan, Lemari Pendingin, dan Mesin Cuci secara Wajib.
[2] bsn.go.id.(2012). “Penilaian kesesuaian”, online ada pada
http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/19. Diakses pada tanggal 26 Mei 2015
pukul 09.13 WIB.
[3] BSN, SNI ISO/IEC 17025:2008: Persyaratan umum kompetensi laboratorium
pengujian dan laboratorium pengujian, 2008.
[4] McDermott, R.E. Mikulak, R.J. dan Beauregard, M.R. The Basic of FMEA, 2nd
Ed, Newyork, Taylor and Francis Group, 2009.
[5] BSN, SNI IEC 60335-1:2009: Peranti listrik rumah tangga dan sejenis –
Keselamatan – Bagian 1: Persyaratan umum, 2009,
[6] BSN, SNI IEC 60335-2-24: 2009. Peralatan listrik rumah tangga dan peralatan
listrik serupa – Keselamatan – Bagian 2-24: Persyaratan khusus untuk peralatan
pendingin, peralatan es krim dan pembuat es, 2009.
[7] Himma F., Pemilihan Tegangan Kritis pada Uji Pemanasan Peranti Kelistrikan
berbasis motor, Prosiding AMTeQ 2014, 2014.
[8] Drebushchak, V.A. Thermocouples, their characteristic temperatures, and simple
approximation of the emf vs.T, 2015, Thermochimica Acta Vol. 603, Hal. 218–
226.
[9] Beges, G., Influence of Resistance Method on Motor Winding Temperature Rise
Measurement, 2011, Springer Science. Int J Thermophys, Vol. 32, Hal. 2333–
2342.
[10] Chiarini, A., Risk management and cost reduction of cancer drugs using Lean Six
Sigma tools, 2012, Leadership in Health Services, Vol. 25 No.4, Hal.318 – 330.
146
ISSN 1907-7459
10th Annual Meeting on Testing and Quality 2015
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

[11] Ilangkumaran, M. dan Thamizhselvan, P., Integrated hazard and operability study
using fuzzy linguistics approach in petrochemical industry, 2010, International
Journal of Quality & Reliability Management, Vol. 27 No.5, Hal.541 – 557.
[12] Kolich, M., Using failure mode and effects analysis to design a comfortable
automotive driver seat, 2014, Applied Ergonomics, Vol. 45, Hal. 1087-1096.
[13] Liao, C-J. dan Ho, C-C., Risk management for outsourcing biomedical waste
disposal– Using the failure mode and effects analysis, 2014, Waste Management,
Vol. 34, Hal. 1324-1329.
[14] Lopez-Tarjuelo, J. dkk, Failure mode and effect analysis oriented to risk-
reduction interventions in intraoperative electron radiation therapy: The specific
impact of patient transportation, automation, and treatment planning availability,
2014, Radiotherapy and Oncology. Vol. 113, Hal. 283-289.
[15] Mohideen, P.B.A. dan Ramachandran, M., Strategic approach to breakdown
maintenance on construction plant – UAE perspective, 2014. Benchmarking: An
International Journal, Vol. 21 No.2, Hal. 226 – 252.
[16] Murphy, M. Heaney, G. dan Perera, S., A methodology for evaluating
construction innovation constraints through project stakeholder competencies and
FMEA, 2011, Construction Innovation, Vol. 11, No.4, Hal.416 – 440.
[17] Nassimbeni, G. Sartor, M. dan Dus, D., Security risks in service offshoring and
outsourcing, Industrial Management & Data Systems, Vol.112 No.3, Hal.405 –
440.
[18] Forman, H. E dan Selly, M.A.,. Decision by Objectives: How to Convince Others
that You Are Right, World Scientific Publishing Co.Pte.Ltd, London, 2001.
[19] Ookalkar, A.D. Joshi, A.G. dan Ookalkar, D.S. Quality improvement in
haemodialysis process using FMEA”, 2009, International Journal of Quality &
Reliability Management, Vol.26 No.8, Hal.817 – 830.
[20] Segismundo, A. dan Miguel, P.A.C., Failure mode and effects analysis (FMEA) in
the context of risk management in new product development: A case study in an
automotive company, 2008, International Journal of Quality and Reliability
Management, Vol. 25 No.9, Hal. 899 – 912.
[21] Sharma, V. Kumari, M. dan Kumar, S., Reliability improvement of modern
aircraft engine through failure modes and effects analysis of rotor support system,
2011, International Journal of Quality and Reliability Management, Vol. 28, No.6,
Hal.675 – 687.
[22] Vinodh, S. dan Santhosh, D., Application of FMEA to an automotive leaf spring
manufacturing organization, 2012, The TQM Journal. Vol.24, No.3, Hal.260 –
274.
[23] Wahyunugraha, W.H. dkk, Analisis Keandalan Pada Boiler PLTU dengan
Menggunakan Metode Failure Mode Effect Analysis (FMEA), 2013, Jurnal Teknik
Pomits, Vol. 1, No. 1, Hal. 1-6.
[24] Jimmy, Manajemen risiko dengan metode multi attribute failure mode analysis
(MAFMA), studi kasus pada perusahaan kontraktor telekomunikasi, 2012, Skripsi
S1 Fakultas Teknik Program Studi Teknik Industri Universitas Indonesia, Depok.
[25] Forman, H. E dan Selly, M.A., Decision by Objectives: How to Convince Others
that You Are Right, World Scientific Publishing Co.Pte.Ltd, London, 2001.

DISKUSI
Tidak ada pertanyaan
147
ISSN 1907-7459

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai