Chapter II PDF
Chapter II PDF
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
f. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah kontak erat dengan penderita hepatitis,
sesudah transfusi, sesudah tattoo/tindik telinga dan sesudah operasi kecil.
g. Dalam jangka waktu 12 bulan sesudah operasi besar.
h. Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah injeksi terakhir imunisasi rabies
terapeutik dan sesudah transplantasi kulit.
i. Sedang hamil dan dalam jangka waktu 6 bulan sesudah persalinan atau sedang
menyusui.
j. Ketergantungan obat atau alkoholisme akut dan kronik.
k. Menderita Sifilis, tuberkulosa secara klinis, epilepsi dan sering kejang, dan
penyakit kulit pada vena (pembuluh darah balik) yang akan ditusuk.
l. Mempunyai kecenderungan perdarahan atau penyakit darah, misalnya
defisiensi G6PD, thalasemia, polibetemiavera.
m. Seseorang yang termasuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi
untuk mendapatkan HIV/AIDS (homoseks, morfinis, berganti-ganti pasangan
seks, pemakai jarum suntik tidak steril).
n. Pengidap HIV/ AIDS menurut hasil pemeriksaan pada saat donor darah.
e. Setiap donor darah, akan diperiksa dengan empat parameter penyakit yaitu
Hepatitis A, Hepatitis B, Sifilis, HIV dan sebagainya, sehingga jika diketahui
terinfeksi, maka dapat dilakukan penanganan lebih dini.
f. Mendapatkan kesehatan psikologis karena dapat menolong orang lain.
a. Rekruitmen donor
b. Pengambilan darah donor
c. Pemeriksaan uji saring
d. Pemisahan darah menjadi komponen darah
e. Pemeriksaan golongan darah
f. Pemeriksaan kococokan darah donor dengan pasien
g. Penyimpanan darah
h. Biaya lain-lain.
Berikut ini adalah enam tahapan dalam pengaturan Kegiatan Donor Darah:
b. Memberi label pada kantong seperti identiti donor, unit, golongan darah,
tarikh pengumpulan.
c. Mengarahkan donor ke phlebotomist dan dia akan periksa kembali
identitas donor dengan kantong dan formulir donor.
d. Lakukan penjelasan pada penderita dan mencari lokasi penyuntikan dan
lakukan desinfektan dengan kapas steril yang dibasahi larutan antiseptik
misalnya alcohol 70% atau povidone-iodine 10% dan biarkan kering.
e. Melakukan torniket (pembebatan) agar vena tampak lebih jelas dengan
tekanan 40-60 mmHg.
f. Dilakukan penusukan jarum pada vena dengan sudut 15°- 30° dengan
bantuan IV-Cath No.16 lalu difiksasi untuk menghindari pergeseran jarum.
g. Biasanya darah yang diambil sekitar 250cc sampai 350cc, kira-kira 7-9%
dari berat badan dan proses ini mengambil waktu kurang lebih waktu 8-12
menit.
h. Balikkan kantong beberapa kali untuk mencegah darah dari pembekuan
dan ulangi prosedur ini.
i. Memberikan perhatian pada calon donor untuk beberapa waktu dan
bicarakan dengan donor.
5. Refreshment: Setelah mendonor, mengarahkan donor untuk duduk di area
penyegaran (refreshment) bawah pengawasan dan melayani dengan
beberapa minuman dan makanan ringan. Para donor harus tetap di kamar
penyegaran selama minimal 15 menit dan disarankan untuk meningkatkan
konsumsi airnya dan menahan diri dari merokok selama setengah jam. Ini
adalah tahapan terakhir dalam kegiatan donor darah; dan ini akan
meninggalkan kesan yang permanen dalam pikiran pada setiap donor.
Bicarakan dengan donor di tahapan sangat penting, karena ini membantu
donor untuk merasa senang dan juga membantu donor pertama kali untuk
menyingkirkan rasa takut mereka terhadap donor darah.
6. Penyimpanan dan Transportasi Darah dan Komponen Darah:
Kantong darah disimpan sesuai instruksi, pada suhu yang benar. Masing-
masing bentuk darah dan komponen darah mempunyai suhu yang berbeda,
maka harus waspada dengan penyimpanan darah supaya tidak merugikan.
1. Immunoassays (IAs):
a. Enzim-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), or enzyme
immunoassays (EIAs)
b. Chemiluminescent Immunoassays (CLIAs)
c. Haemagglutination (HA) / Particle Agglutination (PA) Assays
d. Rapid/simple single-use assays (rapid tests)
2. Nucleic acid amplification technology (NAT) assays
Dalam konteks skrining darah, pemilihan tes yang tepat merupakan bagian
penting dari program skrining dan beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam
pemilihan tes yang paling tepat. Secara umum, keseimbangan harus ditemukan
antara kebutuhan skrining dan sumber daya yang tersedia, termasuk keuangan,
staf dan keahlian mereka, peralatan, bahan habis pakai dan sekali pakai. Juga
perlu mempertimbangkan menurut dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-
masing pengujian. Setiap sistem skrining memiliki kelebihan dan keterbatasan
yang harus dipertimbangkan ketika memilih pengujian. Beberapa keterbatasan
antara lain:
a. Lamanya waktu setelah infeksi sebelum tes skrining menjadi reaktif
(window period).
b. Tingkat positif palsu (false positive) biologis yang dapat menyebabkan
pemborosan sumbangan dan penundaan yang tidak perlu dari donor.
c. Kerumitan beberapa sistem yang memerlukan otomatisasi.
Walaupun terdapat beberapa jenis pemeriksaan saat ini, terdapat tiga jenis
skrining utama yang tersedia di Indonesia untuk melacak penyebab infeksi HIV,
Hepatitis B, Hepatitis C dan sifilis, yaitu uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA/EIA), uji aglutinasi partikel, dan uji cepat khusus (Rapid Test) (Depkes,
2001).
asimptomatik dan/atau memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar
Hb 7-10 g/dl, harus didukung oleh kebutuhan untuk mengurangi tanda dan gejala
klinis dan mencegah morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Transfusi tidak
dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, alasan harus
didokumentasikan dengan baik (NHMRC/ASBT, 2001).
pada minimal satu marker serologis yang cocok untuk masing-masing empat
infeksi ini dan skrining untuk marker tambahan bisa dipertimbangkan, tergantung
pada risiko residual, logistik dan tingkat sumber daya yang tersedia (WHO, 2010)
Setiap negara harus memenuhi syarat dalam pengumpulan darah dan juga
komponen darah untuk memastikan bahwa suplei darah bebas dari HIV, virus
hepatitis dan infeksi lain yang mengancam jiwa orang yang dapat ditularkan
melalui transfusi yang tidak aman. Keamanan darah adalah bagian integral dari
rencana WHO HIV/AIDS untuk pencegahan infeksi HIV bersamaan mencapai
Millenium Development Goals (MDGs) yang berhubungan dengan kesehatan
untuk mengurangi angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi
HIV dan mengembangkan kerjasama global bagi pembangunan (WHO, 2007).
Sebuah penelitian yang telah dilakukan di Department of Transfusion
Medicine, King George's Medical University, Lucknow terhadap donor sukarela
dan donor pengganti yang datanya dikumpulkan dari Januari 2008 hingga
Desember 2012 bertujuan untuk mengetahui persentasi donor sukarela dan donor
pengganti serta untuk mengetahui prevalensi dan perubahan kecenderungan dari
berbagai IMLTD dalam beberapa tahun terakhir. Dari hasil skrining dijumpai dari
180,371 donor pengganti sebanyak 4,237 donor pengganti telah mempunyai
seropositif terhadap IMLTD dengan 0,15% pada HIV, 1,67% HBV, 0,49% pada
HCV, 0,01% di VDRL, dan 0,009% pada malaria. Manakala dari 11.977 donor
sukarela, sebanyak 57 donor sukarela mempunyai seropositif terhadap IMLTD
dengan 0,08% pada HIV, 0,24% pada HBV, 0,001% pada HCV, 0,008% di
VDRL, dan 0,01% pada malaria. Dari hasil penelitian ini telah menyimpulkan
bahwa prevalensi IMLTD (HIV, HBV, HCV, VDRL, dan malaria) lebih
cenderung terjadi pada donor pengganti dibandingkan dengan donor sukarela.
Maka, seleksi donor dan proses skrining yang luas dapat membantu dalam
meningkatkan keamanan darah (Chandra et al, 2014) dan sesuai dengan target
WHO tahun 2020 semua negara agar mendapatkan 100% sediaan darah dari donor
sukarela yang tidak dibayar (WHO. GDBS, 2011).
Maka, sediaan darah dari donor sukarela yang tidak dibayar mempunyai
risiko rendah terjadi IMLTD dibanding dengan donor lain. Hal ini sesuai dengan
2.7 PENGETAHUAN
2.7.1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu hasil penginderaan manusia, atau suatu
hasil tahu seseorang terhadap sesuatu objek melalui indera yang dimilikinya
seperti mata, hidung, telinga dan sebagainya. Dengan sendirinya, pada waktu
penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh
intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek dan sebagian besar pengetahuan
seseorang diperolehi melalui pendengaran, dan penglihatan (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian oleh Rogers pada tahun 1974, mengatakan bahwa sebelum
orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses
berurutan, yakni awarenes (kesadaran), interest, evaluation (menimbang-
nimbang) trial dan terakhir adalah adoption (beradaptasi). Namun demikian, dari
penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu
melewati tahap tahu di atas (Notoatmodjo, 2007).
a. Tahu (Know)
Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya yang termasuk adalah
mengingat kembali (recall) suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi sebenarnya, seperti aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan
masih ada kaitan antara satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata-kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis merupakan suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi sebelumnya
seperti dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat
menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang
telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Suatu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
2.8 SIKAP
2.8.1 Pengertian Sikap
Menurut Azwar (2005), sikap merupakan respons evaluatif yang dapat
berbentuk positif atau negatif, berarti dalam sikap terkandung adanya preferensi
atau rasa suka-tak suka terhadap sesuatu sebagai objek sikap. Sekilas, tampaknya
sikap hanya berjalan pada suatu dimensi kontinum afektif (Azwar, 2005).
Sedangkan menurut Notoatmodjo (2010), sikap adalah respons tertutup seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor
pendapat dan emosi yang bersangkutan. Menurut Campbell (1950) dalam
Notoatmodjo (2010), mengatakan sikap adalah suatu sindroma dalam merespons
stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian
dan gejala kejiwaan yang lain.
Newcomb, seorang ahli psikologi sosial menyatakan sikap merupakan
kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas (reaksi terbuka), akan tetapi
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (reaksi tertutup). Gambar 2.3
dapat lebih menjelaskan uraian tersebut (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Allport (1954) dalam (Notoatmodjo, 2007), sikap mempunyai 3
komponen pokok dan ketiga komponen ini secara bersamaan membentuk sikap
yang utuh, yaitu:
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
2.9 TINDAKAN
2.9.1 Pengertian Tindakan
Tindakan atau praktik (practice) adalah sikap yang belum otomatis
terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Faktor pendukung atau suatu
kondisi yang memungkinkan seperti fasilitas harus diperlukan untuk mewujudkan
sikap menjadi suatu perbuatan nyata. Di samping faktor pendukung dari pihak
lain, misalnya dari suami, isteri, orang tua, mertua dan lain-lain. (Notoatmodjo,
2007).