Anda di halaman 1dari 5

JAKARTA, KOMPAS.

com- Bagi masyarakat yang sering melintas dan mengetahui daerah Menteng,
pastilah tidak kesulitan mencari Masjid Cut Meutia. Namun bagi mereka yang jarang atau tidak
pernah memperhatikan bangunan di sekitar Menteng, ada kemungkinan akan kesulitan menemukan
Masjid tersebut. Pasalnya bentuk bangunan Masjid Cut Meutia tidak seperti masjid pada
umumnya. Bangunan ini tidak mempunyai kubah, menara atau pun plang nama besar yang biasa
menjadi ciri khas masjid pun tak terdapat disana. Beberapa yang dapat dijadikan petunjuk bahwa
bangunan tersebut masjid adalah kumandang adzan pada waktu shalat. Sejarah untuk bangunan
tersebut menjadi masjid pun cukup panjang. Awalnya bangunan yang berlokasi di Jl. Taman Cut
Meutia No.1, Jakarta Pusat ini adalah kantor NV De Bouwpleg atau kantornya para arsitek Belanda
pada waktu itu. Selain para arsitek, dilantai dua gedung tersebut berkantorlah Jendral van Heuis. H.
Herry Heriawan, Kepala Pengurus Harian Masjid Cut Meutia, menerangkan gedung NV De
Bouwpleg adalah gedung bertingkat pertama yang dibangun di daerah Menteng. Setelah Belanda
meninggalkan Indonesia, gedung tersebut dijadikan Markas Besar Angkatan Laut, Jepang pada
Perang Dunia ke II. Setelah itu pada tahun 1959 sampai 1960 gedung tersebut dijadikan kantor Wali
kota Jakarta Pusat, selanjutnya secara berturut dijadikan kantor PAM, kantor dinas Urusan
Perumahan Jakarta dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada jaman
kepemimpinan Abdul Haris Nasution. Herry menuturkan, setelah MPRS pindah ke daerah Senayan
(sekarang Gedung MPR-DPR) gedung tersebut diwakafkan kepada anggkatan 66 yonif Yo Sudarso
untuk digunakan sebagai tempat beribadah. Meski demikian, perjalanan gedung NV De Bouwpleg
menjadi Masjid Cut Meutia masih terus berlangsung. Selama kurang lebih 17 tahun gedung hanya
dapat dijadikan tempat ibadah tanpa status Masjid. Barulah tahun 1987 dengan SK gubernur no.
5184/1987 tanggal 18 Agustus, resmi menjadi masjid tingkat propinsi. Nama Cut Meutia diambil dari
jalan yang berada di dekat gedung tersebut. Masjid Cut Meutia dibawah dinas museum dan
sejarah karena sejak tahun 1961 resmi menjadi gedung yang dilindungi menjadi gedung sebagai
cagar budaya. Peruntukannya dapat berubah, namun bentuknya bangunan tidak boleh diubah
hanya boleh direnovasi. Setelah puluhan tahun berdiri, pada tahun 1984 , dilakukan renovasi
besar-besaran. Untuk memberikan kesan luas, sebagian anak tangga dipotong dan dipindahkan
keluar. Selain itu arah kiblat dimiring 15 deraja ke arah kanan. "Hal itu disebabkan arah kiblat yang
sebenarnya serong," kata Herry. Perombakan juga terjadi pada tempat imam dan mimbar.
Keduanya dibuat 15 meter menjorok ke depan "Karena kondisi memungkina untuk diletakan di
tengah, karena kiblat sudah diserongkan, jadi Tempat imam terpisah dari tempat mimbar. Kami
sudah menanyakan kepada para pemuka agama, tidak ada dalil yang menyatakan mihrab dan
mimbar yang harus berdampingan," kata Herry. Genteng yang semula sirap diganti menjadi genting
beglazur. Lantai pun dipasangi marmer. Semula Masjid Cut Meutia tidak mempunyai halaman
ataupun tempat parkir. Namun atas usaha Edi Nala Praya, Wakil Gubernur DKI Jakarta, kala itu,
taman yang berada di depan Masjid Cut Meutia yang semula milik dinas pertaman, dibagi menjadi
sehingga Masjid Cut Meutia pun mempunyai halaman. Masjid para pejabat Letaknya yang berada
di kawasan elit, membuat banyak pejabat yang menjadi jamaah pada masjid tersebut. Herry
mengatakan, pejabat-pejabat biasanya akan berkumpul saat shalat Jumat. "Pak Boediono (wakil
presiden terpilih adalah salah satu jamaah kita. Ia rutin melakukan shalat jumat di sini," ucap Herry.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perjalanan Panjang Masjid Cut
Meutia", https://travel.kompas.com/read/2009/08/30/05500974/perjalanan.panjang.masjid.cut.meutia
.

Anda mungkin juga menyukai