Anda di halaman 1dari 26

i

PAPER
TANATOLOGI DAN ENTOMOLOGI FORENSIK

DISUSUN OLEH:
Rachmat Kurniawan AP (100 100 249)
M. Muizz Shafiq (100 100 )

Pembimbing:
dr. H. Mistar Ritonga, Sp.F

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN KEDOKTERAN KEHAKIMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, rahmat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul
Tanatologi dan Entomologi Forensik. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada pembimbing, dr. H. Mistar Ritonga, Sp.F, atas bimbingannya.

Ilmu kedokteran masih terus berkembang dan dalam waktu singkat sudah
muncul teori dan pengetahuan-pengetahuan baru. Untuk itu penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis dengan besar
hati menerima saran, kritik dan masukan yang sifatnya membangun demi kebaikan
ilmu pengetahuan. Semoga paper ini bermanfaat bagi yang membacanya nanti dan
bermanfaat sebagai sumber kepustakaan.

Medan, 11 Oktober 2015

Penulis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... v
BAB 1: PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 2
1.3. Manfaat Penulisan ............................................................................................... 2
BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 3
2.1. Tanatologi ........................................................................................................... 3
2.1.1. Definisi ........................................................................................................ 3
2.1.2. Jenis-jenis Kematian ................................................................................... 3
2.1.3. Medikolegal ................................................................................................ 4
2.1.4. Cara Mendeteksi Kematian ......................................................................... 4
2.1.5. Kriteria Diagnostik Kematian ..................................................................... 4
2.1.6. Tanda Kematian .......................................................................................... 5
2.2. Entomologi Forensik ......................................................................................... 10
2.2.1. Siklus Hidup Lalat .................................................................................... 10
2.2.2. Serangga dan Mayat .................................................................................. 12
2.2.3. Serangga- Serangga Penting dalam Forensik............................................ 13
BAB 3: KESIMPULAN .................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbedaan lebam mayat dan memar ................................................................. 6


Tabel 2Tabel Pertumbuhan Lalat ................................................................................. 17
Tabel 3 Ekologi lalat pada spesies tertentu .................................................................. 18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lebam Mayat .................................................................................................. 6


Gambar 2 Memar ............................................................................................................. 7
Gambar 3 Cadaveric Spasm ............................................................................................ 8
Gambar 4 Kaku mayat ..................................................................................................... 8
Gambar 5 Adipocere......................................................................................................... 9
Gambar 6 Mumifikasi .................................................................................................... 10
Gambar 7 Siklus hidup lalat .......................................................................................... 12
Gambar 8 Lalat-lalat pada mayat menurut waktu...................................................... 15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1

BAB 1:
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Tanatologi adalah imu yang mempelajari tanda-tanda kematian dan
perubahan yang terjadi setelah seseorang mati serta faktor yang
mempengaruhi. Tanatologi merupakan ilmu paling dasar dan penting dalam
ilmu kedokteran kehakiman terutamanya dalam hal pemeriksaan jenazah
(visum et repertum).
Pada tanatologi dipelajari perubahan-perubahan pada manusia
setelah meninggal dunia. Perubahan-perubahan yang terjadi setelah
kematian dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang teradi secara cepat
(early) dan perubahan yang terjadi secara lambat (late). Perubahan yang
terjadi secara cepat antara lain henti jantung, henti nafas, perubahan pada
mata, suhu, dan kulit. Sedangkan perubahan yang terjadi secara lanjut antara
lain kaku mayat, pembusukan, penyabunan dan mumifikasi.(1)
Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan
apakah seseorang benar-benar sudah meninggal atau belum, menetapkan
waktu kematian, sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat atau
mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi dan untuk
membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post-mortal dengan
kelainan-kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.
Entomologi forensik merupakan salah satu cabang dari sains
forensik yang memberikan informasi mengenai serangga yang digunakan
untuk menarik kesimpulan ketika melakukan investigasi yang berhubungan
dengan kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan dengan manusia atau
satwa.
Dalam kasus entomologi forensik, lalat merupakan invertebrata
primer yang mendekomposisi komponen organik pada hewan termasuk juga
mayat manusia. Pada saat lalat mengambil materi organik yang ada di dalam
tubuh mayat, maka lalat tersebut akan memindahkan telur yang akan
berkembang menjadi larva dan pupa. Adanya berbagai perubahan dari
berbagai jenis lalat dan serangga lain akan menimbulkan suatu komunitas
dalam mayat yang secara ekologi dan evolusi akan terjadi proses kompetisi,
predasi, seleksi, penyebaran dan kepunahan lokal dalam tubuh mayat
tersebut.
Entomologi forensik merupakan ilmu yang mempelajari tentang
serangga dan antropoda lain yang digunakan dalam peradilan. Ilmu
entomologi memfokuskan mengenai distribusi, biologi, dan sifat serangga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

pada suatu mayat yang membantu penyidik dalam mengestimasi lokasi,


waktu, cara, dan kondisi persekitaran saat suatu kejahatan itu dilakukan.
Namun, hal yang penting adalah menentukan lama kematian minimum atau
lebih dikenali sebagai minimum post mortem interval (PMI). Secara garis
besar, PMI dapat ditentukan dengan mengidentifikasi usia serangga yang
ada pada mayat. Selain itu, entomologi forensik juga dapat menentukan
lokasi pembunuhan, dengan menentukan habitat sesuatu serangga yang
membiak pada mayat.(2)
Untuk itu tanatologi dan entomologi forensik menjadi menarik
untuk dibahas dan akan dibahas dalam bab berikutnya.

1.2.Tujuan Penulisan
 Agar dapat mengetahui bagaimana cara mendeskripsikan luka dengan baik
sehingga mampu mengetahui tanatologi dengan baik dan benar.
 Sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik senior di bagian Ilmu
Kedokteran Forensik RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3.Manfaat Penulisan
 Makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang terlibat dalam
kalangan medis dan masyarakat pada umumnya.
 Dapat lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai
tanatologi sehingga dapat lebih baik dalam mengaplikasikannya alam
kedokteran forensik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

BAB 2:
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tanatologi
2.1.1. Definisi
Tanatologi berasal dari kata Thanatos (yang berhubungan dengan
kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran
forensik yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian, yaitu
definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi
kematian dan faktor-faktor yang mepengaruhi perubahan tersebut.
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya
fungsi sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya
perkembangan teknologi ada alat yang bisa menggantikan fungsi sirkuasi
dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang
menjadi kematian batang otak (brain stem death).

2.1.2. Jenis-jenis Kematian


Jenis kematian ada tiga, yaitu:
a. Mati klinis/somatik
Proses kematian yang hanya dapat dilihat secara mikroskopis karean
terjadi gangguan pada system pernafasan, kardiovaskuler, dan
persarafan yang bersifat menetap yang ditandai dengan tidak adanya
gerakan, refleks-refleks, EEG mendatar selama 5 menit disertai dengan
tidak berfungsinya jantung, dan paru-paru. Kematian organ
kemungkinan belum terjadi sehingga transplantasi masih mungkin
dilakukan. Ini merupakan kematian yang paling sering dianut secara
awam.

b. Mati molekuler/seluler
Proses kematian sel/jaringan secara klinis. Waktu kematian yang
berbeda untuk tiap jaringan dan organ. Otak yang berkisar 3-5 menit.
Otot yang berkisar setelah 4 jam, kemudian kornea setelah 6 jam. Ini
menjadi penting jika mayat merupakan pendonor organ.

c. Mati serebral
Kematian akibat gagalnya fungsi otak, ini merupakan definisi mati
menurut WHO. Pada kematian ini fungsi tubuh lainnya masih dapat
dipertahankan melalui sejumlah alat seperti ventilator.(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

2.1.3. Medikolegal
Ada beberapa perubahan post-mortem yang perlu diperiksa dan
diperhatikan. Pemeriksaan yang teliti terhadap perubahan post-mortem
dapat membantu menentukan apakah korban telah pasti menginggal, telah
berapa lama korban meninggal, posisi korban meninggal, apakah ada
perubahan dari posisi tersebut, kemudian juga dapat menentukan sebab dan
cara kematian. Sehingga hal-hal penting tersebut dapat diketahui melalui
tanatologi.
Dalam laporan pemeriksaan mayat (VeR), dokter hanya
mencantumkan perubahan-perubahan tersebut, tanpa memberikan
kesimpulan lama kematian, posisi waktu meninggal dan lain-lain.
Diharapkan para pemakai visum melalui pengetahuan yang baik tentang ini
dapat memberikan penilaian sendiri terhadap perubahan-perubahan pada
mayat tersebut. Bila diperlukan dkter akan menjelaskan nilai perubahan
pada mayat tersebut jika diminta oleh penyidik dan pengadilan.

2.1.4. Cara Mendeteksi Kematian


Melalui fungsi sistem saraf, kardiovaskuler, dan pernafasan, kita
dapat mendeteksi kehidupan seseorang. Untuk sistem syaraf ada lima poin
yang harus diperhatikan yaitu: arefleks, relaksasi, tidak ada pergerakan,
tidak ada tonus, dan EEG mendatar (flat).
Pada sistem kardiovaskuler ada enam poin yang dapat diperhatikan
yaitu: tidak ada denyut nadi pada palpasi, denyut jantung berhenti 5-10
menit pada askultasi, EKG medatar, tidak ada tanda sianotik setelah tes ikat
(tes magnus), kemudian tes penyuntikan icard secara subkutan dimana kulit
tidak menjadi berwarna kuning kehijauan (test icard).
Pada sistem pernafasan, ada beberapa hal juga seperti: tidak ada
inhalasi dan ekspirasi pada inspeksi dan palpasi, tidak ada bising nafas pada
askultasi, tidak ada perambatan getaran pada fluida yang dikonduksikan
pada permungkaan dada, tidak ditemukan embun pada udara pernafasan
saat dihadapkan ke kaca, tidak ditemukan pergerakan benda saat diletakan
bulu ayam di depan hidung atau mulut korban.

2.1.5. Kriteria Diagnostik Kematian


 Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya
 Hilangnya gerakan otot serta postur, dengan catatan tidak dibawah
pengaruh obat-obatan.
 Tidak ada respon motorik dari saraf kranial:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

 Tidak ada refleks pupil.


 Tidak ada refleks kornea.
 Tidak ada refleks menelan/batuk.
 Tidak ada refleks vestibulokoklearis.
 Tidak ada nafas spontan sekalipun ambang ransang nafas pCO2 telah
dilampaui (50 torr).

2.1.6. Tanda Kematian


Kematian adalah proses yang dapat dikenali secara klinis melalui
munculnya tanda kematian yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat.
Berikut tanda kematian:
Tanda kematian tidak pasti:

 Pernafasan berhenti lebih dari 10 menit.


 Terhentinya sirkulasi yang lebih dari 15 menit melalui denyut nadi.
 Kulit pucat
 Tonus otot menghilang atau relaksasi.
 Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit
setelah kematian.
 Pengeringan korenea dalam 10 menit, dapat dihilangkan dengan
pemberian air mata secara eksternal.

Tanda kematian pasti:

 Livor Mortis (lebam mayat): bercak merah atau noda besar merah
kebiruan atau merah ungu (lividae) pada lokasi terendah tubuh
mayat akibat penumpukan eritrosit atau stagnasi darah akibat
terhentinya kerja sistem kardiovaskular dan efek dari gravitasi bumi.
Terjadi 20-30 menit paska kematian, menetap dalam 8-12 jam paska
kematian klinis dan hilang pada penekanan. Penyebabnya meliputi
ekstravasasi cairan dan hemolisis, kapiler yang saling berhubungan,
pengentalan lemak tubuh akibat penurunan suhu tubuh, penekanan
pembuluh oleh otot akibat rigor mortis. Berikut faktor yang dapat
diperhatikan:
o Volume darah: semakin besar, lebam menjadi lebih cepat
dan luas
o Warna lebam: merah kebiruan (normal), merah terang
(keracunan CO, CN, atau suhu dingin), merah gelap
(asfiksia), biru (keracunan nitrit), coklat (keracunan aniline).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

Tabel 1 Perbedaan lebam mayat dan memar

Sifat Lebam Memar

Warna Merah Tidak teratur pada Merah yang sama


tubuh bagian pada seluruh
terendah permungkaan organ

Selapu Mukosa Pucat Normal

Eksudat Tidak ada Ada


peradangan

Organ dalam Lambung dan usus Adanya kesamaan


tidak berwarna warna
sama

Gambar 1 Lebam Mayat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

Gambar 2 Memar

 Kaku mayat (rigor mortis): adalah kekakuan yang terjadi pada otot
yang disertai sedikit pemendekan otot, setelah periode relaksasi
primer; yang terjadi akibat perubahan kimiawi pada serabut-serabut
otot.
o Cadaveric Spasm (instaneous rigor) kekakuan sekelompok
otot tanpa didahului oleh relaksasi primer.
o Heat stiffening: kekakuan akibat suhu tinggi seperti
kebakaran.
o Cold stiffening: kekakuan akibat suhu rendah, terjadi karena
cairan tubuh yang membeku.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

Gambar 3 Cadaveric Spasm

Gambar 4 Kaku mayat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

 Penurunan suhu: menurun setengah pada 2 jam pertama, akan menurun


setengah lagi pada 2 jam berikutnya (1/4), dan akan menurun lagi
setengah pada 2 jam berikutnya (1/8). Suhu tubuh akan sama 12 jam
setelah kematian.
 Pembusukan: 17 tanda pembusukan adalah: wajah dan bibir
membengkak, mata menonjol, lidah terjulur, lubang hidung dan mulut
mengeluarkan darah, lubang lainnya mengeluarkan isinya seperti feses
(usus) dan isi lambung, badan gembng, bula, aborescent
pattern/marbling yaitu vena supervisialis yang berwarna hijau,
pembuluh darah dibawah kulit melebar, dinding perut pecah, skrotum
atau vulva membengkak, kuku terlepas, rambut terlepas, organ
membusuk dan ditemukannya larva lalat. Organ yang paling cepat
membusuk adalah otak, limfa, lambung, usus, uterus, uterus post-
partum, dan darah. Organ yang lambat membusuk adalah paru, jantung,
ginjal dan diafragma.
 Adipocere (lilin mayat): terjadi hidrolisis dan hidrogenisasi pada
jaringan lemaknya (lipolisis). Perlu waktu minggu hingga berbulan
untuk memicu ini timbul.

Gambar 5 Adipocere

 Mumifikasi: keadaan yang menyebabkan pengeringan yang cepat


sehingga menghentikan proses pembusukan sehingga menjadi gelap,
keras, dan kering. Terjadi dalam minggu hingga bulan dan dipengaruhi
suhu lingkunan dan sifat aliran udara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

Gambar 6 Mumifikasi

2.2.Entomologi Forensik
2.2.1. Siklus Hidup Lalat
Sebelum menerapkan ilmu entomologi kedalam investigasi suatu kasus,
harus mempelajari siklus hidup lalat. Siklus hidup lalat mempunyai beberapa tahap
dimulai dari, tahap telur, tahap larva, tahap pupa dan berakhir di tahap dewasa.(4)
Bagi tahap telur, bermula bila lalat betina bertelur didaerah yang lembab
dan mempunyai makanan seperti mayat manusia. Sekitar 150 hingga 200 telur yang
diproduksi lalat betina. Telur lalat blowfly khususnya berwarna putih dan berkilat,
berukuran panjang 0.9mm hingga 1,5mm dan lebar 0.3mm hingga 0.4mm.(4)
Larva memiliki 12 segmen dan bagian anterior runcing. Struktur hitam yang
terdiri dari rahang dan sclerites terkait dan berakhir di kait mulut (kerangka
cephalopharyngeal). Bagian posterior tumpul dan memiliki dua area melingkar
berwarna cokelat di hujung segmen. Ini adalah spirakel posterior.(4)
Dalam tahap larva lalat pula, tahap ini terbagi tiga subdivisi instar. Tahap
kehidupan tertentu larva dapat diidentifikasi dengan jumlah celah hadir di setiap
ventilator posterior. Pada instar pertama, satu celah terbentuk; di instar kedua, dua
celah yang terbentuk; di instar ketiga, tiga celah yang terbentuk. Instar pertama
cenderung kurang dari 2 mm, sedangkan instar kedua adalah antara 2 mm dan 9
mm. Instar ketiga dapat antara 9 dan 22 mm panjang. Namun, ukuran adalah ukuran
relatif dapat diandalkan usia karena tergantung pada jumlah dan kualitas makanan
yang tersedia. Proyeksi disebut tuberkel mengelilingi tepi segmen posterior larva.
Spirakel yang terletak di muka horizontal segmen posterior. Jarak antara tuberkel
berperan dalam identifikasi spesies larva.(4)
Mencuat dari segmen anterior ketiga (segmen dada kedua) larva adalah
ventilator anterior, yang terlihat seperti tangan dengan jari-jari memproyeksikan
dari itu. Larva instar ketiga adalah yang terbesar. Setengah jalan melalui tahap ini
mereka berhenti makan dan bermigrasi, mencari tempat untuk pupariation

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

(metamorfosis ke tahap dewasa). Ini disebut tahap postfeeding larva. Larva


menjauh dari tubuh, menuju daerah gelap dan agak dingin. Pada tahap postfeeding
isi tanaman mulai mengurangi, sampai akhirnya tidak ada garis gelap yang jelas
dari bahan tanaman terlihat melalui kutikula larva putih. Cragg (1955)
menunjukkan bahwa larva postfeeding dapat bergerak hingga 6,4 meter dari
bangkai. Pada lantai beton, seperti bisa ditemukan di gedung-gedung, larva pasca
makan telah dikenal untuk bermigrasi sampai 30m dari tubuh.(4)
Biasanya larva postfeeding atau sudah makan mencoba untuk mengubur
dirinya dalam tanah, atau beberapa lokasi gelap lainnya. Mereka dapat ditemukan
dengan mencari di dua atau tiga sentimeter kedalaman pertama tanah di TKP luar
ruangan. Kecenderungan ini untuk bermigrasi ini tidak berlaku untuk semua
spesies, beberapa, misalnya Protophormia terraenovae, telah ditemukan untuk
menjadi kepompong pada mayat.(4)
Bagi tahap purpa pula, pupa akan berubah warna dari waktu ke waktu,
menjadi sebuah objek oval menyerupai cerutu dipotong, berwarna suatu tempat
antara coklat kemerahan, dan mahoni coklat atau hitam gelap. Tahap ini
mempertahankan hamper semua fitur dari instar ketiga. Jadi ada beberapa
kemungkinan mengidentifikasi tahap ini untuk spesies, menggunakan kunci untuk
identifikasi instar ketiga larva dipteran. Pada akhir siklus hidup, dicapai dengan
yang mendorong tutup (operkulum) keluar dari puparium, menggunakan wilayah
darah meningkat di atas kepalanya, yang disebut ptilinum. Ia kemudian masuk
kembali ke dalam struktur pupa menghasilkan lipatan, atau jahitan ptilinal, tepat di
atas antena. Kait mulut (kerangka cephalopharyngeal) yang tertinggal di dalam
kasus puparial rusak dan dapat digunakan untuk mengkonfirmasi identifikasi.(4)
Lalat dewasa akan mendorong keluar kepompong pupa. Lalat akan
'mengering' dan akhirnya sayapnya memperluas dan lalat berwarna keabu-abuan
akan keluar mencari habitat yang baru untuk reproduksi dan sumber makanan.(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

Gambar 7 Siklus hidup lalat

2.2.2. Serangga dan Mayat


Setelah terjadinya kematian seseorang, akan terjadinya mati seluler dimana
sel-sel tubuh mengalami proses autolysis oleh kerana terbentuknya enzim dalam sel
yang menghancurkan sel dari dalam. Mayat seseorang akan mengalami proses
dekomposisi. Bakteria dalam tubuh terutama bakteria di dalam system pencernaan
akan menghancurkan jaringan- jaringan sekitarnya sehingga terbentuknya cairan
atau gas seperti hydrogen sulfida, karbon dioksida, methane, ammomia, sulfur
doksida dan hydrogen. Molekul- molekul ini bersifat volatil atau lebih dikenali
sebagai apneneumones, molekul ini akan keluar dari mayat dan bersifat penarik
serangga. Jenis apneneumones yang dikeluarkan tergantung kondisi mayat dan
jenis apneneumones mempengaruhi tingkah laku dan jenis serangga yang datang ke
mayat tersebut. Berdasarkan penelitian oleh Crag. dkk, pada tahun 1950, gas yang
berdasarkan sulfur bertanggungjawab dalam datangnya serangga ke mayat tetapi
bertelurnya serangga pada mayat dipengaruhi oleh suatu substansi yang berisi
ammonia dan substansi lain.(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

2.2.3. Serangga- Serangga Penting dalam Forensik


Serangga pada suatu tempat kejadian perkara (TKP) yang melibatkan suatu
mayat dapat dikategorikan secara biologi kepada 4 kelompok, yaitu serangga
necrofagus, serangga parasit, serangga omnivor dan serangga adventine.(4)

Serangga yang paling penting untuk penentuan PMI adalah spesies yang
menggunakan mayat untuk reproduksi. Banyak serangga datang mencari sumber
makanan pada mayat tetapi tidak menggunakannya sebagai situs peternakan.
Berbagai macam lalat dewasa dapat ditemukan mendapatkan makanan protein yang
diperlukan untuk perilaku reproduksi. Banyak serangga ini memiliki strategi
reproduksi yang tidak melibatkan bangkai.(4)

Serangga yg makan binatang yg sudah mati paling penting untuk penentuan


PMI adalah lalat bangkai (misalnya blowfly dan fleshfly), terutama selama tahap
awal dekomposisi. Lalat ini menggunakan bangkai sebagai situs mereka
berkembang biak dan pakan larva mereka pada daging yang membusuk.(4)

Sarcophagidae (fleshfly atau lalat daging) dan Calliphoridae (blowfly atau


lalat hijau) adalah keluarga yang paling penting dari Diptera order untuk investigasi
forensik. Blowfly mengandung banyak spesies, banyak yang memiliki warna
metalik warna hijau dan biru. Mereka sering disebut sebagai lalat greenbottle dan
lalat bluebottle.(4)

Lalat daging berwarna hitam dan abu-abu dan menyebabkan orang untuk
rumpun mereka ke dalam pengelompokan mental umum "lalat," pengelompokan
palsu dari berbagai taksa yang mencakup lalat rumah. Sementara sarcophagids bisa
sangat penting dalam penyelidikan forensik, sebagian besar spesies dalam keluarga
ini tidak berkembang biak di vertebrata bangkai besar.(4)

Beberapa spesies yang lalat kecil dapat menjadi penting dalam tahap akhir
dari dekomposisi atau dengan tubuh yang di tempat-tempat lalat besar tidak bisa
menjangkau mereka (misalnya, dikuburkan dalam peti mati). Dua kelompok
penting adalah menjegal lalat dalam keluarga Phoridae dan nakhoda lalat di
keluarga Piophilidae. Phorids kecil dapat menemukan tubuh yang tersembunyi
dengan baik, tertutup, dibungkus, atau bahkan dikubur.(4)

Karpet atau kumbang sembunyi (hide beetles) dalam famili Dermestidae


penting lalat necrofagus Coleoptera yang sering ditemukan, terutama pada tahap
akhir dari dekomposisi. Kumbang kecil ini dan larva memakan banyak jaringan
yang spesies lain tidak bisa memanfaatkan, seperti kulit dan rambut. Ini adalah
serangga yang digunakan oleh taxidermists dan kurator museum untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

membersihkan jaringan dari tengkorak dan kerangka. Parasitoid dan predator


adalah kelompok yang paling signifikan kedua bangkai-mengunjungi taksa.(4)

Banyak predator serangga yg makan binatang yg sudah mati mengais pada


kedua mayat dan serangga yang mereka temukan, sehingga menempatkan mereka
di ranah spesies omnivora daripada predator murni. Dengan mengatakan bahwa,
ada beberapa serangga yang tidak makan bangkai dan muncul selama dekomposisi
secara khusus memakan serangga yang ada. Beberapa yang paling jelas pada tubuh
adalah kumbang dalam keluarga Staphylinidae. Ini kumbang pengembara adalah
predator yang efektif, terutama pukulan terbang dan daging larva lalat pada tahap
awal pembusukan.(4)

Parasitoid yang berbeda dari parasit lain, parasitoid yang akhirnya


membunuh tuan rumah mereka sementara parasit cenderung makan dan manfaat
dari host hidup dan tidak (pada umumnya) menyebabkan kematian. Parasitoid gaya
hidup berbeda berbanding Coleoptera, tapi salah satu genus dari kumbang
pengembara menunjukkan sejarah kehidupan ini dalam hubungan dengan larva
calyptrate Diptera.(4)

Salah satu parasitoid yang paling penting dari yg makan Diptera puparia
yang sudah mati adalah tawon pteromalida, Nasonia vitripennis. Spesies ini (dan
parasitoid lainnya) dapat menyebabkan masalah dalam penyelidikan forensik ketika
mereka memusnahkan mengembangkan larva lalat yang sedang dipelihara untuk
identifikasi dan digunakan dalam spesies determinasi PMI.(4)

Kita menggunakan istilah "omnivora" untuk menggambarkan serangga


yang memakan kedua bangkai dan penduduknya serangganya. Beberapa kelompok
yang jelas necrophilous (tertarik bangkai) dan mewakili anggota umum dari
masyarakat bangkai. Mereka termasuk serangga seperti kumbang bangkai, semut,
dan tawon Yellowjacket.(4)

Populasi besar ini dapat menghambat tingkat pemindahan bangkai oleh


mengurangkan populasi spesies necrofagus. Banyak yang tidak berguna untuk
penentuan PMI tapi efeknya mungkin harus diperhitungkan ketika menilai TKP
potensial. Spesies adventif termasuk taksa yang menggunakan mayat sebagai
perluasan dari habitat alami mereka sendiri.(4)

Invertebrata seperti springtails, laba-laba, lipan, isopoda, dan serangga yang


umum ditemukan di bawah batu dan / atau kayu dapat menggunakan mayat sebagai
tempat penampungan selama tahap awal dekomposisi.(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

Spesies adventif biasanya tidak berguna untuk penentuan PMI tapi dapat
memberikan informasi yang sangat berguna mengenai pergerakan tubuh dari satu
lingkungan yang lain.

Gambar 8 Lalat-lalat pada mayat menurut waktu

Hubungan Lama Kematian Dengan Serangga.

Berdasarkan penelitian oleh K. Tullies dan M. L Goff mayat yang terbiar di


kawasan terbuka akan mengalami 5 proses dekomposisi. Durasi mayat mengalami
proses ini tergantung keadaan fisik mayat, temperature tubuh saat meninggal dan
kateristik serangga pada mayat(4–6)

1. Proses pertama atau fresh stage. Berlangsung selama 1-2 hari, dimulai saat
terjadinya kematian dan berakhir bila mayat menjadi kembung. Secara
umum, tidak banyak perubahan morfologi dapat dilihat tetapi pada proses
ini telah bermulanya autolisis. Entomologi dapat membantu
mengkonfirmasikan asumsi mayat meninggal kira-kira lebih dari 24 jam
berdasarkan pemeriksaan jaringan tubuh mayat. Serangga akan berkeliaran
sekitar mayat pada 10 minit pertama PMI tetapi tiada telur didapati yang
dijumpai saat staging ini (oviposition). Kebiasaannya, blowflies atau
serangga Calliphoridae yang pertama kali muncul pada mayat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

2. Kedua terjadinya Bloated stage. Berlangsung setelah hari ke 2 hingga ke 7


setelah kematian. Pembusukan telah bermula, gas yang terhasil dari
aktivitas metabolic kuman-kuman anaerobic menyebabkan bagian abdomen
mayat kembung sehingga dapat kelihatan seperti belon. Proses pembusukan
dan aktivitasi serangga pada mayat ini akan menyebabkan temperature
mayat meningkat. Akan kelihatan banyak serangga Diptera sp. dewasa pada
staging ini. Pada hari ke-4, akan kelihatan Diptera dalam bentuk Larval.
Pada hari ke-2 pula, akan dijumpai beberapa serangga pemakan (predators)
larva Diptera pada mayat.

3. Ketiga terjadinya Decay stage yang berlangsung setelah hari 3 hingga 12


setelah kematian. Dinding abdomen telah terpenetrasi, mengakibatkan
mayat mengalami deflasi dan staging bloated berakhir, suhu internal mayat
akan menurun. Oleh kerana bau pembusukan mayat tergantung suhu mayat,
gas-gas yang diproduksi akan berkurang. Pada hari ke 10, massa mayat akan
berkurang manakala kolonisasi larva diptera akan meningkat. Pada staging
ini juga akan kelihatan kepompong lalat kerana larva sudah masuk ke siklus
hidup pupate. Tambahan, pada staging ini juga mungkin ditemukan
serangga lain seperti silphid beetle Nicrophorus humator, (Gleditsch),
Hister cadaverinus Hoffmann and Saprinus rotundatus, Hydrotaea capensis
dan lain-lain akibat adanya fermentasi ammonia pada mayat.
4. Keempat adalah Post-decay stage. Berlangsung pada hari ke 10 hingga ke
23 setelah kematian. Staging setelah pembusukan ini, dimulai dengan
mayoritas larva meninggalkan mayat kerana mayat tidak lagi sesuai untuk
kehidupan mereka. Mayat pada staging ini hanya didapati tulang, sedikit
tulang rawan, rambut, dan sebagian besar materi basah dan melekit yang
dikenali sebagai by products of decay (BOD). Sebagai info tambahan, pada
staging ini akan terjadi peningkatan jumlah kumbang dengan penurunan
jumlah lalat diptera.
5. Terakhir adalah Remains stage atau Skeletanisasi (Hari ke 18 hingga 90 hari
dan keatas). Pada staging ini hanya akan kelihatan sedikit tulang dan tulang
rawan disertai BOD kering. Populasi lalat akan berkurang, lalat dewasa dan
larva akan beransur meninggalkan mayat. Khususnya pada mayat staging
ini, mungkin ditemukan kumbang dari Nitidulidae.

Tergantung suhu mayat, suhu persekitaran, saiz lalat, tahap lalat dan jenis
lalat, kita dapat menentukan PMI dengan tepat.(7)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

Tabel 2Tabel Pertumbuhan Lalat

Metamorfosis lalat pada suhu 22.2 celsius atau 72 farenheit

Hari setelah Spesies dan tahap lalat (L=larva, P=pupa, D=dewasa)


kematian
Musca Calliphora Sarcophaga Piophila
domestica vomitoria carnaria nigriecp
(biru) (kuning) (putih) (merah
jambu)

1 - Telur L 9-11mm -

2 Telur L 9-11mm L 12-16mm -

3 Telur L 9-11mm L 17-20mm -

4 L 6mm L 12-16mm L 21-25mm -

5 L 6mm L 12-16mm L 26-30mm Telur

6 L 7-11mm L 17-20mm L 31-35mm Telur

7 L 12-16mm L 17-20mm L 36-40mm L3mm

8 L 17-20mm L 21-25mm L 41-44mm L3mm

9 L 21-25mm L 21-25mm L 44-46mm L4-6mm

10 L 26-30mm L 26-30mm L 44-46mm L7-9mm

11 L 31-35mm L 26-30mm P 38-40mm L10-13mm

12 P 26-29mm L 31-34mm P 38-40mm L14-16mm

13 P 26-29mm L 31-34mm P 38-40mm P13-15mm

14 P 26-29mm P 31-34mm P 38-40mm P13-15mm

15 P 26-29mm P 31-34mm P 38-40mm P13-15mm

16 P 26-29mm P 31-34mm P 38-40mm P13-15mm

17 P 26-29mm P 31-34mm P 38-40mm P13-15mm

18 A 30-32mm P 31-34mm P 38-40mm P13-15mm

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

19 - P 31-34mm A 42-45mm A 16-18mm

20 - P 31-34mm - -

21 - A 36-38mm - -

Tabel 3 Ekologi lalat pada spesies tertentu

Temperatu Musca Calliphora Sarcophag Piophila


r (‘F) domestica vomitoria a carnaria nigriecp
(biru) (kuning) (putih) (merah
jambu)

55’ Terlambat 4 Terlambat Terlambat Terlamba


kali lipat 4.5 kali 4 kali lipat t 3 kali
lipat lipat

65’ Terlambat 2 Terlambat 3 Terlambat Terlamba


kali lipat kali lipat 2 kali lipat t 1 kali
lipat

80’ Percepat 1 Percepat 2 Percepat Percepat


kali lipat kali lipat 1.5 kali 1 kali
lipat lipat

85’ Percepat 3 Percepat 4 Percepat 3 Percepat


kali lipat kali lipat kali lipat 2 kali
lipat

Faktor- Habitat perkotaan perkotaan perkotaan perkotaa


faktor dan dan dan n
ekologi pedesaan pedesaan pedesaan

Pencahayaa Pencahayaa Pencahayaa Lebih Lebih


n n penuh dan n parsial memilih memilih
parsial dan sedikit daerah ber daerah
cahaya ber
cahaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

Narkoba Tiada efek Sensitif Tiada efek Tiada


efek

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

BAB 3:
KESIMPULAN

 Peranan keterangan ahli tanatologi forensik sangat penting bagi


penyidik untuk mengetahui:
o Penyebab dan cara kematian;
o Jenis kelamin;
o Meninggal atau belum;
o Identitas korban;
o Memperkirakan waktu kehamilan;
o Peristiwa yang sebenarnya terjadi.

 Hambatan pemeriksaan keterangan ahli tanatologi dalam penyidikan


tidak pidana pembunuhan, yaitu:
o Hancurnya jenazah akibat proses kematian;
o Kurangnya pengetahuan penyidik tentang tanatologi;
o Tempat kejadian perkara (TKP) telah terjadi perubahan dan
kerusakan;
o Alat penunjang yang mempengaruhi kerja penyidik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

DAFTAR PUSTAKA

1. Amir A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. 2nd ed. Medan: Percetakan


Ramadhan; 2009.

2. Amendt J, Hall M, Natural T, Museum H, Petras A, Hall M, et al. Forensic Science


International 169S (2007) S27–S28 www.elsevier.com/locate/forsciint. 2007;

3. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Binarupa Aksara;
1997.

4. Genhard D. Forensic Entomology An Introduction. 2nd Ed. New York; 2010.

5. Joseph I, Mathew DG, Sathyan P. The use of insects in forensic investigations : An


overview on the scope of forensic entomology. 2011;3(2):89–92.

6. Dahlem GA. The Science of Forensic Entomology. 1st ed. New York; 2009.

7. Carloye L. Of maggots & murder: Forensic entomology in the classroom. Am Biol


Teach. 2003;65(5).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai