Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Stroke dapat menyebabkan kelumpuhan atau bahkan mematikan dan dalam hitungan detik
dapat mengubah nasib dan jalan hidup seseorang. Dewasa ini stroke cenderung menjadi masalah
kesehatan dikalangan masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar. Stroke merupakan istilah
klinik penyakit peredaran darah otak PPDO) atau cerebrovascular disease (CVD) yang ditandai
dengan timbulnya kelainan fungsi otak secara mendadak, menetap serta mempunyai kecenderungan
memburuk, bahkan kematian dalam kurun waktu 24 jam pertama. Penyebab kematian dalam
minggu pertama disebabkan oleh pembengkakan jaringan otak akibat stroke yang luas di
supratentorial atau di batang otak. Stroke merupakan suatu manifestasi akhir kelainan-kelainan
patologik pada pembuluh darah yang prosesnya secara bertahap dimulai jauh sebelum terjadinya
serangan stroke. Pembuluh darah diotak mengalami degenerasi secara bertahap dari berbagai
penyakit iskemik yang disebut “faktor risiko”. Pada kasus yang dapat bertahan hidup beberapa
kemungkinan bisa terjadi seperti stroke berulang. Kejadian stroke berulang sebenarnya bisa ditekan
dengan melakukan penanganan secara khusus dan intensif dengan memperhatikan faktor resikonya
yaitu: hipertensi, kadar kolesterol, diabetes melitus, obesitas, dan lain-lain.1

DEFINISI 

Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat 

gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala­gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih 

dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.2

Epidemiologi

Insiden stroke dan kematian akibat stroke meningkat seiring dengan modernisasi dan
meningkatnya angka harapan hidup. Secara global, 15 juta penduduk menderita stroke setiap
tahunnya. 5 juta dari mereka meninggal dan 5 juta lainnya mengalami kecacatan secara
permanen. Diperkirakan pada tahun 2020, kematian akibat stroke akan meningkat hingga hampir
dua kali lipat karena populasi yang semakin menua dan efek dari kebiasaan merokok.

Dua per tiga dari kematian akibat stroke dan 60% dari seluruh stroke terjadi pada negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Seiring menurunnya angka kejadian penyakit infeksi dan
malnutrisi di negara berkembang, insiden stroke meningkat karena menurunnya aktivitas fisik,
peningkatan konsumsi rokok, serta perubahan pola makan. Pada tahun 2040 diperkirakan
terdapat 1 millyar orang dewasa berusia 65 tahun atau lebih yang beresiko terkena stroke pada
negara berpenghasilan rendah dan menengah. Selain dari populasi yang menua, faktor resiko
1
mayor lainnya adalah hipertensi dan konsumsi rokok. Pada mayoritas negara, 30% penduduk
menderita hipertensi. Pria memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena hipertensi
dibandingkan wanita, tetapi wanita memiliki angka kematian yang lebih tinggi. Orang berulit
hitam memiliki resiko kematian karena stroke yang lebih tinggi dibandingkan kulit putih, dan
disusul oleh ras Hispanik yang berada di antara orang berkulit putih dan hitam. Terdapat
insidensi penyakit stroke yang tinggi pada populasi

Stroke dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi lebih sering pada lansia. Resiko stroke
meningkat dua kali lipat setiap dekade diatas umur 50 tahun, tetapi 30% dari stroke di Amerika
Serikat terjadi sebelum usia 65 tahun.3

 Klasifikasi stroke4

Stroke iskemik

Stroke iskemik, tipe tersering, disebabkan oleh oklusi pada arteri leher atau di dalam
otak, membuat bagian otak kekurangan nutrisi, glukosa, dan oksigen. Etiologi dari stroke iskemis
akut adalah beragam. Oklusi arteri sering disebabkan oleh trombus yang telah berjalan ke otam
(emboli) dari lokasi proksimal tubuh, seperti jantung atau plak pada dinding proksimal arteri,
seperti aorta atau arteri karotis interna. Pada beberapa kasus, etiologinya adalah trombus lokal
yang terbentuk dekat dengan lokasi oklusi di arteri besar intrakranial (arteri serebri media atau
arteri basilar) atau di dalam pembuluh darah kecil yang dalam, disebut sebagai penyakit
pembuluh darah kecil. Stroke iskemik terjadi sebanyak 80-85% dari seluruh kasus stroke di
dunia, kecuali di Asia, dimana perdarahan intraserebal lebih sering.

Stroke hemoragik

Perdarahan intraserebral disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah, dengan perdarahan


langsung ke parenkim otak, ventrikel, dan/atau sekitar otak. Pecahnya pembuluh darah dapat
terjadi karena penyakit yang didapat pada arteri kecil yang sering dihubungkan dengan hipertensi
kronis, penyakit degeneratis pada arteri superfisial (amyloid angiopathy), atau abnormalitas
struktur arteri besar intrakranial, seperti malformasi arteri-vena. Perdarahan subaraknoid muncul
saat aneurisma intracranial pecah dan darah menginvasi daerah sekitar otak. Aneurisma adalah
kantong berbentuk balon yang menonjol dari pembuluh dari arteri yang dindingnya telah
melemah.

Gejala-gejala stroke4

2
Gejala utama dari stroke adalah onset defisit neurologis yang mendadak. Gejala-gejala
stroke tergantung pada area anatomis yang mengalami kerusakan (otak, sumsum tulang
belakang, atau mata). Biasanya, stroke bermanifestasi sebagai kumpulan gejala yang membantu
pemeriksa melokalisasi area pada sistem saraf pusat yang mengalami cedera akut.

1. Sakit kepala. Sakit kepala hebat mendadak sering diasosiasikan dengan perdarahan
intraserebal dan perdarahan subaraknoid, tetapi jarang pada stroke tipe iskemik. Pengecualian
pada stroke iskemik yang disebabkan oleh diseksi arteri karotis atau vertebral dimana sakit
kepala, nyeri wajah, atau nyeri leher sering terjadi.

2. Kelemahan. Penurunan kekuatan motorik mendadak adalah gejala paling sering pada
stroke. Derajat kekuatan motorik (0-4) yang dibuat oleh National Institutes of Health Stroke
Scale (NIHSS) adalah cara yang baik untuk mendokumentasikan kelemahan tungkai. (Tabel 1.1)
Beberapa terminologi sering digunakan untuk Derajat kelemahan yang muncul biasanya
tergantung pada lokasi lesi dalam sistem motoric (Tabel 1.2). Lesi kortikal perifer dapat hanya
menimbulkan kelemahan fokal (paresis), dan seringnya mengenai wajah dan atau lengan, atau
bahkan tangan atau jari-jari secara individual. Lesi yang lebih ke proksimal, subkortikal atau
batang otak biasanya menyebabkan kelemahan yang lebih seragam pada wajah, lengan, dan
tungkai bawah pada satu sisi (hemiparesis) dikarenakan traktur motorik yang bergabung pada
lokasi tersebut. Lesi UMN dari kotreks motorik dapat menyebabkan atrofi pada jaras motorik
ipsilateral dari pedunkulus serebral, yang disebut dengan degenarasi Wallerian.

3. Ataxia tungkai dapat muncul dengan atau tanpa kelemahan dan gangguan koordinasi
biasanya berhubungan dengan infark pada hemisfer serebelar. Hal ini dapat diuji dengan
pemeriksaan disdiadokokinesia dan pemeriksaan hidung-telunjuk pada ekstrimitas atas dan
pemeriksaan tumit-lutut pada ektrimitas bawah. Lesi serebelar di garis tengah dapat hanya
menimbulkan gangguan vestibular yang ringan dan ataxia tungkai tapai keterlibatan tungkai.
Perbaikan ataxia dalam waktu jangka panjang biasanya baik.

4. Kehilangan sensasi tiba-tiba biasanya disertai dengan kelemahan pada daerah distribusi
yang sama, tetapi kelemahan sensoris murni separuh tubuh dapat muncul, biasanya disebabkan
oleh oklusi pembuluh darah kecil yang memperdarahi thalamus lateral, pons. dan regio
lentikulokapsular pada otak. Pasien biasanya mendeskripsikan rasa baal dan/atau kesemutan
pada satu sisi wajah atau tubuh, biasa dianalogikan dengan ‘novokain pada ruang praktek dokter
gigi’ atau ‘tungkai tertidur’.Lesi kortikal yang menyebabkan defisit sensoris dikelompokkan
menjadi lesi area insular dan operkular, menyerang sensasi primer yaitu nyeri dan suhu dengan

3
persepsi posisi yang intak, dibandingkan dengan lesi pada gyrus post sentralis, yang
menyebabkan gangguan pada persepsi posisi, seterognosis, dan graphestesia.

Sensasi primer biasanya diperiksa menggunakan stimulus nyeri seperti tusukan jarum, atau
stimulus sentuhan ringan, sedangkan sensasi kortikal diperiksa menggunakan sensasi posisi dan
dengan meminta pasien untuk mencoba mengidentifikasi sebuah angka yang ditulis pada tangan
atau dengan benda yang diletakkan di tangan. Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan
angka yang dituliskan di tangan disebut agraphesthesia dan ketidakmampuan untuk mengenali
benda yang diletakkan di tangan disebut astereognosia.

Parestesia fokal, terutama yang melibatkan daerah perioral dan jari-jari (daerah dengan
representasi kuat dalam homonkulus), biasanya merupakan akibat dari emboli distal kecil pada
girus Post sentralis. Dalam keadaan langka, hendaya sensori primitif berubah menjadi disestesia,
yang dikenal sebagai sindrom nyeri sentral pasca stroke.

FAKTOR RESIKO5

Hipertensi.

Hipertensi baik sistolis maupun diastolis merupakan faktor risiko terpenting sebab terjadinya
gangguan peredaran darah otak pada semua umur baik yang bersifat perdarahan maupun yang
bersifat iskemi Pada umumnya seorang dianggap menderita hipertensi apabila tekanan darahnya
160/95, atau lebih, sedangkan mereka dengan tekanan darah 140/90 atau kurang adalah
normotensif. Tekanan darah antara 140/90 dan 160/95 termasuk golongan hipertensi perbatasan.
Dengan meningkatnya usia kemungkinan mendapat hipertensi menjadi lebih besar. Ternyata bahwa
makin lanjut usia, hipertensi menjadi penting sebagai faktor risiko. Beberapa penulis
mengemukakan, bahwa dari penyelidikan epidemiologis ternyata gangguan peredaran darah otak
empat hingga enam kali lebih sering terjadi pada para penderita hipertensi berat daripada pada
orang-orang dengan tekanan darah.

Hingga sekarang masih belum diketahui dengan pasti bagaimana hipertensi dapat menambah risiko
terjadinya "stroke". Diantara berbagai kemungkinan dapat disebut, bahwa hipertensi mempercepat
aterogenesis pembuluh pembuluh darah otak, secara mekanik dapat merusak pembuluh-pembuluh
darah tersebut atau secara tidak langsung melalui terjadinya insufisiensi jantung menyebabkan
turunnya perfusi pembuluh-pembuluh darah otak yang sudah juga bahwa hipertensi pada umumnya
disertai meningkatnya daya adhesi dan agregasi trombosit, bahkan sudah dalam stadium permulaan
hipertensi dan juga pada usia muda. Perdarahan intraserebral akibat hipertensi dijelaskan sebagai
berikut. Beberapa keadaan dapat terjadi, di antaranya terbentuknya suatu mikroaneurisma dalam
4
dinding arteriol yang kemudian pecah, terjadinya spasmus arteriol yang menimbulkan hipoksi
distal, nekrosis, perdarahan petekhial dan udema otak. Hipertensi dapat juga mencetuskan ruptur
pada inti arteri kecil dan arteriol yang sudah lemah karena aterosklerosis. Ruptur ini dapat
menyebabkan terbentuknya suatu aneurisms disekans kecil yang kemudian pecah.

Diabetes mellitus.

Walaupun kurang pentingnya dibandingkan dengan hipertensi, diabetes mellitus juga merupakan
faktor yang dapat menambah risiko terjadinya gangguan peredaran darah otak. Persentase diabetes
mellitus pada kasus-kasus penyakit serebrovaskuler yang dikemukakan oleh beberapa penulis
berkisar antara 5-30%. Diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi untuk gangguan peredaran
darah otak, oleh karena akan meningkatkan kemungkinan terjadinya aterosklerosis, terutama
apabila juga terdapat faktor- faktor risiko lain yang sering menyertai diabetes mellitus, yakni
gangguan metabolisme lipid, hipertensi dan obesitas. Diabetes mellitus dapat menambah risiko
aterogenesis oleh karena meningkatkan kecenderungan rusaknya endotil makrovaskuler,
meningkatkan adhesi dan agregasi trombosit, migrasi sel otot polos, proiferasi lipid clan
pembentukan lesi fibrotis.

Penyakit Jantung

Hubungan antara beberapa macam penyakit jantung dengan terjadinya "stroken sudah dikenal.
Persentase penyakit jantung yang ditemukan pada penderita gangguan peredaran darah otak
berkisar antara 40-75%.

Penyakit jantung yang dapat menambah risiko terjadinya gangguan peredaran darah otak terutama
ialah iskemi jantung, penyakit jantung kongestif, pembesaran jantung, penyakit jantung rematis
menahun, kelainan kongenital dan penyakit katup jantung. Gangguan peredaran darah otak dapat
terjadi di antaranya karena embolus lepas dari trombus intrakardial, kekurangan tekanan perfusi
otak pada penyakit jantung kongestif dengan "output" yang kurang dan sebagainya. Seorang
penderita iskemi jantung mempunyai kemungkinan lima kali lebih besar untuk mendapat iskemi
otak dari pada seorang dengan yang pernah mengalami iskemi otak akan mempunyai kemungkinan
besar untuk mendapat infark miokard.

Serangan iskemi otak sepintas.

Penyakit lain yang merupakan risiko untuk mendapat “stroke" lengkap ialah TIA
(transient ischemic attack) atau serangan iskemi otak sepintas. Para penderita yang

5
pernah mengalami TIA mempunyai enambelas kali lebih besar kemungkinan
mendapat "stroken lengkap dari mereka yang belum pernah menderita TIA.

Hiperlipidemi.

Hiperlipidemi disebut juga sebagai faktor risiko terjadinya gangguan peredaran darah otak, namun
belum jelas hubungan antara hiperlipidemi, aterosklerosis dan gangguan peredaran darah otak.
Beberapa penyelidikan epidemiologis memang menunjukkan bahwa kadar kolesterol dalam serum
para penderita gangguan peredaran darah otak lebih tinggi dari normal. Selain itu ada beberapa
pendapat yang menyatakan bahwa trigliserid mempunyai hubungan dengan gangguan peredaran
darah otak. Hiperlipidemi akan lebih berarti sebagai faktor risiko apabila disertai oleh faktor- faktor
risiko lain, seperti hipertensi dan diabetes mellitus. Pengaruh kadar lipid dalam serum akan
berkurang dengan bertambahnya usia. Pada umur lebih dari 60 tahun hampir tidak ada, meskipun
pada usia lanjut "stroke" akan lebih sering terjadi.

Diagnosis stroke

Diagnosis stroke dibuat berdasarkan anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisik


neurologis, dan dikonfirmasi dengan diagnosis klinis dengan neuroimaging yang sesuai. Kejang,
hipoglikemia, trauma, dan migrain adalah gejala yang paling sering dan mirip dengan defisit
fokal neurologis pada stroke akut. Tumor otak sering bermanifestasi dengan onset yang akut
dikarenakan perdarahan akut di dalam tumor. Gejala stroke yang global seperti penurunan
kesadaran dapat mirip dengan ensefalopati metabolik. Dalam banyak kasus, diagnosis klinis dari
stroke tidaklah sulit.6

Neuroimaging4,6

Kecanggihan neuroimaging telah merevolusi diagnosis dan tatalaksa stroke. Modalitas


yang digunakan akan dijelaskan berikut ini.

-CT Scan tanpa kontras adalah modalitas yang sering digunakan untuk stroke akut.
Modalitas ini baik untuk mendeteksi perdarahan intraserebral dan perdarahan subaraknoid, tetapi
tidak sensitif untuk melihat infarks kecil, terutama di daerah fossa posterior. Dalam kasus-kasus
infark awal ( 1-4 jam setelah onset), CT Scan tampak normal. Beberapa jam setelah itu, CT Scan
akan mulai menunjukkan infark.

MRI tidak selalu tersedia untuk diagnosis stroke akut di rumah sakit. Sekuen MRI tipe diffusion-
weighted sensitif terhadap iskemia dalam durasi menit sejak onset gejala Teknik ini berguna saat

6
diagnosis dipertanyakan dan sangat baik untuk mengidentifikasi stroke yang sangat kecil yang
meneybabkan defisit neurologis yang minimal. Daerah gelap atau lesi hipointens pada koefisien
pemetaan mengkonfirmasi lesi pada MRI disebabkan oleh infark.

MRA (angiografi dengan resonansi magnetik) berguna untuk pemeriksaan skrining oklusi
pembuluh darah ekstra dan intrakranial atau stenosis. Secara general, MRA sering
mengoverestimasikan keparahan stenosis, tetapi dengan agen kontras gadolinium, kualitas dari
modalitas ini membaik.

Angiografi serebri konvensinal atau digital substraction angiography adalah standar baku emas
untuk menvisualisasi pembuluh darah ekstra dan intrakranial, tetapi memiliki kelemahan yaitu
invasif dan membutuhkan peralatan khusus, teknisi, dan ahli radiologi intervensi.

Patofisiologi

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-arteri yang
membentuk Sirkulus Willisi. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama
15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di
suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut.
Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.
Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam
pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada
pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh,
atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok
atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang
berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan
otak atau ruang subaraknoid (Price et al, 2006).

Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA) yang serupa dengan
angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak
dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat
penyembuhan bervariasi tetapi biasanya dalam 24 jam. TIA mendahului stroke trombotik pada
sekitar 50% sampai 75% pasien (Harsono, 2009).

Tatalaksana

Terapi stroke iskemik

7
Terapi era modern untuk stroke iskemik akut berdasarkan studi klinis yang di lakukan dari tahun
1980-1990. Dua pendekatan terapi telah di pelajari sejak studi klinis awal di lakukan:

·Terapi reperfusi termasuk obat-obatan intravena atau intra-arterial dan alat endovaskular yang
bertujuan merekanalisasi arteri intrakranial dan ekstrakranial yang mengalami oklusi. Di USA,
t-PA intravena untuk terapi stroke iskemik akut di berikan dalam waktu 3 jam dari onset gejala.
Sejak tahun 2004, MERCI Retriever telah di setujui untuk membuang bekuan darah dari arteri
cerebral intrakranial dan ekstrakranial dalam waktu 8 jam dari onset gejala.Alat trombektomi
endovaskular lainnya, Penumbra Stroke System, telah di setujui Food and Drug Administration
(FDA) pada tahun 2008 untuk kemampuan mekanisme aspirasi nya.

·Agen atau alat neuroprotektif untuk mempertahankan viabilitas optimal jaringan pada
ischemic penumbra. Belum ada agen farmakologi yang efektif. Penelitian mengenai hipotermia
dan laser infrared untuk mengetes potensi neuroproteksi sedang di jalani.

Tabel 1.3 Modalitas terapi untuk terapi reperfusi selama stroke iskemik akut
Agen fibrinolitik
·Telah di tetapkan: t-PA intravena
·Masih dalam penelitian: tenecteplase, desmoteplase, reteplase, microplasmin.
Antagonis glikoprotein IIb/IIIa
·Abciximab, tirofibam
Pendekatan farmakologi kombinasi
a.Agen litik dan antitrombotik
i.Contoh (masih dalam penelitian): t-PA IV + tirofiban; reteplase+abciximab;
eptifibatide+t-PA; argatroban (inhibitor trombin direk)+t-PA.
a.Agen litik dan neuroprotektan
i.Hipotermia
ii.Magnesium (in field) , dengan reperfusi saat di rumah sakit
a.Agen litik dan vasoprotektan
i.NXY-059 (spin trap agent) ± t-PA IV
pppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppp
i.Monitoring ultrasound kontinu 2-MHz + t-PA

Terapi endovaskular mekanik


·Fibronilisis intra-arterial
·Pelepasan zat oklusi secara mekanik
·Trombektomi endovascular
8
Catatan: Daftar di atas termasuk obat-obatan dan alat yang sudah di teliti dan sudah di
terima/di tolak pada studi klinis.
t-PA: tissue plasminogen activator.

Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)7


Terapi medik pada PIS akut:
a.Terapi hemostatik
- Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat haemostasis
yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten terhadap pengobatan faktor
VIII replacement dan juga bermanfaat untuk penderita dengan fungsi koagulasi
yang normal.
- Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
- Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-significant, tapi
tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah lebih dari 3 jam.
b. Reversal of anticoagulation
- Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan fresh frozen
plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin K.
- Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K dependent
coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR lebih cepat dibandingkan
FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah sehingga aman untuk jantung dan
ginjal.
- Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang memakai warfarin
dapat menormalkan INR dalam beberapa menit. Pemberian obat ini harus tetap
diikuti dengan coagulation-factor replacement dan vitamin K karena efeknya
hanya beberapa jam.
- Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer weight heparin
diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan trombositopenia atau adanya
gangguan fungsi platelet dapat diberikan dosis tunggal Desmopressin, transfusi
platelet, atau keduanya.
- Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka pemberian obat
dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya perdarahan.
c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM
- Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap kontroversial.

9
- Tidak dioperasi bila: 1
- Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis minimal.
- Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan perdarahan
intraserebral disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life saving.
- Dioperasi bila:
- Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan klinis atau
kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel harus
secepatnya dibedah.
- PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau angioma
cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang baik dan lesi
strukturnya terjangkau.
- Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang memburuk.
- Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda dengan
perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih menguntungkan.

Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid


1. Pedoman Tatalaksana
i.Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
-Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
-Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan
lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit.
-Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
-Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan
neurologi yang timbul.
1
i.Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif:

-Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat


darurat.
-Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang
adekuat.
-Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.

10
-Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan penilaian status
neurologi.

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA


i.Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja tidak
direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal
tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.
ii.Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan
klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau
memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.
iii.Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
iv.Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

3. Operasi pada aneurisma yang rupture


i.Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah
rupture aneurisma pada PSA.
ii.Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA, banyak
penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan
operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih
baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera
atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.
iii.Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan
ulang.
4. Tatalaksana pencegahan vasospasme
• Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara
oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti
memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium
antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna.
• Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu
hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan mempertahankan
“cerebral perfusion pressure” sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia
serebral akibat vasospasme. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan
ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
• Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna.

11
• Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-pasien
yang gagal dengan terapi konvensional.
• Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:

-Pencegahan vasospasme:
aNimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
a3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
aJaga keseimbangan cairan.

-Delayed vasospasm:
• Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
• Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
• Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14
mmHg.
• Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
• Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.

5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering
dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan
dosis 6-12 g/hari.
6. Antihipertensi
i.Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik (TDS)
tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan operasi
aneurisma clipping).
ii.Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari 90
mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
iii.Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit sampai
mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit.
Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan
efek takikardi.
iv.Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan vasopressors,
dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat
vasospasme.
7. Hiponatremi
12
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan
NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan
tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam
200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena menyebabkan
hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi.
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak
direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul
kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media, kesadaran yang
tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang,
diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis.
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100
mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi.
Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang.
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak
kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-
faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri
media.
9. Hidrosefalus
i.Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama. Kejadiannya
kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal
ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
i.Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer atau
permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan
i.Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular. Mencegah
trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression devices.
iv.Analgesik:
-Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.

-Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.


-Tylanol dengan kodein.
-Hindari asetosal.
13
-Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
-Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
-Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
-Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
-Propofol 3-10 mg/kg/jam.
-Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:

-Antagonis H2
-Antasida
-Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
-Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari.
-Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

Prognosis

Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease, disability, discomfort,
dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis tersebut terjadi pada stroke fase awal atau
pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita
stroke akut harus dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi
oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam setelah serangan stroke
(Asmedi & Lamsudin, 1998).

Asmedi & Lamsudin (1998) mengatakan prognosis fungsional stroke pada infark lakuner cukup
baik karena tingkat ketergantungan dalam activity daily living (ADL) hanya 19 % pada bulan
pertama dan meningkat sedikit (20 %) sampai tahun pertama. Bermawi, et al., (2000) mengatakan
bahwa sekitar 30-60 % penderita stroke yang bertahan hidup menjadi tergantung dalam beberapa
aspek aktivitas hidup sehari-hari. Dari berbagai penelitian, perbaikan fungsi neurologik dan fungsi
aktivitas hidup sehari-hari pasca stroke menurut waktu cukup bervariasi. Suatu penelitian
mendapatkan perbaikan fungsi paling cepat pada minggu pertama dan menurun pada minggu ketiga
sampai 6 bulan pasca stroke.

Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan yang terjadi pada penderita
stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok ukur diantaranya outcome fungsional, seperti
kelemahan motorik, disabilitas, quality of life, serta mortalitas. Menurut Hornig et al., prognosis
jangka panjang setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum ringan secara signifikan dipengaruhi

14
oleh usia, diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit arteri karotis yang menyertai.
Pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan TIA memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif
pasien dalam penelitian ini sebesar 4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5
tahun.

Daftar Pustaka

1. Studi kasus: Stroke iskemik dengan infark luas pada pasien laki-laki muda dengan stenosis
mitral berat. Muljadi S, Sutrisno A, dan Lison L. Universa Medicina; 2007.
1. STROKE: SEKILAS TENTANG DEFINISI, PENYEBAB, EFEK, DAN FAKTOR RISIKO.
Rambe A. Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik, Medan.
2. Reiffel JA. The American Journal of Medicine. Atrial fibrillation and stroke:epidemiology.
2014.
3. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor's Principles of Neurology. 10th ed. New
York: McGraw Hill Education; 2014.
4. GANGGUAN PEREDARAN DARAH OTAK DI INDONESIA (FAKTOR-FAKTOR RISIKO
DAN PpEVALENSI PADA USIA LANJUT). Mardjono M.Guru besar Fakultas kedokteran
Universitas indonesia;1993.
5. Daroff RB, Jankovic J, Mazziota JC. Bradley’s Neurology in Clinical Practice, 2 volume set.
Philadelphia. Elsevier; 2015
6. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke 2007.
Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.

15

Anda mungkin juga menyukai