Konsep Dasar Abortus
Konsep Dasar Abortus
A. Definisi Abortus
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup didunia luar, tanpa
mempersoalkan penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia luar bila berat badannya telah
mencapai >500 gr atau umur kehamilan >20 minggu.
Aborsi adalah terminasi kehamilan yang tidak diinginkan melalui metode obt-obatan atau bedah.
Definisi abortus (aborsi,abortion) adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum
janin mampu bertahap hidup. Di Amerika serikat ,definisi ini terbatas pada terminasi kehamilan
sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Definisi lain
yang sering digunakan adalah keluarnya janin-neonatus ya ng beratnya kurang dari 500 g.
B. Klasifikasi Abortus
1. Abortus spontan adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis maupun mekanis.
Apabila abortus terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus ,
maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah
keguguran (miscarriage).
PATOLOGI
Abortus biasanya disertai perdarahan ke dalam desidua basalis dan nekrosis dijaringan
tempat perdarahan . Ovum menjadi terlepas, dan hal ini memicu kontraksi uterus yang
menyebabakan ekspulsi. Apabila kantung dibuka , biasanya dijumpai janin kecil yang
mengalami maserasi dan dikelilingi oleh cairan , atau mungkin tidak tampak janin di dalam
kantung dan disebut blighted ovum.
Mola karneosa atau darah adalah suatu ovum yang dikelilingi oleh kapsul bekuan darah.
Kapsul memiliki ketebalan bervariasi, dengan vili korionik yang telah berdegenerasi
tersebar di antaranya. Rongga kecil didalam yang terisi cairan tampak menggepeng dan
terdistorsi akibat dinding bekuan darah lama yang tebal
Pada abortus tahap lebih lanjut, terdapat beberapa kemungkinan hasil. Janin yang
tertahan dapat mengalami maserasi. Tulang-tulang tengkorak kolaps dan abdomen
kembung oleh cairan yang mengandung darah. Kulit melunak dan terkelupas inutero atau
dengan sentuhan ringan, meninggalkan dermis. Organ-organ dalam mengalami
degenerasi dan nekrosis. Cairan amnion mungkin terserap saat janin tertekan dan
mongering untuk membentuk fetus kompresus. Kadang-kadang janin akhirnya menjadi
sedemikian kering dan tertekan sehingga mirip dengan perkamen, yang disebut juga
sebagai fetus papiraseus.
PULIHNYA OVULASI. Ovulasi dapat kembali terjadi sedini 2 minggu pasca-abortus.
Lahteenmaki dan Luukkainen (1978) mendeteksi lonjakan luteinizing hormone (LH) 16
sampai 22 hari setelah abortus pada 15 dari 18 wanita yang diteliti. Selain itu, kadar
progesteron plasma-yang merosot setelah abortus-meningkat segera setelah lonjakan
LH.
Perubahan-perubahan hormon ini berlangsung seiring dengan perubahan histologis pada
biopsy endometrium seperti yang diuraikan oleh Boyd dan Holmstrom (1972). Karena itu,
kontrasepsi yang efektif perlu dimulai segera setelah abortus.
· Infeksi
· Infertilitas sekunder
· Kematian
C. Etiologi
1. Faktor janin
2. Faktor maternal
1. Infeksi ;
3. Faktor eksternal
0. Radiasi; dosis 1-10 rad bagi janin pada kehamilan 9 minggu
pertama dapat merusak janin dan dosis yang lebih tinggi dapat
menyebabkan keguguran
1. Obat-obatan; antagonis asam folat, antikoagulan.
Sebaiknya tidak menggunakan obat-obatan sebelum kehamilan 16
minggu, kecuali telah dibuktikan bahwa obat tersebut tidak
membahayakan janin, atau untuk pengobatan penyakit ibu yang
parah.
2. Bahan-bahan kimia lainnya, seperti bahan yang mengandung
arsen dan benzene
3. Alcohol, kafein, tembakau
D. Patogenesis
Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin yang kemudian diikuti
dengan perdarahan ke dalam desidua basalis , lalu tejadi perubahan-perubhan nekrotik pada
daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan per vaginam.
Buah kehamilan terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing
dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu terjadi
pendorongan benda asing itu keluar rongga rahim (ekspulsi). Perlu ditekankan bahwa pada
abortus spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling lama 2 minggu sebelum pendarahan.
Oleh karena itu, pengobatan untuk mempertahankan janin tidak layak digunakan jika telah terjadi
perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari.
Sebelum minggu ke-10 hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan
sebelum minngu ke 10 vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga
telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara minggu 10-12 koridon tumbuh dengan cepat dan
hubungan vili korialis dengan desidua mulai erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa
koridon (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus.
1. Keluarnya kantung koridon pada kehamilan yang sangat dini, meninggalkan sisa desidua
2. Kantong amnion dan isinya (fetus) didorong keluar, meninggalkan koridon dan desidua
3. Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan pendorongan janin keluar tetapi
mempertahankan sisa amnion dan koridon (hanya janin yang dikeluarkan)
4. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong keluar secara utuh. Sebagian besar
abortus termasuk kedalam tiga tipe pertama karena itu koretasi diperlukan untuk
membersihkan uterus dan mencegah perdarahan dan infeksi lebih lanjut.
a. Telur kosong (blighted ovum) yang berbentuk hanya kantong amnion berisi air ketuban
tanpa janin
b. Mola kruenta adalah telur yang dibungkus oleh darah kental. Mola kruenta terbentuk kalau
abortus terjadi dengan lambat laun hingga darah sempat membeku antara desidua dan
korion. Kalau darah beku sudah seperti daging disebut juga mola karnosa.
c. Mola tuberose ialah telur yang memperlihatkan benjolan-benjolan, disebabkan oleh
hematom-hematom antara amnion dan koridon.
d. Nasip janin yang mati bermacam-macam kalau masih sangat kecil dapat diabsorbsi dan
hilang. Kalua janin sudah agak besar cairan amnion diabsorbsi hingga janin tertekan (fetus
compressus).
Kadang-kadang janin menjadi kering dan mengalami mumifikasi hingga menyerupai perkamen
(fetus papyraceus). Keadaan ini lebih sering terdapat pada kehamilan kembar, mungkin juga
pada janin yang sudah agak besar mengalami maserasi.
E. Gambaran Klinis
F. Pemeriksaan
1. Infeksi
a. Anjurkan untuk melapor bila suhu tubuh pasien lebih dari 37,8®C, menggigil, terdapat nyeri
tekan uterus, atau rabas yang berbau busuk.
c. Ntibiotik profilaksis kerap diberikan saat pascaaborsi. Mungkin diperlukan sebagai pengobatan
atau pengobatan ulang sesuai kebutuhan.
3. Perdarahan
a. Aborsi trimester kedua sering menerima oksitosin per IV atau Ergograte per IM atau per oral
untuk mendorong kontraksi dan meminimalkan perdarahan.
b. Perdarhan lebih lama dan leih berat daripada masa menstruasi yang normal.
1) Kurang dari 1% wanita pascaaborsi mengalami perdarahan berat dan kurang dari 1 pada 500-
1000 wanita memerlukan dilatasi dan kuratase serta transfuse darah.
4) Apakah pasien merasa pusing, ingin pingsan, dan sangat lelah (hal ini mungkin akibat
analgesik atau stres)
a. Kaji riwayat kehamilan ektopik, periksa kadar hCG serum dan USG
B. Teknik Aborsi
Kehamilan dapat dilakukan sevara bedah melalui serviks yg telah dibuka atau melalui abdomen
dengan histerotomi atau histerektomi.
Abortus bedah mula-mula dilakukan dengan mendilatasi serviks dan kemudian mengosongkan
uterus dengan mengerok isi uterus ( kuretase tajam ) secara mekanis, melakukan aspirasi
vakum ( kuretase isap), atau keduanya.teknik untuk vakum manual dini baru-baru ini di ulas oleh
Maclsaac dan jones (2000). Kemungkinan terjadinya penyulitan- termasuk poriferasi uterus,
laserasi serviks, perdarahan, pengeluaran janin dan plasenta yg tidak lengkap, dan infeksi
meningkat setalah trimester pertama . atas alasan ini , kuretase atau aspirasi vakum seyogyanya
dilakukan sebelum minggu ke-14.
Untuk gestasi di atas 16 minggu, dilakukan dilatasi serviks lebar di ikuti oleh destruksi dan
evakuasi (D&E). tindakan ini berupa dilatasi serviks lebar diikuti oleh destruksi dan evakuasi
mekanis bagian-bagian janin. Setalha janin seluruhnya dikeluarkan, digunakan kuret vakum
berlubang besar untuk mengeluarakan plasenta dan jaringan yg tersisa. Dilatasi dn ekstraksi
(D&X) serupa dengan D&E, kecuali bahwa pada D&X bagian janin pertama kali diekstraksi
melalui serviks yg telah membuka untuk mempermudah tindakan.
Tanpa adanya penyakit sistemik pada ibu , kehamilan biasanya di akhiri dengan kuratase atau
evakuasi/ ekstraksi tanpa rawat inap. Apabila abortus tidak dilakukan dilingkup rumah sakit ,
perlu tersedia fasilatas dan kemampuan untuk resusitasi jantung paru yg efektif dan akses
segera kerumah sakit.
Pelaksanaan :
Bibir serviks anterior dijepit dengan tenakulum ergerigi. Anestetik local misalnya lidokain 1 atau 2
persen sebanyak 5 ml disuntikkan secara bilateral ke dalam serviks. Cara lain, digunakan bllok
paraservikal.
Uterus disonde dengan hati-hati untuk mengindentifikasi status os internum dan untuk
memastikan ukuran dan posisi uterus. Servik diperlebar lebih lanjut dengan dilator Hergar atau
Pratt sampai kuret siap aspirator vakum dengan ukuran diameter yang memadai dapat
dimaksudkan. Jari keempat dan kelima tangan yang memasukkan dilator harus didorong
melewati os internum. Hal ini merupakan pengamanan tambahan agar tidak terjadi perforasi
uterus.
Kemudian digunakan karetase isap untuk mengasirasi produk kehamilan. Asvirator vakum
dierakkan di atas permukaan secara sistematis agar seluruh anggota uterus tercakup. Apabila
hal ini telah dilakukan dan tidak ada lagi jaringan yang terhisap, dilakukan kuretase tajam
dengan hati-hati apabila diperkirakan masih terdapat potingan janin atau plasenta. Kuret tajam
lebih efektik, dan bahaya yang ditimbulkan seharusnya tidak lebih besar dari pada yang
ditimbulkan oleh instrument tumpul. Perforasi uterus jarang terjadi pada saat kuret digerakkan ke
bawah, tetapi dapat terjadi saat memasukkan setiap instrument ke dalam uterus. Manipulasi
harus dilakukan hanya dengan ibu jari dan telunjuk.
Pada kasus-kasus yang telah melewati usia gestasi 16 minggu, janin diektraksi, biasanya dalam
potogan-potogan, dengan menggunkan forseps Sopher atau yang serupa dalam instrument
destruktif lainnya. Abortus tahap lanjut ini tidak menyenangkan bagi dokter dan paramedic dan
lebih berbahaya bagi wanita yang bersangkutan, risiko perforasi dan laserasi uterus meningkat
akibat janin yang lebih besar dan uterus yang lebih tipis.
Perlu ditekankan kembali bahwa morbiditas, segera atau belakangan, dapat di jaga minimal
apabila :
1. Servik telah cukup membuka tanpa trauma sebelum mengupayakan pengeluaran janin gestasi
Trauma akibat dilatasi mekanik dapat dikurangi dengan menggunakan suatu alat secara
perlahan membuka serviks. Alat ini menarik air dari jaringan serviks . alat ini dibuat dari tangkai
laminaria digitata atau laminaria japonica,suatu ganggang laut coklat. Tangkai dipotong, dikupas,
dibentuk, dikeringkan, disterilisasikan, dan dikemas sesuai ukuran ( kecil, diameter 3 samapi 5
mm; sedang, 6sampai 8 mm; dan besar 8 samapi 10 mm). laminaria yg higroskopis kuat
diperkirakan bekerja dengan cara manarik air dari kompleks proteoglikan, sehingga kompleks ini
mengalami penguraian dan menyebabkan serviks melunak dan membuka.
Dilator higroskopik sintetik juga pernah digunakan. Lamicel adalah suatu pons polimer polivinil
alcohol yg diberi magnesium sulfat anhidrose ( nicolaides dkk, 1983 ). Stornes dan Rasmussen
(1991) melaporkan bahwa walaupun batang lamicel dan pasarium gemeprost efektif untuk
dilatasi serviks sebagai persiapan untuk abortus trimester pertama, dilatasi lebih lanjut secara
bermakna lebih mudah pada pemakaian gemeprost.
Dilapan terbuat dari polimer hidrogel, dan walaupun pernah digunakan, alat ini sekarang tidak
lagi tersedia di amerika serikat. Alat ini dklaim mapu lebih cepat membuka serviks daripada
dilator yg terbuat dari ganggang laut tradisional ( Blumenthal, 1988; chvapil dkk, 1982). Patsner
hari yg sama berhasil menyiapkan serviks untuk dilatasi dan evakuasi pada abortus trimester
kedua. Hern (1994) membandingkan dilapan dengan laminaria pada 1001 wanita sebagai dilator
satu malam. Walaupun keduanya sama efektif sebagai dilator, wanita dilapan dua kali lebih kecil
kemungkinannya mengalami masalah dala dilatasi serviks atau masalah akibat kurangnya
dilatasi atau disintegrasi alat daripada wanita yg menggunakan preparat ganggang laut.
Dilemma menarik muncul apabila wanita yg telah dipasangi dilator osmotic semalam sebagai
persiapan abortus elektif kemudian mengubah keinginannya . di antara tujuh kehamilan trimester
pertama dan 14 trimester kedua yg mengalami keadaan ini, dilator dikeluarkan dan 14
mengalami kehamilan aterm, dua mengalami pelahiran praterm, dan satu mengalami abortus
spontan 2 minggu kemudian ( Schneider dkk,1991). Tida ada yg mengalami morbiditas infeksi,
termasuk tiga wanita yg biakan serviks nya positif untuk klamidia dan tidak mendapat
pengobatan.
c. Perforasi Uterus
Perforasi uterus secara tidak sengaja dapat terjadi saat sondaseuterus, dilatasi, atau kuretase.
Insiden perforasi uterus akibat abortus evektif bervariasi. Dua penentu penting terjadinyapenyulit
ini adalah keterampilan dokter dan posisi uterus, kemungkinan perforasi meningkat apabila
uterus terletak retrofleksi. Preforasi uterus tidak disengaja ini mudah dikenali karena intrumen
masuk lebih jauh tanpa tahanan seharusnya. Observasi saja mungkin memadai apabila perforasi
uterus kecil, seperti yang ditimbulkan oleh sonde uterus atau dilator kedil.
Kerusakan intraabdomen yang sangat besar dapat ditimbulakan oleh instrument yang melewati
sustu defek uterus dan masuk ke dalam rongga peritoneum. Hal ini terutama bralaku untuk kuret
isap dan tajam. Dalam hal ini, tindakan yang paling aman dilakukan adalah laparotomi untuk
memeriksa isi abdomen, terutama usus. Cedera usus yang tidak tredeteksi menyebabkan
peritonitis berat dan sepsis (Kambiss dkk,2000). Kami juga pernah merawat seorang wanita
yang dirujuk ke kami setelah sebagian besar ureter kanannya dikeluarkan dalam uapaya abortus
menggunakan kuret isap. Kasus-kasus serupa pernah dilaporkan oleh penulis lain (Keegan dan
Forkwitz, 1982).
Sejumlah wanita mungkin mengalami serviks inkompeten atau sinikie uterus setelah dilatasi dan
kuretase. Kemungkinan terjadinya penylit-penyulit ini harus dijelaskan kepada mereka yang
menginginkan abortus. Secara umum, risiko keduanya kecil. Sayangnya, abortus pada tahap
kehamilan lebih lanjut dengan kuretase dapat memicu koagolasi intravascular difus mendadak
yang berat dan dapat mematikan.
d. Spirasi Haid
Aspirasi rongga endometrium menggunkan sebuah kanula Karman 5 atau 6 mm fleksibel dan
tabuk suntik, dalam 1 sampai 3 minggu setelah keterlambatan haid disebut juga sebagai
ekstraksi haid, induksi haid, haid instant, abortus traumatic, dan mini-abortus. Masalah-masalah
yang dapat timbul meliput wanita yang bersangkutan tidak sedang hamil, zigot yang
berimplantasi lolos tidak terkuret, kegagaln mendeteksi kehamilan ektopik, dan, walaupun jarang
perforasi uterus.
Uji kehamilan yang positif akan menghilangkan prosedur sia-sia pada wanita tidak hamil yang
terlambat haid karena sebab-sebab lain. Maclsaac dan Jones (2000) menganjurkan teknik
berikut untuk mengidenfikasi plasenta dalam aspirat. Pertama, isi tabung suntik diletakkan ke
dalam sebuah wadah plastic bening dan diperiksa dengan cahaya dari belakang. Gambaran air
keran untuk mencucu jaringan yang diletakkan di sebuah ayakan. Jaringan direndam dalam air
jernih. Plasenta secra makroskopis adalah jaringan yang lunak, berbuly halus, dan berjonjot.
Pemeriksaan dipermudah dengan lensa pembesaran atau kulposkop. Apbila ada
keraguanapakah jaringan tersebut plasenta atau desisua, pemeriksaan mikroskopis terhaap
sepotong kecil jaringan dibawah kaca penutup dan kontras terang akan dapat membedakan vilus
plasenta akan tanpak jelas.
e. Laparotomi
Pada beberapa kasus, histerotomi atau histerektomi abdomen untuk abortus lebih di sukai
daripada keretase atau medis. Apabila terdapat pengakit yang cukup signifikan pada utereus,
histerektomi mungkin merupakan terapi yang ideal. Apabila akan dilakukansterelisasi mungkin
diindikasikan histerontomi disertai ligasi tuba atau histeraktomi. Kadang-kadang harus dilakukan
histeretomi atau histerktmi karena induksi medis kehamilan trimester kedua gagal.
Sepanjang sejarah, banyak bahan alami pernah dicoba sebagai abosrtifasien oleh wanita yang
berupaya keras untuk tidak hamil. Umumnya yang terjadi bukan abortus tetapi penyakit sistemik
serius atau bahkan kematian. Bahkan saat ini, hanya terdapat sedikit obat abortisifasien yang
efektif dan aman.
a. Oksitosin
Penberian oksitosi dosis tinggi dalam sedikit cairan intravena dapat menginduksi abortus pada
kehamilan trimester kedua. Salah satu regimen yang kami buktikan efektif adalah campuran 10
ampul oksitosin 1 ml (10 IU/ml) ke dalam 1000 ml larutan Ringer laktat. Larutan ini mengandung
100 mU oksitosin per ml. infuse intravena dimulai dengan kecepatan 0,5 ml/mnt (50mU/mnt).
Kecepatan infuse ditambah setiap 15 sampai 30 menit sampai maksimum 2 ml/mnt
(200mU/mnt). Apabila pada kecepatan infuse ini belum terjadi kontraksi yang efektif, konsentrasi
oksitosin di dalam cairan infuse ditingkatkan. Sebaiknya larutan yang tealh diinfuskan dibuang
sebagian dan disisakan 500 ml, yang mengandung konsentrasi 100 mU oksitosin per ml. ke
dalam 500 ml ini ditambah 5 ampul oksirosin. Larutan yang terbentuk sekarang mengandung
oksitosin 200 mU/ml, dan kecepatan infuse dikurangi 1 ml/mnt (200 mU/mnt). Kecepatan infuse
kembali ditingkatkan secara bertahap sampai mencapi 2 ml/mnt (400mU/mnt) dan kecepatan ini
dibiarkan selama 4 atau 5 jam, atau sampai janin dikeluarkan.
Regimen-regimen serupa juga dilaporkan sangat efektif oleh Winkler (1991) dan Owen (1992)
dkk. Dalam suatu perbandingan retropektif antara supositoria vagina prostaglandin E2 (PGE2)
dan oksitosin dosis tinggi, Winkler dkk. (1991) melaporkan angka keberhasilan masing-masing
93 persen dan 91 permen. Rata-rata durasi persalinan adalah 13,1 jam pada pemberian PGE2
dan 8,2 jam pada perberian oksitosin. Rata-rata PGE2 adalah 65 mg dan oksitosin 200 unit. Efek
samping terbatas pada kelompok PGE2, berupa mual (46 persen), muntah ( 37 persen ), demam
(64 persen), dan diare (20 persen).
Dalam uji klinis teracak selanjutnya, Owen dkk. (1992) menyimpulkan bahwan oksitosin pekat
merupakan alternative yang memuaskan untuk prostaglandin E2 bagi abostus midtimester.
Kelompok peneliti yang sama juga membandingkan oksitosin pekat plus prostaglandin dosis
rendah dengan supositoria vagina prostaglandin E2 untuk terminasi trimester kedua (Owen dan
Hauth,1996). Wanita dalam kelompok khususnya prostaglandin mendapat supositoria vagina
PGE2 20 mg setiap 4 jam, dan mereka yang berbeda dalam kelompok terapi kombinasi
mendapat supositoria PGE2 10 mg setiap 6 jam. Angka keberhasilan 81 vs 89 persen, tetapi
efek samping secara bermakna lebih tinggi pada kelompok yang hanya mendapat supositoria
vagina dengan regimen okritosin pekat plus supotoria PGE2 10 mg setiap 6 jam (Owen dan
Hauth, 1990). Mereka menyimpulkan bahwa tablet vagina misoprostol dalam dosis ini itdak
memuaskan untuk terminasi kehamilan trimester kedua.
Pada pengunaan oksitosin pekat, frekuensi dan intensitas kontraksi uterus harus diperhatikan
dengan cermat, karena setiap peningkatan kecepatan infus akan sangat meningkatkan jumlah
oksitosin yang disalurkan. Apabila induksi awal tidak berhasil, induksi serial setiap hari selama 2
samapai 3 hari hamper selalu berhasil. Kemungkinan berhasil induksi dengan oksitosin dosis
tinggi sangat diperbesar oleh pemakaian dilator higroskopik seperti batang laminaria yang di
masukkan malam sebelumnya.
Agar terjadi abortus pada trimester kedua, dapat dilakukan penyuntikan 20 sampai 25 persen
salin atau urea 30 samapi 40 persen ke dalam kantung amnion untuk merangsang kontraksi
uterus dan pembukaan serviks. Cara ini jarang digunakan di Amerika Serikat dan menurut
American College of Obstetricians Gynecologi (1987), cara ini telah digantikan oleh dilatasi dan
evakuasi. Manfaat dari teknik dilatasi atau evakuasi antara lain adalah kecepatan, biaya lebih
murah dan lebih panjang menyebabkan nyeri dan trauma emosi.
Dalam suatu studi dari Thailand, di antara 125 kehamilan yang menjalani terminasi midtrimester
menggunakan salin hipertnik, rata-rata waktu dari induksi samapai pelahiran adalah 31,7 jam (
Herabutnya dan O-Prasertsawat, 1994). Retensi plasenta terjadi pada 63 persen dan periksia
pada 39 persen. Dalam suatu penelitian dari India, Allahbadia (1992) melaporkan angka
keberhasilan 96 persen untuk kehamilan yang usianya berkisar dari 14 sampai 20 minggu
apabila digunakan 200 ml salin 20 persen. Angka ini cukup baik apabila dibandingkan dengan
angka kebehasilanPGF2a intramuscular yang 90 persen dan penetesan larutan povidon-iodin 5
persen.
Salin hipertonik dapat menimbulkan penyulit serius, termasuk kematian (Jasnosz dkk 1993).
Penyulit lain mencakup:
2) Gagal jantung.
3) Syok septic
4) Peritonitis.
5) Perdarahan.
7) Intosikasi air.
c. Urea Hiperosmotik
Urea 30 sampai 40 persen yang dilarutkan dalam larutan dektrosa 5 persen, disuntikan ke dalam
kantung amniom, diikuti oleh ksitosin intravena dengan kecepatan sekitar 400 mU/mnt. Urean
plu oksitsin adala abortifasien yang sama efektifnya seperti salin hipertonik, tetapi lebih kecil
kemungkinan untuk menimbulkan toksisitas. Urea plus prostaglandin F2a yang disuntikkan ke
dalam kantung amnion juga sama efektifnya.
Teknik prostaglandin dapat bekerja secara efektif pada serviks dan uterus apabila :
1. Dimasukkan ke vagina sebagai supositoria atau pesarium tepat di dekat serviks.
2. Diberikan sebagai gel melalui sebuah kateter ke dalam kanalis servikalis dan bagian bawah
uterus secara ektraovular.
Chirtin-Maite dkk (2000) menyajikan perkembangan terbaru tentang terminasi kehamilan secara
medis. Mereka mengulas berbagai studi mengenai efektivitas dan efek samping prostaglandin
dan metotreksat yang menggunakan secara tersendiri atau dalam berbagai kombinasi. Mereak
mengupas efektifitas dan efek samping mifepriston dan misoprostal, mifepriston dengan
prostaglandin lain, dan metotrektat dengan misprostol. Mereka menyimpulkan bahwa regimen-
regimen ini memiliki angka keberhasilan tinggi untuk mengatasi dini. Pemberian parenteral
mengurangi secra bermakna-tetapi tidak menghilangkan-efek sistemik yang tidak
menyenangkan, terutama di saluran cerna, yang menyertai pemberian peroral. Sering diperlukan
pemberian prostaglandin berulang dan pemasangan dilator hogroskopiksecara bersamaan.
Efektivitas berbagai regimen tetapi berkisar dari 86 sampai 95 persen. Intervak sejak induksi
samapai melahirkan berkisar dari 4 jam sampai lebih dari 48 jam. Dalam sebuah penelitian
terhadap 932 terminasi trimester kedua dengan gemeprost, median interval dari induksi sampai
abortus adalah 18 jam pada nulipara dan 15 jam pada wanita para (Thong dkk, 1992).
Pada kehamilan trimester pertama dan kedua awal, supositoria vagina prostaglandin yang
dimasukkan sampai serviks juga digunakan dalam dosis yang lebi rendah untuk mematangkan
atau melunakkan serviks sebelum kuretase atau sebagi ajuvab pada terminasi dengan mifepston
(Healy dan Evabs,1994). Keamanan induksi abortus pada kehamilan tahap lanjut wanita dengan
riwayat seksi sesarea dilaporkan oleh Boulot dkk, (1993). Pada rata-rata usia gestasi hamper 24
minggu, evakuasi pervaguanam dicapai pada 20 sampai 30 wanita. Pada tiga kasus yang gagal
dilakukan histeretomi dan dijumpai satu kasus rupture yang berhasil diperbaiki. Chapman dkk.
(1996) melaporkan angka rupture uteri sebesar 3,8 persen pada 79 wanita yang menjalani
terminasi dengan induksi pada rata-rata usia kehamilan 21 minggu.
Miferiston (RU 486). Anti progesteon ral telah digunakan untuk menimbulkan abortus pada
gestasi dini baik tersendiri atau dikombinasikan dengan prostaglandin oral (Baird dkk.,2000;el-
Refaey dkk.,1995;Newhall dan Winikoff, 2000; World Health Organization Task Force 1994).
Efektivitas obat ini sebagai abortifasien didasarkan afinitas reseptornya yang tinggi terhadap
temapt pengikatan progesterone (Healy dkk, 1983). RU 486 dosis tunggal 600 mg yang
diberikan sebelum gestasi 6 minggu menyebabkan abortus pada 85 persen kasus. Pada
kehamilan trimester pertama yang tidak tumbuh, mifepriston dosis tunggal 600 mg memicu
ekspulsi pada 82 persen wanita (Lelaider dkk, 1993).
Ulmann dkk (1992) melaporkan hasil-hasil penelitian mereka terhadap lebih dari 16.000 wanita
yang mendapat RU 486 setelah analog prostaglandin untuk terminasi medis. Angka keberhasilan
keseluruhan adalah 95 persen, tanpa perbedaan mengenai sifat atau dosis prostaglandin yang
digunakan. Median durasi perdarahan adalah 8 hari dan pada 90 persen wanita durasi 12 hari
atau kurang. Perdarahan yang mengahruskan deilakukannya aspirasi vakum atau kuret terjadi
pada 0,8 persen kasus. Tranfusi diperlukan pada 1 dari 1000 wanita.
RU 486 juga sangat efektif untuk kontrasepsi pascakoitus darurat apabila diberikan 72 jam
(Glasier dkk, 1993). Setelah 72 jam, obat ini semakin kurang efektif. Penambahan berbagai
prostaglandin oral, pervagianal, atau suntikan ke regimen ini menhansilkan angka abortus
sebesar 95 persen atau lebih.
Efek samping RU 486 adalah mual, muntah, dank ram pencernaan. Risiko utama yang terkait
adalah perdarahab akibat ekspulsi kehamilan parsial dan akibat pedarahan intrabdomen dari
kehamilan ektopik dini yang tidak diperkiraknsebelumnya. Durasi perdarahan per vagianam
adalah sekitar 2 minggu setelah RU 486 saja dan sekitar 1 sampai 2 minggu setelah RU 486
plus prostaglandin.
e. Prostan
A. Abortus Iminens
Terjadinya pendarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan atau tanpa
kontraksi uterus yang nyata dengan hasil konsepsi dalam uterus dan tanpa adanya dilatasi
servik uteri (Sarwono, 1996, hal. 261).
Didiagnosis bila seorang wanita hamil <20 minggu mengeluarkan darah sedikit pervaginam.
Pendarahan dapat berlanjut beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit nyeri
perut bawah atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi. Setengah dari abortus iminens
akan menjadi abortus komplet atau inkomplet, sedangkan pada sisanya kehamilan akan terus
berlangsung. Beberapa kepustakaaan menyebutkan adanya risiko untuk terjadinya prematuritas
atau gangguan pertumbuhan dalam rahim.
Perdarahan yang sedikit pada hamil muda mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain, misalnya
placental sign ialah perdarahan dari pembuluh-pembuluh darah sekitar plasenta.
Gejala
Yang perama kali mucul adalah biasanya perdarahan dan beberapa jam sampai beberapa hari
kemudian terjadi nyeri kram perut. Nyeri abortus mungkin terasa di anterior dan jelas bersifat
ritmis, nyeri dapat berupa nyeri punggung bawah yang menetap di sertai perasaan tertekan di
panggul atau nyeri tumpul di garis tengah suprapubis. Apapun bentuk nyeri nya prognosis
berkelanjutan, kehamilan apabila terjadi opendarahan yang di sertai nyeri adaalh
buruk.peningkatan kematian perinatal di jumpai pada wanita yang kehamilannya mengalami
penyulit abortus iminiens pada awal gestasi.
- perdarahan sedikit-sedikit
- nyeri memiliki
1. Anamnesis perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak ada atau ringan.
2. Pemeriksaan dalam fluksus ada (sedikit), ostium arteri tertutup, dan besar uterus sesuai
dengan umur kehamilan
Penatalaksanaan
· Bila kehamilan utuh, ada tanda kehidupan janin, dapat dilakukan bed rest selama 3x24 jam dan
pemberian preparat progesteron bila ada indikasi (bila kadar <5-10 nanogram).
· Istirahat baring agar aliran darah ke uerus bertambah dan rangsang mekanik berkurang
· Periksa denyut nadi dan suhu badan dua kali sehari bila pasien tidak panas dan tiap empat jam
bila pasien panas
· Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, ungkin janin akan mati, pemeriksaan USG
untuk menentukan apakah janin masih hidup
· Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3 x 30 mg. Berikan preparat hematinik misalnya
sulfas ferosus 600 / 1.000 mg
· Bersihkan vulva minimal dua kali sehari dengan cairan antiseptik untuk mencegah infeksi
terutama saat masih mengeluarkan cairan coklat
B. Abortus Inkomplet
Abortus incompletus adalah perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagian dari hasil
konsepsi telah keluar dari cavum uteri melalui kanalis servikalis.
Abortus incompletus adalah hanya sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan dan yang
tertinggal adalah desidua / plasenta.(Sinopsis Obstetri Jilid 1, hal : 212)
Abortus incompletus adalah hanya sebagian dari buah kehamilan telah dilahirkan tetapi
sebagian (biasanya jaringan plasenta) masih tertinggal di dalam rahim.(Obstetri Patologi, hal : 8)
Abortus incompletus adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal di dalam uterus.(Ilmu Kebidanan, hal : 307)
Abortus inkomplet didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah lahir atau teraba pada
vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan plasenta). Perdarahan biasanya terus
berlangsung, banyak, dan membahayakan ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada
benda didalam rahim yang dianggap sebagai benda asing (corpus alineum). Oleh karena itu,
uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu
merasakan nyeri.
Pada beberapa kasus pendarahan tidak banyak dan bila dibiarkan serviks akan menutup
kembali.
Tanda Gejala
Pada abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 10 minggu , janin dan plasenta biasanya keluar
bersama-sama , tetapi setelah waktu ini keluar secara terpisah. Apabila plasenta seluruhnya
atau sebagian tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang merupakan
tanda utama abortus inkomplet.
- Janin sudah keluar tetapi perdarahan masih terus berlangsung karena masih ada plasenta
yang tertinggal.
- Serviks tetap membuka tetapi bila dibiarkan lama kelamaan akan menutup.
- Amenorhea
- Mules-mules
- Pada abortus yang sudah lama terjadi atau pada abortus provokatus yang dilakukan oleh orang
yang tidak ahli, sering terjdi infeksi.
- Pada VT untuk abortus yang baru terjadi di dapati serviks terbuka, kadang-kadang dapat diraba
sisa-sisa jaringan dalam kanalis servikalis atau kavum uteri.
- Uteri berukuran lebih kecil dari seharusnya dan ada pula yang seusia kehamilan.
Dasar Diagnosis
1. Anamnesis perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri/kontraksi rahim ada dan bila
pendarahan banyak dapat terjadi syok.
2. Pemeriksaan dalam ; ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan buah kehamilan.
Penatalaksanaan
Pada kasus abortus inkomplet biasanya tidak perlu melakukan dilatasi serviks sebelum kuretase.
Pada banyak kasus, jaringan plasenta yg tertinggal sekedar menempel di kanalis servikalis dan
dapat di keluarkan dari os eksterna yg terpapar dengan forceps cincin atau ovum. Wanita
dengan tahap kehamilan lebih lanjut, atau yg mengalami perdarahan besar , harus di rawat inap
dan jaringan yg tertinggal segera dikeluarkan.
· Temukan besarnya uterus (taksir usia gestasi) kenali dan atasi setiap komplikasi (perdarahan
hebat, syok, infeksi / sepsis)
· Hasil konsepsi yang terperangkap pada serviks yang disertai perdarahan hingga ukuran
sedang, dapat dikeluarkan secara digital atau cunam ovum, setelah itu evaluasi perdarahan.
· Bila perdarahan berkausi, beri ergometrin 0,2 mg IM atau misoprostol 400 mg per oral.
· Bila perdarahan terus berlangsung, evakuasi sisa hasil konsepsi dengan AVM atau DDK
(pilihan tergantung dari usia / gestasi, pembukaan serviks dan keberadaan bagian janin).
· Bila tidak ada tanda-tanda infeksi beri antibiotik provilaksis (acupisillin 3x500 mg selama 5 hari,
atau doksisiklin 100 mg)
· Bila terjadi infeksi, beri ampisilin 1 gr dan metronidazol 500 mg setiap 8 jam.
· Bila terjadi perdarahan hebat dan usia gestasi di bawah 16 minggu segera lakukan evakuasi
dengan AVM.
· Bila pasien tampak anemia, berikan sulfat ferosus 600 mg perhari selama 2 minggu (anemi
sedang) atau transfusi darah.
· Setelah syok diatasi lakukan gerakan dengan karet tajam lalu suntikkan erginetrium 0,2 mg IM.
· Bila janin sudah keluar tetapi plasenta belum terlepas, lakukan pelepasan plasenta secara
manual.
Pada beberapa kasus, abortus incompletus erat kaitannya dengan abortus tidak acuan. Oleh
sebab itu, perhatikan hal-hal berikut dibawah ini :
a. Pastikan tidak ada komplikasi berat, perforasi uterus atau oedema intra abdomen (mual,
muntah, nyeri panggul, demam, perut kembung, nyeri perut bagian bawah, duktus perut tegang,
nyeri tulang)
b. Berdasarkan ramuan tradisional, jamu bahan kautik, kayu atau benda-benda lainnya dari rasio
genetalia.
c. Berikan booster tetanus toksoid 0,5 ml bila tampak luka kotor pada dinding vagina atau kanalis
servikalis dan pasien pernah di imunisasi
d. Bila riwayat pemberian imunisasi tidak jelas, berikan Anti Tetanus Serum (ATS) 1500 unit mm
diikuti dengan pemberian terutama 0.5 ml setelah 4 minggu.
C. Abortus Insipiens
Abortus Insipiens adalah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus.
Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kual perdarahan bertambah. Pengeluaran
hasil konsepsi dapat dilaksanakan dengan kuret vakum atau dengan cunam ovum, disusul
dengan kerokan.
Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan perdarahan banyak, kadang-
kadang keluar gumpalan darah yang disertai nyeri karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan
adanya dilatasi serviks sehinnga jari pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-
kadang perdarahan dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan yang tertinggal dapat
menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus segera dilakukan.
Perdarahan saat awal kehamilan di mana walaupun belum ada jaringan yang keluar namun
mulut rahim sudah terbuka. Pada keadaan seperti ini, kehamilan ini tidak dapat dipertahankan.
Jaringan di dalam rahim harus dibersihkan, baik dengan pemberian obat ataupun dengan cara
kuret. Perdarahan tersebut ringan hingga sedang pada kehamilan muda dimana hasil konsepsi
masih berada dalam kavum uteri kondisi ini menunjukkan proses abortus sedang berlangsung
dan akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit selain itu Abortus Insipien. Ialah buah
kehamilan yang mati di dalam kandungan-lepas dari tempatnya- tetapi belum dikeluarkan.
Hampir serupa dengan itu, ada yang dikenal missed Abortion, yakni buah kehamilan mati di
dalam kandungan tetapi belum ada tanda-tanda dikeluarkan.
Janin biasanya sudah mati dan mempertahankan kehamilan pada keadaan ini merupakan
indikasi kontra.
Tanda Gejala
Dasar Diagnosis
2. Pemeriksaan dalam ; ostium terbuka buah kehamilan masih dalam rahim, dan ketuban utuh
(mungkin menonjol).
Penatalaksanaan
1. Jika usia kehamilan kurang 16 minggu, lakukan evaluasi uterus dengan aspirasi vakum
manual. Jika evaluasi tidak dapat, segera lakukan:
a. Berikan ergomefiin 0,2 mg intramuskuler (dapat diulang setelah 15 menit bila perlu) atau
misoprostol 400 mcg per oral (dapat diulang sesudah 4 jam bila perlu).
b. Jika perlu, lakukan infus 20 unit oksitosin dalam 500 ml cairan intravena (garam fisiologik atau
larutan ringer laktat dengan kecepatan 40 tetes permenit untuk membantu ekspulsi hasil
konsepsi.
D. Abortus Febrilis
Manifestasi klinis ditandai dengan adanya demam, lokia yang berbau busuk, nyeri diatas simfisis
atau diperut bawah, abdomen kembung atau tegang sebagai tanda peritonitis.
Abortus ini dapat menimbulkan syok endotoksin. Keadaan hipotermi pada umumnya
menunjukkan keadaan sepsis.
Tanda Gejala
Dasar Diagnosis
2. Pemeriksaan dalam ; ostium uteri umumnya terbuka dan teraba sisa jaringan, rahim maupun
adneksa nyeri pada perabaan dan fluksus berbau.
Penatalaksanaan
1. Perbaiki keadaan umum (seperti infuse, tranfusi, dan atasi syok septic bila ada)
2. Posisi fowler
3. Antibiotik yang adekuat (untuk bakteri aerob dan anaerob)
4. Uterotonik
5. Pemberian antibiotik selama 24 jam intavena, dilanjutkan dengan evakuasi digital, atau kuret
tumpul.
E. Abortus Kompletus
Abortus kompletus ditandai dengan pengeluaran lengkap seluruh hasil konsepsi yang diikuti
dengan sedikit perdarahan, dan nyeri. Tatalaksana yang dilakukan adalah peningkatan keadaan
umum ibu.
Kalau telur lahir dengan lengkap, abortus disebut komplet. Pada keadaan ini kuretasi tidak perlu
dilakukan.
Pada setiap abortus penting untuk selalu memeriksa jaringan yang dilahirkan apakah komplet
atau tidak dan untuk membedakan dengan kelainan tropoblas.
Pada abortus kompletus, perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan
selambat-selambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena dalam masa ini
luka rahim sudah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan segera menutup
kembali.
Tanda Gejala
Hal ini didefinisikan sebagai retansi produk konsepsi yang telah meninggal in utero selama
beberapa minggu . alasan penentuan periode waktu yang pasti masih belum jelas, dan hal
tersebut tidak memiliki manfaat klinis. Pada kasus yg tipikal, kehamilan awal berlangsung
normal, dengan amenore, mual dan muntah, perubahan payudara , dan pertumbuhan uterus.
Apabila buah kehamilan yang telah mati tertahan dalam rahim selama 8 minggu atau lebih.
Dengan pemeriksaan USG tampak janin tidak utuh, dan membentuk gambaran kompleks,
diagnosis USG tidak selalu harus bertahan >8 minggu.
Kalau janin mati pada kehamilan yang masih muda sekali, janin akan lebih cepat dikeluarkan.
Sebaliknya, kalau kematian janin terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut, retensi janin akan
lebih lama.
Tanda Gejala
Setelah janin meninggal, mungkin terjadi perdarahan per vaginam atau gejala lain yang
mengisyaratkan abortus iminens, mungin juga tidak. Untuk suatu waktu, uterus tampaknya tidak
mengalami perubahan ukuran, tetapi perubahan-perubahan pada payudara biasanya kembali ke
semula. Wanita yg bersangkutan kemungkinan besar mengalami penurunan berat beberapa
kilogram. Setalah itu, menjadi jelas bahwa uterus bukan saja bertambah besar tetapi malah
mengecil. Banyak wanita yg tidak memperhatikan gejala selama periode ini kecuali amenore
menetap.apabila missed abortion tersebut berakhir secara spontan, proses ekspulsi sama
seperti abortus yg lain. Apabila konseptus tertahan beberapa minggu setelah kematiannya,
konseptus tersenut akan menjadi kantong kisut yg mengandung janin yg mengalami maserasi.
Dasar Diagosis
2. Pemeriksaan obstetric ; fundus uteri lebih kecil dari umur kehamilan dan bunyi jantung janin
tidak ada.
Egarter dkk, (1995) melaporkan bahwa supositoria vagina gemeprost (prostaglandin E1) efektif
untuk terminasi missed abortion trimester pertama pada 77% wanita.
2. Evakuasi dengan kuret, bila umur kehamilan >12 minggu didahului dengan pemasangan
dilator
G. Abortus Habitualis
Bila abortus spontan terjadi 3 kali berturut-turut atau lebih. Kejadiannya jauh lebih sedikit dari
pada abortus spontan (kurang dari 1%), lebih sering terjadi pada primi tua. Etiolaogi abortus ini
adalah kelainan genetic(kromosomal), kelainan hormonal (imunologic), dan kelainan anatomis
2. Mekanis
a. Pemasangn batang lamina atau dilapan akan membuka serviks secara perlahan dan tidak
traumatis sebelum kemudian dilakukan evakuasi dengan kuter tajam atau vakum
b. Dilatasi serviks dilanjutkan dengan evakuasi dipakai lator hegar dilanjutkan dengan kuretasi
c. Histerotomi
I. Penyulit Abortus
Penyulit yang disebabkan oleh abortus kriminalis (walaupun dapt juga terjadi pada abortus
spontan) berupa :
2. Kerusakan serviks
3. Infeksi kadang-kadang sampai terjadi sepsis, infeksi dari tuba dapat menimbulkan
kemandulan
4. Perforasi
5. Faal ginjal rusak, disebabkan oleh infeksi dan syok pada pasien dengan abortus diuresis
selalu harus diperhatikan pengobatannya ialah dengan pembatasan cairan dan mengatasi
infeksi.
6. Syok bacterial terjadi syok berat, yang disebabkan oleh toksin-toksin. Pengobatannya ialah
dengan pemberian antibiotik, cairan kortikosteroid, dan heparin.
BAB II
A. Pengkajian
Biodata mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama, umur, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, perkawinan ke- , lamanya perkawinan dan
alamat
1. Keluhan utama Kaji adanya menstruasi tidak lancar dan adanya perdarahan pervaginam
berulang.
a. Riwayat kesehatan sekarang yaitu keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada
saat pengkajian seperti perdarahan pervaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih
besar dari usia kehamilan.
Riwayat pembedahan Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami oleh klien, jenis
pembedahan , kapan , oleh siapa dan di mana tindakan tersebut berlangsung.
c. Riwayat penyakit yang pernah dialami Kaji adanya penyakit yang pernah dialami oleh klien
misalnya DM , jantung , hipertensi , masalah ginekologiurinary , penyakit endokrin , dan
penyakit-penyakit lainnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga Yang dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut
dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam
keluarga.
f. Riwayat kehamilan , persalinan dan nifas Kaji bagaimana keadaan anak klien mulai dari dalam
kandungan hingga saat ini, bagaimana keadaan kesehatan anaknya.
g. Riwayat seksual Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi yang digunakan serta
keluahn yang menyertainya.
h. Riwayat pemakaian obat Kaji riwayat pemakaian obat-obatankontrasepsi oral, obat digitalis
dan jenis obat lainnya.
3. Pola aktivitas sehari-hari Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit, eliminasi (BAB dan BAK),
istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat sakit.
a. Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas pada penglihatan
tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
Hal yang diinspeksi antara lain
Mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan warna, laserasi, lesi terhadap drainase, pola
pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan, pergerakan dan postur, penggunaan
ekstremitas, adanya keterbatasan fifik, dan seterusnya
b. Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh dengan jari.
Sentuhan merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu, derajat kelembaban dan tekstur
kulit atau menentukan kekuatan kontraksi uterus.
Tekanan menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema, memperhatikan posisi janin atau
mencubit kulit untuk mengamati turgor.
Pemeriksaan dalam menentukan tegangantonus otot atau respon nyeri yang abnormal
c. Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada permukaan tubuh
tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau jaringan yang ada dibawahnya.
Menggunakan jari ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang menunjukkan ada tidaknya
cairan , massa atau konsolidasi.
Menggunakan palu perkusi ketuk lutut dan amati ada tidaknya refleksgerakan pada kaki bawah,
memeriksa refleks kulit perut apakah ada kontraksi dinding perut atau tidak
d. Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan stetoskop dengan
menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang terdengar. Mendengar mendengarkan di
ruang antekubiti untuk tekanan darah, dada untuk bunyi jantungparu abdomen untuk bising usus
atau denyut jantung janin. (Johnson & Taylor, 2005 39)
5. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah dan urine serta pemeriksaan penunjang rontgen, USG, biopsi, pap smear.
b. Keluarga berencana ; Kaji mengenai pengetahuan klien tentang KB, apakah klien setuju,
apakah klien menggunakan kontrasepsi, dan menggunakan KB jenis apa.
c. Data lain-lain ; Kaji mengenai perawatan dan pengobatan yang telah diberikan selama dirawat
di RS.
d. Data psikososial; Kaji orang terdekat dengan klien, bagaimana pola komunikasi dalam
keluarga, hal yang menjadi beban pikiran klien dan mekanisme koping yang digunakan.
f. Data spiritual Kaji tentang keyakinan klien terhadap Tuhan YME, dan kegiatan keagamaan
yang biasa dilakukan.
B. Diagnosa Keperawatan
D. Evaluasi
1. Tidak terjadi deficit volume cairan, seimbang antara intake dan output baik jumlah maupun
kualitas.
2. Klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dialami
3. Klien dapat melakukan aktifitas tanpa adanya komplikasi
4. Tidak terjadinya kecemasan klien dan keluarga
5. Tidak terjadi infeksi selama perawatan perdarahan
6. Tidak terjadi syok pada klien dan berhentinya pendarahan
Daftar Pustaka
Cunningham,F.Gary dkk. 2006. Obstetri Williams.Jakarta.EGC
Morgan, Geri dan Carole Hamilton.2009. Obstetri dan Ginekologi Panduan Praktik Edisi.
Jakarta.EGC. terj.Rusi M Syamyin Ramona P.Kapoh
NANDA International.2011.Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta.
EGC
Satraiwinata, Sulaiman, dkk. 2003. Obstetri Patologi Edisi 2. Jakarta. EGC