Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Konsep lansia

a. Definisi

Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 dalam Bab

I pasal 1 ayat 2 berbunyi lanjut usia adalah seseorang yang telah

mencapai usia 60 tahun (enam puluh) tahun keatas.

Lanjut usia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan

seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi

stres fisiologis (Efendi & Makhfudli, 2009).

b. Klasifikasi lansia

Menurut (Taylor, Lillis, LeMone, & Lynn, 2011) klasifikasi

lansia sebagai berikut :

Lanjut usia muda 60 – 74 tahun

Lanjut usia pertengahan 75 – 84 tahun

Lanjut usia tua 85 tahun ke atas

10

Universitas Respati Yogyakarta


11

Menurut World Health Organization (WHO) dalam (Efendi &

Makhfudli, 2009) :

Usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun


Lanjut usia (elderly) 60-74 tahun
Lanjut usia tua (old) 75-90 tahun
Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
Tabel 2.1 Klasifikasi Lansia

c. Perubahan pada lansia

Menurut (Darmojo, 2015) Dengan makin lanjutnya usia

seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik (dan

fungsional) atas organ-organnya makin besar.

1) Sistem panca-indra

Terdapat perubahan morfologik baik pada mata, telinga, hidung,

syaraf perasa di lidah dan kulit. Perubahan yang bersifat

degeneratif ini yang bersifat anatomik fungsional, memberi

manifestasi pada morfologi berbagai organ panca-indra tersebut

baik pada fungsi melihat, mendengar, keseimbangan ataupun

perasa dan perabaan.

2) Sistem gastro-intestinal

Terjadi perubahan morfologik degeneratif, antara lain

perubahan atrofik pada rahang, sehingga gigi lebih mudah

tanggal. Perubahan atrofik juga terjadi pada mukosa, kelenjar

dan otot-otot pencernaan. Berbagai perubahan morfologik akan

menyebabkan perubahan fungsional sampai perubahan

Universitas Respati Yogyakarta


12

patologik, diantaranya gangguan mengunyah dan menelan,

perubahan nafsu makan sampai pada berbagai penyakit.

3) Sistem kardiovaskuler

Pada usia lanjut jantung sudah menunjukkan penurunan

kekuatan kontraksi dan isi sekuncup. Terjadi penurunan yang

signifikan dari cadangan jantung dan kemampuan untuk

meningkatkan kekuatan curah jantung, misalnya dalam keadaan

latihan. Golongan lanjut usia seringkali kurang merasakan nyeri

dibanding usia muda dan gejala pertama infark miokard akut

seringkali adalah gagal jantung, embolus, hipotensi, atau

konfusio. Angka kematian akibat infark miokard meningkat

pada usia lanjut, dari sekitar 25% oada usia 70-an menjadi

sekitar 40% pada usia 90-an.

4) Sistem respirasi

Sistem respirasi akan mencapai kematangan pertumbuhan pada

usia 20-25 tahun setelah itu mulai menurun fungsinya. Elastisita

paru menurun, kekakuan dinding dada meningkat, kekuatan otot

dada menurun. Semua ini berakibat menurunna ventilasi-perfusi

dibagian paru yang tak bebas dan pelebaran gradient alveolar

arteri untuk oksigen. Keadaan ini tidak boleh disalah artikan

sebagai adana penyakit paru. Terjadi penurunan gerak silia di

dinding sistem respirasi, penurunan refleks batuk dan refleks

Universitas Respati Yogyakarta


13

fisiologik lain, yang memungkinkan terjadinya peningkatan

kemungkinan terjadinya infeksi akut pada saluran nafas bawah.

5) Sistem endokrinologik

Pada sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa,

dengan kadar gula puasa yang normal. Disamping faktor diet,

obesitas dan kurangnya olah-raga serta penuaan menyebabkan

terjadinya penurunan toleransi glukosa. Pada usia lanjut DM tipe

II sering terdapat padai individu kurus. Frekuensi hipertiroid

tinggi pada usia lanjut (25% hipertiroid terjadi pada lansia).

Sekitar 75% dari-nya mempunyai gejala/tanda klasik, sebagian

lagi menunjukkan apa yang disebut sebagai “apathetic

thyrotoxicosis”. Hipertiroid merupakan penyakit yang terutama

terjadi antara usia 50-70 tahun.

6) Sistem hematologik

Sumsum tulang secara nyata mengandung lebih sedikit sel

hemopoitik dengan respons terhadap stimuli buatan agak

menurun. Respons regeneratif terhadap hilang darah atau terapi

anemia pernisosa agak kurang dibanding waktu muda.

7) Sistem persendian

Penyakit rematik merupakan salah satu penyebab utama

terjadinya disabilitas pada usia lanjut, disamping stroke dan

penyakit kardiovaskuler. Pada sinovial sendi terjadi perubahan

berupa tidak ratanya permukaan sendi, fibrilasi dan pmbentukan

Universitas Respati Yogyakarta


14

celah dan lekukan di permukaan tulang rawan. Erosi tulang

rawan hialin menyebabkan eburnasi tulang dan pembentukan

kista dirongga subkondral dan sumsum tulang. Diantara

penyakit sendi yang sering tedapat pada usia lanjut adalah osteo-

artritis, rematoid artritis, gout dan pseudo-gout, artritis mono-

atikuler senilis, dan rematika polimialgia.

8) Sistem urogenital dan tekanan darah

Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan, antara lain terjadi

penebalan kapsula bowman dan ganguan pemeabilitas terhadap

solut yang akan difiltrasi. Nefron secara keseluruhan mengalami

penurunan dalam jumlah (jumlah nefron pada akhir rentang

hidup rata-rata tinggal tersisa 50% dibanding usia 30 tahun) dan

mulai terlihat atrofi. Aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun

tinggal sekitar 50% dibanding usia muda. Akan tetapi fungsi

ginjal secara keseluruhan dalam keadaan istirahat tidak

menurun. Barulah apabila terjadi stres fisik.

9) Sistem syaraf pusat dan otonom

Berat otak akan menurun sekitar 10 % pada penuaan antara umur

30 sampai 70 tahun. Disamping itu meningen menebal , giri dan

sulci otak berkurang kedalamannya. Akan tetapi kelainan ini

tidak menyebabkan gangguan patologik yang berarti. Pada

semua sitoplasma sel juga terjadi deposit lipofusin. Yang

bersifat patologis adalah adanya degenerasi pigmen substantia

Universitas Respati Yogyakarta


15

nigra, kekusutan neurofibriler dan pembentukan badan-badan

hirano. Keadaan ini bersesuaian dengan terjadinya patologi

sindroma parkinson dan dementia tipe Alzheimer.

10) Sistem kulit dan integumen

Terjadi atrofi dari epidermis, kelenjar keringat, folikel rambut

serta berubahnya pigmentasi dengan akibat penipisan kulit,

fragil seperti selaput. Warna kulit berubah dengan sana-sini

terjadi pigmentasi tak merata. Kuku menipis, mudah patah,

rambut rontok sampai terjadi kebotakan. Lemak subkutan juga

berkurang menyebabkan berkurangnya bantalan kulit sehingga

daya tahan terhadap tekanan dan perubahan suhu menjadi

berkurang.

2. Konsep Stres

a. Definisi

Hans Selye, 1950 mengemukakan bahwa yang dimaksud

dengan stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik

terhadap setiap tuntutan beban atasnya (Hawari, 2011).

Stres adalah pengalaman emosional yang negatif disertai

perubahan biokimia, fisiologis, kognitif dan perilaku yang dapat

diprediksi yang diarahkan baik untuk mengatasi kejadian stres atau

mengakomodasi efeknya (Taylor S. E., 2015).

Universitas Respati Yogyakarta


16

b. Dampak Stres

Menurut Hawari (2011); Priyoto (2014) Dampak stres dibagi

menjadi 3, yaitu :

1) Dampak Fisiologi

Individu yang stres secara umum akan mengalami ganguan

fisik yaitu : penyakit sistem pencernaan, sistem pernafasan,

sistem perkemihan, mengalami penyakit kardiovaskuler

(hipertensi), rambut memutih sebelum waktunya, mudah

pusing, kejang otot (kram), sukar tidur, pendengaran

terganggu, dan ketajaman mata menurun.

2) Dampak psikologis

a) Keletihan emosi, jenuh

b) Pencapaian pribadi yang bersangkutan menurun,

sehingga berakibat pula menurunnya rasa kompeten &

rasa sukses

c) Mudah tersinggung dan mudah marah serta reaktif dalam

merespon permasalahan yang dihadapinya

3) Dampak perilaku

a) Saat stres menjadi distress, prestasi belajar menurun dan

sering terjadi tingkah laku yang diterima oleh

masyarakat

Universitas Respati Yogyakarta


17

b) Level stres yang tinggi berdampak negatif pada

kemampuan mengingat informasi, mengambil

keputusan, mengambil langkah tepat

c) Dalam menghadapi hal-hal yang kecil dan sepele

seringkali bersikap berlebihan (over acting) dan reaktif

(bereaksi tidak proporsional)

c. Fisiologi Stres

Stres menyebabkan tekanan psikologis dan perubahan dalam

tubuh dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ada dua sistem

yang terkait dan terlibat dalam respon stres yaitu sistem sympathetic-

adrenomedullary (SAM) dan hypothalamic-pituitary-

adrenocortical (HPA) axis.

Ketika suatu kejadian dianggap berbahaya atau mengancam,

akan diidentifikasi oleh korteks serebral, yang selanjutnya memicu

serangkaian reaksi yang dimediasi oleh penilaian. Informasi dari

korteks di teruskan ke hipotalamus, dan memulai salah satu respon

paling awal terhadap stres yaitu, dorongan sistem saraf simpatik.

Saraf simpatis merangsang medula kelenjar adrenal, yang kemudian

mensekresikan catekolamin apinephrine (EP) dan norepinephrine

(NE). Efek ini berakibat pada perasaan aneh yang biasanya kita

alami dalam menghadapi stres: peningkatan tekanan darah,

peningkatan denyut jantung, peningkatan keringat, dan penyempitan

Universitas Respati Yogyakarta


18

pembuluh darah perifer, di antara perubahan lainnya. Katekolamin

juga mengatur sistem kekebalan tubuh.

Fungsi parasimpatik juga dapat disregulasi terhadap respon

stres. Misalnya, stres bisa mempengaruhi variabilitas denyut

jantung. pegaturan parasimpatik merupakan aspek penting dari

tidur, oleh karena itu perubahan variabilitas denyut jantung dapat

membuat tidur yang terganggu dan membantu menjelaskan

hubungan stres dengan penyakit dan peningkatan risiko kematian

(Hall et al, 2004) dalam (Taylor S. E., 2015).

Hipotalamus-pituitary adrenal (HPA) juga diaktifkan

sebagai respon terhadap stres. Hipotalamus melepaskan

corticotrophinreleasing hormone (CRH), yang merangsang kelenjar

pituitari untuk mengeluarkan hormon adrenocorticotropic hormone

(ACTH), yang pada gilirannya, merangsang korteks adrenal untuk

melepaskan glukokortikoid. Dari jumlah tersebut, kortisol sangat

penting. Berfungsi untuk menghemat penyimpanan karbohidrat dan

membantu mengurangi infalamasi jika terjadi cedera. Hal ini juga

membantu tubuh kembali ke kondisi yang stabil setelah stres.

Berulangnya aktivasi HPA sebagai respon terhadap stres

kronis atau berulang, dapat membahayakan fungsinya. Pola kortisol

harian bisa diubah. Biasanya, tingkat kortisol tinggi saat bangun di

pagi hari, tapi menurun di siang hari (meski memuncak setelah

makan siang) kemudian akan merata pada tingkat yang rendah di

Universitas Respati Yogyakarta


19

sore hari. Orang-orang yang mengalami stres kronis, bagaimanapun,

dapat menunjukkan beberapa pola menyimpang: kadar kortisol yang

meningkat lama sampai sore atau malam hari, gambaran umum

rhytm diurnal, respon kortisol yang belebihan, kortisol yang

diaktivasi setelah seorang pemicu stres, atau, sebagai alternatif, tidak

ada respone sama sekali (McEwen, 1998). Salah satu pola ini

menunjukkan kemampuan kompromi HPA untuk merrespon dan

pulih dari stres (McEwen, 1998; Pruessner, Hellhammer, Pruessner,

& Lupien, 2003) dalam (Taylor S. E., 2015).

d. Sumber stres pada lansia

Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa

yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang,

sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian

diri untuk menanggulanginya. Namun, tidak semua orang mampu

melakukan adaptasi dan mengatasi stresor tersebut, sehingga

timbullah keluhan-keluhan antara lain berupa stres, cemas dan

depresi (Hawari, 2011).

Perubahan fisiologis dan penyakit kronis terkait dengan usia

lanjut dapat mempengaruhi kemampuan fungsional seseorang,

perubahan psikososial seringkali merupakan tantangan yang paling

menantang. Tentu saja, banyak tantangan psikososial terkait dengan

kesehatan dan fungsi fisik, namun beberapa disebabkan oleh

perubahan peran, hubungan, dan lingkungan hidup. Karena banyak

Universitas Respati Yogyakarta


20

perubahan psikososial yang tak terelakkan dan agak dapat diprediksi

(Miller, 2012).

Tantangan psikososial menurut (Miller, 2012) sebagai

berikut :

1) Pensiun

Sikap masyarakat dapat mempengaruhi penyesuaian seseorang

terhadap masa pensiun, terutama di masyarakat dengan etos

kerja yang kuat. Dalam masyarakat ini, orang yang bekerja

memiliki status lebih tinggi daripada orang yang menganggur

dan di antara orang-orang yang bekerja, status didasarkan pada

jenis pekerjaan yang dipegang dan gaji yang diperoleh. Oleh

karena itu, ketika orang-orang pensiun, mereka pasti akan

mengatasi perubahan status sosial, dan tantangan psikososial

mungkin paling hebat bagi orang-orang yang harga dirinya

(sejauh mana seseorang menganggap diri mereka layak atau

signifikan).

2) Relokasi

Penyesuaian psikososial umum lainnya untuk orang

dewasa yang lebih tua adalah keputusan untuk pindah dari rumah

keluarga karena f aktor, seperti kehilangan pasangan, kurangnya

layanan bantu yang tersedia, kurangnya jaringan kekerabatan

atau pengasuh, kondisi kronis dan kemampuan fungsional

menurun, dan kognitif. gangguan atau penyakit kejiwaan.

Universitas Respati Yogyakarta


21

Meningkatnya ketergantungan pada orang lain karena masalah

kesehatan adalah alasan umum bagi orang dewasa untuk pindah

ke fasilitas di mana mereka dapat menerima layanan dukungan.

Relokasi ke panti jompo adalah cara kehidupan yang signifikan

bagi beberapa orang dewasa yang lebih tua.

Di Amerika Serikat, kurang dari 5% orang berusia 65 tahun

atau lebih tua tinggal di fasilitas keperawatan pada satu waktu,

namun mereka memiliki 39% sampai 49% kemungkinan dirawat

di sebuah fasilitas keperawatan pada suatu waktu (Stone, 2006).

3) Penyakit kronis dan gangguan fungsional

Penyesuaian kehidupan utama lainnya bagi banyak orang

dewasa adalah mengatasi penyakit kronis dan keterbatasan

fungsional, terutama keterbatasan yang mengurangi

independensi mereka. Meskipun sebagian besar orang dewasa

yang lebih tua mengalami satu atau lebih kondisi kronis yang

mempengaruhi fungsi tubuh mereka sehari-hari, 80% sampai

90% orang berusia 65 sampai 75 tahun dan 60% dari mereka

yang berusia 85 tahun ke atas menganggap diri mereka sehat

(Østbye et al. , 2006). Sebagian besar keterbatasan fungsional

hanya memerlukan sedikit penyesuaian dalam kehidupan sehari-

hari, namun beberapa, seperti kognitif, mobilitas, atau gangguan

penglihatan yang cukup, secara signifikan meningkatkan

ketergantungan seseorang terhadap orang lain.

Universitas Respati Yogyakarta


22

4) Kehilangan pasangan

Contoh janda sebagai peristiwa kehidupan di masa lansia

menggambarkan semua karakteristik yang telah dibahas

sebelumnya. Bagi kebanyakan pasangan lansia , kehilangan

pasangan tidak bisa dihindari, dan kemungkinannya lebih besar

bahwa wanita menjadi janda lebih banyak daripada laki-laki.

5) Kematian teman atau keluarga

Kehilangan teman dan keluarga menjadi tak terelakkan

setiap tahunnya. Banyak orang yang berusia 90-an telah hidup

lebih lama dari biasanya, jika tidak semua, teman mereka dan

banyak dari keluarga mereka. Memang, orang-orang yang

berusia 90-an mungkin bahkan tidak mengenal orang yang lebih

tua dari mereka. Selain itu, karena orang-orang dihadapkan pada

kematian orang lain yang lebih muda dari atau serupa dengan

usia mereka, mereka menjadi semakin sadar akan kematian

mereka sendiri. Orang tua mungkin membaca berita kematian

dan kematian di surat kabar sebagai kegiatan sehari-hari.

Meskipun keluarga dapat melihat aktivitas ini sebagai

keasyikan yang tidak biasa, namun kenyataannya bisa menjadi

cara yang efektif bagi orang tua untuk mengetahui apa yang

terjadi pada teman mereka. Karena hubungan sosial yang

bermakna merupakan prediktor kesejahteraan yang penting bagi

orang dewasa yang lebih tua, kehilangan keluarga dan teman

Universitas Respati Yogyakarta


23

kemungkinan akan berdampak negatif terhadap kesehatan

psikososial. Namun, orang dewasa yang lebih tua yang mampu

menyesuaikan harapan mereka dan tidak merasakan adanya

isolasi sosial mungkin lebih baik daripada orang yang

menganggap dirinya sebagai orang yang terisolasi secara sosial

dan terputus (Cornwell & Waite, 2009).

6) Sikap ageisme

Studi menunjukkan bahwa stereotip penuaan positif atau

negatif mempengaruhi keputusan dan perilaku lansia dengan

cara yang tidak menentu atau merugikan, masing-masing (Levy

& LeifheitLimson, 2009). Konsekuensi dari stereotip berbasis

usia negatif mencakup gangguan memori dan penurunan kinerja

kognitif, penurunan keinginan untuk hidup dan berkurangnya

dampak positif, efek negatif pada kesehatan fisik (misalnya

peningkatan tekanan kardiovaskular), dan perubahan perilaku

seperti penurunan kecepatan berjalan dan tulisan tangan yang

goyah (Kang & Chasteen, 2009).

Ketika stereotip ageis negatif meresap dalam masyarakat,

orang dengan penerimaan diri yang baik untuk menjadi tua

mungkin merasa bahwa secara sosial tidak dapat diterima untuk

mengakui bahwa tidak apa-apa untuk menjadi tua. Karena sikap

masyarakat ini, lansia mungkin dihadapkan pada harapan yang

ditentukan usia yang menentukan perilaku sosial yang tepat.

Universitas Respati Yogyakarta


24

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Indriana, Kristina,

Sonda, & Intanirian, 2010) untuk meneliti tingkat stres di panti

serta serta peristiwa apa sajakah yang dialami dan menimbulkan

stres dalam waktu satu tahun terakhir pada lansia, penyebab stres

pada lansia di panti adalah :

1) Perubahan dalam aktivitas sehari-hari

Mereka yang semula bekerja dan sekarang sebagai

pengangguran, terlebih ketika mereka mulai mengalami

kemunduran fisik yang dirasakan sebagai beban seperti

penglihatan yang mulai menurun, dan penyakit yang diderita.

Ketika kemunduran fisik mereka menyebabkan mereka berada

dipanti, hal tersebut dirasakan amat berat bagi mereka dan

terkadang mereka menyesalkan kondisi saat ini, sehingga

mereka menjadi stres karena merasa sudah tidak dapat berbuat

apa-apalagi. Mereka yang dulu terbiasa bekerja dan memiliki

penghasilan sekarang hanya berdiam diri di panti dan tidak

memiliki penghasilan lain kecuali uang yang diperoleh dari

panti.

2) Perubahan dalam perkumpulan keluarga

Keluarga menjadi salah satu faktor yang berperan dalam

menyebabkan stres bagi lansia panti. Keberadaan keluarga

dirasakan sangat penting bagi mereka. Hal tersebut dapat dilihat

dari laatar belakang keberadaan para lansia hingga tinggal di

Universitas Respati Yogyakarta


25

panti Wredha. Seperti beberapa kasus yang terjadi pada lansia

di panti. Beberapa dari mereka merasa terbuang, menjadi

sampah masyarakat, tidak berarti lagi dengan kondisi fisik yang

semakin melemah. Mereka merasa dicampakkan oleh

keluarganya, bahkan bagi beberapa lansia yang semula hidup

dengan keluarganya. Mereka merasa tidak betah lagi berada di

dunia ini dan mempertanyakan keberadaan mereka ini untuk

siapa, lain halnya dengan lansia yang memang dari semula tidak

memilliki keluarga sama sekali, karena keberadaan teman

sesama lansia di panti membuat mereka merasa ada keluarga

baru akan tetapi terkadang mereka merindukan keberadaan

keluarganya sebelum mereka hidup sendiri.

3) Kematian pasangan

Pada beberapa kasus yang terjadi di panti wredha, hampir semua

lansia menceritakan bahwa pasangan mereka merupakan

semangat hidup mereka dan ada beberapa lansia yang memilih

untuk tidak menikah kembali setelah kematian pasangan

mereka. Mereka mencoba bertahan hidup untuk anak-anak

mereka ataupun bagi mereka yang tidak memiliki anak mereka

memilih untuk menyibukkan diri mereka dengan pekerjaan

untuk menghilangkan kesedihan. Kesendirian di masa lanjut

membuat beberapa lansia merasa putus asa dan

Universitas Respati Yogyakarta


26

mempertanyakan keberadaan mereka di dunia, dan mereka

hanya menunggu panggilan Sang Ilahi untuk hidup lebih tenang.

4) Kematian anggota keluarga & perubahan dalam pilihan maupun

kuantitas olahraga maupun rekreasi.

5) Perubahan dalam perkerjaan

Mereka yang dulu terbiasa bekerja dan memiliki penghasilan

sekarang hanya berdiam diri di panti dan tidak memiliki

penghasilan lain kecuali uang yang diperoleh dari panti.

Kesediaan mereka mengikuti kegiatan di panti disebabkan

karena keharusan bukan karena ingin.

e. Tahapan Stres

Dr Robert J. Van Amberg (1979) dalam penelitiannya membagi

tahapan-tahapan stres sebagai berikut :

1) Stres tahap I

Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan,

dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut

a) Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting)

b) Pengalihan “tajam” tidak sebagaimana biasanya

c) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari

biasanya; namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan

(all out) disertai rasa gugup yang berlebihan pula

Universitas Respati Yogyakarta


27

d) Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin

bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi

semakin menipis.

2) Stres tahap II

Dalam tahapan ini dampak stres semula “menyenangkan”

sebagaimana diuraikan pada tahap I diatas mulai menghilang,

dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan

energi tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu

beristirahat. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh

seseorang yng berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut

a) Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa

segar

b) Merasa mudah lelah sesudah makan siang

c) Lekas merasa capai menjelang sore hari

d) Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowel

discomfort)

e) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar)

f) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang

g) Tidak bisa santai

3) Stres tahap III

Bila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya

tanpa menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan

Universitas Respati Yogyakarta


28

pada stres tahap II, maka yang bersangkutan akan menunjukkan

keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu yaitu :

a) Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya maag

(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare)

b) Ketegangan otot-otot semakin terasa

c) Perasaan ketidak-tenangan dan ketegangan emosional

semakin meningkat

d) Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai

masuk tidur (early insomnia), atau terbangun tengah malam

dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun

terlalu pagi/dini hari dan tidak dapat kembali tidur (late

insomnia)

e) Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa

mau pingsan).

4) Stres tahap IV

Bila yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk

bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV

akan muncul :

a) Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit

b) Aktivitas pekerjaan ang semula menyenangkan dan mudah

diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit

c) Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan

kemampuan untuk merespon secara memadai (adequate)

Universitas Respati Yogyakarta


29

d) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-

hari

e) Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang

menegangkan

f) Seringkali menolak ajakan (negotivism) karena tiada

semangat dan kegairahan

g) Daya konsentrasi dan daya ingat menurun

h) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat

dijelaskan apa penyebabnya

5) Stres tahap V

Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh

dalam stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut :

a) Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam

(Physical and psychological exhaustion)

b) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-

hari yang ringan dan sederhana

c) Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro-

intestinal disorder)

d) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin

meningkat, mudah bingung dan panik.

6) Stres tahap VI

Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang

mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut

Universitas Respati Yogyakarta


30

mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI ini

berulang-kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICCU,

meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan

kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres pada ini sebagai

berikut :

a) Debaran jantung teramat keras

b) Susah bernafas (sesak dan megap-megap)

c) Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat

bercucuran

d) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan

e) Pingsan atau kolaps (collapse).

Bila dikaji maka keluhan atau gejala-gejala sebagaimana

digambarkan diatas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan

fisik yang disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ

tubuh sebagai akibat stresor psikososial yang melebihi

kemampuan seseorang untuk mengatasinya (Hawari, 2011).

f. Pengukuran stres

Untuk mengukur stres, cemas dan depresi dapat

menggunakan instrument DASS (Depression Anxiety and Stress

Scale) (Lovibond, 1995) dalam Crawford & Henry (2003) yang

dikutip oleh (Erwanto, Muflih, Suwarsi, & Lathu, 2017). Kuesioner

DASS terdiri dari 42 pertanyaan yang terdiri dari tiga skala yang

didesain untuk mengukur tiga jenis keadaan emosional, yaitu

Universitas Respati Yogyakarta


31

depresi, kecemasan dan stres. Setiap skala terdiri dari 14 pertanyaan.

Stres dinilai dari nomor 1,6,8,11,12,14,18,22,27,29,32,33,35,,39.

Subjek menjawab setiap pertanyaan yang ada. Setiap pertanyaan

dinilai dengan skor antara 0-3. Setelah menjawab seluruh

pertanyaan, skor dari setiap skala dipisahkan satu sama lain

kemudian diakumulasikan sehingga mendapat total skor untuk stres.

g. Penatalaksanaan stres

Menurut (Hawari, 2011) Penatalaksanaan stres pada tahap

pencegahan dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang

bersifat holistik, yaitu yang mencakup fisik (somatik),

psikologik/psikiatrik, psikososial dan psikoreligius

1) Terapi psikofarmaka

Terap psikofarmaka adalah pengobatan untuk stres dengan

memakai obat-obatan (farmaka) yang berkhasiat memulihkan

fungsi gangguan neuro-transmitter (sinyal penghantar saraf) di

susunan saraf pusat otak (lymbic system).

2) Terapi somatik

Untuk menghilangkan keluhan-keluhan somatik (fisik) itu

dapat diberikan obat-obatan yang ditujukan pada organ tubuh

yang bersangkutan. Misalnya pada orang yang mengalami sres

seringkali disertai keluhan-keluhan pada sistem pencernaan,

kardiovaskuler, pernafasan, urogenital, otot, tulang dan lain

sebagainya.

Universitas Respati Yogyakarta


32

3) Psikoterapi

Pada pasien yang mengalami stres selain diberikan terapi

psikofarmaka, dan terapi somatik, juga diberikan terapi kejiwaan

(psikologik) yang dinamakan psikoterapi. Psikoterapi ini

bermacam-macam, misalnya :

a) Psikoterapi suportif

b) Psikoterapi re-edukatif

c) Psikoterapi re-konstruktif

d) Psikoterapi kognitif

e) Psikoterapi psiko-dinamik

f) Psikoterapi perilaku

g) Psikoterapi keluarga

4) Terapi psikoreligius

Perkembangan terapi di dunia kedokteran sudah

berkembang ke arah pendekatan keagamaan (psikoreligius).

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ternyata tingkat

keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan

daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan

yang merupakan stresor psikososial.

5) Perangsangan auditori

Perangsangan auditori adalah suatu persepsi terjadi setelah

melalui proses sensasi atau penginderaan yang berarti proses

penerapan rangsangan oleh pancaindra. Indra yang memberikan

Universitas Respati Yogyakarta


33

rasa senang, dan juga rasa sakit, secara sederhana sensasi dapat

diartikan sebagai proses penerapan stimulus indra. Ada dua cara

untuk dapat memahami proses sensasi, pertama penelitian dasar

dan penelitian terapan (Hidayat, 2009).

Suara manusia merupakan instrumen penyembuhan yang

sangat ampuh karena suara manusia memberi energi. Suara

memberi keseimbangan kepada otak secara sempurna dalam

waktu sekejap, serta mampu menciptakan fokus (peneriamaan

terhadap jati diri) (Shirlie, 2001) dalam (Risnawati, 2017).

6) Al-Qur’an

Sesungguhnya salah satu fungsi Al-Qur’an adalah sebagai

penyembuh (obat), baik mencakup aspek jasmani maupun

ruhani (Malik, 2017). Di dalam ayat suci Al-Qur’an surat Ar-

Rad (13) :28

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi

tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan

mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd 13: Ayat

28).

Universitas Respati Yogyakarta


34

3. Terapi Murottal

a. Definisi Terapi Murottal

Murottal adalah rekaman suara Al-Qur’an yang dilagukan

oleh seorang qori’/pembaca al-Qur’an (Siswantinah, 2011) dalam

(Risnawati, 2017). Bacaan al-Qur’an secara Murottal mempunyai

irama konstan, teratur dan tidak ada perubahan yang mendadak.

Tempo murottal al-Qur’an juga berada antara 60-70/menit, serta

nadanya rendah sehingga mempunyai efek relaksasi dan dapat

menurunkan stres dan kecamasan (Widyayarti, 2011) dalam

(Risnawati, 2017).

b. Manfaat Terapi Murottal Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan obat yang komplit untuk segala jenis

penyakit, baik penyakit hati maupun penyakit fisik, baik penyakit

dunia maupun akhirat (Siswantinah, 2011) dalam (Risnawati, 2017).

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu (Al-qur’an)

sebagai pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-

penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi

orang-orang yang beriman” (QS Yunus [10]:57).

Murottal mempunyai beberapa manfaat antara lain:

1) Mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan tartil akan

mendapatkan ketenangan jiwa

2) Lantunan al-Qur’an secara fisik mengandung unsur suara

manusia, sedangkan suara manusia merupakan instrumen

Universitas Respati Yogyakarta


35

penyembuhan yang menakjubkan dan alat yang paling mudah

dijangkau. Suara dapat menurunkan hormon-hormon stres,

mengaktifkan hormon endorphin alami, meningkatkan perasaan

rileks, dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas, dan

tegang, memperbaiki, sistem kimia tubuh sehingga menurunkan

tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung,

denyut nadi, dan aktifitas gelombang otak. Laju pernafasan yang

lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan

ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam dan

metabolisme yang lebih baik. (Heru, 2008) dalam

(Risnawati,2017).

c. Mekanisme Terapi Murottal Al-Qur’an

Sejumlah perubahan neurofisiologis tampak pada berbagai

praktik religius dan spiritual. Studi tentang brain Imaging memberi

kesan bahwa tindakan yang disengaja dan tugas yang memerlukan

perhatian terus-menerus diinisiasi oleh aktivitas di prefontal cortex

(PFC) dan anterior cingulate cortex. Oleh karena praktik religius

seperti meditasi dan do’a memerlukan fokus perhatian yang intensif,

kegiatan tersebut juga menunjukkan peningkatan aktivitas thalamus

yang dimediasi oleh neurotransmiter eksitatori glutamat yang

mungkin sebanding dengan aktivitas PFC. Sistem dopaminergik

melalui ganglia basal diyakini terlibat dalam regulasi sistem

glutamat dan interaksi antara PFC dan struktur subkortikal

Universitas Respati Yogyakarta


36

(Newberg, 2011 dalam Yusuf, Nihayati, Iswari, & Okviasanti,

2016). Dopamin adalah bagian dari reward system di otak. Hal ini

mungkin dapat menjelaskan beberapa elemen emosional positif

sebagai hasil dari praktik meditasi dan do’a. Struktur otak lain, yakni

lobus parietal dimungkinkan juga terlibat dalam aktivitas meditasi,

do’a dan pengalaman spiritual lainnya. Regio parietal sangat terlibat

dalam analisis dan integrasi high-order dari sensori penglihatan,

pendengaran, dan informasi atnesi yang komplek, meliputi PFC dan

Thalamus. Fungsi dari lobus parietal adalah memberikan antara diri

(self) dan dunia luar. Beberapa studi menunjukkan penurunan

aktivitas di lobus parietal selama meditasi yang berhubungan dengan

perubahan rasa (sense) diri dan lingkungan sekitarnya.

Aktivitas kortikal-thalamus dalam praktik meditasi dan do’a

juga dianggap mengubah aktivitas dalam sistem limbik. Peningkatan

aktivitas pada regio amigdala dan hipokampus terjadi selama

meditasi. Hipotalamus secara luas berkaitan dengan sistem limbik.

Stimulasi pada amigdala lateral kanan menunjukkan adanya

stimulasi bagian ventromedial dari hipotalamus, yang selanjutnya

menstimulasi sistem parasimpatik perifer. Peningkatan aktivitas

parasimpatik seharusnya berhubungan dengan subjerktif berupa

relaksasi dan ketenangan yang lebih mendalam. Aktivasi sistem

parasimpatis juga dapat mengurangi denyut jantung dan ferekuensi

pernapasan. Manusia terdiri dari dimensi fisik, emosi intelektual,

Universitas Respati Yogyakarta


37

sosial dan spiritual di mana setiap dimensi harus dipenuhi

kebutuannya. Ketika individu mengalami penyakit, kehilangan dan

stres, kekuatan spiritual dapat membantu individu tersebut menuju

penyembuhan dan terpenuhinya tujuan dengan atau melalui

pemenuhan kebutuhan spiritual (Yusuf, Nihayati, Iswari, &

Okviasanti, 2016).

Fungsi pendengaran manusia yang merupakan penerimaan

rangsang auditori atau suara. Rangsangan auditori yang berupa suara

diterima oleh telingga sehingga membuatnya bergetar. Getaran ini

akan diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang bertautan antara

satu dengan yang lain. (Elsa, 2015). Rangsang fisik tadi diubah oleh

adanya perbedaan ion kalium dan ion natrium menjadi aliran listrik

yang melalui saraf nervus VIII (vestibule cokhlearis) menuju ke

otak, tepatnya di area pendengaran. Setelah mengalami perubahan

potensial aksi yang dihasilkan oleh saraf auditorius, perambatan

potensial aksi ke korteks auditorius (yang bertanggung jawab untuk

menganalisa suara yang kompleks, ingatan jangka pendek,

perbandingan nada, menghambat respon motorik yang tidak

diinginkan, pendengaran yang serius, dan sebagainya) diterima oleh

lobus temporal otak untuk mempresepikan suara. Talamus sebagai

pemancar impuls akan meneruskan rangsang ke amigdala (tempat

penyimpanan memori emosi) yang merupakan bagian penting dari

Universitas Respati Yogyakarta


38

sistem limbik (yang mempengaruhi emosi dan perilaku) (Sherwood,

2011).

Mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan dengan

tartil dan benar akan mendatangkan ketenangan jiwa. Lantunan al-

Qur’an secara fisik mengandung unsur suara manusia, sedangkan

suara manusia merupakan instrumen penyembuhan yang

menakjubkan dan alat yang paling mudah dijangkau. Suara dapat

menurunkan hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon

endorphin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan

perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem

kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta

memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktifitas

gelombang otak (Heru, 2008) dalam (Risnawati, 2017).

Intensitas suara yang rendah merpakan intensitas suara

kurang dari 60 desibel sehingga menimbulkan kenyamanan dan

tidak nyeri. Murottal merupakan intensitas 50 desibel yang

membawa pengaruh positif bagi pendengarnya (Risnawati,2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Ashayeri,Jahdi & Hosseini (2012)

dalam (Risnawati,2017) manfaatnya lebih efektif yaitu terapi

murottal diberikan dengan durasi 15-25 menit.

d. Kandungan Surah Ar-Rahman

Ar-Rahman artinya “Zat Yang Maha Pemurah” surah ini

terdiri atas 78 ayat, termasuk dalam golongan surah Makkiyah, dan

Universitas Respati Yogyakarta


39

diturunkan sesudah surah Ar-Ra’d.Ia dinamakan Ar-Rahman

diambil dari lafaz ar-rahman yang terdapat pada ayat pertama. Ar-

Rahman adalah salah satu dari nama Allah (asma’ul-husna),

sehinggga sebagian besar surah ini menerangkan tentang kemurahan

Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu dengan memberikan

berbagai nikmat yang tidak terhingga, baik di dunia maupun di

akhirat (Malik, 2017).

Adapun diantara pokok kandungan surah Ar-Rahman ialah

Allah mengajar manusia pandai bicara; pohon dan tumbuhan tunduk

kepada Allah; semua makhluk akan binasa kecuali Allah; seluruh

alam adalah nikmat Allah untuk makhluk-Nya; manusia diciptakan

dari tanah dan jin dari api; kewajiban mengukur, menakar, dan

menimbang dengan adil; manusia dan jin tidak bisa melepaskan diri

dari kekuasaan Allah; banyak umat manusia yang tidak mensyukuri

nikmat-Nya; beberapa nubuat yang akan terjadi di masa depan

(Malik, 2017).

Dalam surah Ar-rahman terdapat beberapa manfaat salah

satunya adalah sebagai wasilah pelindung dari segala macam

penyakit dan mengoabati penyakit gila (stres, penyakit psikis).

Adapun caranya yaitu dengan membaca surah Ar-Rahman, ayat 35

(Malik, 2017)

Universitas Respati Yogyakarta


40

B. Kerangka Teori

Penyebab Stres pada lansia


1. Pelepasan
1. Prubahan dalam hormon
aktivas sehari-hari endorphin
2. Perubahan dalam alami
perkumpulan keluarga 2. ACTH
3. Kematian pasangan meningkat
4. Kematian anggota 3. Serotonin
keluarga meningkat
5. Perubahan dalam
pekerjaan

Di anggap berbahaya
atau mengancam oleh
korteks serebral Daun Telinga  Telinga tengah 
kokhlea  Lobus temporal  Talamus
 Amigdala  Hipotalamus

Fisiologi Stres
Informasi dari korteks serebral di Hipokampus
transformasikan ke hipotalamus  dorongan
saraf simpatik  merangsang medulla
kelenjar adrenal  mensekresikan 
Cetokolamin apinephrine (EP) &
Norepineprin  Kortisol meningkat Keterangan:

= Pengaruh
1. TD meningkat = Proses
2. Denyut jantung Penatalaksanaan Stres
meningkat Non-Farmakologi
3. Keringat meningkat
4. Penyempitan pembuluh Stres Terapi AL-
darah Qur’an/Terapi Murottal

Gambar 2.1 : Kerangka Teori

Sumber : (Sherwood, 2011); (Elsa,2015); (Miller, 2012); (TAYLOR, 2015);


(HR,2017).

Universitas Respati Yogyakarta


41

C. Kerangka Konsep

Terapi Murottal

Stres Lansia Stres Lansia


Sebelum Terapi SetelahTerapi

Variabel Perancu

1. Terapi
psikofarmaka (obat)
2. Psikoterapi

Gambar 2.2 : Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

= Variabel yang Diteliti

= Variabelyang tidak di teliti

D. Hipotesis Penelitian

Ha : ada perbedaan skor stres pada lansia di BPSTW Yogyakarta Unit

Budi Luhur Kasongan Bantul sebelum dan setelah diberikan terapi

murottal.

Universitas Respati Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai