Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

“Coinfeksi Tuberkulosis Paru Pada HIV/AIDS”

Oleh:
Muh. Aswar Anas, S.Kep
NIM : 70900115017

Preseptor Lahan Preseptor Institusi

(...................................) (.................................)

PROGRSM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2015
Coinfeksi Tuberkulosis Paru Pada HIV/AIDS

I. KONSEP DASAR MEDIS


A. Definisi

The World Health Organization (WHO) memprediksi bahwa penyebab

kematian orang dengan Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah

tuberkulosis (TB) paru sebesar 13%. Infeksi TB paru diukur ketika seseorang

yang diduga menginhalasi droplet yang mengandung bakteri Mycobacterium

tuberculosis (M. TB). Respons sistem imun membatasi multiplikasi basil tuberkel
2–12 minggu setelah infeksi. Kondisi basil tuberkel persisten selama bertahun-

tahun berubah menjadi Latent Tuberculosis Infection (LTBI). Seseorang dengan

LTBI tidak memberikan gejala dan tidak menularkan. Tuberkulosis paru dapat

berkembang segera setelah terpajan (penyakit primer) atau setelah reaktivasi dari

LTBI (Reactivation Disease). Penyakit primer berjumlah sekitar 1/3 atau lebih

kasus pada populasi dengan TB-HIV (Human Immunodeficency Virus).

Persentase kasus TB paru dengan HIV juga menurun dari 15% (2003) menjadi

12,4% (2006), walaupun persentase kasus TB paru dengan status HIV tidak

diketahui meningkat dari 28,7% (2005) menjadi 31,7% (2006), mungkin

merefleksikan kesulitan pemeriksaan HIV atau ketidaklengkapan hasil

pemeriksaan HIV. Orang dengan LTBI diprediksi berubah menjadi TB paru aktif

sebesar 12,9% per 1000 orang pertahun dari hasil observasi. Rata-rata progresif

menjadi TB paru aktif pada orang dengan infeksi HIV berkisar antara 35–

162/1000 orang/ tahun observasi. Pada daerah endemik TB terdapat hubungan

yang tinggi jumlah CD4 (cluster of differentiation) dengan waktu perkembangan

TB-HIV Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2007).


Pada orang dengan HIV yang bekerja pada tempat berisiko tinggi seperti

fasilitas kesehatan, unit terapi obat-obatan atau tempat tunawisma dapat

meningkatkan risiko terkena TB paru. TB paru menjadi penyebab utama kematian

pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Kematian akibat penyakit ini pada

beberapa negara meningkat sampai 50%, biasanya sekitar 2 bulan setelah

diagnosis TB ditegakkan. Keterlambatan dalam penegakan diagnosis TB paru

mungkin menjadi kontributor yang penting dalam menyebabkan tingginya angka

kematian. Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB paru per 100.000

penduduk dengan estimasi prevalens HIV diantara pasien TB paru sebesar 0,8%.

(Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2007).

Menurut Departemen Kesehatan Indonesia: Direktotat Jendran Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2006), pada kasus HIV/AIDS penderita

akan mnegalami masa gejala dini yaitu pada masa ini jumlah CD4 berkisar antara

100-300. Gejala yang timbul akibat infeksi pneumonia bakterial, kanddiasis

vagina, sariawan, herpes zoster, leukoplakia, ITP, dan Tuberkulosis Paru, masa ini

dulu disebut AIDS related complex.salah satu penyakit yang timbul adalah

Tuberkulsosis Paru. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yamg sangat bervariasi (Mansjoer.

Arief, 2001).

Mycobacterium tuberculosis pertama kali dideskripsikan pada tanggal 24

Maret 1882 oleh Robert Koch. Maka untuk mengenang jasa beliau, bakteri

tersebut diberi nama baksil Koch. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri

penyebab penyakit tuberkulosa (TBC) Bahkan penyakit TBC pada paru-paru pun

dikenal juga sebagai Koch Pulmonum (KP).


B. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus adalah virus sitoplastik dari famili

Retroviridae. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus yang

merupakan virus RNA (Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7

kilobases (kb). Virus HIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer di

Institut Pasteur Paris tahun 1983 disebut HIV-1. Karakteristik virus

sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo di Washington dan Jay Levy di San

Fransisco tahun 1984. Tahun 1986 HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di

Afrika Barat. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan HIV memiliki

banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2 protein utama envelope virus

yaitu glikoprotein (gp) 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak di

transmembran. Glikoprotein 120 memiliki afinititas tinggi terutama regon V3

terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada awal interaksi dengan

sel target, sedangkan gp 41 bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau

absorbsi. CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk terjadi infeksi

HIV yang mempunyai afinitas tinggi tehadap HIV terutama terhadap molekul

gp 120. Diantara sel tubuh yang mempunyai molekul CD4 paling banyak

adalah sel limfosit-T. Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada

reseptor CD4 limfosit-T setelah penempelan terjadi fusi kedua membran (HIV

dan limfosit) sehingga seluruh komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel

limfosit-T (Sharma, 2005).

Adapun pada kasus TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Bentuk bakteri Mycobacterium tuberculosis ini adalah basil

tuberkel yang merupakan batang ramping dan kurus, dapat berbentuk lurus

ataupun bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 m dan lebar 0,2 - 0,5 m yang
bergabung membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung pada kondisi

lingkungan (Mandal, 2008).

Mycobacterium tuberculosis tidak dapat diklasifikasikan sebagai

bakteri gram positif atau bakteri gram negatif, karena apabila diwarnai sekali

dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan alkohol,

meskipun dibubuhi iodium. Oleh sebab itu bakteri ini termasuk dalam bakteri

tahan asam. Mycobacterium tuberculosis cenderung lebih resisten terhadap

faktor kimia dari pada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan

selnya dan pertumbuhan bergerombol. Mycobacterium tuberculosis tidak

menghasilkan kapsul atau spora serta dinding selnya terdiri dari peptidoglikan

dan DAP, dengan kandungan lipid kira-kira setinggi 60%. Pada dinding sel

mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan

di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga

mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul lain

dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan

patogen, menjadikan Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup di

dalam makrofag (Indah, 2010).

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Cara

penularan sebagai berikut:

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan

sekitar 3000 percikan dahak.


c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada

dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,

sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat

bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

C. Patofisiologi
Tempat masuk kuman M.tuberculosis adalah saluran pernapasan dan

saluran pencernaan. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara

yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman basil yang berasal dari

orang yang terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama

bagi jenis bovin, yang penyebaranya melalui susu yang terkontaminasi, akan

tetapi di AmerikaSerikat, dengan luasnya pasteurisasi susu dan dan deteksi

penyakit pada sapi perah, tuberculosis bovin ini jarang terjadi.

Kuman-kuman tuberculosis dapat memasuki tubuh bersama butir-butir

debu atau titik air yang menyebar sewaktu orang batuk atau bersin.Kuman-

kuman ini tidak dapat membeku tetapi mudah mengering.Bila kuman ini

mencapai paru-paru dan tinggal disana,mereka berkembang dengan pesat

paling tinggi dalam satu waktu.

Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. Tb yang akan

mengekspresikan TNF-á bersamaan dengan Monocyte Chemotactic Protein 1

(MCP- 1) yang mengaktifkan replikasi HIV-1. The Long Terminal Repeat

(LTR) HIV mengandung 2 NF-kB. TNF-á menginduksi replikasi HIV


dimediasi dengan peningkatan aktifitas NF-kB di sel mononuklear. M.

tuberculosis dapat menyebabkan infeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit dan

monosit. M. Tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 T

limfosit yang terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam sel dendrit dapat

memfasilitasi trasmisi HIV-1 ke CD4 T limfosit yang apabila berdiferensiasi ke

M. tb dapat menyebabkan berkembang menjadi infeksi laten HIV-1 (Sharma,

2005).

D. Manifestasi klinis
Individu yang terinfeksi HIV pada TB paru aktif sangat dipengaruhi oleh

derajat imunodefisiensi. Pada pasien terinfeksi HIV dengan CD4+ > 350

cell/µL gejala klinik TB sesuai dengan pasien TB tanpa HIV. Gejala mayor

terbatas pada paru dan biasanya gambaran foto toraks lobus atas berupa

gambaran infiltrat fibronodular dengan atau tanpa kavitas. Gejala ekstraparu

lebih sering timbul pada pasien HIV dibandingkan pada pasien yang tidak

terinfeksi HIV, walaupun manifestasi klinik antara pasien terinfeksi HIV

dengan tidak terinfeksi HIV tidak secara substantial berbeda. Pada HIV

stadium lanjut gambaran foto toraks pada pasien TB paru berbeda

dibandingkan dengan pasien dengan derajat keparahan imunosupresi lebih

rendah. Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran infiltrat milier lebih biasa

dan kavitas lebih jarang. Limfadenopati mediastinum juga dapat ditemukan.

Walaupun dengan gambaran foto toraks normal, pasien terinfeksi HIV dan TB

paru dapat memberikan hasil dahak yang positif dan hasil kultur (Sharma,

2005).

Gejala klinik TB paru pada pasien dengan HIV tergantung dari derajat

imunosupresi sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasiendengan kadar CD4 >

200/mm3 lebih sering memberikan manifestasi TB paru dibandingkan dengan


ekstraparu. Pada pasien ini gambaran foto toraks akan seperti pada orang

dengan HIV negatif. Hasil pemeriksaan dahak lebih sering memberikan hasil

positif. Keadaan imunodefisensi yang semakin berat akan membuat gejala

ekstraparu semakin menjadi lebih sering (Sharma, 2005).

Tabel 1.1 Gejala Mayor dan Minor HIV/AIDS

Gajala Karakteristik

Mayor 1. Berat badan menurun >70% dalam 1 bulan.

2. Diare kronik >1 bulan.

3. Demam >1 bulan.


4. Penurunan kesadaran dan gangguan saraf.

5. Ensefalopati HIV

Minor 1. Batuk menetap >1 bulan.

2. Dermatitis generalisata.

3. Herpes zoster berulang.

4. Kandidiasis orofaringeal.

5. Herpes simpleks.
6. Limfadenopati generalisata.

7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin perempuan.

8. Retinitis karena virus sitomegalovirus.

Tabel 1.2 gejala klinis TB-HIV

Karakteristik Late infection Early infection

TB Paru: TB ekstraparu 50:50 80:20

Gejala klinik Sering Seperti Tb Sering seperti TB Post

Primer primer

Foto thoraks (intrathoraks) Sering Jarang

Limfadenopati (lobus bawah) Sering Jarang


Kavitas Jarang Sering

Alergi tuberculin Sering Jarang

Pemeriksaan dahak Jarang Sering

Reaksi obat Sering Jarang

Kambuh setelah pengobatan Sering Jarang

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu - pagi -sewaktu (SPS).

2. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

kuman TB(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui

pemeriksaan dahakmikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan

lain seperti foto toraks, biakan danuji kepekaan dapat digunakan sebagai

penunjang diagnosis sepanjang sesuai denganindikasinya.

3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja. Fototoraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada

TB paru, sehingga seringterjadi overdiagnosis.

4. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

penyakit.

F. Komplikasi
Epidemi HIV merupakan ancaman bagi program kedepan yang harus

diantisipasi. Sedangkan MDR TB merupakan risiko dari penyakit TB, dimana

keadaan ini bila tidak diantisipasi dengan baik akan menyebabkan

meningkatnya biaya yang diperlukan untuk mengendalikan pasien MDR TB,

yang pada akhirnya tidak terjangkau dalam pembiayaan sistim kesehatan

nasional. Adapun komplikasi yang sering terjadi pada kasus TB Paru: TB

ekstra paru, MDR TB dan Kerusakan Paru atau lobus pulmo.


G. Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

Jenis OAT Sifat Harian mg/kg 3x/mgg (mg/kg)

Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)

Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Menurut Departemen Kesehatan Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis (2006), tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi

HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien

HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS.

Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan

TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV

sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus

memperhatikan Prinsip – prinsip Universal Precaution ( Kewaspadaan

Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara

terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara

teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke

pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Kónsul sukarela

dengan test HIV).


H. Pencegahan
Untuk menghindari terjangkitnya infeksi akibat ikobakterium tuberculosis,

maka perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya:

1. Pemberian imunisasi

2. Perawat menggunakan masker khusus dalam merawat penderita TBC.

3. Penderita yang terjangkit sebaiknya diisolasikan.

I. Prognosis
Prognosis penyakit tuberculosis paru didasarkan atas dua hal, yaitu:

1. Jika berobat teratur sembuh total (95%).

2. Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 % yang mungkin

relaps.

II. KONSEP KEPERAWATAN


A. Pengkajian

Pengkajian pada pasien tuberculosis paru akan ditemukan data-data sebagai

berikut:

1. Aktivitas / istirahat

Gejala: Badan lemah, sesak nafas, kesulitan tidur pada malam hari, demam dan

menggigil, berkeringat pada malam hari.

Tanda: Takikardia, takipnea/dipsnea pada kerja kelelahan otot, nyeri, dan sesak.

2. Integritas ego

Gejala: Adanya faktor stress, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada

harapan.

Tanda: Menyangkal, ansietas, ketakutan, dan mudah tersinggung.

3. Makanan/cairan

Tanda: Turgor kulit kering/kulit bersisik, dan kehilangan otot.


4. Nyeri/kenyaman

Gejala: Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.

Tanda: Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.

5. Pernapasan

Gejala: Batuk produktif atau tak produktif dan sesak nafas.

Tanda: Peningkatan frekuensi pernapasan (penyakit luas atau fibrosis parenkim

paru dan pleura), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural) atau

penebalan pleural.

6. Keamanan

Gejala: Adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker serta tes HIV

positif.

Tanda: Demam rendah atau sakit panas akut.

7. Interaksi sosial

Gejala: Perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular, perubahan pola

biasa dalam tanggung jawab/perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.

8. Penyuluhan atau pembelajaran

Gejala: Riwayat keluarga tuberculosis, status kesehatan buruk, gagal untuk

membaik atau kambuhnya tuberculosis, tidak berpartisipasi dalam terapi.

Rencana Pemulangan: Memerlukan bantuan dengan/gangguan dalam terapi obat,

dan bantuan perawatan diri, serta pemeliharaan atau perawatan rumah.


B. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang kental

atau berlebih.

2. Resiko terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan

permukaan efektif paru.

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan, dan pencegahan

berhubungan dengan kurang informasi.

5. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap.

6. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.

C. Intervensi

Diagnosa 1: Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang

kental atau berlebih.

Kriteria hasil:

Mempertahankan jalan napas pasien.Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.

Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas. Berpartisipasi

dalam program pengobatan sesuai kondisi. Mengidentifikasi potensial

komplikasi& melakukan tindakan tepat

Intervensi dan rasional:

1. Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan kedalaman dan

penggunaan otot aksesori.

Rasional: Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis.

2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif dan catat

karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.

Rasional: Pengeluaran sulit bila sekret kental, sputum berdarah kental atau cerah

diakibatkan kerusakan (kavitasi) atau lulcaan bronchial.


3. Atur posisi semi atau fowler tinggi.

Rasional: Memaksimalkan ekspansi paru.

4. Ajarkan pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam.

Rasional: Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan

gerakan ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.

5. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, pengisapan sesuai keperluan.

Rasional: Mencegah obstruksi atau aspirasi, pengisapan dapat diperlukan apabila

pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.

6. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi.

Rasional: Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret dan

mudah dikeluarkan.

7. Lembabkan udara/oksigenasi inspirasi

Rasional: Mencegah pengeringan membran mukosa; membantu pengenceran

sekret.

8. Berikan obat-obatan sesuai indikasi.

Rasional: Mempermudah pelaksanaan intervensi lain.

Diagnosa 2: Resiko terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan

dengan penurunan permukaan efektif paru.

Kriteria hasil:

Melaporkan tidak terjadi dispnea. Menunjukkan perbaikan ventilasi danoksigenasi

jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal. Bebas darigejala distress

pernapasan.

Intervensi dan rasional:

1. Kaji dispnea/takipnea tak normal atau menurunnya bunyi napas, peningkatan

upaya pernapasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan.


Rasional: Tuberculosis paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil

bronco pneumonia sampai inflamasi difus, nekrosis, efusi pleural dan fibrosis

luas.

2. Catat sianosis atau perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.

Rasional: Akumulasi sekret atau pengaruh jalan napas dapat mengganggu

oksigenasi organ vital dan jaringan.

3. Dorong bernapas bibir selama ekshalasi

Rasional: Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah

kolaps/penyempitan jalan napas.

4. Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri

sesuai keperluan.

Rasional: Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode

penurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala.

5. Berikan oksigen tambahan yang sesuai.

Rasional: Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder

terhadap penurunan ventilasi/permukaan alveolar paru.

Diagnosa 3: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia.

Kriteria hasil:

Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilailaboratoriurn

normal dan bebas tanda malnutrisi. Melakukan perubahan pola hidup untuk

meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.

Intervensi dan rasional:


1. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan

derajat kekurangan berat badan.

Rasional: Berguna dalam mendefinisikan derajat atau luasnya masalah dan pilihan

intervensi yang tepat.

2. Awasi masukan atau pengeluaran dan berat badan secara periodik.

Rasional: Mengatur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.

3. Dorong dan berikan periode istirahat sering.

Rasional: Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik

meningkat saat demam.

4. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.

Rasional: Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau

kebutuhan energi.

Kolaborasi:

5. Rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.

Rasional: Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat

untuk kebutuhan metabolik dan diet.

6. Awasi pemeriksaan lab, mis. BUN, protein serum, dan albumin.

Rasional: Nilai rendah menunjukkan kebutuhan program terapi

7. Berikan antipiretik tepat.

Rasional: Demam meningkatkan kebutuhan metabolik dan juga konsumsi kalori.

Diagnosa 4: Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan dan

pencegahan berhubungan dengan kurang informasi.

Kriteria hasil:

Menyatakan pemahaman prosespenyakit/prognosisdan kebutuhan pengobatan.

Melakukan perubahan prilaku danpola hidup unruk memperbaiki kesehatan

umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru.


Mengidentifikasi gejala yang mernerlukanevaluasi/intervensi. Menerima

perawatan kesehatan adekuat.

Intervensi dan rasionalisasi:

1. Kaji kemampuan pasien untuk belajar, contoh tingkat takut, masalah, kelemahan,

tingkat partisipasi, dan media terbaik.

Rasional: Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada

tahapan individu.

2. Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat dan

pemasukan cairan adekuat.

Rasional: Memenuhi kebutuhan metabolik mernbantu meminimalkan kelemahan

dan meningkatkan penyembuhan.

3. Berikan instruksi dan informasi tertulis khusus pada pasien untuk rujukan contoh

jadwal obat.

Rasional: Informasi tertulis menurunkan hambatan pasien untuk mengingat

sejumlah besar informasi.

4. Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan alasan

pengobatan lama.

Rasional: Meningkatkan kerja lama dlm program pengobatan & mencegah

penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.

5. Dorong pasien dan orang terdekat untuk menyatakan takut. Jawab pertanyaan

secara nyata.

Rasional: Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi atau

peningkatan ansietas.
Diagnosa 5:Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk

menetap.

Kriteria hasil:

Menyatakan nyeri berkurang atau terkontrol. Pasien tampakrileks.

Intervensi dan rasional:

1. Observasi karakteristik nyeri, misalnya tajam, konstan, dan ditusuk. Selidiki

perubahan karakter/lokasi/intensitas nyeri.

Rasional: Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat diukur.

2. Pantau TTV.

Rasional: Perubahan frekuensi TD jantung menunjukkan bahwa pasien

mengalami nyeri, khususnya bila alasan untuk perubahan tanda vital telah terlihat.

3. Berikan tindakan nyaman misalnya pijatan punggung, perubahan posisi, musik

tenang, relaksasi/latihan nafas.

Rasional: Tindakan non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat

menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesik.

4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.

Rasional: Pernafasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan

mengeringkan membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.

5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode

batukikasi.

Rasional: Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan

keefektifan upaya batuk.

6. Berikan analgesik sesuai indikasi.

Rasional: Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif,

meningkatkan kenyamanan.
Diagnosa 6: Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.

Kriteria hasil:

Suhu tubuhkembali normal

Intervensi dan rasional:

1. Kaji suhu tubuh pasien.

Rasional: Mengetahui peningkatan suhu tubuh, memudahkan intervensi.

2. Beri kompres air hangat.

Rasional: Mengurangi panas dengan pemindahan panas secara konduksi. Air

hangat mengontrol pemindahan panas secara perlahan tanpa menyebabkan

hipotermi atau menggigil.

3. Berikan/anjurkan pasien untuk banyak minum, 1500 – 2000 cc/hari (sesuai

toleransi).

Rasional: Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi.

4. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan mudah

menyerapkeringat.

Rasional: Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap

keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.

5. Observasi intake dan output, tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah) tiap 3 jam

sekali atau sesuai indikasi.

Rasional: Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan

cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui

keadaan umum pasien.

6. Pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai program.

Rasional: Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang

tinggi. Obat khususnya untuk menurunkan panas tubuh pasien.


D. Evalusi

1. Mampu mengeluarkan sekret tanpa bantuan.

2. Pasien bebas dari gejala distress pernapasan.

3. Mampu melakukan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan

BB yang ideal

4. Mampu mengevalusi gejala-gejala yang memerlukan implementasi.

5. Nyeri berkurang dengan kriteria pasien nampak rileks.

6. Suhu tubuh klien dalam batas normal.


Daftar Pustaka

Center for Disease Control and Prevention (CDC), Trends in tuberculosis


incidence— United Stauji, 2006. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2007.
Departemen Kesehatan Indonesia: Direktotat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada anak di indonesia. Jakarta:DepkeS RI, 2006.

IndahDia. 2010. World TB Day 2009 : STOP TB.http://www.Indosiar.com. kses


pada tanggal 1 Nov 2015

Mandal, B. K. Lecturer Notes Penyakit Infeksi. Jakarta: EGC, 2008.

Mansjoer, Aief, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius,


2001.

Nasronudin. HIV & AIDS : Pendekatan biologi molekuler klinik


dan sosial. Airlangga University Press 2007.

Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection: Epidemiology,


diagnosis & management. Indian J Med Res 2005.

Suddarth and Brunner.2001.Keperawatan Medikal BedahPatofisiologi. Edisi


8.Jakarta ; EGC

Tambayong, Jan. 2000. PatofisiologiuntukKeperawatan, EGG. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai