Anda di halaman 1dari 35

REFLEKSI KASUS

BRONKOPNEUMONIA, CARDIOMIOPATI PERIPARTUM,

DAN TYPHOID PADA IBU HAMIL

Disusun Oleh:
Rijal Dwika Saputro
20174011065

Pembimbing:
dr. Kuadiharto, Sp.PD.

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul

BRONKOPNEUMONIA, CARDIOMIOPATI PERIPARTUM,

DAN TYPHOID PADA IBU HAMIL

Disusun oleh:
Nama: Rijal Dwika Saputro
20174011065

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
, Oktober 2017

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Kuadiharto, Sp.PD.


BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. ARM

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 31 Tahun

Alamat : Sidomukti, Salatiga

Status : Menikah

Masuk RS : 02 Oktober 2017

No. CM : 16-17-337984

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama

Nafas Terasa Berat

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien berada di HCU dengan keluhan utama Nafas terasa berat atau sesak nafas. Nafas terdengar
suara grook. Keluhan dirasakan mulai 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan belum mendapat
penanganan sebelumnya dan merasa enak bernafas pada saat badan miring dan setelah program Nebul
menggunakan Ventolin. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak masuk rumah sakit. Batuk pasien terdapat
dahaknya. Pada saat batuk, pasien mengeluhkan sakit di dada. Pasien tidak mengeluhkan pusing, mual
(-), muntah (-). Keempat ekstremitas pasien dalam batas normal. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Pasien sekarang dalam masa kehamilan 28 minggu, dan mengatakan bahwa pada kehamilan sebelumnya
tidak memiliki riwayat penyakit tertentu atau seperti sekarang.
c. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung disangkal. Riwayat asma, bronchitis,
pneumonia, dan penyakit paru lain juga disangkal. Pasien juga menyatakan bahwa belum pernah
memiliki penyakit DHF, Tiphoid, Malaria, dan penyakit tropis yang lainnya

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung. Keluarga
pasien juga tidak memiliki riwayat asma, bronchitis, pneumonia, dan penyakit paru lain. Pasien juga
menyatakan bahwa Keluarga sedang tidak memiliki penyakit DHF, Tiphoid, Malaria, dan penyakit
tropis yang lainnya

e. Riwayat Personal Sosial

Pasien sering berada di dekat suaminya. Suaminya adalah seorang perokok. Pasien juga menyatakan
bahwa pasien jarang berolah raga. Pasien makan makanan dari hasil memasak sendiri. Pasien juga
menyatakan bahwa selama kehamilan ini, dia tidak bepergian ke daerah lain.

f. Anamnesis system

Kepala dan leher : tidak ada keluhan.


Respirasi : nafas terasa berat dan berbunyi grook serta batuk berdahak.
Gastrointestinal : tidak ada keluhan
Perkemihan : BAK tidak ada keluhan.
Ekstremitas : tidak ada keluhan
III. PEMERIKSAAN FISIK
 Status Generalisata

Keadaan umum Compos mentis

Tanda Vital:
Tekanan darah 120/59 mmHg

Nadi 116 x/ menit

Suhu 36,5o C

Pernafasan 34 x/ menit

SpO2 sistemik 92%


Kepala Normosefali, tidak terdapat hematom

Pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), CA (-


Mata /-), SI (-/-), penglihatan tidak kabur

Telinga Dbn

Hidung Dbn

Tenggorokan Dbn

Leher Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening

S1-S2 reguler, Takikardi, tidak ditemukan bising


Cor atau suara tambahan jantung

Nafas terlihat berat dan terengah-engah. Bentuk paru


simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk,
tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada nyeri tekan
Pulmo pada lapang paru, perkusi sonor, suara dasar
vesikuler (+/+) melemah, suara ronkhi (+/+), suara
wheezing (-/-). Serta terdapat suara dahak.

Supel (+), nyeri tekan (-), bising usus (+) N, timpani.


Abdomen Terdapat janin di uterus DJJ normal.

Ekstremitas akral dingin (-), oedem (-)


IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium (02/10/2017)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 13,6 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 2,88* 3,8 – 5,8 106/uL
Hemoglobin 9,4* 11,5 – 16,5 g/dL
Hematokrit 27,8 37.00 – 47.00 %
MCV 96,6 85 – 100 fL
MCH 32,6 28 – 31 pg
MCHC 33,8 30 – 35 g/dL
Trombosit 230 150 – 450 103/uL

HITUNG JENIS

Eosinofil 0.1 1–6 %


Basofil 0.3 0.0 – 1.0 %
Limfosit 6,6* 20 – 45 %
Monosit 5,2 2–8 %
Neutrofil 87,8 82.5 %
KIMIA
Creatinin 0,6 0,6 – 1,1 mg/dL
Asam Urat 4,4 2,4-5,7
SGOT 43 <31 U/L
SGPT 25 <32
IMUNOSEROLOGI
IgM Salmonella +6 Negative
(Tubex)

2. Pemeriksaan foto thorax


Kesan :
 Cor : cardiomegaly suspect LVH/RVH
 Pulmo : Gambaran edema pulmo, dengan Bronkopneumonia disertai efusi
pleura dextra sinistra
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja :
- Bronkopneumonia dengan acute lung oedem
- Cardiomegali dd Cardiomiopati
- Tiphoid Fever

VI. PENATALAKSANAAN
1. Ceftriaxone /12 jam 6. Levofloksasin 1x750
2. Paracetamol 3x1 7. OBH 3x1
3. Omeprazole 2x1 8. Digoxin 1x1
4. Ambroxol 3x1 9. Cedocard SP 30ml/4jam
5. Nebule ventolin 2x1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BRONKOPNEUMONIA

1. Definisi
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru
yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan
benda asing.Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju (Administered by the
Albert Medical Association, 2002).
2. Epidemiologi
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan,
baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health
Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia,
nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3
di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi
pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan
penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat
pneumonia di Amerika adalah 10 %( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2013).
Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab
pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada
pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris ( Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia,2013).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas
bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP
Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita
rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita
rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam
Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara
20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak
yang dirawat per tahun ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2013).
3. Etiologi
Etiologi bronkopneumonia dapat ditentukan berdasarkan 2 faktor, yaitu faktor infeksi dan non-
infeksi. Faktor infeksi pada neonatus disebabkan oleh
1. Streptokokus grup B,
2. Respiratory Sincytial Virus (RSV),

Pada bayi:

1. Virus parainfluensa,
2. virus influenza,
3. Adenovirus,
4. RSV,
5. Cytomegalovirus.
6. Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Bakteri: Streptokokus pneumoni,
Haemofilus influenza, Mycobacteriumtuberculosa, B. Pertusis,

pada anak-anak:

1. Parainfluensa,
2. Influensa Virus,
3. Adenovirus,
4. RSV
5. Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium
tuberculosa.

Pada anak besar dewasa muda:

1. Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis. Bakteri: Pneumokokus, B.


Pertusis, M. tuberculosis.

Sedangkan untuk faktor non-infeksi dapat terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks
esophagus yang meliputi, bronkopneumonia hidrokarbon: Terjadi oleh karena aspirasi selama
penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin),
bronkopneumonia lipoid: Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti
palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan
seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat
berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia.Menurut sistem imun pada penderita berpenyakit
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan
faktor predisposisi terjadinya penyakit ini (Rahajoe, 2008; WHO, 2009).

4. Patofisiologi
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru
yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan
benda asing.Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi
pengobatan (Price, 2009).
Umumnya mikroorganime penyebab bronkopneumonia ini terhisap ke paru bagian perifer
melalui saluran respiratori. Mula–mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penybaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukasit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang
cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di
alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini
disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap
normal (Price, 2009).
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit, shingga
stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri tertentu sering
menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi
Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak – bercak konsolidasi merata di
seluruh lapanga paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses kecil sering disebabkan
oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil karena Staphylococcus aureus
meghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase.
Toksi dan enzim ini enyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan
faktor plasma dan menghasilka bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga
terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman.
Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius.
Pneumotokel dapat menetap hingga berbulan– bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih
lanjut (Rahajoe, 2008; WHO, 2009).
5. Gejala klinis
Terdapat gangguan infeksi umum berupa demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti muntah atau diare, terkadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipneu, nafas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda
klinis seperti pekak perkusi, suara nafas melemah, dan ronkhi.
Dari anamnesis yang berhubungan dengan keluhan utama ditanyakan gejala sesak nafas akibat
penyakit respirasi dan sesak akibat kelainan jantung. Pada kasus didapatkan gejala sesak nafas tidak
berhubungan dengan aktivitas dan cuaca.Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas
berbunyi (mengi) atau mengorok, ini menggambarkan bahwa sesak nafas akibat respirasi dan
penyakit asma dapat disingkirkan.
Selanjutnya didapatkan gejala batuk, pilek, serta dahak yang berwarna putih yang tidak
bercampur darah, ada riwayat demam yang terus menerus naik turun, tidak ada penurunan berat
badan, riwayat kontak dengan orang dewasa yang menderita batuk lama ataupun yang sedang
menjalani pengobatan tuberculosa, hal ini dapat menyingkirkan diagnosa kearah tuberculosa.
Selanjutnya dari pemeriksaan fisik yang menunjang adalah terdapatnya pernafasan cuping hidung,
retraksi intercostal dan suprasternal, pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring, maka
dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan bronkopneumonia (WHO, 2009).
6. Diagnosis
Untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu,
1. darah perifer lengkap,
2. C-reaktif Protein (CRP),
3. uji serologis,
4. pemeriksaan mikrobiologis,
5. pemeriksaan rontgen thoraks.

Pemeriksaan darah lengkap perfier pada pneumonia yang disebabkan oleh virus biasanya leukosit
dalam batas normal, namun pada pneumonia yang disebabkan oleh bakteri didapatkan leukositosis
(15.000–40.000/mm3 ). leukosit yang dominan ialah PMN. Leukopenia ( 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf
lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang–kadang terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat.
CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau
inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF.
Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel rusak, secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisial atau profunda.

Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik sepert Mycoplasma dan chlamydia tampak
peningkatan antibodi IgM dan IgG.

Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau aspirasi paru (WHO, 2009; Smeltzer, 2000).

7. Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan
klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya
faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme
patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam
faktor modifikasis adalah:
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
 Umur lebih dari 65 tahun
 Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
 Pecandu alkohol
 Penyakit gangguan kekebalan
 Penyakit penyerta yang multipel
b. Bakteri enterik Gram negatif
 Penghuni rumah jompo
 Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
 Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
 Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudomonas aeruginosa
 Bronkiektasis
 Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
 Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
 Gizi kurang
d. Penderita rawat jalan
 Pengobatan suportif / simptomatik
 Istirahat di tempat tidur
 Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
 Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
 Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
 Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan)
e. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
 Pengobatan suportif / simptomatik
 Pemberian terapi oksigen
 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
 Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
 Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan)
f. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
 Pengobatan suportif / simptomatik
 Pemberian terapi oksigen
 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian obat
simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
 Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.)
 Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat
distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka
penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif. Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan
/ memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitiviti.
( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2013)

1. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab dan
penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat
mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita kurang
dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%.
Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pada rawat jalan
berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%,
kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun
1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20
-35% ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2013).
CARDIOMIOPATI PERIPARTUM

1. Definisi
Yang dimaksud dengan kardiomiopati peripartum adalah gagal jantung yang timbul pada bulan-
bulan terakhir kehamilan sampai dengan 5 bulan setelah melahirkan, tidak ada faktor lain yang
menyebabkan gagal jantung, tidak ada riwayat penyakit jantung sebelumnya, adanya disfungsi
sistolik ventrikel kiri yang ditunjukkan oleh ekokardiografi. (Pearson GD, et al., 2000)
2. Epidemiologi
Di antara penyebab penyakit jantung yang timbul pada wanita hamil, jarang sekali didapatkan
kardiomiopati peripartum sebagai penyebabnya. Insidensi kardiomiopati peripartum di Amerika
Serikat hanyalah 1 di antara 15000 kehamilan. Meskipun demikian, kardiomiopati peripartum dapat
mengancam nyawa, sehingga para klinisi harus dapat mendeteksinya sedini mungkin (Bokhari SW
& Reid CL, 2003)
3. Etiologi
Faktor resiko kardiomiopati peripartum adalah multiparitas, usia ibu yang tua, kehamilan ganda,
pre-eklampsia, hipertensi gestasional, dan ras Afrika-Amerika. Sampai saat ini, etiologi pastinya
belum ditemukan, diperkirakan karena miokarditis, respon imun abnormal terhadap kehamilan,
respon maladaptif terhadap stress hemodinamik saat hamil, aktivasi sitokin akibat stress, dan terapi
tokolitik yang berkepanjangan. (Brown CS & Bertolet BD, 1998)
4. Patofisiologi
Penyebab dari gejala klinis yang tampak pada kardiomiopati dilatasi adalah adanya penurunan
fungsi kontraksi miokardium diikuti oleh adanya dilatasi pada ruang ventrikel (Abraham et al,
2012)
Penurunan fungsi kontraksi miokardium disebabkan karena adanya kerusakan pada
kardiomiosit, kerusakan ini akan mengakibatkan kontraksi ventrikel menurun, dan diikuti dengan
penurunan volume sekuncup serta curah jantung. Penurunan kontraksi ventrikel jika sudah tidak
dapat diatasi lagi oleh mekanisme kompensasi (baik oleh peningkatan simpatis, mekanisme Frank-
Starling, sistem reninangiotensin-aldosteron/RAA dan vasopresin), maka akan menyebabkan
ventrikel hanya dapat memompa sejumlah kecil darah ke sirkulasi, sehingga nantinya darah
tersebut akan lebih banyak tertimbun di ventrikel, timbunan darah inilah yang akan menyebabkan
dilatasi ruang ventrikel yang bersifat progresif (Lilly, 2011)
Dilatasi ruang yang progresif nantinya akan membuat disfungsi katup mitral (katup mitral tidak
dapat tertutup sempurna), kelainan pada katup mitral ini akan menyebabkan terjadinya regurgitasi
darah ke atrium kiri. Regurgitasi darah ke atrium kiri memiliki tiga dampak yang buruk, yaitu
peningkatan tekanan dan volume yang berlebihan di atrium kiri sehingga atrium kiri membesar
yang akan meningkatkan resiko, dampak buruk berikutnya adalah regurgitasi ke atrium kiri
menyebabkan darah yang dipompakan oleh ventrikel kiri lebih sedikit sehingga memperparah
penurunan stroke volume yang telah terjadi, dampak buruk yang terakhir adalah pada saat diastolik
volume darah yang masuk ke atrium kiri menjadi lebih besar karena mendapat tambah darah yang
disebabkan oleh regurgitasi ventrikel kiri yang pada akhirnya akan menambah jumah darah di
ventrikel kiri, sehingga memperparah dilatasi yang telah terjadi (Abraham et al, 2012)
Penurunan stroke volume karena menurunnya kontraktilitas miokardium dan ditambah dengan
adanya regurgitasi katup mitral akan menimbulkan gejala kelelahan dan kelemahan pada otot
rangka karena kurangnya suplai darah ke otot rangka (Lilly, 2011). Pada kardiomiopati dilatasi juga
terjadi peningkatan tekanan pengisian ventrikel yang akan menimbulkan gejalagejala kongesti paru
seperti dispnea, ortopnea, ronki basah dan juga gejala-gejala kongesti sistemik seperti peningkatan
tekanan vena jugularis, hepatomegali dan edema perifer (Lilly, 2011).
5. Gejala klinis

Gejala kardiomiopati peripartum meliputi: mudah lelah, nyeri dada, batuk, berdebardebar, sesak
nafas (paroxysmal nocturnal dyspnea dan ortopnea), batuk, hemoptisis. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan tekanan darah yang tinggi atau normal, distensi vena leher, pembesaran jantung, gallop,
aritmia jantung, ronki basah halus pada paru, hepatomegali, asites, edema kaki. Pada pemeriksaan
EKG, dapat ditemukan sinus takikardi atau aritmia atrium, gelombang T terbalik, gelombang Q,
perubahan ST-T nonspesifik, hipertrofi ventrikel kiri. Pada foto toraks, dapat ditemukan
kardiomegali, kongesti vena pulmonal, dan infiltrat pada kedua basal paru. Pada pemeriksaan
ekokardiografi, dapat ditemukan dilatasi ventrikel dengan gangguan fungsi sistolik secara
keseluruhan. (Brown CS & Bertolet BD, 1998)

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kardiomiopati peripartum sama dengan penatalaksanaan gagal jantung pada
umumnya yang meliputi: restriksi cairan, diet rendah garam, diuretik, vasodilator, digitalis,
penyekat β- adrenergik. Bedanya, pemberian obat pada penderita kardiomiopati peripartum perlu
memperhatikan faktor keamanan obat terhadap janin dan ekskresi obat atau metabolitnya ke dalam
air susu ibu (ASI) pada ibu yang menyusui. (Bokhari SW & Reid CL, 2003).
Penanganan bersama antara ahli penyakit dalam dan ahli kandungan sejak trimester pertama
pada semua wanita hamil dengan riwayat penyakit jantung, mutlak diperlukan dalam rangka
menurunkan mortalitas dan morbiditas akibat perburukan fungsi jantung pasien selama kehamilan.
Melalui kerjasama tersebut pada masa antepartum, diharapkan usia kehamilan optimal untuk
melahirkan, tempat dan cara melahirkan yang terbaik, tindakan spesifik yang berkaitan dengan
kelainan jantung (misalnya: monitor invasif, profilaksis endokarditis subakut bakterial, terapi gagal
jantung) dapat direncanakan secara matang sebelum pasien memasuki proses persalinan. Selama
masa antepartum, evaluasi fungsi jantung harus dilakukan secara berkala dan setiap penyulit
(misalnya: preeklampsia, infeksi, anemia, hipertiroidisme) harus ditangani secara agresif. (Arafeh
J & Sayed Y, 2004)
Penanganan kardiomiopati peripartum terutama ditujukan untuk mengatasi gagal jantung
kongestif yang timbul pada masa antepartum, intrapartum, dan postpartum. Penanganan gagal
jantung kongestif pada kehamilan pada prinsipnya sama dengan penanganan gagal jantung
kongestif secara umum, yakni dengan cara mengurangi preload, memperbaiki kontraktilitas
jantung, dan mengurangi afterload. Hanya bedanya, pemberian obat untuk mengatasi gagal jantung
kongestif pada masa kehamilan harus memperhatikan keamanan obat terhadap janin.
Pengurangan preload dimulai dengan diet rendah garam (konsumsi natrium kurang dari 4 gram)
dan restriksi cairan (kurang dari 2 L). Bila tidak berhasil, diuretik dan preparat nitrat dosis rendah
dapat diberikan untuk menurunkan preload. (Brown CS & Bertolet BD, 1998) Sebagai diuretik
pada masa kehamilan, furosemid lebih dianjurkan daripada tiazid, karena tiazid dapat
mengakibatkan trombositopenia, hipoglikemia, anemia hemolitik, bradikardi pada janin. (Qasqas
SA et al, 2004)
Meskipun penghambat ACE merupakan pilihan utama untuk menurunkan afterload,
penghambat ACE hanya boleh diberikan setelah bayi lahir. Sebagai gantinya, selama kehamilan,
dapat diberikan amlodipin 5-10 mg (1x1) atau kombinasi hidralazin 25-100 mg (4x1) dan
nitrogliserin kerja panjang untuk mencapai tekanan darah sistolik 110-100 mmHg. (Brown CS,
Bertolet BD, 1998)
Hasil penelitian CIBIS-I (Cardiac Insufficiency Bisoprolol Study) menemukan bahwa
pemberian bisoprolol dapat menurunkan angka opname pada penderita gagal jantung sebesar 34%
karena bisoprolol bersifat sebagai penyekat 1-adrenergik yang selektif. (CIBIS Investigators and
Committees, 1994) Sedangkan hasil penelitian CIBIS-II menemukan bahwa pemberian bisoprolol
pada pasien gagal jantung kongestif kelas III-IV yang mempunyai fraksi ejeksi ≤ 35% dapat
mengurangi angka kematian.
Berdasarkan hasil penelitian DIG (Digoxin Investigators Group), pemberian digoksin pada
gagal jantung kongestif tanpa disertai fibrilasi atrium hanya menyebabkan penurunan angka
opname sebanyak 28%, bukan angka mortalitas. (The Digitalis Investigation Group, 1997) Oleh
karena itu, digoksin tidak rutin diberikan pada setiap penderita gagal jantung kongestif. Digoksin
hanya diberikan pada penderita gagal jantung kongestif yang kurang responsif terhadap kombinasi
penghambat ACE dan penyekat 1-adrenergik. Digoksin 0,25 mg per hari cukup aman untuk wanita
hamil dan menyusui, namun kadarnya dalam serum harus dipantau secara berkala supaya tetap
berada dalam kisaran 1-2 ng/dL (Brown CS & Bertolet BD., 1998).
Secara fisiologis, kontraksi uterus pada masa intrapartum menyebabkan peningkatan tekanan
darah, denyut jantung, curah jantung, serta konsumsi oksigen. Nyeri selama masa intrapartum dapat
mengakibatkan tekanan darah dan denyut jantung makin meningkat lagi. Oleh karena itu,
pengendalian nyeri sangat penting. (Arafeh J & Sayed Y, 2004) Penderita kardiomiopati peripartum
yang stabil dapat menjalani induksi persalinan, sedangkan penderita yang mengalami
dekompensasi kordis akut harus menjalani sectio caesarea. (Heider Al, et al, 1999) Selama
intrapartum, penderita harus dimonitor dengan kateter arteri pulmonal secara ketat karena
sewaktuwaktu dapat terjadi dekompensasi kordis akut. Anestesi epidural merupakan pilihan utama
karena anestesi epidural mempunyai efek simpatektomi yang dapat menurunkan afterload pada
penderita kardiomiopati peripartum. Anestesi umum hanya dilakukan pada pasien dengan
dekompensasi kordis akut atau gawat janin. (Brown CS & Bertolet BD., 1998).
Secara fisiologis, pada masa postpartum, 1000 ml darah kembali ke sirkulasi maternal dari
uterus dan ekstremitas bawah. Gagal jantung kiri dapat terjadi akibat fluktuasi jumlah darah dalam
sirkulasi maternal tersebut, sehingga akhirnya timbul edema paru yang dapat mengancam nyawa.
(Arafeh, Sayed Y, 2004) Demikian pula halnya yang terjadi pada pasien ini. Pasien mengalami
edema paru hebat dua hari postpartum, yang ditandai dengan memberatnya keluhan sesak nafas.
7. Prognosis
Prognosis penderita kardiomiopati peripartum sangat beragam, tergantung pada pulihnya fungsi
jantung dalam waktu 6 bulan postpartum. 50% dari penderita kardiomiopati peripartum dapat
sembuh sempurna. Mortalitas akibat peripartum kardiomiopati diperkirakan sebesar 25%.
Kematian biasanya disebabkan oleh gagal jantung kongestif progresif, aritmia, atau tromboemboli.
(Bokhari SW, Reid CL, 2003) Meskipun fraksi ejeksi sudah kembali normal, penderita
kardiomiopati peripartum tidak dianjurkan untuk mengandung lagi karena cadangan kemampuan
kontraktilitas jantung sudah terganggu, sehingga gagal jantung kongestif kemungkinan besar akan
terulang kembali pada kehamilan selanjutnya. (Brown CS & Bertolet BD., 1998)
TIPHOID

1. Definisi

Demam tifoid (enteric fever, tifus, paratifus abdominalis) adalah infeksi sistemik akut yang
disebabkan oleh Salmonella enteric serotype thypi atau paratyphi. Saat ini, kultur darah langsung yang
diikuti dengan identifikasi mikrobiologi adalah standar emas untuk mendiagnosa demam tifoid
(Wibisono,2014).

2. Epidemiologi

Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan ketersediaan air
bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara
berkembang. Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Selatan,
Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (Widodo, 2014).

Di Indonesia demam tifoid bersifat endemic dan sporadic. Insidens banyak dijumpai pada populasi
berusia 3-19 tahun. demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya
anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan,
menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam
rumah(Widodo, 2014).

3. Etiologi

Demam tifoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi, atau jenis
yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi bioserotipe A, B atau C. Salmonella adalah
kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan bakteri anaerob fakultatif
yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi memiliki antigen H yang
terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang terletak pada envelope, serta komponen
endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding sel(Wibisono,2014).
Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering
adalah pasien karier (pasien karier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun). Di daerah endemik
transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Di derah nonendemik penyebaran terjadi melalui
tinja(Widodo, 2014).
4. Patofisiologi

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik(Widodo, 2014).

Kuman masuk ke dalamkandung empedu, berkembang biak dan bersama cairan empedu
diekresikan secara intermittent kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan
sebagian masuk lagikedalam sirkulasi setelah menembus usus. Prosesyang sama terulang kembali,
karena makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator imflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti : demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitasvaskuler, gangguan
mental dan koagulasi(Widodo, 2014)..

5. Diagnosis
a. Manifestasi klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Pada minggu pertama gejala klinis
penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak diperut,
batuk, epitaksis, pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah
meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-
gejala mulai lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia(Widodo, 2014).
a. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung
jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat
meningkat.
SGOPT atau SGPT seringkali meningkat, tetapi akan menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan
SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
 Uji widal
Uji Widal ini dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji ini
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu aglutinin O (tubuh kuman), agglutinin H (flagella kuman) dan
aglutinin Vi (simpai kuman).
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi
hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda
infeksi). Uji Widal saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, namun manfaatnya
masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar
aglutinasi (cut-off point). Upaya untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar
(baseline titer) pada orang sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada orang-orang sehat.
 Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah
untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi pada serum pasien, dengan cara menghambat
ikatan antara IgM yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi
yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi
akan memberikan hasil negatif.
Skor Hasil Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian,
apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa
hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

 Uji thypidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar
Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat
mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang
terdapat pada strip nitroselulosa.

 Uji Ig M Dipstick
Uji ini mendeteksi antibody Ig M spesifik terhadap salmonella typhi pada specimen serum atau
whole blood.
 Kultur darah
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi:
(1) jumlah darah yang diambil
(2) perbandingan volume darah dari media empedu
(3) waktu pengambilan darah.
b. Penatalaksanaan
 Istirahat (tirah baring) dan perawatan
Istirahat (tirah baring) dan perawatan bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Posisi pasien
pelu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga.
 Diet dan terapi penunjang ( simtomatik dan suportif)
Diet dan terapi penunjang ( simtomatik dan suportif) bertujuan mengembalikan rasa nyaman
dan kesehatan pasien secara optimal dan merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi
penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Demam tifoid diberikan diet
bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi. Pemberian bubur
saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.
 Antimikroba
Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Obat-
obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut
(Prayitno, 2012) :
a. Kloramfenikol
Obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per
hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, akan
tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkian terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5
sampai ke-6.
c. Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa
adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprin) diberikan
selama 2 minggu3.
d. Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2
minggu.Umumnya digunakan pada penderita demam tifoid dengan lekopenia yang tidak mungkin
diberikan kloramfenikol, atau yang resisten terhadap kloramfenikol3.
d. Sefalosporin generasi ketiga
 Ceftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama
setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
 Cefrixime
e. Golongan Fluorokuinolon
 Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
g. Azitromisin
Dosis 2x500mg, diberikan jika terdapat kecurigaan adanya resistensi pada golongan kuinolon.
8. Prognosis

Prognosis antara orang dengan demam tifoid tergantung terutama pada kecepatan diagnosis dan
memulai pengobatan yang benar. Umumnya, demam tifoid yang tidak diobati membawa tingkat
kematian 10%-20%. Pada penyakit diperlakukan dengan baik, angka kematian kurang dari1%.
Jumlah yang tidak ditentukan pasien mengalami jangka panjang atau komplikasi permanen,
termasuk gejala neuropsikiatri dan tingginya tingkat kanker pencernaan(Brusch, 2016).
9. Pencegahan

Preventif dan kontrol penularan


Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid :
 Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien asimptomatik, karier ataupun akut.
 Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier yang dapat
dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah
diketahui pengidap kuman S.Typhi
 Proteksi pada orang yang beresiko tinggi terinfeksi dengan cara vaksinasi

DAFTAR ANTIBIOTIK YANG AMAN

UNTUK IBU HAMIL

Klasifkasi FDA tentang obat yang mempunyai efek terhadap janin. Pada tahun 1979, FDA
merekomendasikan 5 kategori obat yang memerlukan perhatian khusus terhadap kemungkinan efek
terhadap janin.

A. Obat yang sudah pernah diujikan pada manusia hamil dan terbukti tidak ada risiko terhadap
janin dalam rahim. Obat golongan ini aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil (vitamin)
B. Obat yang sudah diujikan pada binatang dan terbukti ada atau tidak ada efek terhadap janin
dalam rahim akan tetapi belum pernah terbukti pada manusia. Obat golongan ini bila diperlukan
dapat diberikan pada ibu hamil (Penicillin).
C. Obat yang pernah diujikan pada binatang atau manusia akan tetapi dengan hasil yang kurang
memadai. Meskipun sudah dujikan pada binatang terbukti ada efek terhadap janin akan tetapi
pada manusia belum ada bukti yang kuat. Obat golongan ini boleh diberikan pada ibu hamil
apabila keuntungannya lebih besar dibanding efeknya terhadap janin (Kloramfenicol,
Rifampisin, PAS, INH).
D. Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin manusia. Obat golongan ini tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil. Terpaksa diberikan apabila dipertimbangkan untuk
menyelamatkan jiwa ibu (Streptomisin, Tetrasiklin, Kanamisin).
E. X = Obat yang sudah jelas terbukti ada risiko pada janin manusia dan kerugian dari obat ini jauh
lebih besar daripada manfaatnya bila diberikan pada ibu hamil, sehingga tidak dibenarkan untuk
diberikan pada ibu hamil atau yang tersangka hamil
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien mengeluhkan sesak nafas, dan batuk berdahak, hal ini memiliki kemungkinan bahwa
pasien memiliki penyakit ISPA. Setelah digali lagi ternyata pasien juga memiliki resiko terpaparnya
asap rokok. Untuk membuktikan hal tersebut, perlu dilakukan uji serologis dan sputum serta foto thorak
untuk melihat keadaan paru paru pasien dan untuk mendiagnosis penyebab dari sesak nafasnya.

Dari hasil foto thorak ternyata terdapat gambaran air bronchogram yang meluas dan terdapat
kecenderungan pneumonia. Selain itu, foto thorak juga menunjukkan ada acute lung oedem dan juga
efusi pleura. Efusi pleura terlihat saat sudut costofrenicus tidak terlalu jelas atau opak. Hal tersebut akan
menyebabkan pasien sesak nafas dan sulit bernafas.

Dalam foto thoraks juga menunjukkan bahwa terdapat cardiomegaly, yaitu besarnya ventrikel
kanan dan kiri yang kemungkinan diakibatkan oleh kardiomiopati peripartum. kardiomiopati peripartum
adalah gagal jantung yang timbul pada bulan-bulan terakhir kehamilan sampai dengan 5 bulan setelah
melahirkan, tidak ada faktor lain yang menyebabkan gagal jantung, tidak ada riwayat penyakit jantung
sebelumnya, adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri yang ditunjukkan oleh ekokardiografi. (Pearson GD,
et al., 2000). Hal ini akan memperberat keadaan pasien karena pasien juga sedang mengandung janin

Selain masalah diatas, pada uji serolog IgM salmonella, pasien juga didiagnosis tiphoid. Demam
tifoid (enteric fever, tifus, paratifus abdominalis) adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella enteric serotype thypi atau paratyphi. Saat ini, kultur darah langsung yang diikuti
dengan identifikasi mikrobiologi adalah standar emas untuk mendiagnosa demam tifoid
(Wibisono,2014).

Untuk penanganan masalah pada pasien, perlu diperhatikan efektivitas dari beberapa obat
terutama antibiotic dan penguat kontraksi jantung. Selain itu perlu juga diperhatikan keamanan bagi
janin. Jika semakin memburuk, maka keberadaan janin perlu diterminasi untuk menyelamatkan sang
ibu, tetapi perlu informed consent kepada kelarga.

Terapi yang digunakan dalam kasus ini sudah sesuai yaitu menggunakan antibiotic ceftriaxone
dikombinasikan dengan levofloksasin dimana kombinasi ini adalah kombinasi yang diharapkan optimal
dalam mengeliminasi bakteri penyebab bronopneumonia dan tiphoid(Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2013). Selain itu, beberapa terapi suportif untuk pasien bertujuan untuk membantu efektivitas
dari antibiotic juga sudah sesuai dengan beberapa literature.
Penatalaksanaan kardiomiopati peripartum sama dengan penatalaksanaan gagal jantung pada
umumnya yang meliputi: restriksi cairan, diet rendah garam, diuretik, vasodilator, digitalis, penyekat β-
adrenergik. Bedanya, pemberian obat pada penderita kardiomiopati peripartum perlu memperhatikan
faktor keamanan obat terhadap janin dan ekskresi obat atau metabolitnya ke dalam air susu ibu (ASI)
pada ibu yang menyusui. (Bokhari SW & Reid CL, 2003).
Penanganan bersama antara ahli penyakit dalam dan ahli kandungan sejak trimester pertama
pada semua wanita hamil dengan riwayat penyakit jantung, mutlak diperlukan dalam rangka
menurunkan mortalitas dan morbiditas akibat perburukan fungsi jantung pasien selama kehamilan.
Melalui kerjasama tersebut pada masa antepartum, diharapkan usia kehamilan optimal untuk
melahirkan, tempat dan cara melahirkan yang terbaik, tindakan spesifik yang berkaitan dengan kelainan
jantung (misalnya: monitor invasif, profilaksis endokarditis subakut bakterial, terapi gagal jantung)
dapat direncanakan secara matang sebelum pasien memasuki proses persalinan. Selama masa
antepartum, evaluasi fungsi jantung harus dilakukan secara berkala dan setiap penyulit (misalnya:
preeklampsia, infeksi, anemia, hipertiroidisme) harus ditangani secara agresif. (Arafeh J & Sayed Y,
2004)
BAB IV

KESIMPULAN

Ny. ARM didiagnosis Bronkopneumoni dengan ALO, Cardiomiopati peripartum,


typhoid, dan gravida 28 minggu. Penatalaksanaan yang digunakan pada pasien ini perlu
didiskusikan antar dokter ahli yaitu dokter penyakit dalam, dokter obsgyn, dokter spesialis paru,
dokter spesialis jantung serta dokter anastesi. Pemberian terapi perlu mempertimbangkan
pendapat dari keluarga dengan informed consent. Medikasi yang diberikan juga memerlukan
pertimbangan keamanan bagi sang ibu maupun janin

Pada pemeriksaan penunjang berupa foto thorak dan tes serologi, pasien didiagnosis
Bronkopneumoni dengan ALO, Cardiomiopati peripartum, typhoid, dan gravida 28 minggu. .
Penatalaksanaan bagi pasien dengan istirahat, tirah baring, diet, pengobatan simptomatik dan
antibiotic yang tentunya memiliki tingkat optimal terbaik dana man bagi ibu dan janinnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abraham WT, Acker MA, Ackerman MJ, Ades PA, Antman EM, Anversa P, et al. Braunwald Heart
Disease. 9ed. Philadelphia: Elsevier;2012.
Administrated by the Alberta Medical Association. Guideline For The Diagnosis and Management Of
Community Acquired Pneumonia: Pediatrics.Available from
url:http://www.centralhealth.nl.ca/assets/PandemicInfluenza/PNEUMONIAPEDI
ATRICS.pdf\ .2002.
Arafeh J, Sayed Y. Cardiac disease in pregnancy. NeoReviews. 5(6): 232-8. 2004.
Bokhari SW, Reid CL. Heart disease in pregnancy. In: Crawford MH, editor. Current diagnosis and
treatment in cardiology. 2nd edition. New York: McGraw Hill : 500-1. 2003.
Brown CS, Bertolet BD. Peripartum cardiomyopathy: A comprehensive review. Am J Obstet
Gynecol;178:409-14. 1998.
Brusch, John L. Typhoid Fever Follow Up dalam e.medicine.com ; 2016
Lilly LS. Patophysiology of heart disease. 5ed. Philadelphia: Lippincott William&Wilkins;2011.
Marie, R; Griffin, MD; Yuwei, Z; Matthew,R; Moore, MD; Cynthia, G; Whitney, MD; Carlos, G. U.S.
Hospitalizations for Pneumonia after a Decade of Pneumococcal vaccination. Volume I.
Massachusetts Medical Society: The New England Journal of Medicine. 2012. p 34-44.
Murray N. Text Book of Respiratology Medicine, Edisi I. Volume I United State of America : Elseiver
Saunders. 2005.
Nelson. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Volume 2. Jakarta : EGC. 2000
Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002 ; 347(22): 1770-82
Pearson GD, Veille JC, Rahimtoola S, et al. Peripartum cardiomyopathy: National Heart, Lung, and
Blood Institute, and Office of Rare Disease (National Institutes of Health) Workshop
recommendations and review. JAMA. 2000. 283 (9):1183.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-pneumoniakom/pnkomuniti.pdf.
2003.
Prayitno, Ari. “Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid :Update Management of Infectious
Diseases and Gastrointestinal Disorders. Jakarta :Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM. 2012 : 9-15.
Price, S. A. Pathophysiology : Clinical Concepts of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah.
Edisi 4.Jakarta : EGC. 2009.
Qasqas SA, McPherson C, Frishman W, Elkayam U. Cardiovascular pharmacotherapeutic
considerations during pregnancy and lactation. Cardiology in Review. 12(5):240-61. 2004.
Rahajoe, Nastini N. Buku Ajar Respirologi, Edisi I. Jakarta IDAI. 2008.
Smeltzer, S. C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume I,Jakarta : EGC. 2000.
WHO. Buku Saku pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit.http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/09/Bu ku-Saku-
Pelayanan-Kesehatan-Anak-di-RS.pdf. 2009.
Wibisono, Elita; Susilo, Adityo; Nainggolan, Leonard. Demam Tifoid dalam Tanto, C; Liwang, F;
Hanifan, S; Pradipta, E A. Kapita Selekta Kedokteran Edisike IV. Jakarta : Media Aesculapius,
FKUI. 2014: 721-723.
Widodo, Djoko. “Demam Tifoid” dalam Sudoyo WA, Setiadi S, Alwi I et all. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing. 2014 : 549-558.
Zul, D. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2000.

Anda mungkin juga menyukai