Anda di halaman 1dari 4

Mengembalikan Konsep Wen dalam Upaya

Memandirikan Lagi Orang Papua

“hat heki agatma, usawusak hayuk halok, hat hipere awu motok dosak”

Masyarakat Tanah Papua adalah masyarakat yang beragam. Masing-masing suku dan wilayah
memiliki kekhasan sendiri. Di dalamnya termasuk filosofi hidup yang menjadi arah dan tatanan dalam
mengatur kehidupan masyarakat dan relasi-relasi dengan alam maupun sesama,

Dalam semangat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pembangunan desa (selanjutnya akan
disebut kampung) di tanah Papua perlu menempatkan orang kampung sebagai subjek pembangunan,
bukan objek. Hal itu berarti ada keharusan menggali dan menimbang filosofi yang hidup di tengah
masyarakat untuk menentukan pendekatan pembangunan yang tepat. Salah satu filosofi dasar yang
dihidupi oleh masyarakat Lembah Baliem, di kabupaten Jayawijaya, adalah Wen, Wam dan Wene
atau 3W.

Keberadaan Program Pembangunan Desa Mandiri (PPDM) Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi
merupakan upaya untuk menemani masyarakat kampung agar mampu merencanakan,
melaksanakan dan memantau usaha ekonomi produktif pertanian. Kabupaten Jayawijaya merupakan
satu dari tiga belas kabupaten dampingan PPDM di Tanah Papua. Pilihan pendekatan PPDM yang
berfokus pada sektor pertanian erat kaitannya dengan filosofi 3W, khususnya Wen. Tulisan ini
mencoba mendeskripsikan pendekatan PPDM dan filosofi 3W.
WEN, WAM, WENE: TAK ADA UANG DI ANTARA KITA
Kehidupan bagi masyarakat Lembah Baliem awalnya hanya berkisar pada tiga hal yaitu Wen,
Wam dan Wene. Wen adalah kebun, wam adalah ternak babi dan wene adalah segala sesuatu
yang hadir dalam keseharian mereka, termasuk soal-soal hidup seperti kesehatan, pendidikan
maupun rumah tangga. Belum ada intervensi alat penukar bernama uang.

Wen adalah kebun. Masyarakat Lembah Baliem meyakini bahwa hidup tidak terlepas dari segala
sesuatu yang ada di kebun. Kebun menjadi semacam sentra kehidupan bagi mereka karena dari
sanalah sumber penghidupannya. Lembah ini memang lembah yang subur dan kaya. Dengan
ketinggian di atas 1.750 mdpl dan dikelilingi pegunungan Jayawijaya yang menjulang kokoh,
terhampar kebun-kebun kopi, buah merah, buah naga, juga ladang hipere dan sayur-mayur serta
bunga beraneka warna yang menjadi incaran lebah penghasil madu. Kebun mencari simbol
memberi dan meneruskan kehidupan. “Hat heki agatma, usawusak hayuk halok, hat hipere awu
motok dosak,” demikian nasehat orang tua kepada anak-anak mereka. Artinya kurang lebih, “Jika
kamu tidak bekerja di kebun, tak ada hipere yang bisa dimakan.”

Wam adalah babi, simbol perayaan kehidupan. Umumnya, setiap keluarga di Lembah Baliem pasti
memiliki sekurang-kurangnya satu ekor babi. Babi adalah semacam tabungan. Babi digunakan untuk
berjaga-jaga bila ada kebutuhan mendesak, Babi juga dipelihara secara sadar karena merupakan
kebutuhan. Jumlah babi yang dimiliki dan yang digunakan untuk berbagai ritual juga dapat
menunjukkan kelimpahan hasil kebun maupun kekayaan keluarga. Setiap perayaan yang dilakukan
masyarakat memang ditandai dengan pemotongan babi sebagai simbol ungkapan syukur atas
kelimpahan hasil kebun. Bahkan untuk kedukaan, pemotongan babi tetap dilakukan sebagai simbol
kecintaan pada yang meninggal dan harapan penyertaan dari para leluhur.

Wene berkaitan dengan segala persoalan hidup seperti pendidikan, kesehatan maupun rumah
tangga. Bagi masyarakat, persoalan hidup itu akan menjadi ringan bila rajin bekerja di kebun.
Selain kebun menjadi sumber penghidupan, relasi dengan alam menjadi semacam obat bagi
tubuh dan jiwa. Wen, wam dan wene menjadi satu pusaran hidup masyarakat di Lembah Baliem
dan harmoni ketiganya adalah tentang hidup yang berkelanjutan.

KONSEP UANG DAN PERUBAHAN PARADIGMA


Tidak ada yang tak berubah selain perubahan itu sendiri. Masyarakat di Tanah Papua pun
mengalami perubahan. Sebagian perubahan dipengaruhi oleh perjumpaan dengan masyarakat
pendatang serta pendekatan pembangunan yang dilakukan di Papua. Hal-hal baru diperkenalkan
kepada masyarakat Papua, baik hal-hal yang mempermudah hidupnya maupun hal yang benar-
benar baru sekaligus menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru. Kebutuhan-kebutuhan baru
tersebut tidak serta-merta dapat diambil di kebun, tetapi melalui alat penukar yang disebut uang.
Pendekatan pembangunan yang telah berlangsung lama pun tak lepas dari pemberian bantuan
berupa barang dan uang serta memposisikan orang kampung sebagai objek.

Di beberapa wilayah di Tanah Papua, konsep tentang uang adalah konsep yang absurd.
Masyarakat bisa dengan mudah melepaskan unit-unit produksi berupa lahan tanpa uang
pengganti atau dengan nilai yang sangat kecil dibanding luasan dan lama penggunaan lahan
yang ditawarkan. Begitu pun dengan komoditas-komoditas lokal bernilai ekonomis tinggi yang
dihargai murah oleh penadah dan tengkulak. Di sisi lain, masyarakat kampung juga kadang
menentukan harga yang tak masuk akal untuk komoditasnya sehingga sulit diterima oleh pasar
atau menetapkan biaya fantastis untuk penyelesaian persoalan-persoalan sosial. Secara
fungsional, nilai uang di Tanah Papua menjadi sangat fluktuatif.

Bantuan-bantuan yang diberikan dalam bentuk uang ataupun barang sering diterima semata-
mata sebagai pemberian, bukan sebagai investasi untuk mengakselerasi proses-proses
pembangunan yang berlangsung di kampung bagi kesejahteraan masyarakat. Pendampingan
menjadi hal krusial yang perlu dilakukan. Bukan karena orang Papua bodoh, tetapi karena
pendekatan yang terjadi selama ini bertolak belakang dengan laku hidup keseharian dan
menciptakan kebutuhan-kebutuhan yang tak dapat mereka penuhi.

Di masyarakat Lembah Baliem, konsep uang bahkan telah mengubah paradigma sebagian
masyarakat, termasuk para petani. Jika berpegang pada filosofi Wen, Wam dan Wene, maka
orang akan bekerja di kebun untuk mendapatkan penghidupan. Saat ini, setengah dari luasan
wen atau kebun kopi yang ada di Jayawijaya berstatus terlantar atau tak terurus. Alasan
utamanya adalah ketiadaan uang untuk membayar tenaga kerja (wene). Seandainya
penghidupan disetarakan dengan uang, maka perubahan paradigma yang terjadi yaitu dari
berkebun dulu baru mendapatkan uang menjadi ada uang dulu baru mau berkebun. Wen tidak
lagi menjadi solusi untuk wene, melainkan menjadi wene itu sendiri.

Perjumpaan dengan sektor perbankan juga tidak selalu memberi manfaat bagi masyarakat Tanah
Papua. Tanpa pemahaman yang baik tentang pengelolaan keuangan, upaya mereka mengakses
kredit mikro menjadikan mereka orang-orang berhutang. Hasil panen dari wen tidak lagi untuk
dirayakan dengan wam, tetapi sebatas untuk membayar kredit. Tentu tidak semua demikian.
MENGEMBALIKAN KONSEP WEN UNTUK MEMANDIRIKAN LAGI ORANG PAPUA
Dengan fokus pada sektor pertanian, PPDM berupaya mengajak masyarakat kampung untuk
kembali memetakan tipologi kampung Pemetaan tipologi yang dilakukan selalu menunjukkan
bahwa masyarakat kampung di Papua adalah masyarakat petani atau nelayan karena
menggantungkan penghidupannya dari hasil pertanian atau tangkapan laut. Pemetaan ini juga
menunjukkan bahwa wen masih menjadi sumber penghidupan orang Papua.

Dalam pendampingannya, PPDM berusaha agar masyarakat mampu merencanakan,


melaksanakan dan memantau usaha ekonomi produktif pertanian demi kesuksesan atau
kemandirian kampungnya. Masyarakat diajak untuk menggalokasikan dana untuk sektor
pertanian dari pos Dana Kampung yang diterima setiap tahun agar ada peningkatan
kesejahteraan petani berbasis potensi yang dimiliki kampung.

Wen perlu kembali dikelola agar memberi kebaikan bagi orang kampung. Pengelolaan wen
diarahkan pada dua hal, yaitu ketahanan pangan dan peningkatan ekonomi masyarakat. Sebagai
ketahanan pangan, segala yang dihasilkan dari wen adalah dalam rangka memastikan orang
kampung tidak kelaparan karena selalu ada yang bisa dimakan. Sebagai peningkatan ekonomi
masyarakat, segala yang dihasilkan dari wen adalah komoditas bernilai ekonomis yang dapat
menambah pendapatan petani. Kombinasi keduanya penting karena umumnya yang pertama
adalah komoditas berumur pendek, sedangkan yang berikutnya adalah komoditas tahunan.

Oleh karena itu, kemandirian orang Papua dapat dilihat dari dua hal yaitu wen yang produktif dan
terkelola dengan baik, serta adanya tabungan. Untuk konteks masyarakat Lembah Baliem,
tabungan itu bisa dalam bentuk wam. Walaupun harga-harga sering tidak menentu dan tidak pasti
di sana, tetapi harga wam selalu bagus dan selalu dibutuhkan. Konsep tabungan dalam bentuk
uang mungkin akan lebih pas setelah unit-unit produksi pertanian berjalan dengan baik.

Uang tetap menjadi hal yang tak lagi dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Tanah Papua
saat ini. Agar uang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Tanah Papua,
investasi maupun bantuan yang diberikan dalam bentuk uang perlu diarahkan agar masyarakat
tidak meninggalkan wen tetapi mengelolanya dengan baik dan menjadi mandiri.

Anda mungkin juga menyukai