PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat atau bidan akan tercermin dalam
setiap langkahnya, termasuk salah satu yaitu penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam
merespon situasi yang muncul. Oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang etika dan
moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan
asuhan keperawatan atau kebidanan dimana nilai-nilai pasien selalu menjadi pertimbangan dan
dihormati.
Saat ini perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit, juga memandang klien secara komprehensif. Perawat
menjalankan fungsi dalam kaitannya dengan berbagai peran pemberi perawatan, pembuat
keputusan klinik dan etika, pelindung dan advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator,
komunikator dan pendidik
Perawat di ruang perawatan Intensif merupakan tumpuan utama para pasien karena
ketidakmampuannya, sehingga perawat bertanggung jawab untuk mempertahankan homeostasis
pasien. Perawat ruang Intensif, dalam keseharianya dihadapkan pada patofisiologi pasien kritis
yang dapat cepat berubah, alat-alat yang canggih dan rumit dalam mengoperasionalkan. Perawat
harus mampu melakukan pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang tinggi, memiliki pengetahuan
dan ketrampilan yang diperlukan untuk dapat melakukan pekerjaan yang sangat kompleks dan
rumit.
Keharusan dapat memutuskan dan melakukan tindakan dengan cepat dan tepat, karena
menyangkut keselamatan klien serta memerlukan pengetahuan dan ketrampilan yang cukup
sangat diperlukan bagi perawat. Dalam pelaksanaannya juga diperlukan adanya peraturan yang
mengatur cara kerja sebagai landasan dan dijadikan kebiasaan pada perawat untuk melakukan
tindakan tersebut sesuai peraturan yang ada.
Oleh karena itu dalam penyusunan Makalah ini penulis akan membahas tentang Konsep
tentang Peraturan, Kebijakan, dan Perundangan yang Berlaku dalam Praktik Kekritisan.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep tentang peraturan yang berlaku dalam praktik kekritisan?
2. Bagaimana konsep tentang kebijakan yang berlaku dalam praktik kekritisan?
3. Bagaimana konsep tentang perundangan yang berlaku dalam praktik kekritisan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep tentang peraturan yang berlaku dalam praktik kekritisan?
2. Untuk mengetahui konsep tentang kebijakan yang berlaku dalam praktik kekritisan?
3. Untuk mengetahui konsep tentang perundangan yang berlaku dalam praktik kekritisan?
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan berguna untuk menambah ilmu pengetahuan serta sebagai
pembelajaran bersama untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di segala bidang
terutama perawatan intensif.
BAB II
PEMBAHASAN
2
A. Konsep Umum Peraturan, Kebijakan, dan Perundangan
1. Definisi Peraturan
Peraturan adalah “peraturan tata tertib di sekolah selalu dilengkapi dengan sanksi-
sanksi tertentu yang berpuncak kepada pemberian hukuman”. Adanya peraturan itu
untuk menjamin kehidupan yang tertib dan tenang, sehingga kelangsungan hidup
social itu dapat dicapai. (Soejanto, (2005:108)
2. Definisi Kebijakan
Kebijakan adalah sebagai suatu keputusan yang siap dilaksanakan dengan ciri adanya
kemantapan perilaku dan berulangnya tindakan, baik oleh mereka yang membuatnya
maupun oleh mereka yang harus mematuhinya. (Soenarko, 2003:41)
3. Definisi Perundangan
Pengertian perundang-undangan dalam arti materil yang esensinya antara lain
sebagai berikut :
a. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena merupakan
keputusan tertulis, peraturan perundang-undangan sebagai kaidah hukum tertulis
(geschrevenrecht, written law)
b. Perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ)
yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku atau mengikat umum
(algemeen)
c. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus
selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa peraturan
perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkrit atau individu tertentu.
3
3. UU Kesehatan 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan;
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; dan
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/ MenKes/ SK/ XII/
2010 Tentang Pedoman Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care di
Rumah Sakit
Sementara di dalam rumah sakit sendiri memiliki masing-masing kebijakan
tersendiri didalam memberikan suatu pelayanan kepada pasien. Kebijakan-kebijakan
tersebut dibuat dengan berpedoman pada undang-undang yang berlaku dan
disesuaikan dengan kondisi suatu rumah sakit. Salah satu bentuk dari peraturan
tersebut adalah dibuatnya suatu pedoman sistem kerja yang dituangkan dalam
standart operasional prosedur dengan tujuan agar berbagai proses kerja rutin
terlaksana dengan efisien, efektif dan aman, serta senantiasa meningkatkan mutu
pelayanan melalui pemenuhan pencapaian standar profesi dan standar pelayanan
suatu rumah sakit.
a. Tujuan Kebijakan
1) Untuk menjaga konsistensi dan tingkat penampilan kinerja atau kondisi tertentu
suatu kegiatan secara optimal
2) Sebagai acuan (check list) dalam pelaksanaan kegiatan tertentu bagi sesama
pekerja, supervisor, surveyor.
3) Untuk menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan, duplikasi serta
pemborosan dalam proses pelaksanaan kegiatan
4) Merupakan salah satu cara dan parameter dalam meningkatkan mutu pelayanan
5) Untuk lebih menjamin penggunaan tenaga dan sumber daya secara efisien dan
efektif.
6) Untuk menjelaskan alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas
yang terkait,
7) Melindungi RS dan petugas bila terjadi suatu kesalahan atau dugaan
malpraktek dan kesalahan administratif lainnya,
4
b. Suatu standart operasional prosedur harus memiliki akurasi uraian proses kejadian
beserta pengendaliannya, antara lain:
1) Ada daftar bahan dan komponen suatu proses dengan karakteristik kualitas
minimal; khususnya ada penjelasan jumlah komponen standar yang digunakan.
2) Ada deskripsi lengkap komponen (sampel) yang mesti dipersiapkan sebelum
pekerjaan dilaksanakan; terdiri dari uraian atau formulasi komponen khusus
atau acuan layak termasuk jumlah dan nomor seri komponen.
3) Ada daftar karakteristik perlengkapan (equipment), seperti: kapasitas,
kepresisian, keterbatasan, dayasuai (compatibilities), indikasi nama
perlengkapan khusus.
4) Ada deskripsi langkah-langkah proses peristiwa termasuk skala atau kapasitas
operasi.
5) Ada parameter pengendalian proses, metode dan keberhasilan. Metode tes atau
observasi yang merupakan pengendalian proses yang efektif dan pengujian
harus mempunyai dokumentasi.
6) Ada diagram alur kerja.
7) Ada pengujian efektivitas baik dalam proses maupun sesudah ada produk, ini
dibatasi atau ada kriteria yang dapat diterima pihak profesional.
8) Ada contoh perhitungan, estimasi waktu, kartu isian.
9) Ada biaya, alat angkut, dan daftar faktor pengganggu.
10) Ada yang pelaksana dan pertanggungjawaban; siapa melaksanakan apa?
11) Ada akuntabilitas pimpinan.
12) Ada pelaporan dan dokumentasi.
5
2) Judul
Judul harus jelas terurai dan terukur. Karena, pada setiap prosedur
diuraikan bagaimana mengerjakannya, judul mesti bergaya bahasa perintah
(direktif) untuk menjelaskan “siapa mengerjakan apa”.
3) Halaman
Halaman harus tertulis "halaman 3 dari 7", ini menggambarkan ada
kelanjutan.
4) Identifikasi dan Pengendalian
Pada suatu prosedur mesti teridentifikasi keunikannya. Identifikasi untuk
mempersiapkan akuntabilitas, dan gambaran suatu dokumentasi sampai
fasilitas dan masa kedaluwarsaan perubahan. Akuntabilitas dan gambaran
prosedur berdasarkan pada sejumlah identifikasi atau kode, yang merupakan
pengendalian (seperti kapan dan berapa kali revisi atau jumlah edisi SOP
dilakukan).
5) Tujuan
Suatu tujuan atau sasaran prosedur mesti dapat diulang (repeat) dan dapat
dikembangkan, dan dinyatakan dalam gaya bahasa perintah, seperti., operasi,
prosedur, proses, monitoring.
6) Ruang lingkup
Ruang lingkup (scope) harus mempunyai batas penggunaan prosedur.
7) Tanggung Jawab
Berkaitan dengan siapa bertanggung jawab melaksanakan uraian
pekerjaan dan siapa melaporkan pekerjaan.
8) Prosedur
Uraikan prosedur dalam langkah demi langkah (step-by-step) atau
kronologis cara kerja.
9) Kebutuhan Perhitungan / Penanganan data / Dokumensi
6
d. Ruang Lingkup Keperawatan Kritis
Perawatan Intensif merupakan pelayanan keperawatan yang saat ini sangat
perlu untuk dikembangkan di Indonesia. Berbagai pemberian pelayanan
keperawatan intensif bertujuan:
1) Memberi asuhan keperawatan bagi pasien dengan penyakit berat yang potensial
reversible
2) Memberi asuhan keperawatan bagi pasien yang perlu observasi ketat dengan
atau tanpa pengobatan yang tidak dapat diberikan diruangan perawatan umum.
3) Memberi pelayanan kesehatan bagi pasien denganpotensial adanya kerusakan
organ.
4) Mengurangi kesakitan dan kematian yang dapat dihindari pada pasien – pasien
dengan penyakit kritis.
7
Untuk itu perawat ICU dituntut memiliki: Pengetahuan, Ketrampilan,
Daya Analisa dan Tanggungjawab yang tinggi, mampu bekerja mandiri, mampu
membuat keputusan yang tepat dan cepat serta berkolaborasi dengan tim
kesehatan lainnya.
8
4. Klasifikasi Pelayanan ICU
Pelayanan ICU di rumah sakit dibagi dalam 3 (tiga) klasifikasi yaitu :
a. Pelayanan ICU primer (pada RS Kelas C)
Resusitasi jantung Paru dan pergerakan dan pengelolaan jalan napas
(intubasi trakeal, ventilasi mekanik)
Terapi oksigen
Pemasangan vena sentral
Pemantauan EKG, pulsoksimetri dan tekanan darah non invasive
Terapi secara titrasi, serta nutrisi enteral dan parenteral
Pemeriksaan laboratorium, fungsi vital sign dengan alat dan fisioterapi dada
b. Pelayanan ICU sekunder (pada RS Kelas B)
Primer, ditambah dengan:
Kateter vena sentral dan arteri
Pemantauan EKG, pulsoksimetri, tekanan darah invasive,
Menunjang fungsi vital dengan alat
Prosedur isolasi
Hemodialisa intermitten dan kontinyu.
c. Pelayanan ICU tersier (pada RS Kelas A)
Primer, ditambah
Kateter vena sentral, arteri, swann Ganz dan ICP Monitor.
Pemantauan EKG, pulsoksimetri, tekanan darah invasive, swan Ganz, ICP
dan ECHO Monitor.
9
ICU. Prosedur untuk melaksanakan kebijakan ini harus dijelaskan secara rinci untuk
tiap ICU.
a. Kriteria masuk
ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi
yang intensif. Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien
yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) didahulukan dibandingkan pasien
yang memerlukan pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas
beratnya penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan
prioritas masuk ke ICU.
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan
terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan/bantuan ventilasi dan alat
bantu suportif organ/sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif kontinyu,
obat anti aritmia kontinyu, pengobatan kontinyu tertitrasi, dan lain-lainnya.
Contoh pasien kelompok ini antara lain, pasca bedah kardiotorasik, pasien
sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang
mengancam nyawa. Institusi setempat dapat membuat kriteria spesifik
untuk masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi dibawah tekanan
darah tertentu. Terapi pada pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak
mempunyai batas.
10
3) Pasien prioritas 3 (tiga)
Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit
akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau
manfaat terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil. Contoh pasien ini
antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi,
pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, atau pasien penyakit jantung,
penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan
pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja,
dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi
jantung paru.
4) Pengecualian
11
b. Kriteria Keluar
12
membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi dengan
mengkomunikasikannya kepada pihak keluarga
d. Dalam menghadapi tahap terminal, dokter ICU harus mengikuti pedoman
penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan life – supporting.
e. Tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga medis tetapi
dengan pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien, tindakan – tindakan
tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang terlatih.
f. Kriteria dokter ICU adalah telah mengikuti pelatihan / pendidikan perawatan ICU
dan telah mendapat sertifikat Intensive care Medicine (KIC, Konsultan Intensive
Care) melalui program pelatihan dan pendidikan yang diikuti oleh perhimpunan
profesi yang terkait.
g. Mampu melakukan prosedur Critical Care biasa, antara lain :
1) Mempertahankan jalan nafas termasuk intubasi tracheal dan ventilasi mekanis.
2) Fungsi arteri untuk mengambil sampel arteri.
3) Memasang kateter intravascular dan peralatan monitoring, termasuk :
a) Kateter arteri
b) Kateter vena perifer
c) Kateter vena central ( CVP )
d) Kateter arteri pulmonalis
4) Pemasangan kabel pacu jantung transvenous temporer
5) Resuitasi kardiopulmoner
6) Pipa thoracostomy
13
c. Indikasi pemeriksaan laboratorium dan radiologi berdasarkan permintaan dari DPJP
(Dokter penanggung Jawab Pasien) atau dokter konsulen lain berkoordinasi dengan
dokter penanggung jawab ICU
d. Setiap permintaan laboratorium dan radiologi dituliskan pada formulir yang sudah
ditentukan lalu di input oleh petugas administrasi untuk selanjutnya di informasikan
pada bagian terkait.
e. Prosedur konsul antar spesialis / konsulen:
1) Pada dasarnya DPJP pasien yang dirawat di ICU adalah dokter spesialis anestesi
yang bertugas di ICU.
2) Bila ada lebih dari satu DPJP, maka DPJP utama adalah dokter spesialis yang
bertugas di ICU.
3) DPJP pasien yang dirujuk langsung ke ICU oleh dokter jaga IGD ialah dokter
spesialis anestesi yang bertugas di ICU.
4) Bila dokter spesialis anestesi memerlukan rawat bersama dengan dokter spesialis
lain, maka sebagai DPJP utama adalah dokter spesialis anestesi yang bertugas di
ICU.
5) Pasien yang dirujuk oleh dokter spesialis untuk di rawat di ICU harus jelas
apakah akan rawat bersama atau di rujuk. Bila rawat bersama, maka DPJP
utamanya ialah dokter spesialis anestesi yang bertugas di ICU.
6) DPJP utama berwenang dalam melaksanakan praktek kedokteran yang dibantu
sepenuhnya oleh seluruh perawat dan staf ICU yang bertugas. Kewenangan
tersebut harus dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan saran dari
DPJP atau dokter spesialis lain yang terkait dengan parawatan pasien.
7) Bila ada keberatan DPJP lain atas pelayanan medis yang diberikan oleh DPJP
utama, maka masukan/keberatan harus dikomunikasikan langsung ke DPJP
utama atau di tulis dalam Intensif Care Unit pasien.
8) Bila tidak dicapai kesepakatan antara DPJP utama dengan DPJP lain yang
menangani pasien sejak awal perawatan, maka dapat ditetapkan ulang siapa
DPJP utama pasien tersebut. Hal tersebut harus dicatat dalam Intensif Care Unit.
9) Bila terjadi masalah dalam penepatan DPJP utama, maka hal tersebut dilaporkan
kepada Manajer Pelayanan sesegera mungkin.
14
10) Untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, setiap hal yang terkait
dengan mutu pelayanan dan kepentingan pasien akan di ajukan untuk dilakukan
audit medis oleh Sub Komite Audit pasien.
15
g. Kebutuhan dukungan atau pelayanan (respite services) bagi pasien dan keluarga
dari pemberi pelayanan lain.
h. Kebutuhan alternatif atau tingkat pelayanan lain.
i. Faktor resiko bagi yang ditinggalkan dan cara mengatasi potensi reaksi patologis
atas kehilangan.
j. Hasil pengkajian didokumentasikan dalam rekam medis.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam praktik keperawatan untuk melakukan asuhan keperawatan maupun tindakan
kolaboratif diperlukan adanya suatu landasan konsep untuk melakukan tindakan-tindakan
tersebut. Landasan tersebut dapat berupa peraturan dan standart operasional prosedur yang
ditetapkan berdasar kebijakan rumah sakit ataupun perundang-undangan yang diatur oleh
pemerintah. Pasien yang berada di ruang intensif merupakan pasien yang sangat rentan, baik
rentan terkena infeksi nosokomial maupun dari tindakan medis yang tidak sesuai dengan
prosedur. Untuk itulah diperlukan suatu aturan untuk mengikat seseorang perawat dan
dibarengi dengan pengetahuan terhadap tindakan yang diambil seorang perawat untuk
keuntungan dan kerugian dalam melaksanakan pekerjaannya tersebut. Jadi, sangat di tekankan
perawat untuk memahami aturan perundangan keperawatan kritis demi tercapainya asuhan
keperawatan yang optimal.
B. Saran
Sebagai tenaga kesehatan kita harusnya tau tentang peraturan dan perundang-undangan
yang diterapakan pada masing-masing rumah sakit dan menjadi kebiasaan yang baik untuk
kita agar saat melakukan asuhan keperawatan terhadap pasien kita dapat menjalankan tugas
perawat profesional dan tidak mengurangi sedikitpun peran kita sebagai perawat profesional.
Sehingga hak pasien terpenuhi dengan baik apabila kita menjalankan peran, fungsi serta tugas
seorang perawat.
17
DAFTAR PUSTAKA
18