Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH VIROLOGI

METODE PEMERIKSAAN LABORATORIUM VIRUS HEPATITIS B

Disusun oleh:
Siti Rahmawati 151610113016
Ursula Habibah J 151610113019

D3 ANALIS MEDIS
FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hepatitis virus merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan berpengaruh terhadap angka kesakitan dan kematian. Berdasarkan
Permenkes RI No. 53 tahun 2016, jenis Hepatitis di Indonesia ada 5 yaitu Hepatitis A
Virus (HAV), Hepatis B Virus (HBV), Hepatitis C Virus (HCV), Hepatitis D Virus
(HDV), dan Hepatitis E Virus (HEV). Hepatitis B adalah infeksi hati disebabkan oleh
HBV bersifat akut dan kronis yang mengakibatkan komplikasi seperti sirosis dan kanker
hati serta dapat menyebabkan kematian. HBV menyebabkan infeksi kronis, terutama
pada mereka yang terinfeksi ketika masih bayi. Ketika dewasa, mereka rentan terkena
penyakit hati dan berisiko tinggi mengalami karsinoma hepatoseluler (Andri et al, 2010).
Hepatitis adalah penyakit peradangan dan nekrosis dari sel-sel hati karena toksin seperti
kimia, obat, agen atau virus yang dapat menyebabkan infeksi. Hepatitis telah ditemukan 5
kategori virus yang menjadi agen penyebab, yaitu virus hepatitis A (VHA), virus hepatitis
B (VHB), virus hepatitis C (VHC), virus hepatitis D (VHD), virus hepatitis E (VHE).
Kelima virus tersebut dapat memberikan gejala klinik yang serupa. Hepatitis B
merupakan penyakit hepatitis yang paling terkenal dibandingkan dengan kelima virus
tersebut (Price and Wilson, 2005).
Hepatitis B merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
(VHB), yang ditandai dengan adanya inflamasi atau peradangan yang terjadi pada organ
tubuh seperti hati. Penyakit hepatitis B biasanya disebut juga dengan penyakit kuning,
karena terjadi penguningan pada beberapa organ seperti kuku, mata, kulit. Penguningan
tersebut merupakan gejala dari penyakit hepatitis (Misnadiarly, 2007).
Sampai saat ini infeksi virus hepatitis B masih merupakan masalah kesehatan
dunia. Hepatitis B merupakan penyebab kematian terbesar ke 10 di dunia. Indonesia
merupakan negara ketiga di Asia setelah China dan India dengan jumlah penderita
Hepatitis terbanyak di dunia. Sekitar 350 juta orang di dunia terinfeksi virus hepatitis B
secara kronis, sedangkan di Indonesia mencapai 5-10% dari total penduduk terinfesi virus
hepatitis B (Rosalina, 2012). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam “A

2
Strategy For Global Action” tahun 2012, virus Hepatitis B (HBV) telah menginfeksi
sebanyak 2 milyar orang di dunia, sekitar 360 juta diantaranya merupakan penderita
Hepatitis B kronik dan 600.000 penduduk meninggal karenanya (WHO, 2012).
Prevalensi Hepatitis B tertinggi di sub - Sahara Afrika dan Asia Timur. Kebanyakan
penderita diwilayah ini terinfeksi virus Hepatitis B (WHO, 2011).
Infeksi hepatitis B dibagi menurut prevalensi individu dengan HBsAg positif yang
ditemukan dalam suatu populasi. Prevalensi tinggi yaitu >8% populasi memiliki antigen
HBsAg, prevalensi sedang yaitu 2%-7%, dan prevalensi rendah yaitu <2%. Wilayah
dengan memiliki prevalensi rendah antara lain Amerika Serikat, Kanada, Eropa Barat,
Australia; sedangkan wilayah dengan prevalensi tinggi banyak ditemukan di Asia
Tenggara, Tiongkok, Timur Tengah, Haiti, dan Afrika (McLanchlan JH, 2015).
Ada beberapa penanda adanya virus hepatitis B, yaitu antigen surface (HBsAg),
antibody IgM dan IgM terhadap hepatitis B core (anti-HBc), antibody terhadap antigen
surface (anti-HBs), dan antigen envelope (HBeAg). Diagnosis dan skrining yang paling
penting untuk deteksi virus hepatitis B adalah HBsAg, karena HBsAg merupakan
indicator yang paling cepat dapat dideteksi pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis B
(Price and Wilson, 2005).
Untuk mengetahui apakah seseorang menderita penyakit hepatitis atau tidak,
maka seorang dokter disamping mencari informasi mengenai perjalanan penyakit yang
dialami, melakukan pemeriksaan fisik secara teliti juga memerlukan pemeriksaan
penunjang lainnya untuk membantu dalam menegakkan diagnosa, antara lain
pemeriksaan biokimia/enzimatik, imunologi, dan pencitraan.

1.1 Rumusan Masalah


Apa saja metode pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pemeriksaan virus
hepastitis B

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui beberapa metode pemeriksaan laboratorium virus Hepatitis B

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Mahasiswa

3
Memberikan wawasan serta pengetahuan mengenai metode pemeriksaan
laboratorium penderita Hepatitis B
1.3.2 Bagi Akademik
Menambah kepustakaan bagi akademik dan dapat menjadi referensi untuk penelitian
lebih lanjut.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hebatitis B
2.1.1 Definisi Hepatitis B
Virus hepatitis B (HBV) adalah virus DNA, suatu prototip virus yang termasuk
keluarga Hepadnaviridae (Boedina, 2013). Hepatits B menyerang semua umur, gender,
dan ras di seluruh dunia (Widoyono, 2011). Hepatits B dapat menyebabkan peradangan
hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati (Mustofa
& Kurniawaty, 2013).
2.1.2 Etiologi Hepatitis B
Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang berukuran sekitar 42
nm. Virus ini mempunyai lapisan luar (selaput) yang berfungsi sebagai antigen HBsAg.
Virus mempunyai bagian inti dengan partikel inti HBcAg dan HBeAg (Widoyono, 2011).
Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari (Sudoyo et al,
2009). Perubahan dalam tubuh penderita akibaat infeksi virus Hepatitis B terus
berkembang. Dari infeksi akut berubah menjadi kronis, sesuai dengan umur penderita.
Makin tua umur, makin besar kemungkinan menjadi kronis kemudian berlanjut menjadi
pengkerutan jaringan hati yang disebut dengan sirosis. Bila umur masih berlanjut keadaan
itu akan berubah menjadi karsinoma hepatoseluler (Yatim, 2007).

Gambar 2.1. Struktur Virus Hepatitis B (Sumber : Widoyono, 2011).


2.1.3 Epidemologi
WHO (World Health Organization) memperkirakan lebih dari 2 miliar
penduduk dunia terinfeksi virus hepatitis B dengan angka kematian 250.000 orang
per tahun dan lebih dari 350 juta orang memiliki infeksi hati kronis. Kebanyakan

5
orang di China dan bagian lain di Asia terinfeksi virus hepatitis B selama masa
anak-anak, dan 8% sampai 10% populasi dewasa terinfeksi kronis (Siregar, 2003).

Gambar 2. Penyebaran virus


Hepatitis B di dunia (Siregar,
2003)

Indonesia merupakan Negara dengan prevalensi hepatitis B dengan tingkat


endemisitas tinggi yaitu lebih dari 8% dan sebanyak 1,5 juta orang Indonesia
berpotensi mengidap kanker hari, hal tersebut dapat menyatakan bahwa Indonesia
termasuk Negara endemis penyakit hepatitis B dan termasuk Negara yang
dihimbau oleh WHO untuk melaksanakan vaksinasi atau imunisasi sebagai upaya
pencegahan (Siregar, 2003).

2.1.4 Patofisiologi Hepatitis B


Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B
mula-mula melekat pada resptor spesifik di membram sel hepar kemudian mengalami
penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma,
sehingga melepaskan nukleokapsid. Selajutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding
hati. Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA
hospes dan berintergrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah DNA VHB
memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B
dilepaskan ke peradangan darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis
disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa & Kurniawaty,
2013).
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti
banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati ringan. Respon

6
imun host terhadap antigen virus merupakan factor penting terhadap kerusakan
hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens
virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon
seluler terhadap epitope protein VHB, terutama HBsAg yang ditansfer ke permukaan sel
hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restriced CD8+ cell mengenali fragmen
peptide VHB setelah mengalami proses intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel
hati oleh molekul Major Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir
dengan penghancuran sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno,
2007).

2.1.5 Diagnosis Hepatitis B


Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayit transmisi seperti
pernah transfuse, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya. Pemeriksaan fisik
didaptkan hepatomegaly. Pemeriksaan penjunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium,
USG abdomen dan Biopsi hepar (Mustofa & Kurniawaty, 2013). Pemeriksaan
laboratorium pada VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia. Serologis dan molekuler
(Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan USG abdomen tampak gambaran hepatitis kronis,
selanjutnya pada biopsy hepar dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati
(Mustofa & Kurniawaty, 2013)
Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum pasien dan
terdeteksi dalam serum pasien dan terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas
sesudahnya. Karena terdapat variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang terdapat
suatu tenggang waktu (window period) beberapa minggu atau lebih yang memisahkan
hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama periode tersebut, anti-HBc dapat
menjadi bukti serologic pada infeksi VHB (Asdie et al, 2012).
Hepatitis B core antigen dapat ditemukan pada sel hati yang terinfeksi, tetapi tidak
terdeteksi di dalam serum (Hardjoeno, 2007). Hal tersebut dikarenakan HBcAg terpencil
di dalam mantel HBsAg. Penanda Anti-HBc dengan cepat terlihat dalam serum, dimulai
dalam 1 hingga 2 minggu pertama timbulnya HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar
anti-HBs dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan (Asdie et al, 2012).

7
Penanda serologik lain adalah anti HBc, antibody ini timbul saat terjadinya gejala
klinis. Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya muncul 2 minggu setelah HBsAg
terdeteksi dan akan menetap ± 6 bulan. Pemeriksaan anti-HBc IgM penting untuk
diagnosis infeksi akut terutama bila HBsAg tidak terdeteksi (window period). Penanda
anti-HBc IgM menghilang, anti-HBc IgG muncul dan akan menetap dalam jangka waktu
lama (Harjoeno, 2007).
Tes-tes yang sangat sensitive telah banyak dikembangkan secara luas untuk
menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan, sub klinis atau yang
menetap (Handojo, 2004). Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis
hepatitis adalah Immunochromatography (ICT), ELISA, dan PCR. Metode EIA dan PCR
tergolong mahal dan hanya tersedia pada laboratorium yang memiliki peralatan lengkap.
Perlatan rapid diagnostic ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih murah
dan tidak memerlukan peralatan kompleks (Rahman et al, 200).
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara laboratorium untuk
deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma. Pengukuran kadar secara
rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menetukan prognosis, dan monitoring
efikasi pengobatan antiviral.

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Metode PCR (Polymerase Chain Reaction)


PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu prosedur yang efektif untuk
melakukan pelipatgandaan (amplifikasi) DNA. Proses ini mirip dengan proses replikasi
DNA dalam sel. Amplifikasi ini menghasilkan lebih dari sejuta kali DNA yang asli. Hasil
pelipatgandaan segmen DNA ini menyebabkan segmen DNAyang dilipatgandakan
tersebut mudah dideteksi karena konsentrasinya tinggi. Pendeteksian dilakukan dengan
metode pemisahan molekul berdasarkan berat molekulnya yang disebut dengan
elektroforesis menggunakan gel agarosa (Sudjaji, 2008).
Proses pelipat gandaan DNA pada PCR meliputi tiga tahapan utama yaitu
denaturasi, annealing, dan ekstensi. Proses denaturasi bertujuan untuk melepaskan rantai
ganda DNA menjadi dua rantai tunggal DNA. Poses denaturasi DNA dilakukan dengan
cara menaikkan suhu sampai 95˚C. Sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali
dengan proses denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah sempurna
menjadi rantai tunggal. Setelah proses denaturasi dilanjutkan dengan proses annealing
atau pemasangan 2 rantai primer pada kedua rantai DNA tersebut. Rantai primer
berfungsi sebagai pancingan awal dalam pelipatgandaan segmen DNA. Rantai primer
terdiri dari 18-24 deret basa nukleotida pengode DNA (adenin, guanin, timin, dan sitosin)
dan biasanya dapat dipasangkan dengan DNA yang akan dideteksi. Proses pemasangan
primer dengan DNA yang akan dideteksi ini membutuhkan suhu optimum sesuai
kebutuhan primer tersebut. Biasanya dengan cara menurunkan suhu antara 37-60˚C.
Setelah itu dilanjutkan dengan proses ekstensi atau perpanjangan. Pada proses ini
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang sebelumnya telah ditambahkan dalam
pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya 18 sampai 24 deret basa nukleotida
akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang terdapat di dNTP dan kemudian
menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan itu. Proses ini dibantu oleh
adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja optimum pada suhu 72˚C. dNTP
merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida (A, G, T dan S) yang terikat pada 3 gugus
fosfat dan masing-asing berdiri bebas sampai enzim DNA polimerase mengkatalis

9
pengikatannya pada primer. Setelah siklus PCR berakhir, proses final ekstension
dilakukan selama 5-15 menit pada suhu yang sama dengan proses ekstensi untuk
menjamin semua rantai tunggal DNA telah penuh terbentuk. Ketiga proses pada PCR ini
dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan segmen DNA sesuai dengan yang
dibutuhkan (Sopian, 2006).
RT-PCR, pada metode PCR biasa sumber sampel yang digunakan adalah DNA
yang diekstrak dari sel atau jaringan. Sedangkan pada RT-PCR sampel yang digunakan
bukan DNA melainkan RNA. RNA merupakan asam ribonukleat rantai tunggal,
sedangkan DNA adalah asam ribonukleat rantai ganda. Ciri khas RNA adalah tidak
terdapat gugus basa timin (T) melainkan diganti oleh urasil (U). Pada metode RT-PCR
hal yang harus dilakukan pertama kali adalah mengubah RNA menjadi DNA dengan
menggunakan enzim reverse transcriptase, yang disebut dengan komplemen DNA
(cDNA). Dalam hal ini disintesis cDNA dari perpasangan antara gugus basa U dan A,
serta G dan C. Dari cDNA inilah dilipatgandakannya segmen DNA yang mirip urutan
basa nukleotidanya dengan RNA, hany U terganti kembali ke T. Karena adanya
penambahan proses sintesis cDNA, maka tahapan pada proses PCR bertambah pula.
Tahap pertama terjadi proses annealing untuk memasangkan primer untuk
memperpanjang segmen cDNA. Setelah terbentuk segmen cDNA ini, baru kemudian
masuk ke proses PCR seperti biasanya (Sopian, 2006).
RT-PCR terbagi atas one step and two step RT-PCR. One step lebih
menguntungkankarena lebih cepat, simpel, dan resikokontaminasinya rendah dari pada
two step RTPCR.
Tahap RT PCR terdiri dari :
1. Manajemen sampel : Sampel dapat diperoleh dari hasil isolasi virus ataupun dari
serum pasien akut. Virus yang akan langsung diperiksa disimpan pada suhu -4˚C atau -
8˚C untuk pemeriksaan kurang dari 24 jam. Namun jika lebih dari 24 jam dilakukan
penyimpanan sampel -70˚C.
2. Ekstraksi RNA : RNA dipisahkan dari dari sampel serum atau isolasi virus
dengan menggunakan suatu kit yang mempunyai carrier dan dapat mengikat RNA
sehingga hasil ekstraksi RNA tersebut dapat digunakan. Ekstraksi RNA yang telah
direhidrasi dapat disimpan pada suhu -70˚C.

10
3. RT-PCR : Pemeriksaan ini diawali dengan mengubah RNA membentuk cDNA
dengan enzim reverse transkriptase.Terdapat beberapa jenis enzim reverse transkriptase
yang diketahui. Setelah terbentuk cDNA dilakukan PCR dengan langkah denaturasi,
annealing primer dan ekstensi. Dari RNA menjadi cDNA dilakukan pada suhu 50˚C
selama 30 menit. Sedangkan denaturasi pada suhu 94˚C selama 15 menit dilanjutkan
dengan anneling pada suhu 58˚C 1 menit dan ekstensi 58˚C selama 1 menit.
4. Deteksi dan karakterisasi : Untuk mengetahui hasil amplifikasi dilakukan
elektroforesis pada gel agarose 2% dengan menggunakan ethidium bromida dan diperiksa
di UV transluminator untuk dibandingkan dengan marker (Gurukumar, 2009).
Baik PCR konvensional atau Real time RTPCR lebih banyak digunakan yang one
step, karena pada sekali pemeriksaan dapat digunakan untuk mendeteksi 4 jenis serotipe
virus dengue. Selain itu metode ini lebih spesifik dan tidak terjadi reaksi silang antara
sesama flavivirus ataupun dengan alfaviridae (Cristina, 2011).
Elektroforesis, merupakan teknik pemisahan makromolekul (asam nukleat atau
protein) dalam suatu campuran di bawah pengaruh medan listrik. Prinsip kerja
elektroforesis yaitu pergerakan partikel-partikel yang bermuatan berdasarkan kecepatan
migrasi partikel tersebut dalam suatu medan listrik. Partikel tersebut bergerak dari kutub
negatif (anion) menuju kutub positif (kation). Elektroforesis dapat menggunakan gel
agarosa, poliakrilamid, atau agarosa poliakrilamid (Brown, 1999).
Elektroforesis menggunakan gel agarosa merupakan metode standar untuk
pemisahan, identifikasi, dan pemurnian fragmen DNA. Gel garosa dibuat dengan cara
melelehkan agarosa dalam buffer dengan pemanasan yang selanjutnya dituangkan dalam
cetakan serta dibiarkan sampai dingin. Setelah gel mengeras kemudian diberikan medan
listrik pada kedua ujungnya, maka DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan
bergerak ke anoda. Molekul DNA yang lebih besar akan bergerak lebih lambat karena
terjadi gesekan yang lebih besar. Untuk mendeteksi adanya DNA, sebelum dimasukkan
dalam gel agarosa,terlebih dahuludiwarnai dan kemuadian dapat dilihat adanya pita
molekul pada gel agarosa jika diletakkan di atas cahaya ultraviolet. Pita molekul ini
menandakan adanya segmen DNA (Sudjaji, 2006).
Untuk menentukan jenis serotipe virus dengue yang telah diamplifikasi maka
dilakukan elektroforesis. Cara melakukan elektroforesis adalah sebagai berikut :

11
Gel agarose 2% dibuat dengan cara : 10 ml 1X TAE buffer dicampur dengan 100 ml
aquades (pengenceran 10x), lalu 50 ml larutan 1X TAE buffer tersebut dicampurkan
dengan 1 gram agarose. Kemudian dipanaskan dalam microwave sampai mendidih,
selanjutnya ditambahkan 1:1000 SYBER safe-TM dan tuang dalam cetakan agarose gel
yang telah disediakan dengan jumlah sumuran (well) sesuai dengan yang diinginkan.
Setelah gel agarose mengeras, kemudian dimasukkan ke dalam tangki (chamber)
elektroforesis yang berisi 1X TAE buffer. Kemudian 5-10 μl hasil PCR dicampur dengan
1 μl blue juice 2X dan dimasukkan ke dalam sumur pada gel agarose, lalu dimasukkan
secara berturut-turut 10 μl marker, 5-10 μl kontrol positif dan 5-10 μl kontrol negatif pada
sumur-sumur berikutnya. Kontrol positif adalah hasil amplifikasi PCR yang berisi master
mix yang dicampur dengan RNA virus DEN 1 dan kontrol negatif adalah hasil
amplifikasi PCR yang berisi master mix yang dicampur dengan nucleus free water.
Power supply kemudian dinyalakan pada posisi 100 V, 400 mA dan waktu 40 menit
selanjutnya DNA akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif.
Setelah dilakukan elektroforesis, gel agarose dimasukkan ke dalam alat gel imaging
untuk melihat hasil amplifikasi RNA virus dengue yang dilakukan dengan teknik RT-
PCR. Pita molekul yang terlihat pada gela garose menandakan adanya segmen DNA,
kemudian pita DNA tersebut dibandingkan dengan pita yang ada padakontrol positif dari
marker.
3.2 Metode Immunosorbent ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan suatu teknik biokimia


yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi adanya antibodi atau
antigen dalam suatu sampel. ELISA menggunakan indikator berupa enzim. Macam-
enzim yang bisa digunakan pada teknik ELISA diantaranya adalah Horse Radish
Peroxidase (HRP), alkaline phospatase, dan urease. Enzim pada teknik ELISA berfungsi
sebagai konjugat, selanjutnya enzim akan bereaksi substrat sehingga menghasilkan warna
pada hasil reaksi (Rantam, 2003).

Pada teknik ELISA sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu
permukaan, selanjutnya antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga
akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim. Pada tahap

12
terakhir ditambahkan substrat yang at diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat
dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu
disinarkan pada suatu sampel maka kompleks antigen atau antibodi akan berfluoresensi
sehingga jumlah antigen pada sampel dapat diketahui berdasarkan besarnya fluoresensi.
Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifitas untuk antigen
tertentu (Rantam, 2003).

Macam-macam ELISA yang sering digunakan yaitu Double Antibodi Sandwich


ELISA, direct ELISA, indirect ELISA, dan kompetitif ELISA. Kelebihan metode ELISA
dibandingkan dengan metode yang lain adalah teknik pengerjaan yang relatif sederhana,
reagen yang digunakan cukup stabil, relatif ekonomis karena jenis antibodi yang
digunakan hanya satu saja sehingga menghemat biaya untuk membeli banyak jenis
antibodi, cukup spesifik karena antibodi monoklonal hanya akan melekat pada
antigennya, hasil yang didapatkan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi, dapat
digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen walaupun kadar antigen tersebut sangat
rendah, lebioh aman karena tidak menggunakan senyawa radioaktif dan juga dapat
digunakan sebagai uji diagnostik berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus mupun
bakteri (Baker et al, 2007).

Kelemahan dari metode ELISA yaitu menggunakan antibodi monoklonal yang mahal
dan sulit dicari, dapat terjadi kesalahan deteksi (false positive) jika larutan blocking yang
digunakan tidak efektif jarena dapat menyebabkan perlekatan non-spesifik antara antigen
maupun antar antibodi, reaksi antara enzim dan substrat di dalamnya hanya terjadi dalam
waktu cukup singkat sehingga harus segera dibaca absorbansinya sesuai waktu standar
yang ditetapkan untuk mendapatkan hasil (Machmud, 2006). Prinsip metode ELISA
sampel serum atau plasma yang ditambahkan ke sumuran yang dilapisi anti-HBs
selanjutnya ditambahkan dengan konjugat berupa anti-HBs peroksidase dan diinkubasi.
Maka akan terjadi kompleks antara antibodi-HbsAg dan antibodi peroksidase akan
terbentuk pada sumuran jika sampel mengandung HbsAg. Setelah plate mikrotiter dicuci
untuk menghilangkan material yang tidak terikat. Kemudian ditambahkan larutan substrat
berupa TMB (Tetrametyl-benzidine) ke semua sumuran dan diinkubasi. Intensitas warna
yang terbentuk sebanding dengan jumlah HbsAg yang terikat dengan Anti-HBs. Reaksi

13
antara enzim dan substrat yaitu antara enzim peroksidase dengan TMB dihentikan dengan
penambahan asam sulfat. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan nilai
absorbansi yang dapat dibaca pada fotometer pada panjang gelombang 450 nm dengan
panjang gelombang referensi yang dapat dipilih yaitu antara 620 sampai 690 nm.

3.3 Immunochromatography (ICT )


Rapid test merupakan metode ICT untuk mendeteksi HBsAg secara kualitatif
yang ditampilkan secara manual dan memerlukan pembacaan dengan mata. Tes ini sudah
secara luas digunakan dalam mendiagnosis dan skrining penyakit infeksi di negara
berkembang. Tujuan adanya pemeriksaan HBsAg menggunakan rapid test ini adalah
untuk mendeteksi kadar rendah antigen target yang ada pada darah dengan pasien
asimptomatik. Terdapat beberapa jenis rapid test yang telah diakui keakuratannya, seperti
Determine HBsAg yang memiliki sensitifitas 98,92% dan spesifisitas 100%, serta DRW-
HBsAg yang memiliki sensitifitas 99,46% dan spesifisitas 99,2% (Lin et al., 2008)
Imunokromatografi test atau rapid test dapat disebut juga dengan uji strip. Metode
ini tidak memerlukan peralatan untuk membaca hasilnya, tetapi cukup dilihat dengan
kasat mata, sehingga jauh lebih praktis. Prinsip dari metode ini adalah jika terdapat
HBsAg pada serum sampel, maka antigen tersebut akan membentuk kompleks dengan
koloid emas anti-HBs terkonjugasi pada strip. Cairan tersebut akan berpindah melewati
membran nitroselulose dan berikatan dengan antibodi anti-HBs kedua yang immobilisasi
pada membran, sehingga membentuk garis merah yang dapat dilihat. Apabila hasil test
reaktif maka alat akan menunjukkan dua garis berwarna, yaitu pada area tes (P=positif)
dan area kontrol (C=kontrol). Apabila hanya satu warna yang tergambar pada area
kontrol, maka interpretasinya yaitu nonreaktif. Sedangkan jika tidak ada warna yang
terbentuk, maka pemeriksaan tersebut tidak valid.
Rapid Test HBsAg Proven TestTM dapat disimpan dalam suhu antara 4-30°C dan
tidak boleh dibekukan. Stabilitas kit dapat bertahan selama 18 bulan. Sebelum digunakan,
biarkan reagen pada suhu kamar dan harus digunakan secepatnya setelah kit dibuka dari
pak. Pembacaan hasil ditunggu sampai 15 menit.

14
BAB IV

KESIMPULAN

Tes-tes yang sangat sensitive telah banyak dikembangkan secara luas untuk menegakkan
diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan, sub klinis atau yang menetap (Handojo, 2004).
Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis hepatitis adalah Immunochromatography
(ICT), ELISA, dan PCR. Metode EIA dan PCR tergolong mahal dan hanya tersedia pada
laboratorium yang memiliki peralatan lengkap. Perlatan rapid diagnostic ICT adalah pilihan
yang tepat digunakan karena lebih murah dan tidak memerlukan peralatan kompleks

Pemeriksaan deteksi antibodi spesifik terhadap virus dengue dapat dilakukan sampai hari
ketujuh gejala muncul. Kelebihan dari pemeriksaan ini adalah waktu untuk penyimpaan sampel
lebih fleksibel daripada isolasi virus atau deteksi RNA karena respon antibodi dapat diukur
dengan membandingkan sampel yang diperoleh pada fase akut dengan sampel yang diperoleh
pada beberapa minggu atau bulan sebelumnya. Hasil test dapat diketahui 1 jam setelah
pemeriksaan. Kelemahan dari pemeriksaan ini adalah tidak spesifik karena tidak mampu untuk
membedakan serotipe virus dengue dan tidak dapat mengetahui terjadinya reaksi silang antibodi
dengan flavivirus yang lain. Selain itu pemeriksaan ini cukup mahal dan kurang akurat. Isolasi
Virus Virus harus dikumpulkan secepatnya setelah terjadi infeksi selama periode viremia
(sebelum 5 hari). Dapat diperoleh dari serum, plasma, atau sel mononuklear dalam darah atau
juga dari jaringan hasil otopsi.
Pemeriksaan virus dengue sangat diperlukan untuk mendeteksi virus dengue pada fase
awal untuk mencegah terjadinya kematian pada pasien. Selain itu juga dapat bermanfaat untuk
mengetahui penyebaran dan epidemiologi daerah tertentu. Pemilihan pemeriksaan pada infeksi
virus dengue harus memperhatikan kepentingan test dilakukan, apakah untuk kepentingan
diagnosis klinik, survey epidemiologi, pengembangan vaksin serta dengan mempertimbangkan
fasilitas laboratorium dan sumber daya manusia yang tersedia, biaya serta sampel yang ada.
Metode diagnostik dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi membutuhkan teknologi tinggi
yang lebih komplek dan tehnik pembacaan yang baik, meskipun metodenya cepat namun harus
juga diperhatikan spesifisitas dan sensitifitas pada tingkat kesulitan pengerjaannya. Metode
Isolasi virus dan Deteksi asam nukleat merupakan pemeriksaan yang intensif, akurat dan mahal
namun lebih spesifik dibandingkan dengan deteksi antibodi dengan metode serologi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Gurukumar KR, Priyadarshini D, Patil JA. Metodology : Development real time PCR for
detection dan quantitation of Dengue Virus. Virology Jurnal. 2009.

Cristina D, Pranav P, Sonja L. Molecular Diagnosis of Flavivirruses. Future Virology. 2011

Sudjaji. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Yogyakarta : Kaniskus.

Aryati. 2010. Manfaat Tes Dengue Stick IgM dan IgG pada Demam Berdarah Dengue.
Surabaya. Universitas Airlangga.

Guzman MG, Kouri G. Dengue: Update. Lancet Infect Dis. 2002

Yufli, H. 2006. Persistency of Transovarian Dengue Virus in Aedes aegypti

Siregar, A.F. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasab Demam berdarah Dengu di Indonesia.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.

Retno Ety Setyowati, Aryati, Prihatini, M.Y. Probohoesodo. 2006. Evaluasi Pemeriksaan
Imunokromatografi Untuk Mendeteksi Antibodi IgM dan IgG Demam Berdarah Dengue
Anak. Surabaya. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Aryu Candra. 2010. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Resiko
Penularan. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Danny Wiradharma. 1999. Diagnosis cepat demam berdarah dengue. Trisakti. Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti.

16

Anda mungkin juga menyukai